Anda di halaman 1dari 8

1. Mengapa pasien mengeluhkan anoreksia, malaise dan mialgia?

A. Anoreksia
Anoreksia atau penurunan nafsu makan dapat terjadi karena adanya
peningkatan asam lambung yang diakibatkan oleh adanya rangsangan sitokin yang
melepaskan sel mast dan histamin. Lepasnya sel mast dan histamine tersebut
mungkin disebabkan karena respon tubuh terhadap patogen, baik local maupun
sistemik. (Price, 2006)
B. Malaise dan myalgia
Malaise atau kelelahan terjadi karena persediaan oksigen dalam sel yang
berkurang sehingga sel tidak dapat berfungsi secara optimal. Kekurangan oksigen
ini dapat diakibatkan karena peningkatan metabolisme tubuh atau juga karena
menurunnya Hb sehingga tidak ada yang mengangkut oksigen ke seluruh tubuh.
Fungsi sel yang tidak optimal ini akan membuat penurunan hantaran rangsang
listrik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatis dan parasimpatis, dimana
parasimpatis lebih meningkat dan terjadilah malaise. Kekurangan oksigen juga
akan membuat sel melakukan sistem pernapasan secara anaerob yaitu melalui
glikolisis, dimana hasilnya adalah asam laktat. Asam laktat yang meningkat ini akan
mengakibatkan myalgia. (Price,2006)

LO Meningitis
A. Definisi Meningitis
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenaijaringan
otak dan medula spinalis yang superfisial.Meningitis dibagi menjadi dua golongan
berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan
meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang
meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai
adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah
meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan
disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis Meningococcus merupakan
meningitis purulenta yang paling sering terjadi. (Nelwan, 1994)
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet
infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok
penderita.17 Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan
dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke
dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan
peradangan pada selaput otak dan otak (Harsono, 1999).

B. Infectious Agent Meningitis


Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan protozoa.
Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang disebabkan oleh bakteri
berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan
dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada golongan
umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh E.Coli, S.beta
hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5 tahun (balita)
disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus. Golongan umur 5-20
tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis dan Streptococcus
Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun) disebabkan oleh Meningococcus,
Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan Listeria. Penyebab meningitis serosa yang
paling banyak ditemukan adalah kuman Tuberculosis dan virus.
Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik,
cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering
ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus , sedangkan Herpes
simplex, Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab meningitis
aseptik(viral) (Shulman, 1994).

C. Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput
otak, misalnya pada penyakit Faringitis, Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan
Endokarditis. Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari
peradangan organ atau jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis
Media, Mastoiditis, Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa
juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi
kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan
araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem ventrikulus (Ngoerah, 1990).
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami hiperemi;
dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit polimorfonuklear ke
dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam beberapa hari terjadi
pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang
terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan
fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat
menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron neuron.
Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan
kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih
dibandingkan Meningitis yang disebabkan oleh bakteri (Mardhono, 2009).

D. Gejala Klinis Meningitis


Meningitis ditandai dengan adanya gejala-gejala seperti panas mendadak, letargi,
muntah dan kejang. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) melalui pungsi lumbal. Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal
yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat.
Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai dengan
gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer parotid sebelum
invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang disebabkan oleh Echovirus
ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit tenggorok, nyeri otot, demam, dan
disertai dengan timbulnya ruam makopapular yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada,
badan, dan ekstremitas.Gejala yang tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak
lesi vasikuler pada palatum, uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan
berupa sakit kepala, muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung (Mardjono, 2009).
Meningitis bakteri biasanya didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan
gastrointestinal. Meningitis bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas
tinggi, mual, muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan
konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Kejang dialami
lebih kurang 44 % anak dengan penyebab Haemophilus influenzae, 25 % oleh
Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi
Meningococcus. Pada anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran
pernafasan bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala
hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung. Cairan serebrospinal tampak kabur, keruh
atau purulent (Ngoerah, 1990).
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam, muntah-
muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng,
opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa
terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia,
nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan gejala
penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan kadang
disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan meningeal
mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda peningkatan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III atau stadium
terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai koma. Pada
stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat
pengobatan sebagaimana mestinya (Arif, 2007).

E. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal


a. Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi
dan rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu
tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada
hiperekstensi dan rotasi kepala.
b. Pemeriksaan Tanda Kernig
Pasien berbaring terlentang, tangan diangkat dan dilakukan fleksi pada
sendi panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh
mengkin tanpa rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut
tidak mencapai sudut 135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai
spasme otot paha biasanya diikuti rasa nyeri.
c. Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)
Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya
dibawah kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi
kepala dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif
(+) bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada leher.
d. Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi
panggul (seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut
kontralateral (Suwono, 1996).

F. Pemeriksaan Penunjang Meningitis


a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan
protein cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya
peningkatan tekanan intrakranial. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan
yang bervariasi, cairan jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein
normal, kultur (-). Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat,
cairan keruh, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
b. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju
Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
c. Pemeriksaan Radiologis

- Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin
dilakukan CT Scan.
- Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinus
paranasal, gigi geligi) dan foto dada (Suwono, 1996).

G. Prognosis Meningitis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan
lama penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan
dewasa tua mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat
berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis
purulenta, tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa).
Lima puluh persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian,
keterlambatan berbicara dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita
mengalami kematian. Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada
umumnya tinggi. Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC
dipengaruhi oleh umur dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita
dapat meninggal dalam waktu. Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan
gejala klinis yang lebih ringan,penurunan kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral
memiliki Prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu
dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total bisa terjadi (Arif, 2007).

J. Pencegahan Meningitis
a. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis
bagi individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup
sehat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada bayi
agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti
Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),
Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella).10 Imunisasi Hib Conjugate vaccine (HbOC
atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan dengan
jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.20 Vaksinasi Hib dapat melindungi
bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin
Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis
dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis. Dengan interval waktu
satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak
dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk
antibodi. (Warlow, 2006)
Meningitis Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksi
(antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita.
Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y.35 meningitis
TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara
memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi
syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10
– 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di
lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah
dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih
sebelum makan dan setelah dari toilet (Warlow, 2006).
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih
tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan
penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan
segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta
keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini
bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak
diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka
panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi
juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat (Rampengan, 1993)

Sumber
Arif.,dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculapis, Jakarta.
Harsono. 1999. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Mardjono, M. dan Priguna Sidharta. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat,
Jakarta.
Nelwan, R. H. H, dan Rustadi Sosrosumiharjo. 1994. Up-Date Ilmu Penyakit Infeksi.
FKUI, Jakarta.
Ngoerah, I Gst.Ng. 1990. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Airlangga University Press,
Surabaya.
Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses
Penyakit, Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC.
Rampengan, T.H.,dan I.R Laurentz. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak.
Kedokteran EGC, Jakarta
Shulman, T Stanford. 1994. Dasar Biologis dan Klinis Penyakit Infeksi. Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Suwono, W. 1996. Diagnosis Topik Neurologi. Edisi Kedua. Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Warlow, Charles. 2006. The Lancet Handbook of Treatment in Neurology. Elsevier,
USA.

Anda mungkin juga menyukai