Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Anatomi Fisiologi
1. Anatomi Usus Besar

Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter, adalah
sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka, yaitu tempat sisa
makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan akan terbuka untuk merespon
gelombang peristaltik dan menyebabkan defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri
atas empat lapisan dinding yang sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada
dinding berotot tersusun dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan
berlubang-lubang. Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan tidak
memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam usus dan
dilapisi oleh epitelium silinder yang memuat sela cangkir.
Usus besar terdiri dari :
1) Sekum
Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup ileosekal.
Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang sempit, berisi jaringan
limfoid, menonjol dari ujung sekum.
2) Kolon
Kolon adalah bagian usus besar, mulia dari sekum sampai rektum. Kolon memiliki
tiga bagian, yaitu :
a. Kolon asenden
Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah kanan dan
membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.
b. Kolon transversum
Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung sampai ke tepi
lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada flkesura splenik.
c. Kolon desenden
Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi kolon sigmoid
berbentuk S yang bermuara di rektum.
3) Rektum
Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan panjang 12
sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan membuka ke eksterior di
anus.

2. Anatomi Appendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (4 inci),


lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat dibawah katup ileosekal.
Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior, medial dan posterior. Secara
klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang
menghubungkan spina iliaka anterior superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit
dibagian proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan
parasimpatis pada apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri
mesentrika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal
dari nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula
disekitar umbilikus.
Appendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10cm (4
inci),melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal.Appendiks berisi makann dan
mengosongkan diri secara teratur ke dalam sekum.Karena pengosongannya tidak
efektif,dan lumennya kecil,appendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama
rentan bterhadap infeksi (apendisitis) (brunner,2001)

3. Fisiologi Apendiks
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam apendiks bersifat
basa mengandung amilase dan musin. Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri
secara teratur kedalam sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya
cenderung kecil, maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan
terhadap infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).

B. Definisi
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbel cacing
(appendiks). Usus buntu sebenarnya adalah sekum (cecum). Infeksi ini bisa mengakibatkan
peradangan akut sehingga memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi
yang umumnya berbahaya (Wim de Jong et al, 2005). Klasifikasi apendisitis terbagi atas 3
yakni :
1. Apendisitis akut radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsangan peritoneum local.
2. Apendisitis rekurens
3. Apendisitis kronis
Apendisitis adalah peradangan dari appendiks vermivormis dan merupakan penyebab
abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki – laki
maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki – laki berusia 10 – 30 tahun
(Mansjoer, Arief, Dkk, 2007)

C. Etiologi
Apendiks merupakan organ yang belum diketahui fungsinya tetapi menghasilkan lender 1
– 2 ml per hari yang normalnya dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalirkan
kesekum. Hambatan aliran lendir dimuara apendiks tampaknya berperan dalam
pathogenesis apendiks (Wim de Jong).
Menurut klasifikasi :
1. Apendisitis akut merupakan infeksi yang disebabkan oleh bacteria. Dan factor
pencetusnya disebabkan oleh sumbatan lumen apendiks. Selain itu hyperplasia jaringan
limf, fikalit (tinja/batu), tumor apendiks, dan cacing askaris yang dapat menyebabkan
sumbatan dan juga erosi mukosa apendiks karena parasit (E.. histolytica).
2. Apendisitis rekurens yaitu jika ada riwayat nyeri berulang diperut kanan bawah yang
mendorong dilakukannya apendiktomi. Kelainan ini terjadi bila serangan apendisitis
akut pertama kali sembuh spontan. Namun apendisitis tidak pernah kembali kebentuk
aslinya karena terjadi fibrosis dan jaringan parut.
3. Apendisitis kronis memiliki semua gejala riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari
dua minggu, radang kronik apendiks secara maskroskopik dan mikroskopik (fibrosis
menyeluruh di dinding appendiks, sumbatan parsial atau lumen appendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama dimukosa dan infiltasi sel inflamasi kronik) dan keluhan
menghilang setelah apendiktomi.

D. Manifestasi Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau perlumbilikus.
Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan terkadang muntah dan pada
umumnya nafsu makan menurun. Kemudian dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke
kuadran kanan bawah, ke titik Mc Burney. Dititik ini nyeri terasa lebih tajam dan jelas
letaknya, sehingga merupakan nyeri somatic setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan
adanya nyeri di daerah epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya karena bisa mempermudah
terjadinya perforasi. Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam sekitar 37,5 –
38,5oC.
Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri,yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah.Apabila
appendiks telah rupture,nyeri menjalar di lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat
ileus paralitik,dan kondisi pasien memburuk.(brunner,2001)

E. Patofisiologi
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan
sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mukus tersebut semakin banyak, namun
elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus
berlanjut, tekanan akan terus meningkat.
Hal tersebut akan menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut apendisitis
supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yangberdekatan akan
bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Pada anak-anak, kerena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding
apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2000).
F. Pathway
Apendiks

Hiperolasi folikel Benda Asing Erosi Mukosa Fekalit Striktur Tumor


Limfoid apendiks

Obstruksi

Mukosa terbendung

v
Apendiks teregang

Tekanan intraluminal
Nyeri
Aliran darah terganggu

Ulserasi dan invasi bakteri


pada dinding apendiks

Apendisitis

Trombosis pada vena


intramural

Pembengkakan dan
iskemia

Perforasi

Pertonitis

Cemas Pembedahan operasi

Luka insisi PK Perdarahan


Defisit Perawatan Nyeri Jalan masuk kuman Resiko infeksi
Diri

G. Komplikasi
1. Komplikasi mayor adalah perforasi apendiks, yang dapat mengarah pada peritonitis
atau pembentukan abses.
2. Perforasi biasanya terjadi 24 jam setelah awitan nyeri (gejala – gejalanya termasuk
demam, penampilan toksik, dan nyeri berlanjut).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi: akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut dimana
dinding perut tampak mengencang (distensi).
- Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila tekanan
dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg Sign) yang mana merupakan kunci dari
diagnosis apendisitis akut.
- Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat/tungkai di angkat tinggi –
tinggi, maka rasa nyeri diperut semakin parah (psoas sign).
- Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila pemeriksaan
dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.
- Pada appendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif dan tanda
perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila appendiks terletak di
rongga pelvis maka obturator sign akan positif dan tanda perangsangan peritoneum
akan lebih menonjol.
2. Pemeriksaan laboratorium
Kenaikan dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000-18.000/mm3. Jika terjadi
peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah mengalami
perforasi (pecah).
3. Pemeriksaan penunjang
- Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit (jarang membantu).
- USG, CT Scan
- Kasus kronik dapat dilakukan rontgen abdomen, USG abdomen dan apendikogram.
- Laparoskopi untuk menghindari perforasi usus apabila dilakukan barium enema

I. Penatalaksanaan
Adapun pengobatan/penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk radang usus buntu
adalah:
1. Operasi pada kasus appendicitis dilakukan dengan membuat irisan panjang 5-8 cm pada
kanan bawah, untuk mengikat dan memotong apendiks yang meradang. Pada
appendicitis komplikata dengan ditemukannya peradangan jaringan yang hebat, adanya
pernanahan (abses) di sekitar appendiks dan adanya kebocoran perut (laparatomi)
dengan panjang 15-20 cm yang dilakukan selain mengikat dan memotong appendiks,
juga akan dilakukan pembersihan penanahan (abses) dengan mencuci bersih ringga
perut dengan cairan steril.
2. Operasi minimal invasive atau laparoskopi, irisan kecil 3 titik dengan kamera, monitor,
dan alat khusus dengan keuntungan irisan lebih kecil, nyeri lebih ringan dan waktu
rawat inap dan penyembuhan lebih cepat, dilakukan pada kasus appendicitis baik pada
kasus apendiks simple ataupun komplikata pada pengalaman dan kemampuan dari
dokter bedah yang bersangkutan.
3. Berikan antibiotic dan cairan IV sampai proses pembedahan dilakukan.
4. Analgesic dapat diberikan setelah diagnose ditegakkan.

J. Pra Operatif
Pada Pra operatif perawat menyiapkan pasien untuk pembedahan. Infus intravena
digunakan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan menggantikan cairan yang telah
hilang.Aspirin dapat diberikan untuk mengurangi peningkatan suhu. Terapi antibiotik
dapat diberikan untuk mencegah infeksi.Apabila terdapat bukti atau kemungkinan terjadi
ileus paralitik,selang nasogastric dapat dipasang ,enema tidak dilakukan karena dapat
menimbulkan perforasi. (Smeltzer, 2001)
Menurut Doenges (2000) pengkajian pada pasien dengan Apendikitis:
Pre Appendiktomi
1. Aktivitas
Gejala : Malaise
2. Sirkulasi
Tanda: Tachicardia
3. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal, diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan penurunan/ tidak ada
bising usus
4. Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah
5. Nyeri/ kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang meningkat berat
dan terlokalisasi pada titik Mc Burney (setelah jarak antara umbilikus dan tulang
ileum kanan). Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan
menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan
lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi
perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada
saat berjalan atau batuk. (W. De Jong, R. Sjamsuhidajat, 2004)
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut
ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki
kanan/ posisi duduk tegak.
6. Keamanan
Tanda : demam (biasanya rendah). Demam terjadi bila sudah ada komplikasi, bila
belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-
38,5º C
7. Pernafasan
Tanda : takipnea/ pernafasan dangkal
8. Penyuluhan/ pembelajaran
Gejala : Riwayat kondisi lain yang berhubungan dengan nyeri abdomen contoh
pielitis akut, batu uretra, dapat terjadi pada berbagai usia

K. Post Operatif
Pada pasca operatif pasien ditempatkan pada posisi semi-Fowler.posisi ini
mengurangi tegangan pada insisi dari organ abdomen,yang membantu mengurangi nyeri
opioid,biasanya sulfat morfin diberikan untuk menghilangkan nyeri.cairan per oral
biasanya diberikan bila mereka dapat mentoleransi. Pasien yang mengalami dehidrasi
sebelum pembedahan diberikan cairan secara intravena.Makanan dapat diberikan sesuai
keinginan pada hari pembedahan bila dapat ditoleransi.
Apabila appendiktomi tidak mengalami komplikasi pasien dapat dipulangkan pada
hari itu juga bila suhu dalam batas normal dan area operatif terasa nyaman. Penyuluhan
saat pulang untuk pasien dan keluarga sangat penting. Pasien diinstruksikan untuk
membuat janji untuk menemui ahli bedah yang akan mengangkat jahitan antara hari kelima
dan ketujuh.perawatan insisi dan pedoman aktivitas didiskusikan.Aktivitas normal
biasanya dapat dilakukan dalam 2 minggu sampai 4 minggu.
Apabila kemungkinan peritonitis,drain diberikan di tempat insisi.Pasien yang
beresiko terhadap komplikasi dipertahankan di rumah sakit selama beberapa hari dan
dipantau dengan ketat terhadap adanya tanda tanda obstruksi usus atau hemoragi sekunder.
Abses sekunder dapat terbentuk di pelvis,dibawah diafragma,atau di hati yang
menyebabkan peningktan suhu dan frekuensi nadi,serta peningkatan pada jumlah leukosit.
Apabila pasien siap untuk pulang,pasien dan keluarga dapat dijarkan untuk
merawat luka dan melakukan penggantian balutan dan irigasi sesuai program.perawat
kesehatan di rumah mungkin diperlukan untuk membantu perawatan ini dan memantau
pasien terhadap adanya komplikasi dan penyembuhan luka.
L. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Identitas klien Nama, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama, suku/bangsa,
pendidikan, pekerjaan, pendapatan, alamat, dan nomor register.
2. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat Kesehatan saat ini : keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi,
mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
b. Riwayat Kesehatan masa lalu
3. Pemeriksaan Fisik
a. Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi
vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
b. Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.
c. Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit
pinggang.
d. Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam
pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
e. Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar
getah bening.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah rutin : untuk mengetahui adanya peningkatan leukosit yang
merupakan tanda adanya infeksi.
b. Pemeriksaan foto abdomen : untuk mengetahui adanya komplikasi pasca
pembedahan.
B. Diagnosa Keperawatan

Pre Operasi :

1. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisiologis


2. Ansietas berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
3. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.

Post Operasi :

1. Nyeri berhubungan dengan agen pencedera fisik


2. Resiko infeksi d.d prosedur invasif
3. Nausea berhubungan dengan efek agen farmakologis

c. Intervensi Keperawatan

Diagnosa Nyeri b.d agen pencedera fisiologis

1. Monitor tekanan darah, nadi, status pernapasan dan suhu dengan tepat, bertujuan untuk
mengetahui keadaan umum klien
Rasionalnya: Tanda vital merupakan pedoman terhadap keadaan dan abnormalitas
kondisi klien
2. Lakukan pengkajian nyeri komprehensif yang meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri dan faktor pencetus, bertujuan untuk
mengetahui status dan evaluasi nyeri klien
Rasionalnya: Mengetahui status dan evaluasi nyeri klien
3. Posisikan klien untuk memfasilitasi kenyamanan, bertujuan untuk mengurangi respon
nyeri
Rasionalnya: Latihan aktivitas bertahan mengurangi respon nyeri tapi tetap pertahankan
kenyamanan dan mengurangi rasa nyeri klien
4. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam,
Rasionalnya :meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, dan
menurunkan intensitas nyeri.
5. Kolaborasi dengan tim kesehatan lainnya untuk pemberian obat pereda nyeri sesuai
kebutuhan (Ketorolac 2 x 30 mg (IV) jam 06.00 dan 18.00), bertujuan untuk
menyelesaikan masalah nyeri
Rasionalnya: Program terapi sebagai sistem kolaboratif dalam menyelesaikan masalah
nyeri.

Diagnosa Kedua : Ansietas b.d kekhawatiran mengalami kegagalan, kurang terpapar


informasi.

1. Monitor tekanan darah, nadi, status pernapasan dan suhu dengan tepat, bertujuan
untuk mengetahui keadaan umum klien
Rasionalnya: Tanda vital merupakan pedoman terhadap keadaan dan abnormalitas
kondisi klien
2. Gunakan pendekatan yang menenangkan, bertujuan untuk terciptanya hubungan
saling percaya

Rasionalnya: Dengan pendekatan klien dapat mengungkapkan perasaan

3. Identifikasi tingkat kecemasan, bertujuan untuk memantau tingkat kecemasan

Rasionalnya: Dapat memantau tingkat kecemasan klien

4. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur,

Rasionalnya: untuk membuat klien paham dengan prosedur yang dijalankan yang
dapat mengurangi cemas klien

5. Dengarkan dengan penuh perhatian, bertujuan untuk membuat klien merasa lebih
tenang

Rasionalnya: Dengan mendengarkan dan kontak klien merasa tenang

6. Ajarkan teknik relaksasi napas dalam, bertujuan dalam memanajemenrasa cemas


yang dirasakan

Rasionalnya: Teknik relaksasi napas dalam dapat mengurangi nyeri secara bertahap
dan dapat dilakukan mandiri
Diagnosa Pertama: Nyeri akut b.d agen pencedera fisik

1. Identifikasi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya


nyeri dan faktor pencetus
Rasionalnya: Indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya.
2. Identifikasi skala nyeri
Rasionalnya: skala nyeri menggambarkan perasaan Identifikasi faktor yang memperberat
dan memperingan nyeri
3. Monitor keberhasilah terapi komplemeter yang sudah diberikan
Rasionalnya: Menegetahui perkembangan penuirunan skala nyeri
4. Monitor efek samping penggunaan analgetik
Rasionalnya: Mengantisipasi adanya masalah pemberian analgetik
5. Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (distraksi)
Rasionalnya: Pengalihan pikiran dapat mengurangi nyeri
6. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
Rasionalnya: Pengendalian lingkungan dapat Meringankan nyeri
7. Anjurkan memonitor rasa nyeri secara mandiri
Rasionalnya: Melatih kemandirian klien dalam mengontrol nyeri
8. Anjurkan penggunaan analgetik secara tepat
Rasionalnya: Mencegah nyeri timbul
9. Ajarkan teknik napas dalam
Rasionalnya:teknik nafas dalam dapat meringankan nyeri
10. Kolaborasi analgetik
Rasionalnya: dapat mengurangkan nyeri secara farmakologis

Diagnosa Kedua: Nausea b.d efek agen farmakologis

1. Identifikasi isyarat non verbal ketidaknyamanan


Rasionalnya: untuk mengetahui keadaan klien dan ekspresi mual klien
2. Identifikasi faktor penyebab mual
Rasionalnya: sebagai data dan acuan perawat dalam melakukan intervensiuntuk
mengurangi nyeri
3. Monitor asupan nutrisi dan kalori
Rasionalnya: untuk mencegah kekurangan nutrisi & cairan klien mempertahanka hidrasi
klien
4. Jelaskan indikasi dan kontraindikasi obat yang akan di konsumsi
Rasionalnya: sebagai informasi ke klien agar menjalani terapi obat
5. Ajarkan klien teknik nafas dalam
Rasionalnya: untuk merileksasikan klien dan mengurangi rasa mual klien
6. Anjurkan memposisikan tubuh senyaman mungkin.
Rasionalnya: posisi yang nyaman dapat mengurangi rasa mual klien, pengendalian
lingukungkan di perlukan agar klien nyaman.

Diagnosa Ketiga : Resiko infeksi d.d prosedur invasive

1. Pantau tanda gejala infeksi.


Rasionalnya: Untuk mengetahui tanda-tanda infeksi
2. Pertahankan kesterilan alat invasif yang digunakan
Rasionalnya: Menurunkan perubahan pemindahan atau penyebaran patogen ke pasien.
Menginterupsi transmisi infeksi sepanjang rantai infeksi adalah cara yang efektif untuk
mencegah infeksi
3. Lindungi pasien terhadap kontaminasi ulang
Rasionalnya: Mengurangi mikroba bakteri yang dapat menyebabkan infeksi
4. Bersihkan lingkungan pasien
Rasionalnya: Meminimalkan patogen yang ada di sekeliling pasien

Anda mungkin juga menyukai