Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH!!

Dorongan untuk bisa berkontribusi secara nyata membantu


kehidupan para petani sudah muncul di dalam diri Yohanes
Sugihtononugroho sejak masih kuliah. Saat itu, ia mengikuti
program KKN di sebuah desa di Jawa Barat. Yohanes mendapat
tugas membantu perekonomian seorang ibu yang suaminya baru
saja meninggal. Ia dan teman-temannya lantas mencari cara
bagaimana bisa membantu si ibu. Idenya pada saat itu adalah
dengan mengajaknya membubidayakan jamur tiram. Mereka bawakan
bibitnya, mengajarkan cara membubidayakan, hingga mencarikan
pihak yang mau membeli jamur tiram tersebut.

Enam bulan kemudian, saat Yohanes sudah kembali ke Jakata,


sang ibu menelpon, mengabarkan bahwa usaha jamur tiramnya
berhasil. Perekonomian sang ibu meningkat hingga bisa
menyekolahkan anaknya ke sekolah perawat. Pengalaman tersebut
membuat ia merasa senang bisa membantu secara nyata sebuah
keluarga petani.

Selesai kuliah, Yohanes melihat bahwa sektor pertanian dan


peternakan merupakan salah satu sektor industri yang memiliki
opportunity besar. Ia pun sempat memulai bisnis peternakan
ayam dan cukup berhasil. Namun, pada saat itu ada kejadian di
mana harga ayam turun drastis akibat ulah beberapa pelaku
industri peternakan ayam yang menjual ayam sakit dengan harga
murah. Usahanya pun bangkrut dan ia merasakan betapa tekanan
itu sangat besar.

Yohanes, menghabiskan waktu lebih dari tiga bulan keliling


dari satu desa ke desa lain untuk mengetahui apa yang
sebenarnya ia bisa bantu untuk petani. Sampai akhirnya ia
bertemu seorang bapak di sebuah desa di Jawa Tengah, yang
mendapatkan pinjaman sebesar dua juta rupiah dari seorang
rentenir. Yang menyedihkan, pinjaman dari rentenir tersebut
harus dibayar mahal dengan jaminan anak gadisnya. Pengalaman
menyaksikan hal itu membuat Yohanes kaget dan terketuk
hatinya. “Saya pikir masa pinjem dua juta jaminannya anak
perempuannya dia. Ada something kalau buat kita gak wajar, dan
nggak masuk di otak aja. Ngeri ya?” ujar lulusan Universitas
Prasetya Mulya tersebut.

Kembali ke Jakarta, Ia kemudian menggagas sebuah startup peer


to peer (P2P) lending yang mengkhususkan diri pada pemberian
akses permodalan bagi para petani bernama Crowde. P2P Lending
merupakan salah satu dari sekian banyak layanan fintech atau
financial technology yang sedang berkembang pesat di
Indonesia. Dengan pemanfaatan teknologi, layanan P2P Lending
mampu menyelenggarakan layanan investasi dan kredit pinjaman
yang lebih sederhana, cepat dan transparan.
Dalam aplikasi berbasis app dan website tersebut, para petani
dipertemukan dengan pemodal yang siap menginvestasikan uangnya
pada proyek-proyek pertanian yang tersedia. Menurut Yohanes,
Crowde menggunakan konsep crowfunding di mana orang-orang bisa
ikut patungan mendanai sebuah proyek pertanian dan akan
mendapatkan profit dari bagi hasil proyek tersebut. “Simpelnya
adalah gimana caranya kita bisa patungan untuk bantuin si
petani.” Ujar Yohannes.

Modal memang menjadi salah satu masalah klasik bagi dunia


pertanian. Lemahnya akses petani terhadap sumber-sumber modal
formal disebabkan oleh prosedur yang tidak sederhana.
Sementara skala usaha petani yang relatif kecil membuat bank
berpikir seribu kali sebelum menyalurkan dana kredit. Belum
lagi sektor pertanian dianggap sebagai sektor yang beresiko
tinggi akibat faktor alam seperti bencana banjir, kekeringan
atau serangan hama yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan pada April 2016,


penyaluran pembiayaan atau kredit ke sektor pertanian baru
tercatat sebesar Rp257,8 triliun atau sekitar 6,4% dari Total
Kredit Perbankan nasional yang sebesar Rp4.003,1 triliun.
Angka tersebut menunjukkan masih minimnya dukungan lembaga
keuangan formal pada petani.

PERJALANAN
Yohanes, salah satu pendiri CROWDE menyatakan di awal tim
ragu untuk melanjutkan usaha mereka. Namun akhirnya,
mereka memutuskan untuk melanjutkan perjuangan mereka.
CROWDE bermula dari tim kecil hingga akhirnya berhasil
mengembangkan diri dan mendapat pendanaan dari para
investor internasional.

Selama tiga tahun berdiri, Crowde telah membantu lebih dari 14


ribu petani yang semula hanya sekitar 30 petani . Sudah
menjangkau hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua. Sementara itu, jumlah investor
yang terlibat tercatat mencapai lebih dari 20 ribu investor.
TANTANGAN
Sebagai layanan teknologi yang bermitrakan petani, Crowde
memiliki tantangan tersendiri yang berbeda dengan startup atau
platform P2P Lending lainnya. Misalnya pada kemampuan
petani dalam mengelola modal. Yohannes menuturkan, 90%
masalah pertanian terletak pada kesalahan manajemen
keuangan.

Banyak petani yang belum mampu mengalokasikan modal


pertanian yang ia punya secara efektif dan efisien sehingga
menghasilkan profit yang besar. Selain itu, rendahnya literasi
keuangan seringkali membuat petani mencampuradukkan dana
pribadi dan dana usaha sehingga nantinya,
pertanggungjawabannya akan sulit.

Karena itulah, Crowde menyalurkan modal ke petani tidak


dalam bentuk cash, tetapi barang seperti bibit, pupuk dan
sebagainya. “Kita bikin ekosistem yang enggak pake cash. Karena
90% masalah pertanian adalah karena miss management of
money.” ujar Yohannes.

Selain masalah pengelolaan modal, Crowde juga membantu


sampai pada tahap pemasarannya. Secara tradisional, para
petani akan menjual hasil panennya ke tengkulak-tengkulak
dengan harga yang seringkali tidak banyak menguntungkan para
petani. Untuk itu, Crowde membantu menghubungkan secara
langsung ke eksportir, pasar tradisional, swalayan, sampai
pelaku-pelaku UMKM.
PENGERTIAN
CROWDE adalah suatu perusahaan layanan keuangan berbasis teknologi (fintech) yang
menyediakan platform Peer to Peer (P2P) Lending. Dengan menggunakan metode crowdlending,
CROWDE mengelola dana investor yang kemudian disalurkan ke beragam proyek usaha tani.
CROWDE didirikan sejak September 2015. Platform ini berupaya meningkatkan kesejahteraan
para petani untuk memiliki bantuan modal usaha dengan cara digital.

TUJUAN
CROWDE punya tujuan baik yaitu untuk turut
meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia. Startup
agrikultur ini sanggup memberi kemudahan bagi para
petani dalam mengakses permodalan. Pada dasarnya,
CROWDE menciptakan ekosistem berkelanjutan di bidang
pertanian. Usaha yang dilakukan termasuk dengan cara
terus-menerus mengedukasi masyarakat Indonesia agar
menyadari betapa pentingnya investasi sedari dini,
khususnya memodali para petani.

CEO Crowde Yohanes Sugihtono menjelaskan Crowde


didirikan untuk menjembatani kebutuhan permodalan yang
kerap dialami para petani dengan investor yang tertarik
menaruh modal di bidang agrikultur. Kondisi sekarang ini
banyak petani yang menjadi sasaran lintah darat dan
tengkulak karena mereka bukan tergolong nasabah
bankable.

TARGET
Yohanes mengklaim saat ini Crowde telah
menyukseskan 100 proyek dengan dana mencapai Rp3
miliar. Diharapkan dalam tahun ini ingin
melipatgandakan jumlah proyek yang disukseskan
menjadi lebih dari 1.500 proyek di seluruh Indonesia
dengan 10 ribu investor.
REWARD
Crowde mendapat pendanaan sebesar US$25 ribu (sekitar
Rp332 juta) setelah berpartisipasi dalam program “Remake
City Jakarta 2017” yang diadakan Crevisse Partners. Tak
hanya itu, mereka berhasil mendapat hadiah US$14.600
(sekitar Rp197 juta) dari DBS Foundation setelah menjadi
pemenang di Enterprise Category dalam ajang SVC Asia
2017. Crowde pun mendapat tambahan hadiah US$14.600
(Rp197 juta) dari Syngenta setelah berhasil memenangkan
Agriculture Social Enterprise Award.
CROWDE menerima penghargaan sebagai satu dari sepuluh
peer-to-peer lending terbaik di Indonesia versi KPMG dalam
The Fintech Edge.
SVC Asia Enterprise dan Syngenta Agriculture Social
Enterprise Award di Social Venture Challenge Asia (SVC Asia)
2017 di Singapura.
PENCAPAIAN
Sepanjang tahun 2018, CROWDE berhasil menyalurkan
pendanaan sebesar Rp 51 miliar kepada para petani,
peternak, nelayan, dan petambak di Indonesia. Total sudah
ada 10 ribu pelaku usaha agrikultur yang telah mendapat
pendanaan dari sekitar 23 ribu investor melalui 1.591 proyek
permodalan yang ter-sirkulasi di platform CROWDE.

Anda mungkin juga menyukai