Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

ANESTESI UMUM PADA PASIEN IMPAKSI GIGI


Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi RSUD Salatiga

Disusun oleh:

Farah Akhwanis Syifa


1913020001

Dokter Pembimbing:

dr. Tinon Anindita, Sp.An.

BAGIAN ILMU ANESTESI RSUD KOTA SALATIGA


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

i
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, presentasi kasus dengan judul


ANESTESI UMUM PADA PASIEN IMPAKSI GIGI

Disusun Oleh:
Farah Akhwanis Syifa
1913020001

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Senin/30 Desember 2019

Disahkan oleh:
Dokter Pembimbing,

dr.Tinon Anindita, Sp.An.

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I LAPORAN KASUS.....................................................................................1
A. IDENTITAS..................................................................................................1
B. ANAMNESIS...............................................................................................1
C. PEMERIKSAAN FISIK...............................................................................2
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG..................................................................2
E. ASSESSMENT.............................................................................................4
F. TATALAKSANA BEDAH...........................................................................4
G. TINDAKAN ANESTESI..............................................................................4
H. PELAKSANAAN ANESTESI.....................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................7
A. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTHESIA)......................................7
B. IMPAKSI.....................................................................................................22
BAB III PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN.................................................33
A. PEMBAHASAN.........................................................................................33
B. KESIMPULAN...........................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................35

iii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 1 Tabel Pemeriksaan fisik (27 Desember 2019)..........................................2


Tabel 1 2 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap Onkotik (26 Desember 2019)..........3
Tabel 1 3 Hasil Monitoring tanda vital selama operasi............................................5

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1 Gambar Rontgen Panoramic (06 Agustus 2019).................................2


Gambar 2. 1 Mallampati score...............................................................................12
Gambar 2. 2 Klasifikasi Pell dan Gregory.............................................................28

v
BAB I
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : An. O
Usia : 18 tahun
Alamat : Sidorejo Kidul, Tingkir, Salatiga
Pekerjaan : Pelajar
Masuk RS : 26 Desember 2019 (Poli Gigi)

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien datang dengan gusi terasa bengkak pada rahang bawah dan atas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasa nyeri dan bengkak pada gigi bawah dan atas sejak 2 minggu
SMRS. Nyeri dirasakan berdenyut-denyut dan tiba-tiba. Keluhan
dirasakan memberat pada terutama gigi rahang bawah kanan. Keluhan
nyeri disertai dengan gusi yang membengkak. Keluhan sudah diperiksakan
ke dokter gigi dan diresepkan obat minum 2 macam dan obat kumur.
Pasien datang ke Poli Gigi dengan keluhan nyeri berkurang tetapi masih
bengkak.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah sakit yang sama 5 bulan SMRS dan ingin dicabut giginya
supaya tidak bengkak lagi. Riwayat alergi disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien yang menderita sakit serupa
5. Riwayat Personal Sosial
Pasien menggunakan BPJS kelas III. Makan dan minum diakui teratur.
Merokok dan minum alkohol disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Kesan Umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos Mentis, GCS E4V5M6
3. Keadaan Gizi : Baik

1
4. Vital Signs
Tekanan darah:121/79 mmHg Frekuensi napas: 18x/menit
Nadi : 72x/menit reg Suhu : 36,2oC
5. SpO2 : 100%

6. Head to toe
Kepala & Leher
Inspeksi Simetris, Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), pembesaran tiroid (-)
Thorax (Cor)
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba SIC V linea mid clavicula sinistra
Perkusi Cardiomegali (-), batas kanan jantung terdapat di
linea parasternlis dextra, batas kiri jantung terdapat di
line mid clavicula sinistra, batas atas jantung atas
terdapat di SIC II, batas bawah jantung terdapat di
SIC V
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular, Murmur (-),
Gallop (-)
Thorax (Pulmo)
Inspeksi retraksi dinding dada (-), barrel chest (-)
Palpasi Pengembangan dada simetris, fremitus raba normal
Perkusi Sonor pada keempat lapang paru
Auskultasi Ronki (-/-) Wheezing (-/-)

Abdomen
Inspeksi Asites (-), pelebaran vena (-), spider nevi (-)
Auskultasi Peristaltik usus 16x/menit
Palpasi Benjolan (-)
Perkusi Timpani (+)
Ekstremitas (Superior, Inferior, Dextra, Sinistra)
Inspeksi Edema (-)
Palpasi Pitting non pitting edema (-), akral hangat (+)
Tabel 1 1 Tabel Pemeriksaan fisik (27 Desember 2019)

7. Ekstra oral : Tidak ada kelainan


8. Intra oral :
a. Inspeksi : impaksi gigi dengan pembengkakan gingiva
b. Sondasi : (-)
c. Perkusi : (-)

2
d. Tekanan : nyeri tekan (-)
e. Palpasi : (-)
f. Thermal : (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Radiologi
a. Rontgen Panoramic

Gambar 1. 1 Gambar Rontgen Panoramic (06 Agustus 2019)

Kesan
Impaksi : 18 Kelas B NSA vertikal
28 Kelas B NSA vertical
38 Kelas 2B mesioangular
48 Kelas 2A mesioangular

2. Pemeriksaan Laboratorium

Hematologi
Leukosit 7.94 4.5 – 11.00 ribu/ul
Eritrosit 4.19 3.80 – 5.80 juta/ul
Hemoglobin 13.1 11.5 – 16.5 g/dl
Hematokrit 36.9 35 – 47 vol%
MCV 88.0 80 – 96 fl
MCH 31.3 28 – 33 pg
MCHC 35.5 33 – 36 g/dl
Trombosit 236 150 – 450 ribu/dl
PT 15.7 11 – 18 detik
APTT 34.5 27 – 42 detik
Hitung jenis
Eosinofil % 8.0 2–4 %

3
Basofil % 0.4 0–1 %
Limfosit % 29.9 25 – 60 %
Monosit % 2.1 2–8 %
Netrofil % 59.6 50-70 %
Kimia Klinik
GDS 104 <140 mg/dL
Imuno/Serologi
HbsAg (Rapid) Negatif Negatif
Negatif Negatif
Anti HCV Total
Tabel 1 2 Hasil Pemeriksaan Darah Lengkap Onkotik (26 Desember 2019)

E. ASSESSMENT
Impaksi Gigi M3 18, 28, 38, 48 dan diklasifikasikan dalam ASA I.

F. TATALAKSANA

Terapi operatif odontectomy dengan anastesi umum.

G. TINDAKAN ANESTESI

1. Persiapan Operasi
a. Persetujuan operasi/ informed consent tertulis (+)
b. Puasa 6-8 jam sebelum anestesi
c. Pasang IV line
d. Antibiotic profilaksis (cefazolin extra 1 g drip)
2. Premedikasi
a. Sulfat atropin 0.25 mg
b. Midazolam 2.5 mg
3. Induksi
a. Ketamin 25 mg
b. Proanest 150 mg
c. Atracurium besylate 10 mg
d. Isoflurane 1.5%
4. Maintenance
a. Oksigen (O2) 2 lpm
b. N2O 2 lpm
c. Vomceran 4 mg
d. Torasic 30 mg
e. Fentanyl 50 ug
5. Monitoring
a. Tanda vital setiap 15 menit
b. Pemberian cairan Asering 750 ml
c. Monitoring SpO2 selama prosedur operasi

4
H. PELAKSANAAN ANESTESI
1. Pukul 9.30 – 9.45
a. Pasien dibawa ke meja operasi
b. Pasien dibaringkan di atas meja operasi
c. Memasang monitor tekanan darah dan oksimetri pulse serta selang
oksigen dengan O2 2 liter/menit
d. Mengukur tanda vital : Nadi 86x/mnt
e. Pasien diberi premedikasi sulfat atropin 0.25 mg
f. Dilakukan preoksigenasi dengan ventilasi tekanan positif
g. Pemasangan nasotrakheal tube No.6.0 kontrol respirasi dengan mesin
h. Pemberian induksi ketamin 25 mg
i. Inhalasi isoflurane 1.5%
Nadi : 97x/menit, SpO2 : 98%
2. Pukul 10.00 (Operasi dimulai)
Nadi : 98x/menit, SpO2 : 99%
3. Pukul 10.00 – 10.45 (Operasi berjalan)
Jam TD N SpO2
10.00 120/90 mmHg 102 x/menit 97%
10.15 120/90 mmHg 99 x/menit 98%
10.30 130/80 mmHg 110 x/menit 97%
10.45 110/80 mmHg 100 x/menit 100%
Tabel 1 3 Hasil Monitoring tanda vital selama operasi

4. Pukul 10.45-11.00 (Operasi selesai)


a. Obat anestesi dihentikan, dilakukan ekstubasi dan pemberian O2
dipertahankan
b. Nadi : 98x/menit, SpO2 : 100%
c. Sesaat setelah dilakukan ekstubasi, SpO2 turun hingga mencapai 90%
d. Kemudian dilakukan triple manual airway dan ventilasi tekanan
positif (VTP) serta diberi rangsangan pada kaki dan dada pasien.
e. Saturasi tetap tidak naik, kemudian dilakukan pemasangan
oropharyngeal airway (OPA) dan VTP
f. Setelah dilakukan pemasangan OPA dan VTP saturasi beranjak naik
hingga 100%
g. Kemudian pasien dipindahkan dan untuk dibawa ke ruang pemulihan
atau recovery room (RR)
h. Terapi cairan
Cairan yang diberikan selama anestesi Asering 3.500 ml
5. Post operasi

5
a. Tiba di RR pukul : 11.00 WIB
b. Pernafasan : spontan, pasien dapat bernafas dalam
c. Nadi : 98x/mnt
d. Spo2 : 100%
e. Tekanan darah : 120/80
6. Penilaian pemulihan pasca General Anestesi menurut Aldrette Score:
- Aktivitas motorik : 2
- Pernapasan :1
- Tekanan darah : 2
- Kesadaran :2
- Warna kulit :2
Total score :9
Pasien pindah ke ruang Flamboyan 2 pukul 11.30 WIB

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM (GENERAL ANESTHESIA)


1. Definisi
General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general
anestesi terdapat beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah general
anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general anestesi dengan
inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik
intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya
inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
2. Teknik dan Agen Anestesi Umum
Anestesi umum dapat dilakukan melalui injeksi, inhalasi atau
melalui gabungan secara injeksi dan inhalasi. Anestetikum dapat
digabungkan atau dikombinasikan antara beberapa anestetikum atau
dengan zat lain sebagai preanestetikum dalam sebuah teknik yang disebut
balanced anesthesia untuk melibatkan efek anestesi yang diinginkan
dengan efek samping minimal. Menurut Mangku dan Senapathi (2010),
dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
a. Anestesi Umum Intravena
Merupakan metode anestesi umum yang dilakukan dengan cara
menyuntikkan agen anestesi langsunug melalui pembuluh darah vena.
Anestesi injeksi yang baik memiliki sifat tidak mengiritasi jaringan,
tidak menimbulkan rasa nyeri saat diinjeksikan, cepat diabsorbsi,
waktu induksi, durasi, dan masa pulih dari anestesi berjalan mulus.
Anestesi intravena dapat digunakan sebagai induksi maupun
rumatan anestesi, tambahan pada analgesia regional atau untuk
membantu prosedur diagnostik misanya tiopental, ketamin dan
propofol. Untuk anestesi intravena total biasanya menggunakan
propofol.
1) Tiopental
Tiopental (pentotal, tiopenton) dikemas dalam bentuk
tepung atau bubk berwarna kuning, berbau belerang, biasanya

7
dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan
dalam akuades sampai kepekatan 2,4% (1ml = 25).
Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan
dosis 3-7 mg/kg dan disuntikan perlahan dihabiskan dalam 30-60
detik. Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis,
anestesi atau depresi napas. Dosis rendah bersifat anti-analgesi.
Tiopental dapat diberikan secara kontinyu pada kasus tertentu di
unit perawatan intensif, tetapi jarang digunakan untuk anestesi
intravena total.
2) Propofol
Propofol (diprivan, recofol) dikemas dalam cairan emulsi
lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1%
(1ml = 10 mg). suntikan intravena sering menyebabkan nyeri,
sehingga beberapa setik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-
2mg/kg intravena.
Dosis untuk bolus induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pada manula dosis harus dikurangi,
pada anak <3tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.
3) Ketamin
Ketamin (ketalar) kurang digemari untuk induksi anestesi,
karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,
nyeri kepala, pasca anestesi dapat menimbulkan mual-muntah,
pandangan kabur dan mimpi buruk.
Jika harus diberikan sebaiknya sebelumnya diberikan sedasi
midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1
mg/kg intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas
atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan
untuk intramuskular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), dan 10%
( 1 ml = 100mg).
4) Opioid

8
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksu
diberikan dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan
jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-
50 mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit.
b. Anestesi Umum Inhalasi
Merupakan salah satu metode anestsi umum yang dilakukan
dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap nelalui alat anestesi langsung ke udara
inspirasi. Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang
penting dalam menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi.
Obat anestesi inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan
untuk membantu pembedahan ialah N2O. dala dunia modern, anestesi
inhalasi yang umum digunakan untuk praktetk klinik adalah N2O,
halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran.
1) Halotan
Halotan memiliki bau yang tidak enak dan tak merangsang
jalan napas, sehingga sering digunakan sebagai induksi anestesi
kombinasi dengan N2O. halotan harus disimpan dalam botol gelap
(cokelat tua) supaya tidak dirusak oleh cahaya dan diawetkan oleh
timol 0,01%.
Selain untuk induksi dapat juga untuk laringoskopu
intubasi. Pada napas spontan rumatan anestesi sekitar 1-2 vol% dan
pada napas kendali sekitar 0,5-1 vol% yang disesuaikan respon
klinis pasien.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, vasodilatasi
perifer, depresi vasomotor. Halotan memiliki sifat analgesi yang
lemah, tetapi anestesinya kuat sehingga kombinasi dengan N2O
sangat ideal.
2) Isofluran
Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis
anestetik atau subanetetik menurunkan laju metabolisme otak
terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
inrakranial.

9
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
3) Sevofluran
Sevofluran (ultane) merupakan halogenasi eter, induksi dan
pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas,
sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping
halotan.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang
menyebabkan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti
isofluran dan belum ada laporantoksis terhadap hepar (Zunilda dan
Elysabeth, 2012).
c. Anestesi Imbang (Balanced anesthesia)
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi
obat-obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi
atau kombinasi teknik general anestesi dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu:
1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum
atau obat anestesi umum yang lain.
2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik
opiat atau obat general anestesi atau dengan cara analgesia
regional.
3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh
otot atau general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

3. Penilaian dan Persiapan Pra-Anestesia


a. Anamnesis
Riwayat apakah pasien pernah mendapat anestesia sebelumnya
sangat penting untuk memperhatikan apakah ada hal-hal penting yang
perlu diperhatikan. Misalnya alergi, mual muntah, nyeri otot, gatal-
gatal atau sesak napas pasca bedah sehingga anestesia selanjutnya
terancang dengan lebih baik. Obat yang menimbulkan masalah di
masa lampau jangan digunakan ulang dalam jangka waktu minimal
tiga bulan. Kebiasaan merokok sebaiknya diberhentikan 1-2 hari

10
sebelum anestesi dan pembedahan untuk mengeliminasi nikotin yang
mempengaruhi sistem kardiovakular.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar
sangat penting diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin lain secara sistemik dari
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada sistem organ juga perlu
dilakukan. Salah satu alat yang dikembangkan untuk menentukan
pasien mungkin menimbulkan kesulitan manajemen jalan nafas adalah
metode LEMON
1) L = Look externally
Melihat adanya hal-hal yang menyebabkan pasien
membutuhkan tindakan ventilasi atau intubasi dan evaluasi
kesulitan secara fisik, misalkan leher pendek, trauma facial, gigi
yang besar, kumis atau jenggot, atau lidah yang besar.

2) E = Evaluate 3 – 3 – 2 rule
3 – 3 – 2 rule adalah penentuan jarak anatomis
menggunakan jari sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa
besar bukaan mulut.
3) M = Mallampati score
Mallampati score digunakan sebagai alat klasifikasi untuk
menilai visualisasi hipofaring, caranya pasien berbaring dalam
posisi supine, membuka mulut sambil menjulurkan lidah.

11
Gambar 2. 1 Mallampati score

4) O = Obstruction/Obesity
Menilai adanya keadaan yang dapat menyebabkan obstruksi
misalkan abses peritonsil, trauma. Obesitas dapat menyebabkan
sulitnya intubasi karena memperberat ketika melakukan
laringoskop dan mengurangi visualisasi laring.
5) N = Neck deformity
Menilai apakah ada deformitas leher yang dapat
menyebabkan berkurangnya range of movement dari leher
sehingga intubasi menjadi sulit. Leher yang baik dapat fleksi dan
ekstensi dengan bebas ketika laringoskopi atau intubasi, Ektensi
leher "normal" adalah 35° (The atlanto-oksipital/ A-O joint).
c. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya sesuai dengan indikasi sesuai penyakit
yang dicurigai.
d. Kebugaran untuk anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk
menyiapkan pasien dalam keadaan bugar, lain halnya dengan operasi
cito yang kadang tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan
kebugaran pasien.
e. Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran
fisik seseorang berasal dari The American Society of Anesthesiologist
(ASA). Klasifikasi ini bukan alat prakiraan risiko anestesia, karena

12
dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak
samping pembedahan.
Kelas I : pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.
Kelas II : pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
Kelas III : pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas
rutin terbatas.
Kelas IV :pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat melakukan
aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
Kelas V :pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E
(Latief, Suryadi dan Dachlan, 2010).
f. Masukan Oral
Reflek laring menurun selama anestesia. Regurgitasi isi lambung
dan kotoran pada jalan napas merupakan risiko utama pasien yang
menjalani anestesia. Untuk mengurangi risiko itu, pasien yang
dijadwalkan operasi dengan anestesia harus dipantangkan dari
masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi
anestesia. Pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan bayi 3-4 jam, makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum anestesia, minum sampai 3 jam, dan untuk keperlun minum
obat dalam jumalah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi (Latief,
Suryadi dan Dachlan, 2010).
4. Periode Anestesi Umum
Terdapat 6 periode dalam anestesi umum:
a. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi
anestesi dengan tujuan :
1) Meredakan kecemasan dan ketakutan
2) Memperlancar induksi anestesi
3) Mengurangi sekresi kelanjar ludah dan bronkus
4) Meminimalkan jumlah obat anestesi
5) Mengurangi mual-muntah pasca bedah
6) Menciptakan anmnesia
7) Mengurangi isi cairan lambung
8) Mengurangi refleks yang membahayakan

13
Obat-obatan yang digunakan antara lain sulfas atropine,
midazolam, petidin, ondansetron, dan atracurium.
1) Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik yang
dapat merangsang SSP, sistem kardiovaskular (bradikardia),
sistem pernafasan (menurunkan sekresi ludah, mulut, faring dan
bronkus), sistem pencernaan (menghambat peristaltik lambung
dan usus).
Efek samping atau toksik pada orang muda adalah mulut
kering, gangguan miksi, dan meteorismus. Pada orang tua
terjadi efek sentral terutama sindrom demensia. Efek samping
lain bisa juga timbul muka merah yang disebabkan efeknya
terhadap vasodilatasi pembuluh darah.
Sediaan sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5mg
dengan dosis 0,01-0,02 mg/ kgBB yang dapat diberikan secara
SC, IM, IV.
2) Midazolam
Midazolam merupakan obat golongan benzodiazepin
yag dapat digunakan sebagai premedikasi dan induksi anestesia
karena obat ini menyebabkan tidur, mengurangi cemas, dan
menimbukan amnesia anterograd tapi tidak berefek analgesik.
Benzodiazepin bekerja pada asam γ aminobutirat (GABA) yang
merupakan neurotransmiter utama disusunan saraf pusat.
Benzodiazepin yang berikatan dengan reseptor spesifik GABA
akan meningkatkan afinitas neurotransmiter inhibisi dengan
reseptor GABA. Ikatan ini akan membuka kanal Cl- yang
menyebabkan meningkatnya konduksi ion Cl- sehingga
menghasilkan hiperpolarisasi pada membran sel pasca sinap
dan saraf pasca sinap menjadi resisten untuk dirangsang.
Efek resistensi terhadap rangsangan ini diduga sebagai
mekanisme efek ansiolitik, sedasi dan antikonvulsi serta
relaksasi otot pada benzodiazepin. Diduga bila 20% reseptor
GABA berikatan dengan benzodiazepin akan memberikan efek

14
ansiolitik, 30 – 50% untuk sedasi dan akan tidak sadar bila lebih
dari 60% (Rodola, 2006).
3) Atracurium besilate
Atracurium merupakan obat pelumpuh otot non-
depolarisasi dari golongan benzylisoquinolinium bisquaternary.
Tempat kerja atracurium seperti halnya obat-obat pelumpuh otot
non-depolarisasi yang lain adalah reseptor kolinergik prasinaps
dan paskasinaps. Atracurium juga menyebabkan penghambatan
otot-saraf secara langsung dengan mempengaruhi aliran ion
melalui kanal reseptor-reseptor kolinergik nikotinik.
Diperkirakan 82% atracurium terikat dengan plasma protein
terutama albumin.
Pemberian cepat atracurium akan meningkatkan
frekuensi jantung 8,3% dan menurunkan tekanan rerata arteri
21,5%. Perubahan pada sistem sirkulasi ini bersifat sementara,
terjadi pada 60-90 detik setelah pemberian atracurium dan akan
segera menghilang dalam waktu 5 menit.
4) Ondansetron HCl
Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat
selektif dapat menekan mual dan muntah karena sitostatika.
Mekanisme kerjanya dengan mengantagonisasi reseptor 5-HT
pada chemoreseptor trigger zone di area postrema otak dan juga
pada aferen vagal saliran cerna.
Ondansetron juga mempercepat pengosongan lambung
bila kecepatan pengosongan basal rendah, tetatpi waktu transit
saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi konstipasi.
Ondansetron diindikasikan untuk pencegahan mual dan muntah
yang berhubugan dengan operasi dan pengobatan kanker
dengan radioterapi dan sitostatika. Dosis 0,1-0,2 mg/kg iv.
Efek samping biasanya dapat ditoleransi dengan baik,
paling sering konstipasi. Gejala lain sakit kepala, flushing,
mengantuk, gangguan saluran cerna. Keadaan hipersensitivitas

15
merupakan kontraindikasi penggunan ondansetron. Obat ini
dapat digunakan pada anak-anak, sebaiknya tidak digunakan
pada kehamilan dan ibu masa menyusui karena sekresi melalui
ASI. (Dewoto dan Louisa, 2017).
5) Ketorolak
Ketorolak merupakan analgesik poten dengan efek anti-
inflamasi sedang. Absorpsi oral dan intramuskular berlangsung
cepat mencapai puncak dalam 30-50 menit. Bioavailabilitas oral
80% dan hampir seluruhnya terikat protein plasma.
Ketorolak intramuskular sebagai analgesik pasca bedah
memperlihatkan efektivitas sebanding dengan morfin/
meperidin dosis umum; masa kerjanya lebih panjang dan efek
sampingnya lebih ringan. Dosis im 30-60 mg; iv 15-30 mg dan
oral 5-30 mg.
Efek sampingnya berupa nyeri di tempat suntikan,
gangguan saluran cerna, kantuk, pusing dan sakit kepala.
Karena ketorolak selektif COX-1 , maka obat ini dianjurkan
hanya dipakai tidak lebih dari lima hari (Wilmana dan Gan,
2017).
b. Induksi Anestesia
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Sebelum induksi anestesi selayaknya disiapkan
peralatan yang disingkat STATICS:
S = scope stetoskop, laringoskop
T = tubes endotrakeal tube
A = airway pipa mulut-faring (guedel, orotracheal airway) atau
naso-tracheal airway
T = tape plester untuk fiksasi
I = introducer mandrin atau stilet
C = connector penyambung pipa ke peralatan anestesia
S = sucion penyedot lendir, ludah dan lainnya
(Latief, Suryadi dan Dachlan, 2010).
Induksi dapat dikerjakan 4 cara pemberian obat-obat anestesi ke
dalam tubuh, yaitu:
1) Intravena

16
Cara ini paling banyak digunakan apalagi jika sudah
terpasang jalur intravena. Selama induksi tanda-tanda vital harus
diawasi dan selalu diberikan oksigen. Obat yang digunakan
misal: tiopental kepekatan 2,5% dengan dosis 3-7 mg/kgBB,
propofol dengan kepekatan 1% dengan dosis 2-3 mg/kgBB.
(Evers dan Cowder, 2017).
2) Intramuskular, misal: ketamin dengan dosis 5-7 mg/kgBB.
3) Inhalasi, dilakukan pada bayi, anak-anak atau dewasa yang takut
disuntik. Obat yang digunakan misal: halotan yang memerlukan
O2 sebagai pendorong dimulai dengan aliran >4 liter/menit dan
halotan 0,5 vol%, sevofluran konsentrasi tinggi hingga 8 vol%.
4) Rektal, cara ini hanya dilakukan pada anak atau bayi menggunakan
: tiopental atau midazolam.
c. Periode Pemeliharaan (Maintenance Periode)
Dihitung sejak mulainya induksi dan selama pelaksanaan
pembedahan. Ada beberapa metode dan obatobatan yang dipilih oleh
seorang ahli anestesi untuk mengkoordinir tim anestetis, misal secara
inhalasi dengan halotan, enfluran, sevofluran atau secara parenteral
dengan fentanil, petidin, morfin. Belakangan ini, metode ini sering
dikombinasikan dengan obat pelumpuh otot, seperti: atrakurium.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan N2O dan O2 3:1 ditambah
halotan 0,5-2 vol% atau efluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau
sevofluran 2-4 vol% bergantung apakah pasien bernapas spontan,
dibantu (assisted) atau dikendalikan (controlled).
1) Nitrogen monoksida (N2O = Gas Gelak)
Nitrogen monoksida (N2O) atau biasa disebut gas gelak
merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa,
dan lebih berat daripada udara. Gas ini tidak mudah terbakar, tapi
bila dikombinasikan dengan zat anestetik yang mudah terbakar
akan memudahkan terjadinya ledakan, misalnya campuran eter dan
N2O.
N2O sukar larut dalam darah, dan merupakan anestetik yang
kurang kuat sehingga kini hanya digunakan sebagai adjuvan

17
anestetik inhalasi lainnya. Kadar N2O 80% hanya sedikit
mendepresi kontaktilitas otot jantung sehingga peredaran darah
tidak terganggu. Efeknya terhadap pernapasan tidak begitu besar,
dikatakan dengan induksi pentotal dan inhalasi N2O menyebabkan
berkurangnya respon pernapasan terhadap CO2. Pada anestesi yang
lama, N2O dapat menyebabkan mual muntah, dan lambat sadar.
Gejala sisa hanya terjadi bila ada hipoksia atau alkalosis karena
hiperventilasi.
N2O mempunyai efek analgesik yang baik, dengan inhalasi
20% N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar
optimum untuk mendapatkan efek analgesik maksimum kurang
lebih 35%. N2O diekskresikan dalam bentuk utuh melalui paru dan
sebagian kecil melalui kulit (Zunilda dan Elysabeth, 2017; Trevor
dan Miller, 2014).
2) Fentanil
Fentanil merupakan opioid sintetik dari kelompok
fenilpiperidin dan bekerja sebagai antagonis reseptor µ. Fentanl
banyak digunakan untuk anestetik karena waktu untuk mencapai
puncak analgesia lebih singkat dibandingkan morfin dan meperidin
yakni sekitar 5 menit. Efeknya cepat berakhir setelah dosis kecil
yang diberikan secara bokus, dan relatif kurang mempengaruhi
kardiovakular. Fentanil dan derivatnya paling sering digunakan iv
meskipun juga sering digunakan secara epidural dan intratekal
untuk nyeri pasca bedah atau nyeri kronik. Dengan dosis lebih
besar atau pemberian infus lebih lama efek analgetik bertahan.
Efek euforia dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis
opioid, tetapi secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau
diperkuat oleh droperidol.
Fentanil dan derivatnya menimbulkan mual muntah, dan
gatal. Kekakuan otot terjadi bila diberika secara bolus dan dapat
dikurangi dengan memperlambat pemberian secara bolus dan
induksi anestesia dengan obat non opioid. Lama depresi napas

18
lebih singkat dibandingkan morfin. Fentanil dosis tinggi dapat
merangsang saraf dan kadang menimbulkan serangan konvulsi.
Fentanil dan derivatnya dapat mengurangi frekuensi
jantung dan sedikit menurunkan tekanan darah. Akan tetatpi karena
obat-obat ini tidak melepaskan histamin dan pengaruh langsung
depresi miokard minimal, maka dosis tinggi fentanil sering
digunakan sebagai anestetik pada operasi kardiovaskular, atau
operasi pada pasien dengan fungsi jantung yang buruk (Dewoto,
2017; Gustein dan Akil, 2012).
d. Periode Bangun (Reversal Periode)
Pada periode ini terjadi perubahan dari tingkat kesadarannya
hingga kesadarannya sempurna. Terkadang pasien masih tertidur dan
sering dijumpai adanya muntah. Karakteristik pernafasannya pun
sudah teratur dan membaik.
e. Periode Pemulihan
Periode pemulihan ini dapat dibagi atas 3 bagian, yaitu:
1) Reversal (bangun dari anestesi)
Periode ini biasanya sangat singkat, tetapi merupakan
stadium yang sangat penting dan penuh risiko. Oleh karena itu,
periode ini harus di bawah pengawasan langsung dari ahli anestesi
dan biasanya dilakukan di kamar operasi.
2) Early Recovery (permulaan pemulihan kesadaran)
Stadium ini berakhir sampai pasien dapat mengenal
orientasi dengan baik, dalam hal waktu, ruangan, dan dapat
mengatur pernafasannya sendiri. Periode ini memerlukan waktu
1-2 jam dan lamanya tergantung anestesi yang diberikan.
3) Late Recovery (pemulihan kesadaran seperti semula)
Periode ini merupakan kelanjutan dari periode sebelumnya
dan dimulai sejak efek obat anestesi menghilang dari dalam
tubuh. Terkadang efek hangover didapati seperti pening, pusing,
dan tidak dapat berkonsentrasi
f. Periode Pasca Operasi
Pada periode ini, diharapkan pasien sudah dapat berdiri dan
berjalan sendiri serta tidak dijumpai kelainan respirasi, kelainan
tekanan darah, maupun gejala muntah.

19
5. Tatalaksana Jalan Napas
Pada pasien tidak sadar atau dalam keadaan anestesia posisi
terlentang, tonus otot jalan napas atas, otot genioglossus hilang, sehingga
lidah akan menyumbat hipofaring dan menyebabkan obstruksi jalan napas
baik total maupun pasrsial. Keadaan ini sering terjadi dan harus segera
dikoreksi dengan beberapa cara, misalnya manuver triple jalan napas,
pemasangan alat jalan napas sungkup laring, pemasangan pipa trakea
(endotracheal tube). Obstruksi juga dapat disebabkan spasme laring pada
saat anestesia ringan dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan
oleh sekret. Tanda-tanda obstruksi jalan napas:
 Stridor (mendengkur, snoring)
 Napas cuping hidung
 Retraksi trakea
 Retraksi toraks
 Tak terasa ada udara ekspirasi
Spasme atau kejang laring terjadi karena pita suara menutup
sebagian atau seluruhnya. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh anestesia
ringan dan mendapat rangsangan sekitar faring. Tatalaksana:
 Manuver triple jalan napas
 Ventilasi positif dengan oksigen 100%
 Tak menolong pelumpuh otot suksinil 0,5 mg/kg iv, im deltoid,
sublingual 2-4 mg/kg.
a. Manuver Triple Jalan Napas
Manuver tripel jalan napas terdiri dari :
1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
2) Mandibula didorong ke depan pada kedua nagulus mandibula
3) Mulut dibuka

20
b. Jalan Napas Faring
1) NPA: (naso-pharingeal airway)pipa bulat berlubang tengahnya
terbuat dari bahan karet lateks lembut. Pemasangan harus hati-
hati untuk menghindari trauma mukosa hidung olesi dengan jelly.
2) OPA: (oro-pharingeal airway) pipa gepeng lengkung seperti
huruf C berlubang di tengahnya dan salah satu ujungnya
bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau
pasien menggigit lubang tetap paten, sehingga aliran udara tetap
terjamin.
c. Sungkup Muka
Disebut juga face mask alat yang mengantar udara/gas
anestesi dari sistem anestesi ke jalan napas pasien. Bentuknya
sedemikian rupa untuk mencegah kebocoran ketika bernapas spontan
atau dengan tekanan positif.
d. Pipa Trakea
Disebut juga endotracheal tube yaitu alat yang mengantar
gas anesteti langsung ke dalam trakea. Biasanya dibuat dari bahan
standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui
mulut (orotracheal tube) atau hidung (nasotracheal tube) (Latief,
Suryadi dan Dachlan, 2010).

B. IMPAKSI
1. Definisi
Gigi impaksi adalah gigi yang sebagian atau seluruhnya tidak
erupsi dan posisinya berlawanan dengan gigi lainya, jalan erupsi
normalnya terhalang oleh tulang dan jaringan lunak, terblokir oleh gigi
tetangganya, atau dapat juga oleh karena adanya jaringan patologis.
Impaksi dapat diperkirakan secara klinis bila gigi antagonisnya sudah
erupsi dan hampir dapat dipastikan bila gigi yang terletak pada sisi yang
lain sudah erupsi (Nasir, 2003).
Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi secara utuh pada posisi
yang seharusnya. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktersediaan ruangan

21
yang cukup pada rahang untuk tumbuhnya gigi dan angulasi yang tidak
benar dari gigi tersebut.
Secara umum impaksi adalah keadaan jika suatu gigi terhalang
erupsi untuk mencapai kedudukan yang normal. Impaksi gigi dapat berupa
gigi yang tumbuhnya terhalang sebagian atau seluruhnya oleh gigi
tetangga, tulang atau jaringan lunak sekitarnya (Chanda, 2007).

2. Etiologi
Etiologi dari gigi impaksi bermacam-macam diantaranya
kekurangan ruang, kista, gigi supernumerer, retensi gigi sulung, infeksi,
trauma, anomali dan kondisi sistemik.
Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya impaksi gigi
adalah ukuran gigi. Sedangkan faktor yang paling erat hubungannya
dengan ukuran gigi adalah bentuk gigi. Bentuk gigi ditentukan pada saat
konsepsi. Satu hal yang perlu diperhatikan dan perlu diingat bahwa gigi
permanen sejak erupsi tetap tidak berubah.
Pada umumnya gigi susu mempunyai besar dan bentuk yang sesuai
serta letaknya terletak pada maksila dan mandibula. Tetapi pada saat gigi
susu tanggal tidak terjadi celah antar gigi, maka diperkirakan akan tidak
cukup ruang bagi gigi permanen penggantinya sehingga bisa terjadi gigi
berjejal dan hal ini merupakan salah satu penyebab terjadinya impaksi.
Penyebab meningkatnya impaksi gigi geraham rahang bawah
disebabkan oleh karena faktor kekurangan ruang untuk erupsi. Hal ini
dapat dijelaskan antara lain jenis makanan yang dikonsumsi umumnya
bersifat lunak, sehingga untuk mencerna tidak memerlukan kerja yang
kuat dari otot-otot pengunyah, khususnya rahang bawah menjadi kurang
berkembang (Astuti, 2002).
Istilah impaksi biasanya diartikan untuk gigi yang erupsi oleh
sesuatu sebab terhalang, sehingga gigi tersebut tidak keluar dengan
sempurna mencapai oklusi yang normal di dalam deretan susunan gigi
geligi. Hambatan halangan ini biasanya berupa hambatan dari sekitar gigi
atau hambatan dari gigi itu sendiri (Tjiptono dkk, 2009).
Hambatan dari sekitar gigi dapat terjadi karena:
1. Tulang yang tebal serta padat
2. Tempat untuk gigi tersebut kurang

22
3. Gigi tetangga menghalangi erupsi gigi tersebut
4. Adanya gigi desidui yang persistensi
5. Jaringan lunak yang menutupi gigi tersebut kenyal atau liat
Hambatan dari gigi itu sendiri dapat terjadi oleh karena :
1. Letak benih abnormal, horizontal, vertikal, distal dan lain-lain.
2. Daya erupsi gigi tersebut kurang.

3. Evaluasi Klinis
Pemeriksaan awal harus berupa sebuah riwayat medis dan dental,
serta pemeriksaan klinis ektra oral dan intral oral yang menyeluruh. Hasil
penemuan positif dari pemeriksaan ini seharusnya dapat mendeterminasikan
apakah pencabutan diindikasikan atau disarankan, dan harus
mengikutsertakan pemeriksaan radiologi (Balaji, 2009).
a. Pemeriksaan Umum
Pemeriksaan umum harus dilakukan dengan cara yang sama
dengan prosedur pembedahan lainnya. Adanya gangguan sistemik atau
penyakit sistemik harus dideteksi dan kehati-hatian harus diterapkan sebelum
pembedahan. Pasien juga harus diperiksa apakah sedang menjalani terapi
tertentu, seperti terapi irradiasi, terapi cytostatic, dan transplantasi organ.
b. Pemeriksaan Lokal
1. Status erupsi gigi impaksi. Status erupsi gigi impaksi harus diperiksa
karena status pembentukan mendeterminasikan waktu pencabutan. Idealnya,
gigi dicabut ketika duapertiga akar terbentuk. Jika akar telah terbentuk
sempurna 25, maka gigi menjadi sangat kuat, dan gigi terkadang displitting
untuk dapat dicabut.
2. Resorpsi molar kedua. Karena kurangnya ruang molar ketiga yang
impaksi sehingga memungkin terjadi resorpsi akar pada molar kedua.
Setelah pencabutan gigi molar ketiga yang impaksi, molar kedua harus
diperiksa untuk intervensi endodontik atau periodontik tergantung pada
derajat resorpsi dan keterlibatan pulpa.
3. Adanya infeksi lokal seperti periokoronitis. Infeksi ini merupakan
sebuah inflamasi jaringan lunak yang menyelimuti mahkota gigi yang sedang
erupsi yang hampir seluruhnya membutuhkan penggunaan antibiotik atau
prosedur yang jarang dilakukan, eksisi pembedahan pada kasus rekuren.
Periokoronitis rekuren terkadang membutuhkan pencabutan gigi impaksi
secara dini.

23
4. Pertimbangan ortodontik. Karena molar ketiga yang sedang erupsi,
memungkinkan terjadi berjejal pada regio anterior setelah perawatan
ortodonti yang berhasil. Oleh karena itu, disarankan untuk mencabut gigi
molar ketiga yang belum erupsi sebelum memulai perawatan ortodontik.
5. Karies atau resorpsi molar ketiga dan gigi tetangga. Akibatnya
kurangnya ruang, kemungkinan terdapat impaksi makanan pada area distal
atau mesial gigi impaksi yang menyebabkan karies gigi. Untuk mencegah
karies servikal gigi tetangga, disarankan untuk mencabut gigi impaksi.
6. Status periodontal. Adanya poket sekitar gigi molar ketiga yang
impaksi atau molar kedua merupakan indikasi infeksi. Penggunaan
antibiotik26, disarankan harus dilakukan sebelum pencabutan gigi molar
ketiga impaksi secara bedah untuk mengurangi komplikasi post-operatif.
7. Orientasi dan hubungan gigi terhadap infeksi saluran akar gigi. hal ini
akan didiskusikan secara detail pada pemeriksaan radiologi.
8. Hubungan oklusal. Hubungan oklusal molar ketiga rahang atas
terhadap molar ketiga rahang bawah harus diperiksa. Ketika gigi molar ketiga
rahang bawah yang impaksi berada pada sisi yang sama diindikasikan untuk
ekstraksi, sisi yang satunya juga harus diperiksa.
9. Nodus limfe regional. Pembengkakan dan rasa nyeri pada nodus limfe
regional mungkin terindikasi infeksi molar ketiga

4. Gigi yang Paling Sering Mengalami Impaksi


Gigi impaksi merupakan sebuah fenomena yang sering terjadi di
masyarakat. Gigi impaksi merupakan sumber potensial yang terus menerus
dapat menimbulkan keluhan sejak gigi mulai erupsi. Keluhan utama yang
paling sering dirasakan adalah rasa sakit dan pembengkakan yang terjadi
di sekeliling gusi gigi tersebut bahkan kadang-kadang dapat
mempengaruhi estetis.
Gigi molar tiga adalah gigi yang paling akhir erupsi dalam rongga
mulut, yaitu pada usia 18-24 tahun. Keadaan ini kemungkinan
menyebabkan gigi molar tiga lebih sering mengalami impaksi
dibandingkan gigi yang lain karena seringkali tidak tersedia ruangan yang
cukup bagi gigi untuk erupsi.

24
Adapun sebuah sumber menyebutkan bahwa erupsi gigi molar
ketiga rahang bawah banyak ditemukan pada pasien berusia 16 sampai
dengan 21 tahun. Disebutkan bahwa penyebab adanya kesulitan erupsi gigi
adalah kurangnya atau terbatasnya ruang untuk erupsi, sehingga gigi molar
ketiga bawah sering mengalami impaksi.
Frekuensi gigi impaksi yang terjadi sesuai dengan urutan berikut :
1. Molar ketiga rahang bawah
2. Molar ketiga rahang atas
3. Kaninus rahang atas
4. Premolar rahang bawah
5. Kaninus rahang bawah
6. Premolar rahang atas
7. Insisivus sentralis rahang atas
8. Insisivus lateralis rahang atas
Perkembangan dan pertumbuhan gigi geligi seringkali mengalami
gangguan erupsi, baik pada gigi anterior maupun gigi posterior. Frekuensi
gangguan erupsi terbanyak pada gigi molar ketiga baik di rahang atas
maupun rahang bawah diikuti gigi kaninus rahang atas. Gigi dengan
gangguan letak salah benih akan menyebabkan kelainan pada erupsinya,
baik berupa erupsi di luar lengkung yang benar atau bahkan terjadi
impaksi. Gigi dinyatakan impaksi apabila setelah mengalami kegagalan
erupsi ke bidang oklusal (Dwipayanti dkk, 2009)

5. Klasifikasi
Pell dan Gregory menghubunkan kedalaman impaksi terhadap
bidang oklusal dan garis servikal gigi molar kedua mandibula dalam
sebuah pendekatan dan diameter mesiodistal gigi impaksi terhadap ruang
yang tersedia antara permukaan distal gigi molar kedua dan ramus
ascendens mandibula dalam pendekatan lain.

25
Gambar 2. 2 Klasifikasi Pell and Gregory
Berdasarkan relasi molar ketiga bawah dengan ramus mandibula
1. Klas I: Diameter anteroposterior gigi sama atau sebanding dengan
ruang antara batas anterior ramus mandibula dan permukaan distal gigi
molar kedua. Pada klas I ada celah di sebelah distal Molar kedua yang
potensial untuk tempat erupsi Molar ketiga.
2. Klas II: Sejumlah kecil tulang menutupi permukaan distal gigi dan
ruang tidak adekuat untuk erupsi gigi, sebagai contoh diameter mesiodistal
gigi lebih besar daripada ruang yang tersedia.10 Pada klas II, celah di
sebelah distal Molar ketiga.
3. Klas III: Gigi secara utuh terletak di dalam mandibula – akses yang
sulit. Pada klas III mahkota gigi impaksi seluruhnya terletak di dalam
ramus.
Komponen kedua dalam sistem klasifikasi ini didasarkan pada
jumlah tulang yang menutupi gigi impaksi. Baik gigi impaksi atas maupun
bawah bisa dikelompokkan berdasarkan kedalamannya, dalam
hubungannya terhadap garis servikal Molar kedua disebelahnya.
Faktor umum dalam klasifikasi impaksi gigi rahang atas dan rahang
bawah :
1. Posisi A: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada tingkat yang sama
dengan oklusal gigi molar kedua tetangga. Mahkota Molar ketiga yang
impaksi berada pada atau di atas garis oklusal.
2. Posisi B: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada pertengahan garis
servical dan bidang oklusal gigi molar kedua tetangga. Mahkota Molar
ketiga di bawah garis oklusal tetapi di atas garis servikal Molar kedua.

26
3. Posisis C: Bidang oklusal gigi impaksi berada di bawah tingkat garis
servikal gigi molar kedua. Hal ini juga dapat diaplikasikan untuk gigi
maksila.
Mahkota gigi yang impaksi terletak di bawah garis servikal
a. Berdasarkan kedalaman impaksi dan jaraknya ke molar kedua
1. Posisi A : permukaan oklusal gigi impaksi sama tinggi atau sedikit
lebih tinggi dari gigi molar kedua.
2. Posisi B : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada pada
pertengahan mahkota gigi molar kedua atau sama tinggi dari garis servikal
3. Posisi C : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada di bawah garis
servikal molar kedua.

b. Posisinya berdasarkan jarak antara molar kedua rahang bawah dan


batas anterior ramus mandibula
1. Klas I : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus mandibula
cukup lebar mesiodistal molar tiga bawah
2. Klas II : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus mandibula
lebih kecil dari lebar mesiodistal molar tiga bawah
3. Klas III : gigi molar tiga bawah terletak di dalam ramus mandibula

6. Komplikasi
Dampak dari adanya gigi impaksi molar ketiga rahang bawah adalah
gangguan rasa sakit, yang dimaksud dengan gangguan rasa sakit yang
berasal dari reaksi radang pada jaringan operkulum yang tampak hiperemi,
bengkak dan rasa sakit bila ditekan. Kesemuaanya itu merupakan gejala
yang lazim disebut sebagai perikoronitis. Keluhan sakit juga dapat timbul
oleh karena adanya karies pada gigi molar tiga rahang bawah.
Keluhan yang ditimbulkan dari impaksi dapat berupa
1. Inflamasi
Inflamasi merupakan suatu perikoronitis yang lanjutannya menjadi
abses dento-alveolar akut-kronis, ulkus sub-mukus yang apabila keadaan
tubuh lemah dan tidak mendapat perawatan dapat berlanjut menjadi
osteomyelitis. Biasanya gejala-gejala ini timbul bila sudah ada hubungan
soket gigi atau folikel gigi dengan rongga mulut.
2. Resorpsi gigi tetangga
Setiap gigi yang sedang erupsi mempunyai daya tumbuh ke arah
oklusal gigi tersebut. Jika pada stadium erupsi, gigi mendapat rintangan

27
dari gigi tetangga maka gigi mempunyai daya untuk melawan rintangan
tersebut. Misalnya gigi terpendam molar ketiga dapat menekan molar
kedua, kaninus dapat menekan insisivus dua dan premolar. Premolar dua
dapat menekan premolar satu. Disamping mengalami resorpsi, gigi
tetangga tersebut dapat berubah arah atau posisi.
3. Kista
Suatu gigi yang terpendam mempunyai daya untuk perangsang
pembentukan kista atau bentuk patologi terutama pada masa pembentukan
gigi. Benih gigi tersebut mengalami rintangan sehingga pembentukannya
terganggu menjadi tidak sempurna dan dapat menimbulkan primordial
kista dan folikular kista.
4. Rasa sakit
Rasa sakit dapat timbul bila gigi terpendam menekan syaraf atau
menekan gigi tetangga dan tekanan tersebut dilanjutkan ke gigi tetangga
lain di dalam deretan gigi, dan ini dapat menimbulkan rasa sakit.
Rasa sakit dapat timbul karena :
a. Periodontitis pada gigi yang mengalami trauma kronis
b. Gigi terpendam langsung menekan nervus alveolaris inferior pada
kanalis mandibularis.
Gigi molar ketiga rahang bawah impaksi dapat mengganggu fungsi
pengunyah dan sering menyebabkan berbagai komplikasi. Komplikasi
yang terjadi dapat berupa resorbsi patologis gigi yang berdekatan,
terbentuknya kista folikuler, rasa sakit neurolgik, perikoronitis, bahaya
fraktur rahang akibat lemahnya rahang dan berdesakan gigi anterior akibat
tekanan gigi impaksi ke anterior. Dapat pula terjadi periostitis, neoplasma
dan komplikasi lainnya.

28
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

A. PEMBAHASAN
Seorang wanita, berusia 18 tahun datang dengan keluhan gusi bengkak
pada rahang bawah dan atas. Pasien mengeluh nyeri dan bengkak pada gigi
bawah dan atas sejak 2 minggu SMRS. Nyeri dirasakan berdenyut-denyut dan
tiba-tiba. Keluhan dirasakan memberat pada terutama gigi rahang bawah
kanan. Keluhan nyeri disertai dengan gusi yang membengkak. Keluhan sudah
diperiksakan ke dokter gigi dan diresepkan obat minum 2 macam dan obat
kumur. Pasien datang ke Poli Gigi dengan keluhan nyeri berkurang tetapi
masih bengkak. Berdasarkan dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya
pembengkakan gusi pada gigi geraham ketiga rahang atas kanan, atas kiri,
bawah kanan dan bawah kiri. Dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang
guna menegakkan diagnosis pada pasien yaitu rontgen panoramic tampak
adanya impaksi pada gigi geraham ketiga rahang atas kanan, atas kiri, bawah
kanan dan bawah kiri. Dokter penanggung jawab kemudian menindaklanjuti
untuk dilakukan operasi odontektomi. Operasi dilakukan setelah mendapat
persetujuan dokter yakni dokter spesialis anestesi.
Operasi dimulai pada pukul 10.00, telah terpasang jalur inravena dan
pasien dikategorikan ke dalam ASA I. Jenis anestesi yang digunakan adalah
anestesi umum atau general anesthesi dengan teknik anestesi imbang yaitu
teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi. Premedikasi yang
digunakan untuk pasien berupa pemberian Sulfas atropin 0,25 mg,
Midazolam 2.5 mg. Induksi anestesi menggunakan propofol 150 mg, Ketamin
25 mg, Atracurium 10 mg, dan Isoflurane 1.5%. Maintenance menggunakan
oksigen 2 liter per menit, N2O 2 liter per menit.
Sebelum dilakukan operasi pada pasien, pasien dipasang pipa
nasotrakeal menggunakan pipa No 6, selama operasi berlangsung respirasi
pasien dikontrol oleh mesin. Tanda-tanda vital dan saturasi oksigen juga

29
selalu dipantau setiap 15 menit selama operasi berlangsung dan pemberian
cairan selama operasi. Obat anestesi yang digunakan adalah ondansetron 4
mg dan ketorolac trometamol 30 mg dimasukkan secara injeksi intravena.
Ondansetron diindikasikan untuk mual dan muntah yang diinduksi obat
kemoterapi dan radioterapi sitotoksik, dosis untuk dewasa pencegahan mual
dan muntah pasca operasi.
Operasi selesai pada pukul 10.45 dan pasien dibawa ke ruang pemulihan.
Aldrette Score pasien saat di ruang pemulihan yaitu 9. Tekanan darah : 120/80
mmhg, nadi : 98x/mnt, SpO2 : 100%. Selanjutnya pasien dipindahkan ke
ruang perawatan.

B. KESIMPULAN
Anestesi umum atau general anesthesia merupakan tindakan
menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran.
Anestesi umum yang digunakan pada kasus ini menggunakan teknik anestesi
imbang (balanced anesthesia) yang menggunakan obat anestesi intavena dan
inhalasi agar mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang karena
operasi atau pembedahan yang dilakukan cukup besar dan membutuhkan
waktu yang lama. Sebelum dioperasi, dipasang jalur intravena pada pasien.
Pemberian obat anestesi meliputi premedikasi, induksi dan maintenance.
Operasi dilakukan oleh dokter spesialis bedah mulut selama kurang lebih
45 menit dengan monitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen pada
pasien setiap 15 menit selama operasi berlangsung. Selesai operasi, pasien
memasuki periode bangun dan pemulihan, pasien dibawa ke ruang pemulihan
untuk tetap dimonitoring tanda-tanda vital dan saturasi oksigen sampai dapat
dinyatakan keluar dari ruang pemulihan.

DAFTAR PUSTAKA

30
Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors. (2014). Edisi 7. Jakarta :
IKABI
American College of Surgeon (ACS) Committees on Trauma. 2012. Advance
Trauma Life Support (ATLS) Students couse manual. 9th ed.
Astuti ERT. 2002. Prevalensi karies pada permukaan distal gigi geraham dua
rahang bawah yang diakibatkan oleh impaksi gigi geraham tiga rahang
bawah.Jurnal MIKGI.
Balaji SM. 2009. Oral and maxillofacial surgery. Delhi: Elsevier.
Chanda MH, Zahbia ZN. 2007. Pengaruh bentuk gigi geligi terhadap terjadinya
impaksi gigi molar ketiga rahang bawah. Dentofasial Jurnal Kedokteran
Gigi.
Dewoto dan Louisa. Serotonin, Obat Serotonergik dan Obat Antiserotonergik,
dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 6. 2017. Departemen Farmakologi dan
Terapeutik FKUI. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Dewoto, H.R. Analgesik Opioid dan Antagonis, dalam: Farmakologi dan Terapi
Edisi 6. 2017. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.
Dwipayanti A, Adriatmoko W, Rochim A. 2009. Komplikasi post odontektomi
gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Journal of the Indonesian Dental
Assocation.
Evers dan Cowder. General Anesthetics. Dalam: Hardman dan Limbird. 2001.
Goodman & Gilman’s the Pharmacological Basis and Therapeutic. 10th Ed.
New York. McCraw-Hill.
Hoyt dan Coimbra. Management of Acue Trauma. Dalam:2012.Sabiston textbook
of surgery. 19th ed. Philadelphia. Elsevier Saunder.
Latief, Suryadi dan Dachlan. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua.
Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Nasir M, Mawardi. 2003. Perawatan impaksi impaksi gigi insisivus sentralis
maksila dengan kombinasi teknik flep tertutup dan tarikan ortodontik
(laporan kasus). Dentika Dental Jurnal.
Rodola F. Midazolam as an antiemetic, European Review for Medical and
Pharmacological Sciences 2006; 10: 121-6.
Tjiptono KN, Harahap S, Arnus S, Osmani S. 2009. Ilmu bedah mulut 2nd ed.
Jakarta:Cahaya Sukma
Wilmana dan Gan. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-Inflamasi Nonsteroid,
dan Obat Gangguan Sendi Lainnya, dalam: Farmakologi dan Terapi Edisi 6.

31
2017. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.
Zunilda, D.S. dan Elysabeth. Anestetik Umum, dalam: Farmakologi dan Terapi
Edisi 6. 2017. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI.

32

Anda mungkin juga menyukai