Anda di halaman 1dari 27

TUGAS KULIAH FARMASI KLINIK

OLEH:

KELOMPOK 3

AYU ISTIQOMAH FAUZIAH N014191067


SITI FATIMAH HARDIYANTI N014191071
NOVIA ARIANDINI N014191073
AMELIA JOHANA SUMUAL N014191074
MUTIAH CHAERANI AL-MAROZY N014191075
RUMI BURANDA N014191076
APRISKA NOVIARNI N014191081
MANI’ANH IMANIYAH MAJJAJARENG N014191084
IMELDA DHEA MEYLIN B. N014191086
A. INDAH QHAIRUNISYAH N014191089
ERMA SETIA KASIH N014191091
KARINA NUR RAHMA FITRIA S. N014191092
AFRA HANISA EFFENDY N014191093
ANGGIE FIFI WINARTY N014191094

KELAS B

PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gastroenteritis adalah diare atau peningkatan pergerakan usus terlepas

dari ada atau tidak adanya gejala lain seperti demam, muntah, atau sakit perut.

Pergerakan usus dianggap meningkat ketika terjadi tiga kali atau lebih per hari

dengan konsistensi berair. Ada banyak klasifikasi yang digunakan mengenai

gastroenteritis, yang paling populer berdasarkan durasi gejala: akut, persisten,

atau kronis, kurang dari 14 hari, antara 14 dan 30 hari, dan masing-masing

lebih dari 30 hari (Sattar, 2018).

CDC juga melaporkan, dengan menggunakan set data Pusat Statistik

Kesehatan Nasional, bahwa semua penyebab kematian yang berhubungan

dengan gastroenteritis akut telah meningkat sejak tahun 1999, dan bahkan

mencapai sekitar 17.000 kematian setiap tahunnya. Lebih dari delapan puluh

persen dari kematian ini kami temukan dalam populasi lansia, dan lebih dari

enam puluh persen dari mereka dikaitkan dengan infeksi Clostridium difficile.

Ini mengarah pada kesimpulan penting bahwa usia yang lebih tua dikaitkan

dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi setelah serangan

gastroenteritis akut.

Norovirus dan Rotavirus adalah penyebab paling umum dari

gastroenteritis virus. Ketika menyerang anak-anak, Rotavirus dapat

menyebabkan pengembangan gastroenteritis parah yang dapat menjadi rumit

dengan dehidrasi. Berbeda dengan rotavirus, Norovirus dapat menyebabkan

wabah gastroenteritis akut di hampir semua kelompok umur. Wabah ini dapat

terjadi di tempat-tempat di mana ada berkokok, seperti panti jompo, penjara,


kapal pesiar, sekolah, dan pengaturan serupa lainnya. Infeksi norovirus akan

menyebabkan serangan muntah yang parah yang berlanjut hingga 60 jam dan

menurun secara spontan. Virus ini biasanya ditularkan melalui rute oral tinja.

Bagian terbesar dari kasus gastroenteritis adalah karena infeksi virus.

Karena itu, penggunaan antibiotik secara empiris biasanya tidak dianjurkan.

Namun, pada pasien tertentu, terapi antibiotik empiris diindikasikan dan

dikaitkan dengan peningkatan yang signifikan dan penurunan angka kematian.

Tujuan utama penatalaksanaan gastroenteritis adalah mengobati dehidrasi.

Untuk itu diperlukan kajian mengenai penanganan Gastroenteritis.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengkaji kerasionalan

pemberian obat-obatan pada studi kasus yang diberikan yang berkaitan

dengan penyakut gastroenteritis.

BAB II
PEMBAHASAN

A. STUDI KASUS

1. Profil Pasien

Nama : Mr. S

Umur : 66 Tahun

No. RM : 372227

Ruang Inap : Baji Dakka II

MRS : 23 Maret 2019

Jenis Kelamin : Laki-laki

Berat Badan : 64 kg

Cara Bayar : BPJS

Alamat : Jl. Puri Tamansari F7 No. 2

KRS : 26 Maret 2019

2. Profil Penyakit

a. Keluhan Utama

Demam sejak 2 hari yang lalu, menggigil, nyeri ulu hati, mual, muntah

(frekuensi lebih dari 3 kali). BAB cair sejak 1 hari terakhir (frekuensi lebih dari

5 kali), nyeri saat BAK.

b. Riwayat Penyakit

Riwayat pembesaran prostat; riwayat DM, hipertensi, PJK disangkal.

c. Riwayat Pengobatan

Pengobatan sendiri dengan antalgin dan panadol jika sakit kepala.

d. Diagnosa Masuk

Febris + diare

e. Diagnosa Penyerta
Trombositopenia

f. Diagnosa Akhir

Febris pro. Ev + GEA

3. Data Klinik

Berdasarkan pemeriksaan oleh dokter, maka diperoleh data klinik yang dapat

dilihat pada tabel berikut:

Hasil Pengamatan
No Data Klinik
23/3/2019 24/3/2019 25/3/2019 26/3/2019

1. Tekanan Darah (mmHg) 120/90 160/80 160/100 130/80

2. Pernapasan (kali/menit) 20 24 22 20

3. Denyut Nadi (kali/menit) 80 86 72 88

4. Suhu Badan (oC) 40 37,4 36,5 36

5. BAB encer + lendir +++++ +++++ ++ +

6. BAB encer + darah - - + -

7. Menggigil + + - -

8. Susah tidur - - + -

Keterangan : (+) = keluhan pasien

(-) = tidak ada keluhan

4. Data Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel darah pasien di laboratorium

diperoleh data seperti pada tabel berikut:

Hasil Pengamatan
No Pemeriksaan Nilai Rujukan
24/3/2019 25/3/2019 26/3/2019

1. WBC 4.0 – 10.0 x 103/μL 4.6 6.8 6.2

2. RBC 4.5 – 5.5 x 106/μL 4.7 4.71 4.66

3. HGB 14 – 18 g/dL 14.4 14.3 14.1

4. HCT 40 – 50% 38.1 38.2 37.9

5. MCV 80 – 96 fl 81.1 81.1 81.3

6. MCH 27 – 31 pg 30.6 30.4 30.3

7. MCHC 32 – 37 g/dL 37.8 37.4 37.2

8. PLT 150 – 400 x 103/μL 103 100 127

9. RDW-SD 37.0 – 54.0 fl 37.3 38.9 41.9

10. RDW-CV 11.5 – 14.5% 13.2 13.6 13.7

11. PDW 10.0 – 18.0 13.2 14.8 13.8

12. MPV 6.1 – 8.9 fl 10.6 10.3 11.2

13. LYM 20 – 40% 11.5 10.6 20.1

Keterangan : : Di atas nilai normal


: Di bawah nilai normal

5. Data Penting Lain


Berdasarkan hasil pemeriksaan sampel darah pasien di laboratorium

diperoleh data seperti pada tabel – tabel berikut:

Hasil pemeriksaan Widal

Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
23/3/2019

Salmonella typhi Titer O 1/80


Negatif
Salmonella typhi Titer H -

Salmonella paratyphi Titer AH -


Negatif
Salmonella paratyphi Titer BH -

Hasil Pemeriksaan Kimia Darah

Hasil
Jenis Pemeriksaan Rujukan Satuan
25/3/2019

Glukosa darah sewaktu 146 ≤ 200 mg/dL

Urea (BUN) 35 23 – 43 mg/dL

L = 0.8-1.4;
Kreatinin 1,14 mg/dL
P=0.6-1.2

SGOT 27 L= 10-40; P=9-25 U/L

SGPT 29 L= 10-55; P=7-30 U/L

6. Profil Pengobatan
Berdasarkan pengontrolan obat pasien, maka diperoleh profil pengobatan yang

dapat dilihat pada tabel berikut:

Aturan Tanggal Pemberian Obat


No. Nama Obat Dosis
Pakai 23/3/2019 24/3/2019 25/3/2019 26/3/2019

1. Ondansetron 4 mg IV/12 jam   – –

50 mg/
2. Ranitidin IV/12 jam   – –
2 mL

10 IV/1
3. Paracetamol   – –
mg/mL gr/drips

Pagi 2

tablet

Siang 1
4. New Diatabs 600 mg   – –
tablet

Malam 1

tablet

Oral 960

5. Cotrimoxasol 480 mg mg/12   – –

jam

Asam IV/ bila


6. 250 mg –  – –
Treneksamat perlu

7. Futrolit –   –

Oral/12
8. Lodia 2 mg –  – –
jam

9. Ozid 40 mg IV/24 jam – –  

Oral/24
10. Alprazolam 0.5 mg – –  –
jam

Oral/24
11. Amlodipin 5 mg – –  
jam
Oral/24
12. Lansoprazol 30 mg – – – 
jam

B. KERASIONALAN OBAT

1. Ondansetron

a. Indikasi

Ondansetron adalah obat golongan antiemetik yang bekerja pada 5-HT3

Antagoni. Ondansetron digunakan untuk terapi mual dan muntah yang disebabkan

oleh penggunaan obat-obat kemoterapi yang bersifat sitotoksik dan radioterapi.

Ondansetron juga digunakan untuk pencegahan maupun pengobatan pada mula

muntah pascaoperasi besar.

b. Dosis dan rute pemerian

Terdapat berbagai jenis dosis ondansetron yang digunakan, yaitu;

1. Dosis untuk emetik tinggi akibat kemoterapi, yang digunakan untuk mencegah

muntah akut:

a. 8 mg, dosis tunggal yang diberikan melalui intravena lambat atau injeksi

instramuskular tepat sebelum pengobatan

b. 8 mg slow intravena atau injeksi intramuscular sebelum pengobatan yang

diikuti dengan pemberian infus intarvena secara kontinyu sebanyak

1mg/jam selama 24 jam atau 2 kali 8 mg tiap 2-4 jam.

c. Dosis tunggal sebanyak 32 mg diberikan secara infus intravena tepat 15

menit sebelum pengobatan.


d. 150 mcg/kg BB yang diberikan secara infus intravena selama 15 menit,

dimulai dari 30 menit sebelum kemoterapi dan diulang selama 4 dan 8 jam

setelah perberian pertama kali.

e. 16 mg suppositoria rektal, diberikan1 atau 2 jam sebelum pengobatan.

f. Dosis oral tunggal diberikan sebanyak 24 mg, diberikan 30 menit sebelum

dimulainya kemoterapi hari itu.

Efisiensi efek dari ondansetron yang diberikan untuk emetic yang disebabkan

oleh kemoterapi bias ditingkatkan dengan peemberian dexamethasone sodium

fosfat 20 mg secara intravena sebelum kemoterapi.

2. Regimen dosis di atas juga diberikan untuk mencegah emesis pada pasien less

emetogenic chemotherapy dengan atau radioterapi juga termasuk:

a. 8 mg biasa diberikan secara oral 2 jam sebelum pengobatan dan diikuti

dengan pemberian 8 mg 12 jam setelah pengobatan. Untuk melindungi dari

emesis yang tertunda, regimen pengobatan tersebut diikuti dengan

pemberian ondansetron secara oral dengan dosis 8 mg sebanyak 2 kali

sehari atau 16 mg secara rektal 1 kali sehari, diberikan selama 5 hari

setelah berakhirnyarangkaian kemoterapi.

3. Untuk anak-anak, dosis yang diberikan yaitu (di Inggris) yaitu 5 mg/m2 secara

intravena tepat sebelum kemoterapu, diikuti dengan 4 mg secara oral 12 jam

setelanya. Dosis oral 4 mg 2 kali sehari bisa dilanjutkan selama 5 hari setelah

kemoterapi selesai.

4. Dosis yang digunakan untuk mencegah mual muntah pada pasien

pascaoperasi:

a. 16 mg diberukan secara oral sejam sebelum dianastesi.


b. 8 mg diberikan secara oral 1 jam sebelum dianastesi yang diikuti dengan 2

dosis lanjutan sebanyak 8 mg dengan inerval 8 jam.

c. Dosis tunggal sebanyak 4 mg secara intramuscular atau injeksi intravena

lambat pada saat induksi anastesi.

Pada pengobatan mual dan muntah pascaoperasi dianjurkan dosis tunggal 4

mg secara intramuscular atau injeksi intravena lambat direkomemdasikan.

c. Efek samping

Ondansetron dan antagonis 5-HT3 lainnya dapat menyebabkan sakit kepala,

sensasi hangat pada wajah, cegukan, dan kosntipasi. Peningkatan aktivitas enzim hati

kadang-kadang terjadi. Jarang dilaporan terjadinya reaksi hypersensitivitas termasuk

anafilkasis. Nyeri dada, aritmia, hipotensi, takikardia dan bradikardia jarang terjadi.

Pusing dan gangguan penglihatan seperti blurred vision telah dilaporkan pada pasien

yang diberikan selama injeksi intravena secara cepat. Kejang dan kelainan

pergerakan termasuk rekasi ekstrapiramidal seperti dystonia, diskensia dan krisis

oculogic terlah dilaporkan. Ruam dan urticaria juga bisa terjadi. Reaksi injeksi pada

tempat pemberian dan rasa panas local bisa dirasakan setelah pemberian

suppositoria secara rektal.

5-HT3 antagonis tidak bioejb digunakan pada pasien yang pernah mengalami

reaksi hipersensitivitas terhadap obat golongan yang sama. Obat hini harus digunakan

dengan hati-hati pada pasien pedierita subakut obstuk intestinal atau ileus. Dosis

ondansetron harus dikurangi pada pasien gangguan hati sedang atau parah.

d. Kontra indikasi

e. Kerasionalan obat
Penggunaan obat endonsetron dalam mengobati mual dan muntah yang dialami

pasien dinggap tidak rasional karena obat ini biasa diindikasikan pada pasien dengan

mual/muntah yang berat pasca operasi atau penyakit-penyakit kronis.

2. Ranitidin

a. Indikasi

Pencegahan mual muntah. Pengobatan jangka pendek tukak usus 12 jari aktif,

tukak lambung aktif, mengurangi gejala refluks esophagitis. Terapi pemeliharaan

setelah penyembuhan tukak usus 12 jari, tukak lambung. Pengobatan keadaan

hipersekresi patologis ( missal; sindroma zollinger Ellison dan mastositosis sistemik).

Ranitidine HCL injeksi diindikasikan untuk rawat inap di rumah sakit dengan keadaan

hipersekresi patologis atau ukus dua belas jari yang sulit diatasi atau sebagai

pengobatan alternatife jangka pendek pemberian oral pada pasien yang tidak bisa

diberi ranitidine HCL oral.

b. Dosis dan rute pemerian

Injeksi intramuskuler : 50 mg (2ml) tiap 6-8 jam.

Injeksi intravena lambat : 50 mg diencerkan sampai 20 ml dan diberikan selama tidak

kurang dari 2 menit; dapat diulang setiap 6-8 jam.

Refluks gastroesofagitis : 150 mg, 2 kali sehari.

Terapi pemeliharaan pada penyembuhan ulkus peptikum & ulkus duodenum : 150

mg, malam hari sebelum tidur.

c. Efek samping
Efek samping pengguaan ranitidin yaitu: kepala, pusing, mengantuk, insomnia,

malaise, vertigo, agitasi, depresi, halusinasi. kardiovaskular, jarang dilaporkan: aritmia

seperti takikardia, bradikardia, blok atrioventrikular, premature ventricular beats.

gastrointestinal: konstipasi, diare, mual,muntah, diare, nyeri perut. Jarang dilaporkan

: pangkreatitis, musculoskeletal, jarang dilaporkan : arthralgia dan myalgia.

Hematologic : leukopenia, granulositopenia, pansitopenia, trombositopenia (pada

beberapa penderita). Raksi hipersensitivitas (contoh: bronkospasma, demam,

eosinofillia).

d. Kontra indikasi

Penderita yang hipersensitif terhadap ranitidine.

e. Kerasionalan obat

(blm sempat dibahas)

3. Paracetamol

a. Indikasi

Obat paracetamol diiindikasikan untuk nyeri ringan sampai sedang, demam.

Parasetamol bekerja pada pusat pengatur suhu di hipotalamus untuk menurunkan

suhu tubuh (antipiretik). Bekerja menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat

mengurangi nyeri ringan – sedang. Efek antiinflamasi sangat lemah atau hamper tidak

ada, sehingga tidak digunakan untuk antireumatik.

b. Dosis dan rute pemerian

Dewasa 500 mg – 1000 mg persekali pakai, diberikan tiap 4-6 jam (peroral).

Maksimum 4 gram per hari. Anak-anak < 12 tahun : 10 mg/kgBB/kali (bila ikterik: 5

mg/kgBB/kali) diberikan tiap 4-6 jam. Maksimum 4 dosis sehari.

Parasetamol juga dapat diberikan melalui infus IV di atas 15 menit; dosis dapat

dihitung menggunakan berat badan:


 Pasien dengan berat di atas 50 kg, dosis tunggal 1 gram 4 jam atau lebih, dosis

maksimum 4 gram perhari

Pasien dengan berat 33 – 50 kg, dosis tunggal 15 mg/kg tiap 4 jam atau lebih,

maksimum dosis 60 mg/kg atau 3 gram perhari. Parasetamol juga dapat diberikan

dalam bentuk suppositoria 0,5 – 1 gram tiap 4 – 6 jam, maks 4 kali sehari.

c. Efek samping

Efek samping penggunaan obat ini yaitu reaksi alergi, ruam kulit berupa

eritema atau urtikaria, kelainan darah, hipotensi, kerusakan hati.

d. Kontra indikasi

Paracetamol dikontraindikasikan untuk pasien-pasien yang mengalami

hipersensitifitas terhadap paracetamol dan yang mengalami gangguan hati.

e. Kerasionalan obat

Penggunaan pada kasus ini untuk mengatasi demam, pemberian melalui infus

IV dengan dosis 1 gram sudah rasional dan telah dihentikan pemberian setelah suhu

tubuh normal.

4. New Diatabs

a. Indikasi

Terapi simptomatik pada diare non spesifik. Digunakan sebagai absorbens kuman dan

toksin yang menyebabkan diare, di samping mengurangi kehilangan cairan tubuh,

mengurangi frekuensi diare dan memperbaikki konsistensi feses ((Tjay & Raharja,

2010; hal.297)

b. Dosis dan rute pemerian

Dewasa & anak>12 tahun: 2 tablet setelah setiap buang air besar, maksimal 12

tablet/hari. Anak 6-12 tahun: 1 tablet setelah setiap buang air besar, maksimal 6
tablet/hari.1,2-1,5 g setelah tiap kali buang air dengan maksimal 9 g (Tjay & Raharja,

2010). 1200–1500 mg setelah setiap buang air besar atau setiap 2 jam; sampai 9000

mg/hari (Dipiro ed. 9)

c. Efek samping

Konstipasi (Tjay & Raharja, 2010).

d. Kontra indikasi

Hipersensitivitas, obstruksi usus, demam tinggi (diare disertai infeksi), disentri, darah

pada feses (Tjay & Raharja, 2010).

e. Interaksi Obat

Dapat menghambat absorbsi obat lain yang diberikan bersamaan, seperti Promazine

(Stockley, 2008;762)

f. Kerasionalan obat

Penggunaan new diatabs dalam kasus ini dianggap tidak rasional diberikan

pada hari pertama karena berdasarkan algoritma pengobatan sebaiknya diberikan

dahulu cairan elektrolit kemudian diberikan obat antidiare mukolitik atau adsorben

tetapi pada kasus ini adsorben hanya mampu mengurangi gejala dari diare dengan

menyerap toksin dan dengan mengurangi produksi air, tetapi tidak ada bukti dari

keefektifitasannnya sehingga tidak direkomendasikan (Koda Kimble & Young.

2013:Hal.2303). Obat ini juga dapat mempengaruhi kerja obat lainnya dengan

menurunkan efek terapeutik obat yang digunakan bersama-sama dengan absorben.

5. Cotrimoxazole

a. Indikasi

Cotrimoxazole merupakan antibakteri yang dapat mengobati infeksi saluran

kemih (sistitis), infeksi saluran napas, infeksi saluran cerna (terutama disebabkan oleh
Salmonella, Shigella) dan infeksi lainnya yang disebabkan oleh kuman yang sensitive

terhadap cotrimoxazole.

b. Dosis dan rute pemerian

Kotrimoksazol adalah campuran 5 bagian sulfametoksazol dan 1 bagian

trimethoprim. Dosis dewasa : 960 mg dua kali sehari. Pada infeksi berat dapat

ditingkatkan menjadi 1,44 g tiap 12 jam (peroral). Dosis anak: Trimetoprim 8

mg/kgBB/hari, SUlfametaxazole 40 mg/kgBB/hari terbagi dalam 2 dosis perhari.

c. Efek samping

Efek samping penggunaan obat cotrimoxazol adalah gangguan gastrointestinal

(terutama mual dan muntah) dan reaksi kulit adalah efek samping yang paling umum.

Reaksi hipersensitivitas terhadap sulfonamida telah terbukti menjadi masalah.

Demam relatif umum terjadi, dan reaksi yang melibatkan kulit mungkin termasuk ruam,

pruritus, reaksi fotosensitifitas, dermatitis eksfoliatif, dan eritema nodosum. Reaksi

kulit yang parah, berpotensi fatal, termasuk nekrolisis epidermal toksik dan sindrom

Stevens Johnson telah terjadi pada pasien yang diobati dengan sulfonamid. Dermatitis

juga dapat terjadi akibat kontak sulfonamida dengan kulit. SLE, khususnya

eksaserbasi penyakit yang sudah ada, juga telah dilaporkan.

d. Kontraindikasi

Hipersenstifitas, bayi berumur <2 bulan, gangguan fungsi hati dan ginjal berat,

anemia megaloblastik atau anemia defisiensi folat, pasien hamil dan menyusui

(sulfonamide dapat menembus sawar darah plasenta sehingga menyebabkan

kernicterus).

e. Kerasionalan obat

Penggunaan kotrimoxazole dalam kasus ini dianggap tidak rasional karena

setelah melihat dari uji data klinis pemeriksaan Widal, tidak ditemukan infeksi akibat
bakteri sehingga penggunaan antibiotik tidak tepat. Efek samping yang ditimbulkan

dengan penggunaan obat ini juga dapat memperparah kondisi mual/muntah yang

dialami pasien sebelumnya.

6. Asam Treneksamat

a. Indikasi

Obat ini digunakan sebagai terapi tambahan pada hemofilia, sebagai terapi

untuk perdarahan dari terapi fibrinolitik, dan sebagai profilaksis untuk perdarahan

ulang dari aneurisma intrakranial, perdarahan kandung kemih sekunder akibat radiasi

dan sistitis yang diinduksi oleh obat.

b. Dosis dan rute pemerian

Untuk penggunaan jangka pendek dalam perdarahan, dosis oral adalah 1

hingga 1,5 g (atau 15 hingga 25 mg / kg) 2 hingga 4 kali sehari. Saat diberikan dengan

dosis injeksi intravena lambat 0,5-1 g (atau 10 mg / kg) 3 kali sehari. Asam

traneksamat diberikan oleh infus terus menerus dengan kecepatan 25 hingga 50

mg/kg setiap hari.

c. Efek samping

Efek samping obat termasuk trombosis intravaskular dari penghambatan

aktivator plasminogen, hipotensi, miopati, ketidaknyamanan perut, diare, dan hidung

tersumbat. Obat tidak boleh digunakan pada pasien dengan koagulasi intravaskular

diseminata atau perdarahan genitourinari saluran atas, misalnya, ginjal dan ureter,

karena potensi pembekuan yang berlebihan.

d. Kontra indikasi

Gangguan ginjal yang berat; penyakit tromboembolik, Gagal ginjal berat,

Pembekuan intravaskular aktif, Penyumbatan pembuluh darah, Gangguan

penglihatan warna Pendarahan subaraknoid


e. Kerasionalan obat

Penggunaan asam traneksamat dalam kasus ini dianggap tidak rasional

karena dilihat dari data klinisnya waktu pemberian obat dilakukan sebelum terjadi

pendarahan, sedangkan ketika terjadi pendarahan tidak lagi diberikan. Selain itu dosis

yang diberikan juga tidak tepat dimana, dosis yang diberikan hanya sebagian dari

dosis yang dianjurkan. Efek samping yang ditimbulkan dengan penggunaan obat ini

juga dapat memperparah kondisi diare yang dialami pasien sebelumnya.

7. Futrolit

a. Indikasi

Memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolit pada pre-operasi, saat operasi dan

pasca operasi. Memenuhi sebagian kebutuhan karbohidrat, dehidrasi isotonik,

kehilangan cairan ekstraseluller. Sebagai larutan pembawa.

b. Dosis dan rute pemerian

Dosis disesuaikan dengan kebutuhan individual, atau diresepkan: 30 ml/kg

berat badan/hari (setara dengan 1,5 g sorbitol/kg berat badan/hari). Pada pasien

dengan berat badan 70 kg:2 l/hari dengan kecepatan infus sampai dengan 6 ml/menit

(120 tetes/menit).

c. Efek samping

Jika digunakan sesuai anjuran, efek samping tidak akan terjadi. Reaksi dapat

terjadi karena teknik pemberian dari FUTROLIT® seperti respon febris trombosis atau

flebitis vena pada bagian yang diinjeksi, ekstravasasi, dan hipervolemia.

d. Kontraindikasi

Gagal ginjal, intoleransi fruktosa dan sorbitol, defisiensi fruktosa 1,6-

difosfatase, keracunan metil alkohol. Tidak dianjurkan untuk terapi renjatan/syok.

e. Kerasionalan obat
Pemberian futrolit sebenarnya sudah betul jika penggunaannya untuk terapi

rumatan pada penyakit diare atau gastroenteritis akut. Gastroenteritis mengakibatkan

tubuh kehilangan banyak cairan maupun garam-garam sehingga terjadi dehidrasi,

namun karena dosis yang diberikan tidak dicantumkan maka pengobatannya jadi tidak

rasional. Pilihan pertama dan terbaik untuk kasus GEA moderate atau ringan yaitu

dengan terapi oral rehidrasi. Hal ini yang menjadi pertimbangan mengapa tidak

langsung diberikan secara Intravena dihari pertama. Direkomendasikan untuk

dilakukan monitoring kadar elektrolit dalam tubuh. Terapi cairan adalah salah satu

terapi yang sangat menentukan keberhasilan penanganan pasien kritis. Tindakan ini

seringkali merupakan langkah “life saving” pada pasien yang menderita kehilangan

cairan yang banyak seperti dehidrasi karena muntah mencret dan syok. Terapi cairan

intravena untuk pemeliharaan rutin mengacu pada penyediaan IV cairan dan elektrolit

untuk pasien yang tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dengan rute enteral,

namun sebaliknya baik dalam hal keseimbangan cairan dan elektrolit dan penanganan

(yaitu mereka yang pada dasarnya euvolemik tanpa signifikan defisit elektrolit,

kerugian yang abnormal yang sedang berlangsung atau masalah redistribusi internal

yang kompleks). Tujuan saat memberikan cairan perawatan rutin adalah untuk

menyediakan cukup cairan dan elektrolit untuk memenuhi insensible losses (500-1000

ml), mempertahankan status normal tubuh kompartemen cairan dan memungkinkan

ekskresi ginjal dari produk-produk limbah (500-1500 ml.). Jenis cairan rumatan yang

dapat digunakan adalah : NaCl 0,9%, glukosa 5%, glukosa salin, ringer laktat/asetat,

NaCl 0,9% hanya untuk rumatan yang tinggi kandungan NaCl dari saluran cerna

ataupun ginjal, glukosa 5% atau glukosa salin.

Jumlah kehilangan air tubuh berbeda sesuai dengan umur, yaitu Dewasa 1,5-2

ml/kg/jam, Anak-anak 2-4 ml/kg/jam, Bayi 4-6 ml/kg/jam, Neonatus 3 ml/kg/jam.


Kebutuhan cairan rumatan adalah 25-30 ml/kg/hari. Kebutuhan K, Na dan Cl kurang

lebih 1mmol/kg/hari. Kebutuhan glukosa 50-100 g/hari. Setelah cairan pemeliharaan

intravena diberikan, monitor dan lakukan penilaian ulang pada pasien. Hentikan cairan

intravena jika tidak ada indikasi yang tepat. Cairan nasogastrium atau makanan

enteral lebih dipilih untuk kebutuhan pemeliharaan lebih dari 3 hari.

8. Lodia

a. Indikasi

Lodia yang berisi loperamid digunakan untuk pengobatan simptomatik diare

akut sebagai tambahan terapi redehidrasi pada dewasa dengan diare akut. Obat ini

memperlambat motlitas usus ke arah depan dengan mengganggu mekanisme

kolinergik dan nonkolinergik peristaltik sehingga memperlambat pergerakan materi

fekal, mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit, dan meningkatkan viskositas feses

dan bulk .

b. Dosis dan rute pemerian

Dosis awal 24 jam pertama

Usia 2-6 tahun (13-20 kg): 1 mg/ 3 kali sehari (peroral)

Usia 6-8 tahun (20-30 kg) ; 2 mg/ 2 kali sehari (peroral)

Usia 8-12 tahun ( lebih dari 30 kg : 2 mg ], 3 kali sehari (peroral)

Terapi hari kedua dan hari-hari berikutnya

Berikan 0,1 mg/kg/dosis setiap kali anak BAB berupa feses encer.

c. Efek samping

Efek samping penggunaan obat loperamid adalah mengantuk, pusing,

kelelahan, mulut kering, distensi atau ketidaknyamanan, nyeri abdomen, konstipasi,

mual, muntah,nyeri epigastrik dan ruam kulit.


d. Kontraindikasi

Obat ini dikontraindikasikan untuk individu yang hipersensitif dan mereka yang

tidak boleh mengalami konstipasi, juga terjadi penetrasi organ ke dalam mukosa usus.

Pemberian obat juga dikontraidikasikan pada pasien yang menderita enterokolitis

pseudomemberanosa, penggunaan obat dikontraindikasikan jika temperatur anak

lebih dari 38,3 C atau diarenya berdarah. Waspadai penggunaan obat pada individu

dengan kolitis ulseratif akut atau kerusakan hati.

e. Kerasionalan obat

Penggunaan Lodia pada kasus ini dianggap telah rasional dengan dosis dan

rute pemerian yang juga telah tepat. Jika dilihat dari hasil pemeriksaan obat ini juga

mampu berefek menghentikan diare yang dialami pasien.

9. Ozid

a. Indikasi

Ozid mengandung omeprazol yang digunakan dalam pengobatan tukak lambung,

tukak duodenum, GERD, hipersekresi patologis.

b. Dosis dan rute pemerian

Dosis untuk penderita tukak lambung dan duodenum: dosis awal 1X20 mg/hari

selamaa 4-8 minggu dapat ditingkatkan menjadi 40 mg /hari pada kasus berat atau

kambuh. Dosis pemeliharaan 1x20mg/ hari.

c. Efek samping

Efek samping dari omeprazole umumnya ditoleransi dan relatif jarang. Namun

efek yang sering ditimbulkan adalah sakit kepala, diare, dan ruam kulit.

d. Kontra indikasi

Obat ini dikontraindikasikan untuk pasien yang hipersensitif terhadap omeprazole.

e. Kerasionalan obat
Jika dihubungkan dengan kondisi pasien. Penggunaan omeprazole diberikan

setelah pemberhentian ranitidin injeksi yang mana keduanya memiliki efek yang

hampir sama. Penggunaan dosis 40 mg perhari merupakan penggunaan untuk

penyakit GERD, tukak peptik atau infeksi Helicobacter pylori yang diombinasi dengan

antibiotic. Namun, dari diagnosis yang ada, pasien menderita gastroenteritis akut

sehingga penggunaan dosis 40 mg perlu dipertimbangkan karena jika untuk

mengatasi mual muntah cukup diberikan dengan dosis 10-20 mg/hari selain itu efek

samping yang biasanya ditimbulkan adalah diare yang akan memperburuk kondisi

pasien saat ini, sehingga penggunaan obat ini dianggap tidak rasional karena tidak

tepat dosis dan tidak tepat pemerian.

10. Alprazolam

a. Indikasi

Alprazolam diberikan pada pengobatan gangguan ansietas atau pengobatan jangka

pendek gejala-gejala ansietas.

b. Dosis dan rute pemerian

Alprazolam biasanya diberikan dengan dosis 0,25-0,5 mg 3 kali sehari (peroral)

dan alprazolam diberikan 0,25-0,5 mg 2-3 kali sehari khusus pada pasien geriatrik

dan pada pasien yang memiliki keadaan yang lemah. Pada ISO Farmakoterapi buku

1 tahun 2008 alprazolam direkomendasikan dikonsumsi dengan rentang dosis 0,75-

4 mg. Pada MIMS tahun 2016 dosis yang dianjurkan untuk pasien yang memiliki

gangguan fungsi hati ialah 0,25 mg 2-3 kali sehari. Adapun saran obat diminum

setelah makan.

c. Efek samping
Efek samping dari alprazolam ialah mengantuk, kelemahan otot, ataksia,

amnesia, bingung, kepala terasa ringan, halusinasi, penglihatan kabur, haid tidak

teratur, libido berubah, retensi urin, hipotensi, ruam, dan fungsi hati abnormal.

d. Kontra indikasi

Hindari pemakaian oleh ibu hamil, laktasi, insufisiensi pulmonal kronik, lanjut

usia dan pasien yang lemah. Dan tidak dianjurkan dikonsumsi pada anak berusia <10

tahun. Interaksi obat dari alprazolam ialah efek ditingkatkan oleh obat yang menekan

SSP.

e. Kerasionalan obat

Pada kasus ini dapat dilihat dari data klinik pasien, pada hari kedua yaitu pada

tanggal 25/03/2019 pasien mengalami insomnia atau susah tidur sehingga pada hari

yang sama dokter memberikan obat ansietas atau alprazolam. Hal yang

melatarbelakangi dokter memberikan alprazolam ialah karena insomnia yang terjadi

pada pasien yang diaggap dokter diakibatkan oleh hipertensi yang dialami pasien

yaitu 160/100 yang melebihi batas normal, dan nyeri ulu hati yang dirasakan pasien

sehingga pasien mengalami insomnia atau susah tidur sehingga dokter memberikan

alprazolam untuk mengobati insomnia yang dialami oleh pasien. Adapun hal ini

ditunjang dengan literatur yang menyatakan bahwa pasien dengan gejala hipertensi,

insomnia, nyeri dada, mual pada pasien adalah gejala ansietas, sehingga dapat

diberikan anti ansietas. Literatur lain menyebutkan bahwa ansietas juga dapat terjadi

karena gangguan gastrointestinal (MIMS, 2016) Hal ini sesuai dengan diagnose awal

dari dokter bahwa pasien mengalami GEA atau Gastrointestinal akut sehingga

pemberian obat alprazolam sebagai anti ansietas rasional, namun dosis yang

diberikan kurang tepat, dosis sebaiknya diturunkan 0,25 mg/hari.

11. Amlodipin
a. Indikasi

Amlodipin digunakan pada pengobatan hipertensi, angina stabil kronik, angina

vasospastik (angina prinzmetal atau varian angina).

b. Dosis dan rute pemerian

Amlodipin biasanya diberikan peroral dengan dosis 5 mg 1 kali sehari pada

dosis awal dengan dosis maksimum 10 mg 1 kali sehari. Pada pasien lansia atau

dengan kelainan fungsi hati, dosis yang diharapkan pada awal terapi: 2,5 mg 1 kali

sehari. Bila amlodipine diberikan dalam kombinasi dengan antihipertensi lain, dosis

awal yang digunakan adalah 2,5 mg. Dosis yang direkomendasikan oleh angina stabil

kronik atau angina vasospastik: 5-10 mg, diberikan dosis pada pasien lansia dan

kelainan fungsi hati.

c. Efek samping

Efek samping dari amlodipin ialah sakit kepala, udem, mengantuk, mual, nyeri

perut, flushing, jantung berdebar dan pusing.

d. Kontraindikasi

Kontraindikasi pada pasien yang sensitif terhadap dihidropiridin.

e. Kerasionalan obat

Pada kasus ini dapat dilihat dari data klinik pasien, pada hari ketiga yaitu pada

tanggal 25/03/2019 pasien mengalami hipertensi sehingga pada hari yang sama

dokter memberikan obat antihipertensi atau amlodipin. Hal yang melatarbelakangi

dokter memberikan amlodipin ialah karena diakibatkan oleh hipertensi yang dialami

pasien yaitu 160/100 yang melebihi batas normal. Selain itu pasien juga memiliki

riwayat penyakit hipertensi sehingga pemberian obat amlodipin sebagai antihipertensi

rasional.

12. Lansoprazol
a. Indikasi

Lansoprasol merupakan obat PPI yang diindikasikan untuk pasien yang mengalami

tukak lambung, tukak duodenum, GERD, hipersekresi patologis.

b. Dosis dan rute pemerian

Lansoprazol diberikan untuk pengobatan tukak lambung dalam dosis 30 mg sekali

sehari secara peroral.

c. Efek samping

Lansoprazol dapat menyebabkan sakit kepala, diare, ruam kulit, pusing,

kelelahan, sembelit, mual dan muntah. Reaksi hipersensitivitas termasuk demam,

bronkospasme, angioedema dan anafilaksis telah dilaporkan.

d. Kontra indikasi

Obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang hipersensitif dengan

lansoprazol.

e. Kerasionalan obat

Penggunaan lansoprazol untuk mengatasi tukak lambung yang diderita pasien

sudah rasional, namun efek samping yang ditimbulkan obat ini dapat memperparah

kondisi gelaja awal yang dialami pasien. Dosis dan rute pengobatan yang diberikan

juga telah tepat, sehingga obat ini rasional digunakan namun disarankan untuk

mengontrol efek samping dari penggunaan obat ini.


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari pengobatan yang diberikan pada pasien M.S dalam kasus

ini yaitu beberapa obat-obatan yang diberikan sudah rasional seperti paracetamol,

lodia, alprazolam, amlodipine dan lansoprazol, namun tetap dilakukan

pemantauan terhadap dosis dan efek samping yang dapat ditimbulkan dari obat-

obat ini. Obat-obat yang tidak rasional yang diberikan diantaranya adalah

ondansetron, new diatabs, cotromoxazol, asam treneksamat, futrolit, dan ozid

(omeprazol).

B. Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penanganan kasus pasien M.S adalah
DAFTAR PUSTAKA

Tjay & Raharja, 2010, Obat-Obat Penting, Edisi Keenam, Jakarta; Elex Media

Komputindo.

Koda-Kimble and Young’s, 2013, Applied Therapeutics : The Clinical Use Of Drugs,

Edisi Kesepuluh, Filadelfia.

Stockley, I.,H., 2008, Stockley’s Drug Interactions, Edisi Kedelapan, Great Britain;

Pharmaceutical Press.

Anda mungkin juga menyukai