Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN KASUS

TONSILEKTOMI DENGAN ANASTESI UMUM

Pembimbing:

dr. Budi Hartanto, Sp.An

Disusun oleh:
Ida Ayu Putu Ratih S (03015087)
Ruth Astry Evangelia (03015171)
Aqdam Fauqo Al’adli (03014019)
Erianti Dian Ramadhani (03013056)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUD DR SOESELO


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
JULI 2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya yang begitu
besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan kasus yang
berjudul “Tonsilektomi dengan Anestesi Umum” tepat pada waktunya.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini,
terutama kepada dr. Budi Hartanto Sp.An selaku pembimbing yang telah
memberikan waktu dan bimbingannya sehingga laporan kasus ini dapat
terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih banyak
kekurangan, oleh karena itu segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan laporan kasus ini sangat penulis harapkan.
Demikian yang penulis dapat sampaikan, semoga laporan kasus ini
dapat bermanfaat dalam bidang kedokteran, khususnya ilmu anestesi.

Ida Ayu Putu Ratih


Ruth Astry Evangelia
Aqdam Fauqo Al-Adli
Erianti Dian Ramadhani

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ......................................................................................................................... i


KATA PENGANTAR...................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 1
BAB II ILUSTRASI KASUS ........................................................................................................ 2
BAB III LAPORAN ANESTESI .................................................................................................. 5
BAB IV ANALISIS KASUS ......................................................................................................... 8
BAB V TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................................11
5.1 Anatomi dan Fisiologi pernafasan ..................................................................... 11
5.2 General Anesthesia ............................................................................................ 13
5.2.1 Definisi ........................................................................................................ 13
5.2.2 Persiapan anastesi ....................................................................................... 13
5.2.3 Premedikasi Anestesi .................................................................................. 15
5.2.4 Stadium Anestesi ........................................................................................ 15
5.2.5 Induksi Anestesia ........................................................................................ 17
5.2.6 Anestetik inhalasi ........................................................................................ 19
5.2.7 Anestetik Intravena ..................................................................................... 21
5.2.8 Mesin dan peralatan anastesi ...................................................................... 23
5.2.9 Pasca Anestesi ............................................................................................. 26
BAB VI KESIMPULAN ............................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 30

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berarti tidak, dan Aesthesis
berarti rasa atau sensasi. Anestesi dilakukan untuk menghilangkan rasa nyeri saat
operasi, tindakan partus, dan kebutuhan diagnosis. Sehingga anestesi berarti suatu
keadaan hilangnya rasa atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya
kesadaran, tetapi bersifat sementara dan dapat kembali kepada keadaan semula.(1)
Berdasarkan tekniknya anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum dan
anestesi lokal. Dalam tindakan anestesi diperlukan “Trias Anestesi” yang meliputi
tiga komponen, yaitu hipnotik, anelgesi, dan relaksasi otot rangka.(2) Anestesi
umum biasa dapat digunakan untuk operasi pada bagian kepala dan lengan atas.
Salah satu contoh operasi yang menggunakan anestesi umum adalah operasi
tonsilektomi.
Tonsilektomi adalah tindakan mengangkat tonsil palatina seutuhnya
bersama jaringan patologis lainnya, sehingga fossa tonsilaris bersih tanpa
meninggalkan trauma yang berarti pada jarinfan sekitarnya seperti uvula dan
pilar.(3) Tonsilektomi dilakukan seperti pada penyakit tonsillitis kronis dengan
pembesaran tonsil dengan gejala nyeri saat menelan. Dari data RSUD Raden
Mattaher Jambi diketahui jumlah penderita tonsillitis kronis pada tahun 2010
berjumlah 978 dari 1365 jumlah kunjungan dan pada tahun 2011 berjumlah 789
dari 1144 jumlah kunjungan, sedangkan tonsilitis yang diindikasikan tonsilektomi
pada tahun 2010 berjumlah 44 orang dan data pada tahun 2011 berjumlah 58 orang.
Ada peningkatan jumlah penderita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi
pada tahun 2010-2011 di RSUD Raden Mattaher Jambi.(4)

1
BAB II

ILUSTRASI KASUS

STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. J
Usia : 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki – laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Kawin
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Pelajar
No. Rekam Medik : 598833
Alamat : Randusari kecamatan pagerburang kab. Tegal
Diagnosis pre-op : Tonsilitis
Jenis Pembedahan : Tonsilektomi
Jenis Anestesi : General Anestesi
Tanggal Masuk RS : 1 Juli 2019
Tanggal Operasi : 2 Juli 2019

II. ANAMESIS
Autoanamnesis
Tanggal anamnesis : 2 Juli 2019
Keluhan utama : Rasa mengganjal di tenggorokan
Keluhan tambahan : Nyeri ketika menelan
Riwayat penyakit sekarang : Pasien mengeluhkan rasa mengganjal di
tenggorokan dan mengeluh nyeri ketika
menelan. Nyeri dirasakan hilang timbul,
karakteristik nyeri seperti ditusuk-tusuk.
Riwayat penyakit dahulu : (-)
Riwayat penyakit keluarga : (-)
2
Riwayat kebiasaan : (-)
Riwayat pengobatan : (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal pemeriksaan fisik: 2 Juli 2019
 Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesan sakit : Sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis (GCS 15)

 Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,5˚C
Pernapasan : 20 x/menit

 Antropometri
Berat badan : 52 kg
Tinggi badan : 170 cm
BMI : Underweight (BMI = 18)
Status gizi : Kurang

 Status Lokalis
 Kepala : Normocephali
 Mata : CA -/-, SI -/-
 Hidung : Bentuk normal, discharge (-), deviasi septum (-)
 Telinga : Normotia, MT auricula dekstra intak / MT auricula
sinistra terdapat perforasi, CAE (canalis auditus eksternus) lapang
pada kedua telinga, hiperemis -/-, edema -/-, serumen prop -/-
 Mulut : Hygiene baik, gigi utuh, gigi palsu (-)
 Tenggorokan : Tonsil T3/T3, hiperemis (-/-),kripta melebar (-/-)

3
 Leher : pembesaran KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba
 Toraks : Pernapasan simetris, napas tertinggal (-)
o Jantung : S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
o Paru : SN Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-
 Abdomen :
o Inspeksi : Bentuk perut datar, venektasi (-), massa (-)
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), pembesaran hepar & lien (-)
o Perkusi : timpani pada 4 kuadran
o Auskultasi : bising usus (+)
 Genitalia : Tidak diperiksa
 Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Lab - Tanggal : 1/07/2019
- HEMATOLOGI
Hematologi Rutin Nilai Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 15,4 g/dL 13,0 – 17,0
Hematokrit 47 % 40,0 – 48,0
Eritrosit 5,3 10`6/uL 4,5 – 5,50
MCV/VER 88 fL 82,0 – 92,0
MCHH/HER 29 pg 27,0 – 31,0
MCHC/KHER 33 g/dL 32,0 – 36,0
Jumlah Leukosit 7,0 10`3/uL 5,00 – 10,00
Jumlah Trombosit 215 10`3/uL 150 - 450

4
BAB III

LAPORAN ANESTESI

I. Pre operatif
- Surat Izin Operasi (+), Surat Izin Anestesi (+)
- Puasa (+) dari jam 12 malam
- Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
- IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
- Keadaan umum : Baik
- Kesadaran : Compos mentis
- Tanda vital :
 TD : 120/80 mmHg
 Nadi : 85x/menit
 RR : 18x/menit
 Suhu : 36,5o C

II. Premedikasi anestesi


Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan ondansetron 4 mg
bolus IV

III. Pemantauan selama anestesi


Selama operasi dilakukan monitoring secara konstan terhadap
keadaan pasien yaitu reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi
khususnya terhadap fungsi pernapasan dan jantung.
- Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit, Tekanan darah setiap 5 menit
- Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien dan
saturasi oksigen
- Cairan : Monitoring input cairan

IV. Monitoring tindakan operasi :


Jam Tindakan Tek. Darah Nadi Saturasi
(mmHg) (x/menit) O2 (%)
09.40 - Pasien dipindah ke meja 120/80 85 99
operasi
- Pemasangan monitoring
saturasi, nadi, tekanan
darah.
- Ondansetron 4 mg bolus
iv sebagai premedikasi
09.45 - Kondisi terkontrol dan 110/70 83 98
terpantau
09.50 - Anestesi dimulai 100/60 80 98

5
- Pemberian Fentanyl 100
𝜇g secara IV bolus
- Pemberian Propofol
200mg secara IV bolus
- Pemberian Midazolam
secara IV bolus
- Diberikan 02 3L/menit,
N2O 3L/menit, dan
Sevofluran 100cc
- Pemasangan Endotrakeal
tube no.7
09.55 Kondisi terkontrol 84/50 58 98
10.00 - Operasi dimulai 92/56 62 99
- Kondisi terkontrol
10.05 - Kondisi terkontrol 108/78 78 98
10.10 - Kondisi terkontrol 80/65 83 98
- Pemberian Efedrin
10.15 - Kondisi terkontrol 100/80 87 99
10.20 - Kondisi terkontrol 110/55 85 99
10.25 - Kondisi terkontrol 95/60 80 99
10.30 - Operasi selesai 100/50 79 99
- Pemberian Ketorolac
- Alat monitoring di lepas,
O2 dihentikan
- Pasien dipindah ke
recovery room dan
Diberikan O2 3 L/menit

V. Intraoperatif
Tindakan operasi : Tonsilektomi
Tindakan anestesi : General Anestesi
Lama operasi : 60 menit (10.00 – 11.00)
Lama Anestesi : menit (09.35 – 10.15)
Jenis Anestesi : General Anestesi
Posisi : Supine
Pernafasan : Spontan
Infuse : Ringer laktat pada lengan kiri 500 cc
Pramedikasi : Ondansetron 4 mg
Induksi : Propofol 150 mg
Rumatan : O2 3L
Medikasi : - Fentanyl 100 mcg
- Propofol 200 mg
6
- Ketorolac
- Midazolam
Cairan : Input : RL 500 cc

VI. Post Operatif


- Pasien ditempatkan di recovery room dan dapat dipindah ke ruangan
setelah memenuhi kriteria
- Observasi tanda vital :
 Kesadaran : Compos mentis
 Tek. Darah : 110/67 mmHg
 Nadi : 71x/menit
 Saturasi : 96%
- penilaian pemulihan kesadaran dengan Aldrette score

No Kriteria Score Nilai


1 Aktivitas motorik:
 Mampu menggerakkan empat ekstremitas 2
 Mampu menggerakkan dua ekstremitas 1
 Tidak mampu menggerakkan ekstremitas 0
2 Respirasi:
 Mampu napas dalam, batuk dan tangis kuat 2
 Sesak atau pernapasan terbatas 1
 Henti napas 0
3 Tekana darah:
 Berubah sampai 20% dari prabedah 2
 Berubah 20%-50% dari prabedah 1
 Berbubah > 50% dari prabedah 0
4 Kesadaran:
 Sadar baik dan orientasi baik 2
 Sadar setelah dipanggil 1
 Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna kulit:
 Kemerahan 2
 Pucat agak suram 1
 Sianosis 0
Keterangan :
Pasien dapat dipindah ke ruangan jika jumlah nilai 10

7
BAB IV

ANALISIS KASUS

Berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang


dari Tn. J (16 tahun) diperoleh ASA 2, yaitu pasien dengan pemyakit
sistemik ringan. Alasan dari pasien ini dilakukan tonsilektomi adalah karena
keluhan tenggorokan terasa mengganjal dan nyeri menelan yang tidak
kunjung hilang, sehingga diharapkan dengan dilakukan tonsilektomi dapat
mengurangi keluhan tersebut.
Jenis anastesi yang digunakan untuk operasi tonsilektomi adalah
anastesi umum karena operasinya berada di daerah kepala dan leher, tidak
dilakukannya anestesi spinal karena pada L1-2 beresiko trauma pada
medulla spinalis.
Identitas pasien yaitu Tn. J 16 tahun datang ke poliklinik THT pada
hari Senin, 1 Juli 2019 pukul dengan keluhan utama tenggorokan terasa
mengganjal. Selain itu pasien mengeluh nyeri menelan, nyeri yang
dirasakan seperti ditusuk-tusuk dan hilang timbul.. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran tonsil dengan ukuran T3/T3 dan
kripti melebar. Pemeriksaan penunjang Tn. J didapatkan dalam batas
normal.

PRE OPERATIVE
Pada hari Selasa, 2 Juli 2019, Tn. J masuk ke ruang OK dan
menunggu di ruang pre operative, sementara itu disiapkanlah alat-alat dan
obat-obatan yang digunakan untuk anastesi. Alat-alat yang dipersiapkan
adalah bain circuit anesthesia machine, monitor tekanan darah dan pulse
oxymetry, persiapan Endotracheal tube dan laringoskop, hipafix/tape,
guedel, sungkup muka, zat volatile sevofluran, dan memastikan kabel alat-
alat terpasang pada tempat yang seharusnya. Obat-obatan yang dipersiapkan

8
adalah Efedrin HCl, sulfas atropine, ketamine, traxenamid acid, fentanyl,
dan propofol, ondansentron.

INTRAOPERATIVE
Tn. J masuk ke ruang operasi nomor tiga dan segera dipasang alat
monitor tanda vital dan didapatkan hasil tekanan darah 120/80 mmHg
dengan nadi 85x/menit dan saturasi oksigen 99%. Obat premedikasi telah
diberikan ondansentron 4 mg secara intravena untuk antiemetik. Pada pukul
09.50 WIB, tekanan darah Tn. J 100/60 mmHg dengan nadi 80 x/menit,
diinjeksikan fentanyl 150 𝜇 g secara IV bolus. Untuk anastesi induksi
menggunakan propofol 200 mg yang diinjeksikan melalui bolus IV. Dosis
induksi propofol adalah 2-2,5 mg/kgBB, dimana berat badan Tn. J adalah
52 kg dan didapatkan hasil 52 kg x 2 mg adalah 104 mg. Setelah refleks
bulu mata hilang, dilakukan anastesi inhalasi untuk tujuan maintenance
anesthesia dengan menggunakan sungkup muka dengan perbandingan
50:50 yaitu N2O 3 L/menit dan O2 3 L/menit. Lalu dilakukan bagging
selama tiga menit. Pada pukul 09.55 WIB, pasien dilakukan intubasi
menggunakan Endotracheal tube no 7.
Operasi dimulai pada pukul 10.00 WIB dengan tekanan darah 92/56
mmHg dan nadi 62x/menit. Pada pukul 10.10 WIB terjadi perdarahan,
tekanan darah turun menjadi 80/65 mmHg dan nadi 87x/menit. Oleh karena
itu diberikan Efedrin HCL. Setelah dimonitoring hingga pukul 10.20 WIB,
terjadi perbaikan tekanan darah menjadi 110/55 mmHg. Pada pukul 10.25
WIB tekanan darahnya adalah 100/50 mmHg dengan nadi 79x/menit. Lalu
dilakukan ekstubasi Endotracheal tube dan memasang orofaringeal
airway/Guedel no.3 dan dilakukan bagging dengan mematikan sevofluran
dan N2O, serta menaikkan kadar O2 menjadi 5 L/menit. Ketorolac 100gram
juga telah dimasukkan secara intravena untuk tujuan analgesik. Setelah
pasien dapat bernafas spontan dengan tanda vital yang bagus, pasien
dipindahkan dari ruang operasi ke ruang resusitasi dengan posisi kepala
ekstensi.
9
POST OPERATIVE
Pada pukul 10.30 WIB, Tn. J tiba di ruang resusitasi dengan kondisi
belum sadar karena masih dalam pengaruh obat anastesi. Kemudian
dilakukan pemasangan alat tanda vital dan nasal oksigen 3L/menit dan
didapatkan tekanan darah 110/70 mmHg, nadi -x/menit, dan saturasi
oksigen 99%. Tn. R terus dimonitoring hingga kesadaran pulih dengan
tanda vital yang bagus. Pada pukul 10.50 WIB pasien telah sadar dan
dipindahkan ke ruang rawat inap pada pukul 11.00 WIB.

10
BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

5.1 Anatomi dan Fisiologi pernafasan


Sistem respirasi mencakup saluran napas yang menuju ke paru, paru itu
sendiri, dan otot-otot pernapasan dan abdomen yang berperan dalam
menghasilkan aliran udara melalui saluran napas masuk dan keluar paru.
Saluran napas terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian saluran napas atas
yang berawal dari saluran hidung, orofaring, dan nasofaring, setelah itu ke
bagian saluran napas bawah yang dibatasi oleh epiglottis, setelah itu
berlanjut ke laring, trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveolus.
Proses pernapasan terbagi menjadi respirasi eksternal dan respirasi
internal. Respirasi eksternal adalah proses pertukaran O2 dan CO2 antara
sel-sel dalam tubuh dengan lingkungan luar. Respirasi eksternal meliputi
beberapa proses yaitu ventilasi, distribusi, difusi, dan perfusi. Respirasi
internal adalah pertukaran O2 dan CO2 antara darah dan jaringan. Proses
pada respirasi internal yaitu efisiensi kardiosirkulasi, distribusi kapiler,
difusi dan metabolism sel.

Gambar 1. Anatomi Pernafasan

11
Pusat respirasi terletak di substansia retikuler medulla oblongata dan
pons terdiri dari pusat apnestik, pneumotaksis, area ekspiratori dan area
inspiratori. Pusat pernapasan terdiri dari dua kelompok neuron, yaitu
kelompok respiratori dorsal dan kelompok respiratori ventral. Kedua
kelompok tersebut mengatur secara ritmik gerakan inspirasi dan ekspirasi,
dimana terdapat kontraksi dan relaksasi otot secara bergantian. Grup
respirasi ventral serat sarafnya berjalan ke arah medulla spinalis lalu
mempersarafi nervus intercostalis ke musculus intercostalis externus dan
musculus intercostalis internus. Sedangkan grup respirasi dorsal
mempersarafi nervus phrenicus yang mempersarafi diafragma.(5)

Gambar 2. Pusat Respirasi

12
5.2 General Anesthesia
5.2.1 Definisi
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan rasa sakit,
hilangnya refleks otot, dan disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
reversibel. Anestesi umum dapat dilakukan dengan cara inhalasi dan
intravena.(6)

5.2.2 Persiapan anastesi

Penilaian kondisi pasien


Persiapan untuk melakukan anestesi umum yang pertama dilakukan
adalah mencocokan identitas pasien dan melakukan anamnesis kepada
pasien. Anamnesis dilakukan untuk mendapatkan riwayat penyakit
sistemik, riwayat asma, riwayat alergi, riwayat operasi, pemakaian gigi
palsu, memastikan pasien puasa atau tidak dan megkonfirmasi kembali
kepada pasien bagian tubuh mana yang akan dilakukan operasi. Setelah
dilakukan anamnesis, selanjutnya adalah pemeriksaan fisik, mulai dari
keadaan umum pasien, status kebugaran fisik pasien dengan klasifikasi
ASA (The American Society of Anesthesiologist), tanda vital,
pemeriksaan gigi geligi dan pemeriksaan mulut dengan Mallampati
score.(6,7)

Gambar 3. Mallampati Score


13
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan umumnya adalah
pemeriksaan hematologi dan perlu diperhatikan kadar hemoglobin,
leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan. Pemeriksaan
penunjang lain seperti EKG, CT-Scan, X-ray, dan yang lainnya
disesuaikan sesuai indikasi pasien.
Klasifikasi ASA (The American Society of Anesthesiologist)
juga harus digunakan untuk menggambarkan status kebugaran fisik
pasien pra operatif. Klasifikasi ini dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu(8):
Kelas I : tidak ada gangguan organik, fisiologis, biokimia,
atau psikiatri.
Kelas II : gangguan sistemik ringan hingga sedang, bisa atau
tidak berpengaruh terhadap alasan dilakukannya
operasi.
Kelas III : gangguan sistemik berat yang bisa atau tidak
berpengaruh terhadap alasan dilakukannya operasi.
Kelas IV : gangguan sistemik berat yang membahayakan
nyawa, dengan atau tanpa operasi
Kelas V : pasien dengan kemungkinan hidup yang kecil
namun tetap dioperasi sebagai usaha terakhir (usaha
resusitasi)
Kelas VI : pasien yang sudah dinyatakan mati batang otak dan
organnya akan digunakan untuk tujuan donor
E : huruf E ditambahkan pada nomor status pasien yang
gawat darurat

14
5.2.3 Premedikasi Anestesi1,2
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan
pendahuluan dalam rangka pelaksanaan anestesia dengan tujuan sebagai
berikut :
i. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan rasa
cemas, memberi ketenangan, membuat amnesia, mencegah mual
ataupun muntah serta bebas dari nyeri.
ii. Mengurangi dosis dari anestesia
iii. Memudahkan dan memperlancar induksi
iv. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
v. Menekan reflek-refleks yang tidak dinginkan

Obat yang diberikan pada premedikasi diantaranya untuk pereda


kecemasan dan mengurangi mual-muntah pasca bedah. Obat pereda
kecemasan biasanya digunakan Diazepam peroral 10-15mg. jika disertai
nyeri dapat diberikan opiod misalnya Petidin 50mg intramuskular. Obat
untuk mengurangi mual-muntah diberikan Ondansetron atau Granon.

5.2.4 Stadium Anestesi9


Semua zat anastetik menghambat SSP secara bertahap, yang mula-
mula dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir
dihambat adalah medula oblongata tempat pusat vasomtor dan pernapasan.
Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium, yaitu :
1. Stadium I (Analgesia) : Dimulai dari pemberian obat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Dalam stadium ini pasien masih sadar
dan dapat mengikuti perintah, tetapi pasien tidak dapat lagi
merasakan nyeri.
2. Stadium II (Eksitasi) : Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai
pernapasan yang tidak teratur, pupil melebar dengan refleks cahaya
(+), tonus otot meningkat, hilangnya refleks menelan dan hilangnya
refleks bulu mata.

15
3. Stadium III (Pembedahan) : Dimulai dengan timbunya kembali
pernapasan teratur hingga pernapasan spontan hilang. Tanda dari
stadium ini adalah hilangnya pernapasan spontan, dan hilangnya
refleks kelopak mata. Pada stadium pembedahan dibagi menjadi 4
tingkat, yaitu :
 Plana I : Pernapasan teratur sampai berhentinya gerakan bola
mata, pernapasan dada dan perut seimbang, miosis, refleks
cahaya (+), tonus otot masih ada.
 Plana II: Dari berhentinya gerakan bola mata hingga permulaan
paralisis otot intrakostal. Pernapasan teratur tetapi frekuensinya
lebih kecil, bola mata tidak bergerak, pupil midriasis, refleks
cahaya mulai menghilang, tonus otot mulai menurun.
 Plana III : Dari permulaan paralisis otot intrakostal hingga
paralisis otot intrakostal secara keseluruhan. Pernapasan perut
lebih dominan daripada pernapasan dada, refleks cahaya (-),
tonus otot semakin menurun.
 Plana IV : Dari paralisis otot intrakostal secara keseluruhan
hingga paralisis difragma. Pernapasan lambat, irregular, dan
tidak adekuat, terjadi flaccid karna tonus otot semakin menurun,
refleks cahaya (-).
4. Stadium IV : Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang
kemudian akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan
akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai
stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.

16
Gambar 3. Stadium Anestesi

5.2.5 Induksi Anestesia1,10,11


Sebelum dilakukan anestesia dan pembedahan, perlu dilakukan
tindakan induksi anestesia. Induksi anestesia merupakan tindakan
untuk membuat pasin dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi anestesi
dapat dilakukan secara intravena, inhalasi, intramuscular, dan rectal.
Sebelum dilakukan tindakan induksi anestesi diperlukan STATICS,
yaitu :
S : Scope, terdiri dari Stetoskop dan Laringo-Scope. Stetoskop untuk
mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-scope untuk
mempermudah melihat jalur trakea.
T : Tubes, adalah pipa trakea. Pipa trakea dipilih sesuai usia, usia <5
tahun tanpa balon, dan >5 tahun dengan balon.
A : Airway, pipa mulut faring (guedel, orotracheal airway) dan pipa
hidung faring (nasotracheal airway). Fungsinya adalah untuk menahan
lidah supaya jalan napas tidak tersumbat.

17
T : Tape, plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer, adalah stilet yang mudah dibengkokkan sebagai
pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector, penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S : Suction, penyedot lender, ludah dan lainnya.

Induksi Intravena
Salah satu cara dari tindakan induksi yang paling banyak dikerjakan
dan digemari adalah induksi intravena. Obat induksi intravena yang
sering digunakan diantaranya tiopental, propofol, dan ketamin.
Ketamin (Ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgbb. Pasca anestesia
dengan ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya
dianjurkan menggunakan sedatif seperti midazolam (dormikum).
Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah tinggi
(tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin menyebabkan pasien tidak
sadar, tetapi dengan mata terbuka.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1%
menggunakan dosis 2-3mg/kgbb. Suntikan propofol intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering diberikan
lidokain 1mg/kgbb secara intravena.

Induksi Intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuskulardengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.

Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi saat ini menggunakan isoflurane atau sevofluran.
Induksi dengan isofluran atau sevofluran memerlukan gas pendorong
O2 atau campuran N2O dan O2.

18
5.2.6 Anestetik inhalasi1,10
Anestesi umum dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain
secara inhalasi, intravena dan intramuskular. Anestesi inhalasi
merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan
jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan
atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi
langsung ke udara inspirasi. Obat-obat anestesi inhalasi dapat
digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesi.
Semua derivat eter yang mudah menguap atau berbentuk gas yang
keduanya diberikan secara inhalasi dan diserap melalui pertukaran gas
di alveolus, yang kemudian diteruskan keseluruh jaringan melalui
darah. Ambilan alveolus gas atau uap anestetik inhalasi ditentukan oleh
sifat fisik yang meliputi ambilan oleh gas, difusi gas dari paru ke darah,
dan distribusi oleh darah ke otak dan organ lainnya. Sifat anestetik
inhalasi menyebabkan ketidaknyamanan adalah bau dan sifat iritasi
saluran pernapasan. Sebagian besar gas anestesi dikeluarkan lagi oleh
badan lewat paru. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan
melalui ginjal.
Pada kasus ini digunakan anestetik inhalasi untuk maintenance,
anestetik yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. N2O
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monooksida) diperoleh dengan memanaskan amonium nitrat
sampai 240ºC.
NH4NO3 --240 ºC ---- 2H2O + N2O
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau
manis, tak iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Zat ini dikemas dalam bentuk cair dalam silinder warna
biru 9000 liter atau 1800 liter dengan tekanan 750 psi atau 50
atm. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi
19
analgesianya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan.
Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi
dikombinasi dengan salah satu cairan anestesi lain seperti
halotan dan sebagainya. Pada akhir anestesi setelah N2O
dihentikan, maka N2O akan cepat keluar mengisi alveoli,
sehingga terjadi pengenceran O2 dan terjadilah hipoksia difusi.
Untuk menghindari terjadinya hipoksia difusi, berikan O2
100% selama 5-10 menit.

b. Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan
puih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya
tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat
sepperti isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap
hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran cepat
dikeluarkan oleh badan.

Tabel 1. Fisik dan kimia anestesik inhalasi


Anestetik inhalasi N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Berat molekul 44 197 184 184 168 200
Titik didih(ºC) -68 50-50.2 56.6 48.5 22.8-23.5 58.5
Tekanan Uap(mmHg20 ºC) 5200 243-244 172-174.5 238-240 669-673 160-170
Bau Manis Organik Eter Eter Eter Eter
Turunan eter Bukan Bukan Ya Ya Ya Ya
Pengawet - Perlu - - - -
Koef partisi darah/gas 0.47 2.4 1.9 1.4 0.42 0.65
Dengan kapur soda 40 ºC Stabil Tidak Stabil Stabil stabil Tidak
104-105 0.75 1.63-1.70 1.15-1.20 6.0-6.6 1.80-2.0

20
MAC (KAM) 37 ºC Usia 30-55
tahun tekana 760 mmHg

Tabel 2. Farmakologi klinik anestetik inhalasi


N2O Halotan Enfluran Isofluran Desfluran Sevofluran
Kardiovaskuler TB↑↓
Tekanan darah TB ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓
Laju nadi TB ↓ ↑ ↑ TB atau ↑ TB
Tahanan vaskuler TB TB ↓ ↓↓ ↓
Curah jantung TB ↓ ↓↓ TB TB atau ↓ ↓
Respirasi
Volume tidal ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju napas ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
PaCO2 Istirahat TB ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑
’Challenge’ ↑ ↑ ↑↑ ↑ ↑↑ ↑
Serebral
Aliran darah ↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑ ↑
Tekanan intrakranial ↑ ↑↑ ↑↑ ↑ ↑ ↑
Laju metabolisme ↑ ↓ ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓
’Seizure’ ↓↓ ↓ ↑ ↓ ↓ ↓

Blokade
Pelumpuh otot non-depol ↑ ↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑↑ ↑↑

Ginjal
Aliran darah ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓
Laju filtrasi Glomerulus ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
Output urin ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ? ?
Hepar
Aliran darah ↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓
Metabolisme 0.004% 15-20% 2-5% 0.2% <0.1% 2-3%

5.2.7 Anestetik Intravena


Anestetik intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur
intravena, dengan tujuan baik untuk hipnotikm anelgetik atau pelumpuh
otot. Indikasi anestetik intravena diantaranya untuk, induksi anestesia,
21
induksi dan pemeliharaan anestesi, menambahkan efek hipnosis pada
anestesi inhalasi dan anestesi regional, dan menambahkan sedasi pada
tindakan medik.
Pemberian anestetik intravena dilakukan dengan menyuntikkan obat
anestesi parenteral ke pembuluh darah vena. Anestetik intravena bersifat
lipofilik sehingga dapat terdistribusi ke dalam jaringan lipofilik dengan
perfusi tinggi (otak dan korda spinalis), sehingga mulai kerja dari anestetik
intravena cepat. Berikut adalah beberapa obat yang diberikan secara
intravena untuk anestesi pada pasien, yaitu :
a. Fentanil
Fentanil adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin. Lebih larut dalam lemak disbanding petidin dan menembus sawar
jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan dan
distribusinya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi
terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati
dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolisnya dikeluarkan
lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek analgesinya. Dosis
1-3mcg/kgbb analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu
hanya dipergunakan untuk anestesia pembedahan dan tidak untuk pasca
bedah.
Dosis besar 50-150 mcg/kgbb digunakan untuk induksi anestesia
dan pemeliharaan anestesia dengan kombinasi benzodiazepine dan anestetik
inhalasi dosis rendah, pada bedah jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan
otot punggung yang sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.

b. Propofol
Propofol adalah obat hipnotik-sedatif dan digunakan sebagai obat
anestesi intravena. Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan
emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1%.

22
Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2.5mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan
intesif 0.2mg/kg. Pengenceran propofol hanya boleh dengan dekstrosa 5%.
Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak <3 tahun dan pada wanita
hamil tidak dianjurkan.
Propofol adalah depresan pernapasan poten dan umumnya
menyebabkan apnea setelah dosis induksi bolus 2mg/kg. Efek samping
propofol pada sistem pernafasan adalah depresi pernapasan, apnea,
bronkospasme, dan laringospasme. Infus pemeliharaan mengurangi minute
ventilation melalui penurunan volume tidal dan kecepatan napas, dengan
efek pada volume tidal lebih besar. Selain itu, konsentrasi sedasi dari
propofol akan menekan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnia
berkurang.
Propofol cepat di metabolisme di hati, senyawa-senyawa larut air
yang terbentuk inaktif dan diekskresikan melalui ginjal. Pemulihan
kesadaran setelah induksi propofol biasanya terjadi dalam 8-10 menit.

5.2.8 Mesin dan peralatan anastesi12,13

Dalam tindakan anestesia umum diperlukan mesin dan peralatan


anestesia. Fungsi dari mesin anesthesia adalah menyalurkan gas atau
campuran gas anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang
kemudian akan dihirup oleh pasien. Komponen dasar mesin anestesi
terdiri dari alat pantau tekanan gas, sumber O2, N2O, dan udara tekan,
katup penurun gas, flowmeter, penguap cairan anestetik/vaporizer,
lubang keluar campuran gas / common gas outlet, oxygen flush control
yang dapat mengalirkan oksigen murni sampai 35-37 L/menit tanpa
melalui meter aliran gas.

23
Gambar 5. Mesin dan peralatan anestesi

Sistem penghantaran anestesi (Anesthesia Delivery System)


telah bekembang mulai dari peralatan yang sederhana hingga menjadi
suatu sistem yang sangat kompleks yang terdiri dari mesin anestesi,
sirkuit anestesi, vaporizer, pembuangan gas serta monitor. Bagi seorang
ahli anestesi, pemahaman terhadap fungsi dari system penghantaran
anestesi ini sangatlah penting. Berdasarkan fakta dari data American
Society of Anesthesiologists (ASA), Caplan menemukan bahwa
meskipun tuntutan dari pasien terhadap kesalahan dari sistem
penghantaran anestesi jarang terjadi, akan tetapi ketika itu terjadi maka
akan menjadi suatu masalah yang besar, yang sering mengakibatkan
kematian atau kerusakan otak yang menetap.23
Sirkuit anestesi diklasifikasikan sebagai rebreathing dan non-
rebreathing berdasarkan ada tidaknya udara ekspirasi yang dihirup
kembali. Sirkuit ini juga diklasifikasikan sebagai open, semi open, semi
closed dan closed berdasarkan ada tidaknya (1) reservoir bag, (2) udara
ekspirasi yang dihirup kembali (rebreathing exhaled gas), (3) komponen
untuk menyerap korbondioksia ekspirasi (CO2 absorber) serta (4) katup

24
satu arah (Tabel 2.1). Meskipun dengan pengklasifikasian tersebut
kadang menyebabkan kebingungan dibandingkan pemahaman.20,24

Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:


1. Sungkup muka, sungkup laring atau pipa trakea.
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas.
3. Pipa ombak, pipa cadang. Bahan karet hitam atau plastik transparan
anti statik, anti tertekuk.
4. Kantong cadang.
5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2. untuk mencegah
terjadinya barotrauma akibat naiknya tekanan gas yang mendadak
tinggi, katup membatasi takanan sampai 50 cmH2O.

25
5.2.9 Pasca Anestesi1,2,14
Periode pulih sadar dimulai segera setelah pasien meninggalkan meja
operasi dan langsung diawasi oleh ahli anestesi. Semua komplikasi dapat
terjadi setiap saat, termasuk pada waktu pemindahan pasien dari kamar
operasi ke ruang pemulihan. Ruang pemulihan (Recovery Room) adalah
ruangan tempat pengawasan dan pengelolaan secara ketat pada pasien yang
baru saja menjalani operasi sampai dengan keadaan umum pasien stabil.
Pasien operasi yang ditempatkan di ruang pemulihan secara terus menerus
dipantau.
Kamar pulih sadar merupakan perluasan kamar operasi, harus terbuka
sepanjang hari dan pengamatan secara intensif yang dilakukan didalamnya.
Hal ini dapat diartikan karena pada masa transisi tersebut kesadaran
penderita belum pulih secara sempurna sehingga kecenderungan terjadinya
sumbatan jalan napas lebih besar dan ditambah lagi reflek perlindungan
seperti reflek batuk, muntah 6 maupun menelan belum kembali normal,
kemungkinan terjadi aspirasi yang sangat di rasakan dimana pengaruh obat
anestesi dan trauma pasca operasi masih belum hilang dan masih
mengancam status respirasi dan kardiovaskuler penderita. Upaya
pengamatan yang amat cermat terhadap tanda-tanda vital penderita
merupakan modal dasar yang amat ampuh dalam mencegah penyulit yang
tidak diinginkan.
a) Risiko Pasca Anestesi
Risiko pasca anestesi dapat di bedakan berdasarkan masalah-masalah
yang akan dijumpai pasca anestesia/bedah dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok:
1) Kelompok I
Pasien yang mempunyai risiko tinggi gagal napas dan gangguan
hemodinamik pasca anestesia/bedah, sehingga perlu napas kendali pasca
anestesia/bedah. Pasien yang termasuk dalam kelompok ini langsung
dirawat di Unit Terapi Intensif pasca anestesia/bedah tanpa menunggu
pemulihan di ruang pulih.
26
2) Kelompok II
Sebagian besar pasien pasca anestesia/bedah termasuk dalam
kelompok ini, tujuan perawatan pasca anestesia/bedah adalah menjamin
agar pasien secepatnya mampu menjaga keadekuatan respirasinya dan
kestabilan kardiovascular.
3) Kelompok III
Pasien yang menjalani operasi kecil, singkat dan rawat jalan. Pasien pada kelompok
ini bukan hanya fungsi respirasinya tetapi harus bebas dari rasa ngantuk, ataksia,
nyeri dan kelemahan otot, sehingga pasien bisa kembali pulang.
b) Tujuan perawatan pasca anestesia
Tujuan perawatan pasca anestesia yaitu untuk memulihkan kesehatan
fisiologi dan psikologi antara lain:
1. Mempertahankan jalan napas, dengan mengatur posisi memasang
suction dan pemasangan mayo/gudel.
2. Mempertahankan ventilasi/oksigenasi, dengan pemberiam bantuan
napas melalui ventilator mekanik atau nasal kanul.
3. Mempertahankan sirkulasi darah, dapat dilakukan dengan pemberian
cairan plasma ekspander.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase Keadaan
umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan
pasien, seperti kesadaran. Vomitus atau muntahan mungkin saja
terjadi akibat pengaruh anestesia sehingga perlu dipantau kondisi
vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan
observasi terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.
5. Balance cairan Harus diperhatikan untuk mengetahui input dan output
cairan. Cairan harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan,
seperti dehidrasi akibat perdarahan atau justru kelebihan cairan yang
mengakibatkan menjadi beban bagi jantung dan juga mungkin terkait
dengan fungsi eleminasi pasien.
6. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injuri Pasien
post anestesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan
27
beresiko besar untuk jatuh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang
nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan
pasien, 12 diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga
kolaborasi dengan medis terkait dengan agen pemblok nyerinya.
c) Kriteria kembali ke bangsal
1. Hemodinamik stabil
2. Ventilasi spontan adekuat
3. Nyeri terkontrol
4. Suhu normal
5. Mual / muntah minimal dan pasien dapat menjaga dirinya sendiri
Adapun kategori untuk mengetahui pasien diperbolehkan kembali ke
bangsal adalah dengan menggunakan Aldrete Score.

Gambar 6. Aldrete Score

28
BAB VI

KESIMPULAN

Pemeriksaan pra anastesi yang teliti memegang peranan penting


pada setiap operasi yang melibatkan anestesi, dimana hal ini bertujuan
untuk mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang
mungkin timbul saat peripoeratif. Pada makalah ini disajikan kasus
penatalaksanaan anestesi umum pada operasi tonsilektomi dengan diagnosis
tonsillitis kronis pada Tn. J, laki-laki 16 tahun, berat badan 52 kg, status
fisik ASA II, dan mallampati 1, dengan teknik anestesi General Anesthesia
dengan menggunakan intubasi Endotracheal tube no. 28. Obat obatan yang
digunakan pada operasi ini yaitu ondansentron, propofol, fentanyl,
tranexamid acid, dan ketorolac, dengan anastesi inhalasi berupa campuran
dari sevofluran, N2O, dan O2. Dalam kasus Tn. J selama operasi berlangsung
tidak ada hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari
tindakan.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s


Clinical Anesthesiology. 5th ed. Mc Graw Hill: United States. 2013;
793-863.
2. Donohue C. An Introduction of Anesthesia. British Journal of Hospital
Medicine. 2013;4:(5):71-5.
3. Baugh RF, Archer SM, Mitchell, RB, et al. Clinical Practice
Guideline: Tonsillectomy in Children. American Academy of
Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2011;144(IS) SI-S30.
4. Nurrobbi, Kusantri. Tonsilitis kronis. Jakarta. 2012 (diakses November
2012). Diunduh dari: URL: http://96570032-Tonsilitis-Kronis.pdf
5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 6. Jakarta :
EGC. 2012.
6. Christopher D Press. General Anesthesia. 2015. At :
https://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. Accesed
May 20, 2018.
7. Lundstorm LH, et al. Poor prognostic value of the modified
Mallampati score : a meta analysis involving 177.088 patients. Bristish
Journal of Anesthesia. 2011;107(5):659-67.
8. Daabiss M. American society of anesthesiologists physical status
classification. US National Library of Medicine. 2011;55(2):111-15.
9. Brown EN, Lydic R, Schiff ND. General Anesthesia, Sleep, and
Coma. US National Library of Medicine. 2010;363(27):2638-50. (dari
no 7 yang lama)
10. Desai, Arjun M. Anestesi. Stanford University School of Medicine.
2010. At: http://emedicine.medcape.com (dari no 8)
11. Soenarjo, dkk. Anestesiologi. Semarang: Ikatan Dokter Anestesi dan
Reanimasi Cabang Jawa Tengah. 2010 (dari no 9)
12. Brockwell RC, Andrews JJ. Inhaled Anesthetic Delivery Systems. In:
Miller‟s Anesthesia.7th ed. San Fransisco : Elsevier, 2010. ebook
30
13. Eisenkraft JB, Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM.
Anesthesia Delivery System. In: Anesthesiology. New York : McGraw-
Hill, 2008; 767 – 820
14. Janet M, Torpy, Lynm C, Golub RM. General Anesthesia. JAMA
Network. 2011;305(10):1050.

31

Anda mungkin juga menyukai