Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN GERONTIK

Ny. S DENGAN DIABETES MELITUS


DI RUMAH SAKIT ISLAM METRO

1 NOVEMBER 2019

LILIK KURNIATI

PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS ILMU KESEHATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU LAMPUNG
2019

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Diabetes Mellitus

1. Pengertian Diabetes Mellitus

Diabetes Mellitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang

ditandai dengan peningkatan kadar gula darah (hiperglikemia) akibat

kerusakan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya. (Smeltzer,

2018).

Diabetes Mellitus merupakan penyakit gangguan metabolisme kronis

yang ditandai peningkatan gula darah (Hiperglikemia), disebabkan karena

ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan insulin. Insulin dalam tubuh

dibutuhkan untuk memfasilitasi masuknya glukosa dalam sel agar dapat

digunakan untuk metabolisme dan pertumbuhan sel. Berkurang atau tidak

adanya insulin menjadikan glukosa tertahan didalam darah dan kekurangan

glukosa yang sangat dibutuhkan dalam kelangsungan dan fungsi sel.

(Tarwoto dkk., 2012).

Diabetes Mellitus tipe 2 sebelumnya disebut Non Insulin Dependent

Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Mellitus onset-dewasa adalah

gangguan yang melibatkan baik genetic dan faktor lingkungan. Sedangkan

Diabetes Tipe 1 atau sebelumnya disebut Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (IDDM) atau Diabetes Mellitus onset anak-anak adalah Diabetes

1
yang ditandai dengan destruksi sel beta pankreas yang mengakibatkan

defisiensi insulin absolut (Black & Hawks, 2014).

Diabetes adalah penyakit kronis, yang terjadi ketika pankreas tidak

menghasilkan cukup insulin, atau ketika tubuh tidak dapat secara efektif

menggunakan insulin yang dihasilkan. Hal ini menyebabkan peningkatan

konsentrasi glukosa dalam darah (hiperglikemia). Penyakit ini timbul secara

perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai

perubahan dalam dirinya. Perubahan seperti sering buang air kecil (poliuria),

sering haus (polidipsia), banyak makan/mudah lapar (polifagia) dan berat

badan menurun tanpa sebab yang jelas. Diabetes merupakan penyakit yang

dapat mematikan karena pengaruhnya menyebar ke sistem tubuh yang lain,

kondisi ini meliputi resistensi insulin, kadar kolesterol yang tinggi dan

tekanan darah tinggi. Mereka yang memiliki tekanan darah yang lebih tinggi

3 kali lebih besar ditemukan pada penderita Diabetes Mellitus (Apriyanti,

2014).

2. Kriteria Diabetes Mellitus

Menurut American Diabetes Association 2010 (ADA) menentukan

diagnosa dan kriteria Diabetes Mellitus, memenuhi 2 diantara 3 kriteria

sebagai berikut:

a. Adanya tanda dan gejala Diabetes Mellitus ditambah kadar gula darah

acak atau random lebih atau sama dengan 200 mg/dl.

b. Gula darah puasa atau Fasting Blood Sugar (FBS) lebih besar atau sama

dengan 126 mg/dl (puasa sekurangnya 8 jam).

2
c. Hasil Glucose Tolerant Test (GTT) lebih besar atau sama dengan 200

mg/dl, 2 jam sesudah beban.

Sedangkan pre Diabetes Mellitus

a. Impaired glucose tolerance (IGT) jika berhasil pemeriksaan 2 jam

sesudah beban glukosa >140 s.d <200 mg/dl

b. Impaired fasting glucose (IFG), jika berhasil pemeriksaan gula darah

puasa >110 s.d <126 mg/dl)

Tabel 2.1
Kriteria Diabetes Mellitus (ADA, 2010).
Kadar gula Bukan Belum pasti
DIABETES
darah DIABETES DIABETES
MELLITUS
(mg/dl) MELLITUS MELLITUS
Sewaktu Plasma vena <100 mg/dL 100-199 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Darah <90 mg/Dl 90-199 mg/dL ≥ 200 mg/dL
kapiler
Puasa Plasma vena <100 mg/dL 100-125 mg/dL ≥ 120 mg/dL
Darah <90 mg/dL 90-99 mg/dL ≥ 100 mg/dL
kapiler
c. (American Diabetes Association 2010 dalam Tarwoto dkk., 2012).

3. Klasifikasi Diabetes Mellitus

Menurut WHO dan American Diabetes Association (dalam Tarwoto

dkk., 2012), Diabetes Mellitus diklasifikasikan menjadi :

a. Diabetes Mellitus tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(INDDM) yaitu Diabetes Mellitus yang bergantung insulin. Diabetes

tipe ini terjadi pada 5% s.d 10% penderita Diabetes Mellitus. Pasien

sangat tergantung insulin melalui penyuntikan untuk mengendalikan gula

darah. Diabetes tipe 1 disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas

yang menghasilkan insulin. Hal ini berhubungan dengan kombinasi

antara faktor genetik, imunologi dan kemungkinan lingkungan, seperti

virus. Terdapat juga hubungan terjadinya Diabetes tipe 1 dengan

3
beberapa antigen leukosit manusia (HLAs) dan adanya autoimun

antibody sel islet (ICAs) yang dapat merusak sel-sel beta pankreas.

Bagaimana proses terjadinya kerusakan sel beta itu ini tidak jelas.

Ketidakmampuan sel beta menghasilkan insulin mengakibatkan glukosa

yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dalam hati dan tetap

berada dalam darah sehingga menimbulkan hiperglikemia. Pada Diabetes

tipe 1 sangat beresiko terjadinya koma diabetikum, akibat adanya

ketoasidosis. Keadaan ini disebabkan karena adanya akselerasi

katabolisme lemak, disertai peningkatan pembentukan badan keton dan

penurunan sintesis asam lemak dan trigliserida.

b. Diabetes Mellitus tipe 2 atau Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus

(NIDDM) yaitu Diabetes Mellitus yang tidak tergantung pada insulin.

Kurang lebih 90 %-95 % penderita Diabetes Mellitus adalah Diabetes

tipe ini. Diabetes Mellitus tipe 2 terjadi akibat penurunan sensitivitas

terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan produksi

insulin. Normalnya insulin terikat oleh reseptor khusus pada permukaan

sel dan mulai terjadi rangkaian reaksi termasuk metabolisme glukosa.

Pada Diabetes tipe 2 reaksi dalam sel kurang efektif karena kurangnya

insulin yang berperan dalam menstimulasi glukosa masuk ke jaringan

dan pengaturan pelepasan glukosa dihati. Adanya insulin juga dapat

mencegah pemecahan lemak yang menghasilkan badan keton. Diabetes

Mellitus tipe 2 banyak terjadi pada usia dewasa lebih dari 45 tahun,

karena perkembangan lambat dan terkadang tidak terdeteksi, tetapi jika

4
gula darah tinggi baru dapat dirasakan seperti kelemahan, iritabilitas,

poliura, polidipsi, proses penyembuhan luka yang lama, infeksi vagina,

kelainan penglihatan.

c. Diabetes karena malnutrisi. Golongan Diabetes ini terjadi akibat

malnutrisi, biasanya pada penduduk yang miskin. Diabetes tipe ini dapat

ditegakkan jika ada 3 gejala dari gejala yang mungkin yaitu:

1) Adanya gejala malnutrisi seperti badan kurus, berat badan kurang

dari 80% berat badan ideal

2) Adanya tanda-tanda malabsorpsi makanan

3) Usia antara 15-40 tahun

4) Memerlukan insulin untuk reglukosasi Diabetes Mellitus dan

menaikkan berat badan.

5) Nyeri perut berulang.

d. Diabetes sekunder yaitu Diabetes Mellitus yang berhubungan dengan

keadaan atau penyakit tertentu, misalnya penyakit pankreas (pankreatitis,

neoplasma, trauma/panreatectomy), endokrinopati (akromegali,

Cushing’s syndrome, pheochromacytoma, hyperthyroidism), obat-obatan

atau zat kimia (glukokortikoid, hormon tiroid, infeksi cytomegalovirus,

serta syndrome genetic Diabetes seperti Syndrome Down.

e. Diabetes Mellitus gestasional yaitu Diabetes Mellitus yang terjadi pada

masa kehamilan, dapat di diagnosa dengan menggunakan test toleran

glukosa, terjadi pada kira-kira 24 minggu kehamilan. Individu dengan

5
Diabetes Mellitus gestasional 25% akan berkembang menjadi Diabetes

Mellitus.

Tabel 2.2
Perbedaan ciri-ciri dari Diabetes Mellitus tipe 1 dan 2
Ciri-ciri Tipe 1 Tipe 2
 Nama lain  Insulin dependent Diabetes  Non insulin dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), juvenile Mellitus (NIDDM)
Diabetes.
 Umur kejadian  Umumnya terjadi pada usia  Biasanya terjadi setelah umur
30 tahun, tetapi dapat terjadi 30 tahun, tetapi dapat terjadi
pada semua umur pada masa anak-anak.
 Insiden  Kurang dari 10%  Sampai dengan 90%
 Tipe kejadian  Biasanya berat, dengan cepat  Mungkin asimtomatik, kejadian
terjadi hiperglikemia. berlahan, tubuh beradaptasi
terhadap keadaan hiperglikemia
 Produksi insulin  Sedikit atau tidak ada  Dibawah normal, normal atau
diatas normal
 Berat badan saat  Ideal atau kurus  85% obesitas, dapat pula terjadi
kejadian pada berat badan ideal.
 Ketosis  Mudah terjadi ketosis, jarang  Resisten terhadap kerosis, dapat
terjadi jika terkontrol terjadi jika disertai infeksi atau
stres.
 Manifestasi  Poliuria, polidipsia,  Jarang terjadi, manifestasi
polyphagia, kelemahan ringan dari Hiperglikemia.
 Managemen diet  Penting dan utama  Penting dan utama
 Managemen  Penting dan utama  Penting dan utama
aktivitas
 Pemberian  Tergantung insulin untuk  20-30% pasien membutuhkan
insulin mempertahankan hidup insulin
 Tidak efektif  Efektif
 Pemberian agen
oral hipoglikemik

(Tarwoto dkk., 2012)

6
4. Etiologi dan Faktor Resiko

Nabyl (2012) mengungkapkan bahwa beberapa faktor yang bisa

dianggap sebagai kemungkinan penyebab Diabetes adalah karena terjadi

gangguan sistem imunitas, kelainan insulin dan adanya kelainan sel beta

pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel beta melepas

insulin. Salah satu efek utama akibat kurangnya insulin adalah berkurangnya

pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh yang mengakibatkan naiknya

konsentrasi gula darah setinggi 300-1200 mg/dl, peningkatan mobilitas lemak

dari daerah penyimpanan lemak yang abnormal disertai endapan kolestrol

pada dinding pembuluh darah dan berkurangnya protein dalam jaringan

tubuh.

Adapun beberapa faktor risiko utama Diabetes Mellitus yang diambil

dari berbagai literatur dapat dikelompok sebagai berikut:

a. Faktor risiko yang dapat diubah

1) Berat badan berlebih dan obesitas. Kegemukan atau kelebihan berat

badan minimal 20% lebih berat dari berat badan yang diharapkan

atau memiliki indeks massa tubuh (IMT) minimal 27 kg/m2.

Kegemukan, khususnya kegemukan viseral (lemak abdomen),

dikaitkan dengan peningkatan resistensi insulin (LeMone et al.,

2016).

2) Gula darah tinggi. Gula darah tinggi yang tidak ditatalaksana dapat

menyebabkan kerusakan saraf, masalah ginjal atau mata, penyakit

jantung, serta stroke. Hal-hal yang dapat meningkatkan gula darah

adalah: Makanan atau snack dengan karbohidrat yang lebih banyak

7
dari biasanya, kurangi aktifitas fisik, infeksi atau penyakit lain,

perubahan hormon misalnya selama menstruasi, stres (Nabyl, 2012).

3) Hipertensi. Jika tekanan darah tinggi maka jantung akan bekerja

lebih keras dan risiko untuk penyakit jantung dan Diabetes pun lebih

tinggi. Seseorang dikatakan memiliki tekanan darah tinggi apabila

berada dalam kisaran > 140/90 mmHg (LeMone et al., 2016).

4) Kadar kolesterol tinggi. Kolesterol HDL ≥ 35 mg/dl, dan atau kadar

trigliserida ≥ 250 mgg/dl (LeMone et al., 2016).

5) Kurang Aktivitas Fisik.

6) Kebiasaan diet yang buruk. Pola makan yang buruk seperti terlalu

banyak makan makanan yang berlemak, mengandung tinggi gula,

terlalu sering mengkonsumsi makanan yang menandung bahan

pengawet merupakan faktor risiko Diabetes Mellitus (Tarwoto dkk.,

2012).

7) Perilaku Merokok. Selain berbahaya bagi paru, rokok juga

berbahaya bagi jantung karena dapat menurunkan jumlah oksigen

yang mencapai organ tubuh sehingga dapat menyebabkan serangan

jantung atau stroke, meningkatkan kadar kolesterol dan kadar lemak

lain dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan risiko serangan

jantung, meningkatkan tekanan darah.

8) Lingkungan seperti virus (cytomegalovirus, mumps, rubella) yang

dapat memicu terjadinya autoimun dan menghancurkan sel-sel beta

pankreas, obat-obatan dan zat kimia seperti alloxan, streptozotocin,

pentamidine (Tarwoto dkk., 2012).

8
9) Stres. Stres berkepanjangan bisa memicu keluhan fisik dan psikis.

Namun, untuk penderita Diabetes, stres bisa berakibat lebih

merugikan bagi tubuh karena akan memacu metabolisme gula darah.

Secara fisiologis stres akan menyebabkan perubahan faal pada tubuh,

misalnya gangguan hormonal, gangguan sistem imunitas atau sistem

pencernaan menjadi tidak menentu. Pada penderita Diabetes, stres

akan menyebabkan gula darah menjadi lebih tidak terkontrol

(Apriyanti, 2014).

b. Faktor risiko yang tidak dapat diubah

1) Usia. Seiring bertambahnya usia, risiko deabetes dan penyakit

jantung semakin meningkat. Kelompok usia yang menjadi faktor

risiko Diabetes adalah usia lebih dari 45 tahun (Nabyl, 2012).

2) Ras dan Suku Bangsa. Suku bangsa afron-Amerika. Meksiko-

Amerika, India Amerika, Hawaii, dan sebagian asia-Amerika

memiliki risiko Diabetes dan penyakit jantung yang lebih tinggi. Hal

itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah tinggi,

obesitas, dan Diabetes, dan pola populasi tersebut (Nabyl, 2012).

3) Jenis kelamin. Kemungkinan laki-laki menderita penyakit jantung

lebih besar daripada perempuan. Namun, jika perempuan telah

menopause maka kemungkinan menderita penyakit jantung dan

Diabetes pun ikut meningkat meskipun prevalensilnya tidak setinggi

laki-laki (Nabyl, 2012).

9
4) Riwayat gestasional Diabetes Mellitus. Pada wanita, riwayat

Diabetes gestasional, sindrom ovarium polikistik atau melahirkan

bayi dengan berat lebih dari 4,5 kg berisiko mengalami Diabetes

Mellitus (LeMone et al., 2016).

5) Sindrom metabolik, kumpulkan manifestasi yang terkait dengan

Diabetes tipe II. Hipertensi, kegemukan viseral, kadar rendah dari

lipoprotein densitas tinggi, kadar tinggi dari trigliserida, protein

reaktif C naik, dan gula darah puasa lebih dari 110 mg/dl

meningkatkan risiko Diabetes Mellitus, penyakit jantung koroner

dan stroke (Lemone, et al 2016).

6) Riwayat keluarga. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang

menyandang Diabetes maka kemungkinan anda untuk menyandang

pun meningkat. Riwayat keturunan dengan Diabetes, misalnya pada

Diabetes Mellitus tipe 1 diturunkan sebagai sifat heterogen,

mutigenik. Kembar identik mempunyai resiko 25%-50%, sementara

saudara kandung beresiko 6% dan anak beresiko 5% (Tarwoto dkk.,

2012).

5. Tanda dan Gejala

Beberapa tanda dan gejala pada penderita Diabetes Mellitus yaitu

sebagai berikut:

a. Sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil

(poliuria). Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa

dikeluarkan oleh ginjal bersama urin karena keterbatasan kemampuan

10
filtrasi ginjal dan kemampuan reabsorpsi dari tubulus ginjal. Untuk

mempermudah pengeluaran glukosa maka diperlukan banyak air,

sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat (Tarwoto dkk., 2012).

Karena sifatnya, kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan banyak

kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat

mengganggu penderita, terutama pada waktu malam hari (Wijaya &

Putri, 2013).

b. Meningkatnya rasa haus (polidipsia). Banyaknya miksi menyebabkan

tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang

mengakibatkan peningkatan rasa haus (Tarwoto dkk., 2012). Keadaan ini

justru sering disalah tafsirkan. Dikiranya sebab rasa haus ialah udara

yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus

itu penderita banyak minum (Wijaya & Putri, 2013).

c. Meningkatnya rasa lapar (polipagia). Meningkatnya metabilisme,

pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan cadangan energi

berkurang, keadaan ini menstimulasi pusat lapar (Tarwoto dkk., 2012).

Rasa lapar yang semakin besar sering timbul pada penderita Diabetes

Mellitus sehingga untuk menghilangkan rasa lapar itu penderita banyak

makan (Wijaya & Putri, 2013).

d. Penurunan berat badan dan rasa lemas. Penurunan berat badan yang

berlangsung dalam relatif singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini

disebabkan glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel,

sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk

11
kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain

yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak

dan otot sehingga menjadi kurus (Tarwoto dkk., 2012).

e. Gangguan saraf tepi/kesemutan. Penderita mengeluh rasa sakit atau

kesemutan terutama pada kaki di waktu malam hari sehingga

mengganggu tidur (Wijaya & Putri, 2013).

f. Gangguan penglihatan. Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia

menyebabkan aliran darah menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak

lancar, termasuk pada mata yang dapat merusak retina serta kekeruhan

pada lensa (Wijaya & Putri, 2013).

g. Gatal/bisul. Peningkatan gula darah mengakibatkan penumpukan pula

pada kulit sehingga menjadi gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang

(Tarwoto dkk., 2012). Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di

daerah kemaluan dan daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah

payudara. Seringpula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama

sembuhnya. Luka ini dapat timbul karena akibat hal yang sepele seperti

luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti (Wijaya & Putri, 2013).

h. Gangguan ereksi pada laki-laki dan keputihan pada wanita. Gangguan

ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara terus

terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya

masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi

menyakit kemampuan atau kejantanan seseorang. Pada wanita, keputihan

12
dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan dan kadang-kadang

merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan (Wijaya & Putri, 2013).

i. Terkadang tanpa gejala. Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat

beradaptasi dengan peningkatan gula darah sehingga tidak muncul gejala

(Tarwoto dkk., 2012).

6. Komplikasi

Diabetes Mellitus merupakan penyakit yang mampu menurunkan

tingkat kekebalan tubuh dan memiliki banyak komplikasi, adapaun

komplikasi pada penderita Diabetes Mellitus adalah sebagai berikut:

a. Komplikasi akut

1) Hiperglikemia

Hiperglikemia menstimulasi hormone kontraregulator, yang

menstimulasi glukoneogenesis dan glikogenolisis dan juga

menghambat pemakaian glukosa perifer. Hal ini dapat menyebabkan

resistensi insulin selama 12-48 jam. Ketika tidak diobati, kekurangan

insulin menyebabkan cadangan lemak dipecah untuk menyediakan

energi yang menghasilkan hiperglikemia berkelanjutan dan

mobilisasi asam lemak dengan ketosis bertahap. Ketoasidosis

diabeteik terjadi bila terdapat kekurangan insulin mutlak dan

peningkatan hormone kontraregulator terstimulasi (kortisol).

Produksi glukosa oleh hati meningkat, pemakaian glukosa perifer

berkurang, mobiliassi lemak meningkat dan ketogenesis

(pembentukan keton) dirangsang. Peningkatan kadar glukagon

13
mengaktifkan jalur glukoneogenesis dan ketogenesis di hati. Pada

keadaan kekurangan insulin, produksi berlebihan beta-

hidroksibutirat dan asam asetoasetat (badan keton) oleh hati

menyebabkan peningkatan konsentrasi keton dan peningkatan

pelepasan asam lemak bebas. Sebagai akibat dari kehilangan

bikarbonat (yang terjadi bila terbentuk keton) penyangga bikarbonat

tidak terjadi dan terjadi asidosis metabolik, disebut ketoasidosis

diabetik. Depresi sistem saraf pusat akibat penumpukan keton dan

asidosis yang terjadi dapat menyebabkan koma dan kematian jika

tidak ditangani. Ketoasidosis diabetik juga dapat terjadi pada orang

yang terdiagnosa Diabetes saat kebutuhan tenaga meningkat selama

stres fisik atau meosi. Keadaan stres memicu pelepasan hormone

glukoneogenik yang menghasilkan pembentukan karbohidrat dari

protein atau lemak (LeMone et al., 2016).

Koma hiperglikemia di sebabkan kadar glukosa sangat

tinggi biasanya terjadi pada Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (NIDDM). Ketoasidosis atau keracunan zat keton sebagai

hasil metabolime lemak dan protein terutama terjadi pada Insulin

Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Koma hipoglikemia akibat

terapi insulin yang berlebihan atau tidak terkontrol (Tarwoto dkk.,

2012).

14
2) Komplikasi kronik

1) Perubahan pada sistem kardiovaskular

Makrosirkulasi (pembuluh darah besar) pada penyandang DM

mengalami perubahan akibat aterosklerosis; trombosit, sel darah

merah dan faktor pembekuan yang tidak normal; dan perubahan

dinding arteri. Telah ditetapkan bahwa aterosklerosis mengalami

peningkatan insidensi dan usia awitan penyandang DM menjadi

lebih dini. Faktor risiko lain yang menimbulkan perkembangan

penyakit makrovaskular pada DM adalah hipertensi,

hiperlipedemia, merokok, dan kegemukan. Perubahan sistem

vascular meningkatkan risiko komplikasi jangka panjang

penyakit arteri koroner, penyakit vascular serebral dan penyakit

vascular perifer (LeMone et al., 2016).

2) Penyakit arteri koroner

Penyakit arteri koroner merupakan faktor risiko utama

terjadinya infark miokard pada penyandang DM, khususnya

pada DM tipe 2 usia paruh baya hingga lansia. Penyakit arteri

koroner merupakan penyebab terbanyak kematian pada

penyandang DM tipe 2. Penyandang DM yang mengalami infark

miokard lebih rentan terhadap terjadinya gagal jantung kongestif

sebagai komplikasi infark dan juga cenderung jarang bertahan

hidup pada periode segera setelah mengalami infark (LeMone et

al., 2016).

15
3) Hipertensi

Hipertensi merupakan komplikasi umum pada penderita DM

yaitu menyerang 75% penyandang DM dan merupakan faktor

risiko utama pada penyakit kardiovaskular dan komplikasi

mikrovaskular, seperti retinopati dan nefropati (LeMone et al.,

2016).

4) Penyakit vascular perifer

Penyakit vascular perifer di ekstremitas bawah menyertai kedua

tipe DM, tetapi insidennya lebih besar pada penyandang DM

tipe 2. Arterosklerosis pembuluh darah tungkai pada

penyandang DM mulai pada usia dini, berkembang dengan

cepat, dan frekuensinya sama pada pria dan wanita. Kerusakan

sirkulasi vascular perifer menyebabkan insufisiensi vascular

perifer dengan klaudikasi (nyeri) intermiten di tungkai bawah

dan ulkus pada kaki. Sumbatan dan trombosis di pembuluh

darah besar dan arteri kecil dan arteriol, serta perubahan fungsi

neurologist infeksi, mengakibatkan Gangren (nekrosis atau

kematian jaringan). Gangren akibat DM merupakan penyebab

terbanyak amputasi non-traumatik di tungkai bawah. Pada

penyandang DM, Gangren kering paling banyak terjadi, yang

dimanifestasikan dengan jaringan yang dingin, kering, mengerut

dan berwarna hitam di jari kaki dan kaki. Gangren biasana mulai

16
dari ibu jari kaki dan bergerak ke arah proksimal kaki (LeMone

et al., 2016).

5) Retinopati diabetik

Retinopati diabetik adalah nama untuk perubahan di retina yang

terjadi pada penyandang DM. struktur kapiler retina mengalami

perubahan aliran darah, yang menyebabkan iskemia retina dan

kerusakan sawar retina-darah. Retinopati diabetik merupakan

penyebab terbanyak kebutaan pada orang yang berusia 20

sampai 74 tahun. Setelah 20 tahun mengalami DM, hampir

semua pasien DM tipe 1 dan lebih dari 60% pasien DM tipe 2

akan mengalami beberapa derajat retinopati, pada sebagian besar

kasus tanpa kehilangan penglihatan. Jika eksudat, edema,

perdarahan atau iskemia terjadi di dekat fovea maka orang

tersebut akan mengalami kerusakan penglihatan di tiap tahap.

Selain itu, penyandang DM terisiko tinggi mengalami katarak

sebagai akibat peningkatan kadar glukosa dalam lensa itu sendiri

(LeMone et al., 2016).

6) Nefropati diabetik

Nefropati diabetik adalah penyakit ginjal yang ditandai dengan

adanya albumin dalam ruine, hipertensi, edema dan insufisiensi

ginjal progresif. Nefropati terjadi pada 30%-40% penyandang

DM tipe 1 dan 15%-20% dengan DM tipe 2. Asal patologi pasti

nefropati diabetik tidak diketahui, tetapi diketahuinya bahwa

17
penebalan membrane basalis glomerulus akhirnya merusak

fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa peningkatan konsentrasi

glukosa intraselular mendukung pembentukan glikoprotein tidak

normal di membrane basalis dan mesangium. Penumpukan

protein dalam jumlah besar ini menstimulasi glomerulosklerosis

(fibrosis jaringan glomerular). Glomerulosklerosis menebalkan

membrane basalis dan secara simultan membuat fungsinya

bocor, yang memungkinkan molekul besar seperti protein

dibuang dalam urine (LeMone et al., 2016).

7) Perubahan Mood

Penyandang DM baik tipe 1 maupun tipe 2 menjalani ktegangan

kronik hidup dengan perawatan diri kompleks dan berisiko

tinggi mengalami depresi distress emosional spesifik karena

DM. Depresi mayor dan gejala depresi mempengaruhi 20%

penyandang DM yang membuatnya menjadi dua kali lebih

sering terjadi di kalangan penyandang DM dibanding populasi

umum (LeMone et al., 2016).

8) Perubahan pada Sistem Saraf Perifer dan Otonom (Neuropati)

Neuropati perifer dan viseral adalah penyakit pada saraf perifer

dan sistem saraf otonomi. Pada penyandang DM, penyakit ini

seringkali disebut neuropati diabetik. Etiologi neuropati

Diabetes mencakup 1_ penebalan dinding pembuluh darah yang

memasok saraf, yang menyebabkan penurunan nutrient; 2)

18
demielinisasi sel-sel Schwann yang mengelilingi dan menyekat

saraf, yang memperlambat hantaran saraf; dan 3) pembentukan

dan penumpukan sorbitor dalam sel-sel Schwann, yang merusak

hantaran saraf. Neuropati perifer (juga disebut neuropati

somatic) mencakup polineuropati dan mononeuropati.

Polineuropati DM, merupakan gangguan sensorik bilateral.

Manifestasi pertama kali terlihat pada jari kaki dan bergerak ke

atas. Jari tangan dan tangan juga dapat terkena. Manifestasi

polineuropati bergantung pada serabut saraf yang terkena, dan

untuk alasan ini, penderita Diabetes harus diberitahu untuk

memeriksa kaki dan tungkai mereka setiap hari, melihat tanda-

tanda cedera. Penderita polineuropati biasanya mengalami

parestesia distal (perubahan sensasi, misalnya kebas atau

kesemutan) nyeri yang digambarkan, seperti sakit, terbakar, atau

dapat berupa kerusakan sensasi nyeri, sentuhan ringan sulit

membedakan dua titik dan vibrasi (LeMone et al., 2016).

Neuropati viseral (juga disebut neuropati otonomi)

menyebabkan berbagai manifestasi, bergantung pada area yang

terkena. Neuropati ini dapat mencakup: 1) gangguan berkeringat; 2)

fungsi pupil tidak normal; 3) gangguan kardiovaskular; gangguan

gastrointestina; 4) gangguan genitourinary (LeMone et al., 2016).

19
7. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

Black & Hawks (2014) mengungkapkan bahwa penatalaksanaan

bagi penderita Diabetes Mellitus berfokus pada upaya untuk mengembalikan

dan memelihara kadar glukosa senormal mungkin melalui berbagai

manajemen Diabetes Mellitus seperti diet seimbang, olahraga, terapi alternatif

& komplementer, serta penggunaan obat hipoglikemia oral (OHO) atau

insulin.

a. Pengobatan farmakologi

Intervensi farmakologi harus dipertimbangkan ketika penderita

DM tidak dapat mencapai kadar glukosa darah normal atau hampir

normal. Obat antiDiabetes termasuk sulfoniurea, biguanid, meglitinid,

tiazolidinedion, inhibitor alfa-glukosidase, inkretin mimetic, dan

amylonomimetik. Pengobatan oral bertujuan untuk mencapai

pengendalian glikemik optimal. Penderita DM tipe 1 tidak menghasilkan

cukup insulin untuk menopang kehidupan, penderita bergantung pada

pemberian insulin eksogen harian. Sementara penderita DM tipe 1 tidak

bergantung pada insulin eksogen untuk bertahan hidup. Namun penderita

DM tipe 2 membutuhkan insulin guna mengendalikan glukosa adekuat,

khususnya pada saat stres dan sakit (Black & Hawks, 2014).

b. Terapi Pembedahan

Penatalaksanaan pembedahan pada Diabetes Mellitus mencakup

perbaikan saluran glukosa lewat pembedahan serta mengganti atau

mencangkok pankreas, sel-sel pankreas, atau sel-sel beta. Meskipun ini

20
masih dalam tahap penelitian, banyak peneliti percaya bahwa

pencangkokan ekor (ujung) pankreas adalah teknik yang paling

menjanjikan untuk mencapai kontrol penyakit jangka panjang.

Pencangkokan sel-sel islet memiliki tingkat keberhasilan moderat dan

penelitian terus dilanjutkan. Penderita Diabetes dapat menerima bagian

pankreas dari kerabat yang masih hidup, seringkali sebagai bagian dari

cangkok ginjal. Pankreas yang dicangkok dapat melindungi ginjal baru

dari kerusakan. Penelitian lain tengah dilakukan terhadap penggunaan

pankreas buatan yang ditanam secara internal atau sel-sel beta buatan

closed-loop (LeMone et al., 2016).

Transplantasi pankreas pertama sempurna tahun 1966. Sekitar

80% prosedur transplantasi pankreas sekarang dilakukan bersamaan

tranplantasi ginjal. Pankreas penderita seluruhnya berada di sebelah kiri

dan pankreas baru ditempatkan pada arteri dan vena iliaka, dimana

insulin dapat masuk ke dalam jalur sistemik. Pankreas baru ditempatkan

di dalam ruang pelvis bagian bawah, dan duktus dihubungkan ke

kandung kemih. Sekresi eksokrin pankreas baru kemudian mengalir ke

dalam kandung kemih dan tidak diserap. Prosedur bedah mumnya

berakhir 4-6 jam. Tranplantasi pankreas setelah ginjal dan tranplantasi

pankreas saja terhitung menyisakan 20% prosedur transplantasi pankreas.

Komplikasi utama dari transplantasi pankreas termasuk trombosis

pembuluh darah dan infeksi (Black & Hawks, 2014).

21
c. Pengaturan diet

Tujuan rencana diet adalah memperbaiki kadar glukosa darah,

memperbaiki kesehatan secara menyeluruh, mencegah atau menunda

komplikasi dan mencapai atau mempertahankan berat badan ideal karena

mayoritas penderita Diabetes mengalami kelebihan berat badan, ataupun

penurunan berat Black & Hawks (2014) menjelaskan bahwa tujuan

umum dari penatalaksanaan diet adalah membantu penderita Diabetes

Mellitus meningkatkan pengendalian metabolisme dengan mengubah

perilaku makan. Secara khusus tujuan diet meliputi: 1) memperbaiki

kadar lemak dan glukosa; 2) menyediakan asupan makanan hari ke hari

secara konsisten; 3) memfasilitasi pengelolaan berat badan; dan 4)

memberikan nutrisi adekuat untuk seluruh tahap kehidupan.

Tidak ada panduan khusus untuk diet Diabetes tipe 2, tetapi

selain mengurangi kilo kalori, pasien dianjurkan mengonsumsi tiga kali

makan dengan ukuran yang sama, berjarak sekitar 4-5 jam setiap kali

makan, dengan satu atau dua kali kudapan. Penyandang DM tipe 2 juga

harus mengurangi asupan lemak. Rencana makanan penderita DM

berfokus pada kandungan karbohidrat. Pasien makan jumlah karbohidrat

yang hampir sama pada setiap kali makan atau kudapan setiap hari,

berdasarkan pada program gizi individual dan piramida panduan

makanan, karbohidrat dalam makanan memiliki efek terbesar dalam

kadar glukosa darah pasca prandial (sesudah makan). Karbohidrat juga

22
menentukan hingga derajat tertentu dibanding protein, lemak, dan

kebutuhan insulin sebelum makan (LeMone et al., 2016).

d. Aktivitas fisik (olahraga)

Kadar gula darah penderita Diabetes Mellitus yang tidak

ketergantungan insulin dapat menurun melalui kegiatan latihan fisik atau

olahraga. Latihan fisik bagi penderita Diabetes sangat dibutuhkan, karena

pada saat latihan fisik energi yang dipakai adalah glukosa dan asam

lemak bebas. Jenis latihan fisik yang dapat digunakan adalah olahraga

seperti aerobik, jalan, lari, bersepeda dan berenang. Yang perlu

diperhatikan dalam latihan fisik pasien Diabetes adalah frekuensi,

intensitas, durasi waktu dan jenis latihan. Sebaiknya olahraga dilakukan

secara teratur 3 kali/minggu dengan intensitas 60-70% dari heart rate

maximum (220-umur), lamanya 20-45 menit (Tarwoto dkk., 2012).

Program aktivitas fisik terencana adalah bagian penting rencana asuhan

pada penderita Diabetes Mellitus. Aktivitas fisik menurunkan kadar

glukosa darah dengan meningkatkan metabolisme karbohidrat,

membantu menjaga dan menurunkan BB, meningkatkan sensitivitas

insulin, meningkatkan kadar high-density lipoprotein (HDL),

menurunkan kadar trigliserid, menurunkan tekanan darah, serta

mengurangi ketegangan dan stres (Black & Hawks, 2014). Program

olahraga teratur bagi penderita Diabetes Mellitus setidaknya 150 menit

per minggu. Pada penyandang Diabetes, olahraga rutin meningkatkan

ambilan glukosa oleh sel otot, yang kemungkinan mengurangi kebutuhan

23
akan insulin dan mengunragi kolesterol serta trigliserida sehingga dapat

menurunkan risiko penyakit kardiovaskular (LeMone et al., 2016).

e. Terapi alternatif dan komplementer

Perawat memiliki peranan sebagai terapis dibeberapa tatanan

pelayanan kesehatan dan dapat melaksanakan bermacam pengobatan

alternatif dan komplementer seperti teknik relaksasi. Latihan relaksasi

seringkali digunakan dalam manajemen stress yang ditujukan untuk

menurunkan ketegangan pada otot-otot tubuh menjadi rileks,

menurunkan tekanan darah, menurunkan nyeri, memudahkan tidur

(Apriyanti, 2014). Salah satu teknik relaksasi yang telah banyak

dilakukan penelitian dan banyak terbukti menurunkan kadar gula darah

pasien Diabetes Mellitus adalah relaksasi Benson yaitu metode relaksasi

yang diciptakan oleh Herbert Benson seorang ahli peneliti medis dari

Fakultas Kedokteran Harvard yang mengkaji beberapa manfaat doa dan

meditasi bagi kesehatan sehingga teknik ini dikenal dengan nama teknik

Relaksasi Benson (Benson Relaxation) (Solehati & Kosasih, 2015).

B. Penuaan

1. Pengertian dan Biomarker Penuaan

Penuaan adalah proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri, mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga

tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Penuaan

merupakan suatu proses yang tidak dapat dihindari dan pasti dialami setiap

24
individu. Manusia lahir, berkembang dewasa, menjadi tua dan akhirnya

meninggal merupakan suatu siklus kehidupan yang tidak terpisahkan. Namun

anggapan bahwa bertambahnya usia harus disertai dengan segala kekurangan

dan ketidakberdayaan semestinya dihilangkan. Konsep dasar Anti Aging

Medicine sangat penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga

proses penuaan dapat dicegah, diperlambat, dan fungsi organ tubuh

dikembalikan ke kondisi seperti pada usia muda, dengan demikian kualitas

hidup semakin baik (Pangkahila, 2017).

Biomarker penuaan tidak hanya dapat dilihat berdasarkan tanda

atau perubahan fisik. Biomarker penuaan pada fase subklinis dapat dilihat

berdasarkan pemeriksaan laboratorium terhadap bahan tubuh seperti darah,

saliva, urine, dan jaringan tubuh lain. Pada saat ini banyak bahan biokimia

yang dapat diperiksa dan diukur kadarnya, yaitu neurotransmitter, hormon,

nutrien, tumor marker, metabolit, genetic marker, toksin, produk oxidative

stress, dan molekul antioksidan. Biomarker penuaan berkaitan erat dengan

fungsi organ tubuh dan kualitas hidup

(Pangkahila, 2017).

Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan

manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang hanya di

mulai dari satu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.

Menua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga

tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik

secara biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami

25
kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit

mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,

penglihatan semakin memburuk, gerakan-gerakan lambat, dan postur tubuh

yang tidak proforsional (Nugroho, 2008).

2. Tahap-tahap Proses Penuaan

Proses penuaan tidak berlangsung secara tiba-tiba pada usia

lanjut, melainkan melalui tiga tahap sebagai berikut (Pangkahila, 2017):

a. Tahap subklinik (usia 25 – 35 tahun)

Pada tahap ini, sebagian besar hormon di dalam tubuh mulai menurun,

yaitu hormon testosteron dan estrogen. Pada usia remaja awal, hormon

melatonin dan Growth Hormone telah menurun kadarnya. Pembentukan

radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi

tubuh. Kerusakan ini biasanya tidak tampak dari luar. Karena itu pada

usia ini dianggap usia muda dan normal.

b. Tahap transisi (usia 35 – 45 tahun)

Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25%. Massa otot

berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun, sedangkan

komposisi lemak tubuh bertambah. Keadaan ini menyebabkan resistensi

insulin, meningkatnya resiko peyakit jantung, pembuluh darah dan

obesitas. Kerusakan akibat radikal bebas mulai merusak ekspresi genetik,

yang dapat menyebabkan penyakit seperti kanker, arthritis, berkurangnya

memori, penyakit jantung koroner, dan diabetes.

26
c. Tahap klinik (usia 45 tahun keatas)

Pada tahap ini penurunan kadar hormon terus berlanjut. Terjadi juga

penurunan, bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan,

vitamin dan mineral. Densitas tulang menurun, massa otot berkurang satu

kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan

membakar kalori, meningkatnya lemak tubuh dan berat badan. Penyakit

kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami

kegagalan.

3. Teori Penuaan

Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses

penuaan. Tetapi, pada dasarnya semua teori itu dapat dibagi menjadi dua

kelompok, yaitu teori “pakai dan rusak” (wear and tear theory) dan teori

program (programmed theory) (Pangkahila, 2017).

a. Teori “Pakai dan Rusak”

Teori “pakai dan rusak” pada prinsipnya menyatakan tubuh menjadi

lemah lalu meninggal sebagai akibat dari penggunaan dan kerusakan

yang terakumulasi. Teori ini telah lama diperkenalkan oleh Dr. August

Weismann, seorang ahli biologi dari Jerman pada tahun 1882. Menurut

teori ini, tubuh dan sel yang terdapat pada makhluk hidup menjadi rusak

karena terlalu sering digunakan dan disalahgunakan. Kerusakan tidak

terbatas pada organ, melainkan juga terjadi ke tingkatan sel (Pangkahila,

2017).

27
Teori ini meyakini bahwa pemberian suplemen yang tepat dan

pengobatan yang tidak terlambat dapat membantu mengembalikan proses

penuaan dengan mekanismenya adalah merangsang kemampuan tubuh

untuk melakukan perbaikan dan mempertahankan organ tubuh dan sel

(Pangkahila, 2017). Teori “pakai dan rusak” meliputi:

1) Teori kerusakan DNA

Tubuh manusia memiliki kemampuan untuk memperbaiki diri (DNA

repair). Kerusakan DNA yang terakumulasi dalam waktu lama, dapat

mencapai suatu keadaan dimana basis molekul sudah mengalami

kerusakan yang berat. Kerusakan molekuler dapat disebabkan oleh

faktor yang berasal dari luar, seperti radiasi, polutan, asap rokok dan

mutagen kimia (Pangkahila, 2017).

2) Hipotesis radikal bebas

Hipotesis ini mendapat perhatian besar sejak penggunaan

antioksidan diyakini dapat menghambat kerusakan akibat radikal

bebas. Istilah radikal bebas digunakan bagi suatu molekul yang

mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan.

Elektron yang tidak berpasangan menyebabkan ketidakseimbangan

dalam lompatan elektris. Untuk mengembalikan keseimbangan,

maka radikal bebas mengambil elektron dari molekul yang stabil di

dekatnya. Pengaruh radikal bebas secara molekuler berupa

serangkaian peristiwa yang menyebabkan oksidasi organik oleh

oksigen molekuler. Peristiwa ini mengakibatkan kerusakan fungsi

28
seluler melalui terjadinya mutasi DNA, cleavage of DNA dan

agregasi biomolekul melalui cross-linking reaction. Beberapa

penelitian dasar menggunakan antioksidan yang dilakukan di

Universitas Udayana juga menunjukkan manfaat yang baik dalam

memperlambat proses penuaan (Pangkahila, 2017).

3) Glikosilasi

Teori ini dikemukakan dan mendapatkan momentumnya sejak

diketahui bahwa glikosilasi memiliki peranan penting dalam

kaitannya dengan diabetes tipe 2. Glukosa mungkin bergabung

dengan protein yang telah mengalami dehidrasi, yang kemudian

menyebabkan terganggunya sistem organ tubuh (Pangkahila, 2017).

b. Teori Program

Teori ini menganggap bahwa di dalam tubuh manusia terdapat

suatu jam biologik, yang dimulai dari proses konsepsi sampai ke

kematian dalam suatu model terprogram. Peristiwa ini terprogram mulai

dari sel sampai embrio, janin, masa bayi, anak-anak, remaja, menjadi tua

dan akhirnya meninggal (Pangkahila, 2017). Teori program meliputi:

1) Teori terbatasnya replikasi sel

Pada ujung chromosome strands terdapat struktur khusus yang

disebut telomere. Secara biokima, telomere terdiri dari

hexanucleotide. Dengan setiap replikasi sel, telomere memendek

pada setiap pembelahan sel. Setelah sejumlah pembelahan sel,

29
telomere telah dipakai dan pembelahan sel berhenti (Pangkahila,

2017).

2) Proses imun

Salah satu gambaran yang universal pada siklus hidup ialah involusi

kelenjar thymus. Kelenjar ini merupakan sumber sel T, yang

berperan penting pada sistem imun. Jumlah sel T tidak berkurang

secara dramatis, tetapi fungsinya menurun. Sel T memproduksi suatu

bahan disebut limfokin, di antaranya yang penting ialah interleukin.

Pada banyak kelainan yang terjadi pada usia lanjut, interkeukin

berperan penting (Pangkahila, 2017).

3) Teori hormon

Ada dua sisi dalam hubungan antara proses penuaan dengan

perubahan hormon. Proses penuaan memengaruhi sistem hormon,

tetapi gangguan hormon menimbulkan gejala dan tanda yang sama

dengan yang terjadi karena proses penuaan (pangkahila, 2017).

4. Penyebab Penuaan

Pada dasarnya penyebab penuaan dikelompokkan menjadi faktor

internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal penyebab proses

penuaan ialah radikal bebas, perubahan kadar hormon, proses glikosilasi,

metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal

yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah,

polusi lingkungan, stress dan kemiskinan (Pangkahila, 2017).

30
C. Diabetes Melitus dan Penuaan

Pada diabetes, glikosilasi menyebabkan kekakuan arteri, katarak,

hilangnya fungsi syaraf, hal ini merupakan komplikasi yang umum terjadi pada

diabetes. Diabetes sering dianggap sebagai model biologik proses penuan dini.

Mereka yang mengalami diabetes lebih awal mengalami proses patologik, yang

pada non-diabetes terjadi pada usia jauh lebih lanjut. Karena itu usia harapan

hidup pada orang dengan diabetes lebih pendek (Pangkahila, 2017).

Sebuah hipotesis populer saat ini adalah hipotesis stress oksidatif, yang

terjadi melalui mekanisme tunggal produksi superoksida, yang merupakan faktor

patogenesis umum yang menyebabkan resistensi insulin, disfungsi sel β pankreas,

gangguan toleransi glukosa, dan akhirnya mengarah ke diabetes. Lebih jauh lagi,

mekanisme ini juga terlibat dalam penyebab komplikasi diabetes, baik komplikasi

mikro maupun makrovaskular (Wright et al., 2007).

Beberapa studi klinis menunjukkan bahwa penderita diabetes

mengalami stress oksidatif kronis. Hal ini telah terlihat dari beberapa macam

metode yang digunakan, meliputi high-performance liquid chromatography, gas

chromatography/mass spectrometry, dan immunostaining biopsi pankreas. Pro-

oksidan dan penanda kerusakan oksidatif jaringan, seperti 8-hydroxy-

deoxyguanine, 4-hydroxy-2-nonenal (HNE) proteins, 8-epi-prostaglandin F2α,

hidroperoksida, dan oksidasi basa DNA telah dilaporkan meningkat pada serum,

plasma, sel darah merah, dan biopsi pankreas pada penderita diabetes.

Dibandingkan dengan kontrol non-diabetes, penanda-penanda tersebut meningkat

lima kali lipat diambang batas normal. Oleh karena itu terapi yang ditujukan untuk

31
mengurangi stress oksidatif akan menguntungkan bagi penderita diabetes dan bagi

mereka yang berisiko tinggi terhadap diabetes (Wright et al., 2007).

1. Penyebab terjadinya penuaan pada lansia

banyak faktor yang menyebabkan setiap orang menjadi tua melalui

proses penuaan. Pada dasarnya berbagai faktor tersebut dapat dikelompokkan

menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah

radikal bebas, hormon yang menurun kadarnya, proses glikosilasi, sistem

kekebalan tubuh yang menurun dan juga faktor genetik. Sedangkan faktor

eksternal adalah gaya hidup yang tidak sehat, diet yang tidak sehat, kebiasaan

hidup yang salah, paparan polusi lingkungan dan sinar ultraviolet, stres dan

penyebab sosial lain seperti kemiskinan. Kedua faktor ini saling terkait dan

memainkan peran yang besar dalam penyebab proses penuaan (Uchil Nissa,

2014).

2. Perubahan lansia pada sistem endokrin

Sekitar 50% lansia menunjukka intoleransi glukosa, dengan kadar

gula puasa yang normal. Penyebab dari terjadinya intoleransi glukosa ini

adalah faktor diet, obesitas, kurangnya olahraga, dan penuaan. Frekuensi

hipertiroid pada lansia yaitu sebanyak 25%, sekitar 75% dari jumlah

tersebut mempunyai gejala, dan sebagian menunjukkan “apatheic

thyrotoxicosis”.

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem

endokrin akibat proses menua:

32
a. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah glukosa

darah puasa 140 mg/dL dianggap normal.

b. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini

adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap

normal.

c. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini

adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.

d. Kelenjar tiroad menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit

menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal

ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil.

3. Patofisiologi penyakit diabetes akibat penuaan,

Diabetes mellitus adalah “suatu gangguan metabolik yang

melibatkan berbagai sistem fisiologi, yang paling kritis adalah melibatkan

metabolisme glukosa.” Fungsi vaskular, renal, neurologis dan penglihatan

pada orang yang mengalami diabetes dapat terganggu dengan proses penyakit

ini, walaupun perubahan-perubahan ini terjadi pada jaringan yang tidak

memerlukan insulin untuk berfungsi (Stanley, Mickey, 2006).

Beberapa kondisi dapat menjadi predisposisi bagi seseorang untuk

mengalami diabetes, walaupun terdapat dua tipe yang dominan. Diabetes

mellitus tergantung insulin (Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)),

atau diabetes tipe I, terjadi bila seseorang tidak mampu untuk memproduksi

insulin endigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Tipe diabetes

ini terutama dialami oleh orang yang lebih muda. Diabetes mellitus tidak

33
tergantung insulin (Non-Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)) atau

diabetes tipe II, adalah bentuk yang paling sering pada penyakit ini. Antara

85-90 % orang dengan diabetes memiliki tipe NIDDM, yang lebih dekat

dihubungkan dengan obesitas daripada dengan ketidakmampuan untuk

memproduksi insulin (Stanley, Mickey, 2006).

NIDDM, bentuk penyakit yang paling sering diantara lansia, adalah

ancaman serius terhadap kesehatan karena beberapa alasan. Pertama,

komplikasi kronis yang dialami dalam hubungannya dengan fungsi

penglihatan, sirkulasi, neurologis, dan perkemihan dapat lebih menambah

beban pada sistem tubuh yang telah mengalami penurunan akibat penuaan.

Kedua, sindrom hiperglikemia hipeosmolar nonketotik, suatu komplikasi

diabetes yang dapat mengancam jiwa meliputi hiperglikemia, peningkatan

osmolalitas serum, dan dehidras, yang terjadi lebih sering di antara lansia

(Stanley, Mickey, 2006).

4. Karakteristik penyakit diabetes mellitus pada lansia

Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik dengan

karakteristik peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang terjadi

akibat kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Glukosa dibentuk

di hati dari makanan yang dikonsumsi dan secara normal bersirkulasi dalam

jumlah tertentu dalam darah. Insulin merupakan suatu hormon yang

diproduksi pankreas yang berfungsi mengendalikan kadar glukosa dalam

darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya (American Diabetes

Assosiation, 2004 dalam Smeltzer&Bare, 2008).

34
Secara klinis terdapat dua tipe DM yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.

DM tipe 1 disebabkan karena kurangnya insulin secara absolut akibat proses

autoimun sedangkan DM tipe 2 merupakan kasus terbanyak (90-95% dari

seluruh kasus diabetes) yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan

diawali dengan resistensi insulin (American Council on Exercise, 2001;

Smeltzer&Bare, 2008). DM tipe 2 berlangsung lambat dan progresif,

sehingga tidak terdeteksi karena gejala yang dialami pasien sering bersifat

ringan seperti kelelahan, iritabilitas, poliuria,polidipsi dan luka yang lama

sembuh (Smeltzer&Bare, 2008).

5. Pencegahan

a. Pencegahan primer

Pendidikan tentang kebutuhan diet mungkin diperlukan. Suatu

perencanaan makanan yang terdiri dari 10% lemak, 15% protein, dan

75% karbohidrat kompleks direkomendasikan untuk mencegah diabetes.

Kandungan rendah lemak dalam diet ini tidak hanya mencegah

arterosklerosis, tetapi juga meningkatkan aktivitas reseptor insulin

(Stanley, Mickey, 2006).

Latihan juga diperlukan untuk membantu mencegah diabetes.

Berjalan atau berenang, dua aktivitas dengan dampak rendah, merupakan

permulaan yang sanga baik untuk para pemula.

35
b. Pencegahan sekunder

1) Penapisan

Kadar gula darah harus diperiksa secara rutin sebagai komponen dari

penapisan, tetapi hasil yang negatif dalam gejala ringan yang lain

tidak dapat dianggap sebagai suatu kesimpulan. Tes toleransi

glukosa oral pada umumnya dianggap lebih sensitif dan merupakan

indikator yang dapat diandalkan daripada kadar glukosa darah puasa

dan harus dilakukan untuk menentukan diagnosis dan perawatan

awal NIDDM (Stanley, Mickey, 2006).

2) Nutrisi

Perawat yang membantu lansia dalam merencanakan makan dapat

mengambil kesempatan untuk memberikan pendidikan kepada klien

tentang prinsip umum nutrisi yang baik. Perawat dapat mengajarkan

klien tentang membaca label untuk menghindari asupan sehari-hari,

memilih sumber-sumber makanan rendah kolesterol, dan

memasukkan serat yang adekuat dalam diet mereka (Stanley,

Mickey, 2006).

3) Olahraga

Untuk lansia dengan NIDDM, olahraga dapat secara langsung

meningkatkan fungsi fisiologis dengan mengurangi kadar glukosa

darah, meningkatkan stamina dan kesejahteraan emosional, dan

meningkatkan sirkulasi. Walaupun berenang dan berjalan cepat telah

dinyatakan sebagai pilihan yang sangat baik untuk lansia dengan

36
NIDDM, tipe aktivitas lainnya juga sama-sama bermanfaat.

Khususnya, aerobik yang menawarkan manfaat paling banyak.

Seseorang dengan NIDDM harus melakukan latihan minimal satu

kali setiap 3 hari (Stanley, Mickey, 2006).

4) Pengobatan

Bila intervensi sebelumnya tidak berhasil dalam memodifikasi kadar

gula darah dan gejala-gejala, terapi agens oral dan insulin akan

diperlukan untuk menambah suplai dari tubuh (Stanley, Mickey,

2006).

37
DAFTAR PUSTAKA

Apriyanti, M. (2014). Meracik Sendiri Obat & Menu Sehat Bagi Penderita
Diabetes Melitus. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.

Black, J. M., & Hawks, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen


Klinis untuk Hasil yang Diharapkan. (A. Suslia & P. P. Lestari, Ed., R. A.
Nampira, Yudhistira, & S. citra Eka, Penerj.) (Edisi 8, Vol. 2). Singapura:
Elsevier Inc.

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.


Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Dinkes Kota Semarang. 2010. Profil Kesehatan Kota Semarang. Semarang :


Dinkes Kota Semarang.

Fatmah. 2010. Gizi Usia Lanjut. Erlangga : Jakarta.

Hasdianah. (2012). Mengenal Diabetes Mellitus Pada Orang Dewasa dan Anak-
anak dengan Solusi Herbal. Yogyakarta: Nuha Medika.

LeMone, P., Burke, K. M., & Bauldoff, G. (2016). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. (M. T. Iskandar, Ed., B. Angelina, E. K. Yudha, P. E.
Karyuni, & N. B. Subekti, Penerj.) (Edisi 5, Vol. 2). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Nabyl, R. A. (2012). Panduan Hidup Sehat Mencegah dan Mengobati Diabetes


Mellitus. Yogyakarta: Aulia Publishing.

NANDA, 2005/2006, Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, Alih Bahasa Budi


Santosa, Prima Medika, NANDA.

Smeltzer, S. C. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. (E. A.


Mardella, Ed., D. Yulianti & A. Kimin, Penerj.) (Edisi 12). Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Solehati, T., & Kosasih, C. E. (2015). Konsep & Aplikasi Relaksasi dalam
Keperawatan Maternitas. (Anna, Ed.). Bandung: PT. Refika Aditama.

Stanley, Mickey dan Patricia Gauntlett Beare. (2006). Buku Ajar Keperawatan
Gerontik, Edisi 2., Jakarta: EGC.

38
Tandra. (2007). Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tarwoto, Wartonah, Taufiq, I., & Mulyati, L. (2012). Keperawatan Medikal


Bedah Gangguan Sistem Endokrin. Jakarta: CV. Trans Info Media.

WHO., 2008. Integrated Chronic Disease Prevention and Control. HYPERLINK


"http://www.who.int" www.who.int.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB2 Keperawatan Medikal Bedah:


keperawatan dewasa. Buku 2 (Edisi 1). Yogyakarta: Nuha Medika.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). KMB2 Keperawatan Medikal Bedah:


keperawatan dewasa. Buku 2 (Edisi 1). Yogyakarta: Nuha Medika.

39

Anda mungkin juga menyukai