Anda di halaman 1dari 27

BAB I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang


Permasalahan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) tidak habis-habisnya dibahas
mengingat besarnya kekayaan alam yang terkandung di bumi Indonesia. Salah satu yang
menjadi sorotan dalam permasalahan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia
adalah mengenai pengelolaan sektor pertambangan. Pasalnya, berbagai bahan tambang
melimpah ruah di negeri ini. Sebagaimana dengan SDA lainnya, penguasaan maupun
pengelolaan bahan tambang wajib diselenggarakan sebaik-baiknya demi mewujudkan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Ada tiga peran negara dalam pengelolaan Sumber Daya Mineral yakni pengaturan,
pengusahaan, dan pengawasan. Khusus dalam hal pengusahaan, pemerintah dapat
memberikan hak pengusahaan bidang pertambangan kepada pihak swasta. Karakterisktik
industri pertambangan yang unik dan keterbatasan negara dalam hal permodalan menjadi
alasan utama diberikannya hak pengusahaan tambang kepada swasta.
Secara historis, pemberian hak pengusahaan bidang pertambangan kepada pihak swasta
dilakukan berdasarkan sistem kontrak yang dikenal dengan istilah Kontrak Karya (KK).
Dimana sistem KK pertama kali diterapkan antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport
pada tahun 1967.
Berbicara tentang PT. Freeport Indonesia, tentu yang terbayang dibenak kita adalah
kontroversi yang terus berlarut-larut. Mulai dari tarik ulur kesepakatan yang terjadi antara
pihak pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport, jangka waktu kontrak yang sangat lama
sampai dengan permasalahan tenaga kerja dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi.
Baru-baru ini permasalahan yang sering terdengar di media masa mengenai PT.
Freeport adalah mengenai disvestasi 51% saham PT. Freeport Indonesia oleh pemerintah
Indonesia. Permasalahan disvestasi saham tersebut berawal dari Kontrak Karya (KK V),
dimana Freeport wajib melakukan divestasi atas kepemilikan saham hingga 51% melalui
proses pelepasan bertahap dalam jangka waktu 20 tahun. Kemudian, disusul dengan
munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 Tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) terkait perubahan skema izin perusahaan
tambang dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Puncaknya, pada agustus tahun 2017, pemerintah Indonesia mengajukan beberapa
tuntutan kesepakatan kepada Freeport, adapun isi kesepakatan tersebut antara lain divestasi

1
51% saham PT. Freeport Indonesia (PT. FI), kewajiban Freeport untuk membangun smelter
di dalam negeri, stabilisasi keuangan, perubahan izin dari KK menjadi IUPK, serta
perpanjangan operasi Freeport 2 x 10 tahun. Kesepakatan tersebut tidak serta merta diterima
oleh Freeport, karena dianggap merugikan mereka, ancaman untuk melakukan arbitrase
internasional pun sempat dilontarkan oleh PT. Freeport. Sampai pada akhirnya, Freeport
mengemumkan keputusan yang mengejutkan dengan menyetujui tawaran kesepakatan
pemerintah Indonesia.
Babak baru permasalahan ini terjadi pada tanggal 12 Juli 2018 dengan
ditandatanganinya pokok-pokok perundingan (Head of Agreement – HoA antara Freeport-
McMoran Inc (FCX), Rio Tinto dan holding industri pertambangan PT. Indonesia Asahan
Aluminium (Inalum). Keberadaan PT. Inalum sendiri adalah sebagai BUMN yang ditunjuk
oleh pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan komersial dengan Freeport
(business to business).
Divestasi 51% saham PT. FI tersebut akan dilakukan dengan membeli 40% hak
partisipasi (Participating Interest – PI) dalam pengolahan tambang Grasberg milik Rio Tinto
dan saham FCX di PT. Indocopper Investama yang memiliki 9,39% saham di Freeport
Indonesia. Dimana sebelumnya PT. Inalum telah memiliki 9,36% saham pemerintah terhadap
PT. FI dengan total dana yang harus dikeluarkan adalah sebesar USD 3,85 miliar.
1.2. Identifikasi Masalah
Keputusan divestasi 51% saham PT. FI tersebut tentunya menimbulkan permasalahan
baru. Mulai dari isu politik terkait pemilihan presiden, sampai dengan nilai dana yang
dikeluarkan yang terbilang cukup fantastis ditengah permasalahan ekonomi Indonesia. Di
satu sisi keputusan divestasi ini akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, pemerintah
Indonesia dapat melakukan pengawasan dan pengelolaan SDA yang terdapat di tanah papua
tersebut sesuai dengan amanat UUD 1945.
Dengan ditandatanganinya HoA tersebut artinya lahir suatu perjanjian baru antara
pemerintah Indonesia yang diwakili PT. Inalum dengan pihak Freeport. Dengan demikian,
pemerintah Indonesia melalui PT. Inalum harus siap untuk menanggung permasalahan yang
terjadi dan menjawab segala pertanyaan masyarakat.
Banyak aspek yang harus dikaji oleh PT. Inalum antara lain: 1). Dari segi aspek
perjanjian/perikatan, sebagaimana yang disebutkan diatas penandatanganan HoA melahirkan
suatu perjanjian awal antara PT. Inalum dengan pihak-pihak terkait, yang nantinya akan
dilanjutkan dengan kontrak-kontrak perikatan lainnya, dengan demikian PT. Inalum harus
melakukan pengkajian mengenai terpenuhinya aspek hukum perjanjian/perikatan yang
2
terjadi; 2). Dari segi aspek asuransi, mengingat dana yang dikeluarkan bernilai besar dan
rencana peminjaman modal dari 11 bank baik dalam negeri maupun luar negeri, tentunya
harus ada jaminan asuransi terhadap hutang peminjaman tersebut untuk mengantisipasi jika
terjadi kegagalan PT. Inalum; 3). Dari segi aspek monopoli, pemerintah melalui PT. Inalum
harus benar-benar mendapatkan keyakinan bahwa PT. Inalum memilik andil pengendalian
dan pengawasan yang dapat berjalan dengan baik sesuai yang diamanatkan UUD 1945,
mengingat kegiatan ekomomi wilayah Mimika, Papua sangat bergantung pada kegiatan usaha
Freeport, jangan sampai terjadi kegiatan monopoli didalamnya. 4). Dari segi aspek
penyelesaian sengketa jika di kemudian hari terjadi pelanggaran terhadap kontrak kerja sama
yang telah disepakati.
1.3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka rumusan masalah
dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aspek hukum perjanjian/perikatan terhadap kesepakatan disvestasi 51%
saham antara PT. Freeport dan PT. Inalum?
2. Bagaimana jaminan asuransi terhadap peminjaman dana untuk disvestasi 51%
saham tersebut?
3. Bagaimana kesepakatan disvestasi saham ini dilihat dari aspek anti monopoli?
4. Bagaimana penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran terhadap perikatan yang
telah dibuat?
4.1. Tujuan
Adapun tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas akhir
semester pada mata kuliah Lembaga Bisnis dan Hukum Komersil. Secara khusus, tujuan dari
penulisan makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana aspek hukum perjanjian/perikatan terhadap
kesepakatan disvestasi 51% saham antara PT. Freeport dan PT. Inalum.
2. Untuk mengetahui bagaimana jaminan asuransi terhadap peminjaman dana untuk
disvestasi 51% saham tersebut.
3. Untuk mengetahui bagaimana kesepakatan disvestasi saham ini dilihat dari aspek
anti monopoli.
4. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran
terhadap perikatan yang telah dibuat.

3
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Profil Singkat PT. Freeport Indonesia


PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan
(FCX) yang merupakan perusahaan tambang Internasional utama dengan kantor pusat di
Phoenix, Arizona, Amerika Serikat. PTFI menambang, memproses, dan melakukan
eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak ke seluruh penjuru
dunia.
Pada tahun 1904-1905 suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke Nederlandsche
Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni lembaga geografi kerajaan Belanda,
menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan utamanya adalah
mengunjungi pegunungan salju yang konon kabarnya ada di Tanah Papua.
Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang
dalam perjalanan dengan dua kapalnya Aernem dan Pera ke “selatan” pada tahun 1623 di
perairan sebelah selatan Tanah Papua, tiba-tiba jauh di pedalaman melihat kilauan salju dan
mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang suatu pegunungan
yang “teramat tingginya” yang pada bagian-bagiannya tertutup oleh salju. Catatan Carsztensz
ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya berkhayal.
Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es
yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, inilah cikal bakal perhatian besar
Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat dari hasil ekspedisi
militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-ekspedisi militer ini kemudian
membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk mendaki dan mencapai pegunungan salju.
Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA.Lorentz dan Kapten
A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak
Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz
belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di pantai
selatan.
Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy, keduanya adalah
pegawai perusahaan minyak NNGPM yang merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka
untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah pertama
bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.

4
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut
gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama
bertemulah seorang Jan Van Gruisen – Managing Director perusahaan Oost Maatchappij,
yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengggara dengan kawan
lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada perusahaan Freeport Sulphur
Company yang operasi utamanya ketika itu adalah menambang belerang di bawah dasar laut.
Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung
bijih serta mengambil contoh bebatuan dan menganalisisnya serta melakukan penilaian.
Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk
segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi. Namun
dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan, pemerintah
segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang Modal Asing (UU
No. 1 Tahun 1967).
Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat
peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada zaman
Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan dengan
Jenderal Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Pertambangan dan
Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah permohonan agar Freeport
dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil pertemuan demi pertemuan yang
panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah untuk meneruskan proyek tersebut pada
tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut
merupakan bahan promosi yang dibawa Julius Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke
luar negeri dan misi pertamanya adalah mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing
ke Australia.
Sebelum 1967 wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai
beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke wilayah
sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika meningkat. Tahun 1970
pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun rumah-rumah penduduk yang
layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga perumahan penduduk di sekitar selatan
Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota Timika.
Pada tahun 1971 Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan,
kemudian juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke tambang dan juga jalan-jalan
di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972, Presiden Soeharto menamakan
kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport tersebut dengan nama Tembagapura. Pada
5
tahun 1973 Freeport menunjuk kepala perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai
presiden direktur pertama Freeport Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang mempunyai latar
belakang pernah menjabat Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada
tahun 1950-an, suami dari Miriam Budiarjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan
kemerdekaan Indonesia, sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota
delegasi dalam perjanjian Renville.

2.2. Profil Singkat PT. Indonesia Asahan Aluminium (Inalum)


PT. Indonesia Asahan Aluminium atau lebih dikenal sebagai Inalum merupakan
BUMN pertama dan terbesar Indonesia yang bergerak dibidang peleburan Aluminium.
Besarnya potensi kelistrikan yang dihasilkan dari aliran Sungai Asahan membuat Pemerintah
Indonesia mengundang perusahaan konsultan pembangunan asal Jepang, Nippon Koei untuk
melakukan studi kelayakan pembangunan PLTA di Sungai Asahan. Studi kelayakan tersebut
menyarankan agar produksi kelistrikan diserap oleh industri peleburan aluminium. Maka
dengan itu, Pemerintah menindaklanjuti studi kelayakan tersebut bersama pihak Jepang untuk
secara bersama mendirikan perusahaan untuk mengelola proyek asahan dengan perusahaan
yang bernama Indonesia Asahan Aluminium dengan ditandatanganinya kerjasama untuk
pengelolaan bersama kawasan Sungai Asahan pada tanggal 7 Juli 1975.
Perusahaan yang didirikan pada tanggal 6 Januari 1976 dengan status Penanam Modal
Asing dibentuk oleh 12 perusahaan Kimia dan Metal dari Jepang. Keberadaan Inalum sebagai
industri peleburan aluminium telah meletakkan dasar fondasi yang kuat untuk
mengembangkan industri hilir peleburan bahan tambang yang berpengaruh, bernilai tambah
dan berdaya saing. Pada tanggal 9 Desember 2013, status Inalum sebagai PMA dicabut sesuai
dengan kesepakatan yang di tandatangani di Tokyo pada tanggal 7 Juli 1975. Sejak diakuisisi
oleh Pemerintah, Inalum kini tengah mengembangkan produksi hilir aluminium dengan
mendorong diversifikasi produk dari aluminium ingot ke aluminium alloy, billet dan wire
rod, serta menggarap pabrik peleburan baru yang terintegrasi di Kawasan Industri dan
Pelabuhan Internasional Tanah Kuning, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara dan
mempersiapkan diri untuk menjadi induk holding BUMN bidang pertambangan yang
direncanakan mengakuisisi Freeport Indonesia.

6
2.3. Sejarah Perjanjian Kerjasama PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah
Indonesia
Secara historis, pemberian hak pengusahaan bidang pertambangan kepada swasta
dilakukan berdasarkan sistem kontrak yang dikenal dengan istilah Kontrak Karya (KK).
Sistem KK pertama kali diterapkan antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport pada
tahun 1967.
Penandatanganan KK pertama kali dilakukan pada tahun 1967 dengan sebutan KK I.
Kontrak tersebut disepakati oleh Pemerintah Indonesia dengan Freeport Sulphur Company
melalui anak perusahaannya PT. Freeport Indonesia. PT.FI menguasai usaha eksplorasi
terhadap lahan seluas lebih dari 10.000 hektar. Selama berlakunya KK Freeport di Indonesia,
para pengamat menilai bahwa rezim kontrak ini tidak memberikan manfaat secara
proporsional bagi Indonesia. Sebagai contoh, Freeport diberikan berbagai kelonggaran
perpajakan hingga bebas dari kewajiban sosial lingkungan. Ketiadaan manfaat secara
proporsional berbanding terbalik dengan jumlah keuntungan yang diperoleh Freeport.
Kondisi demikian terus berlangsung hingga perpanjangan KK II pada tahun 1991.
Rezim KK II sebenarnya tidak jauh berbeda dengan KK I. Berbagai klausul kontrak
yang merugikan pihak Indonesia masih bertahan tanpa adanya perubahan signifikan.
Berdasarkan KK II, PT.FI dapat melakukan penambangan selama 30 tahun hingga masa akhir
produksi tahun 2021. Pasal-pasal dalam KK II mengatur berbagai substansi yang merugikan
pihak Indonesia baik secara ekonomi maupun secara sosial. Sebagai contoh, KK II tidak
memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap
kegiatan operasi dan fasilitas pemurnian.
Bargaining position pemerintah Indonesia baru mengalami peningkatan pada masa KK
V. Berdasarkan KK V, Freeport wajib melakukan divestasi atas kepemilikan saham hingga
mencapai 51%. Divestasi wajib dilakukan dalam jangka waktu 20 tahun melalui proses
pelepasan secara bertahap. Namun demikian dalam perjalanannya, kewajiban divestasi juga
tidak terlepas dari persoalan. Problematika divestasi saham Freeport kembali mengemuka
setelah proses negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan PT. FI tidak mencapai
kesepakatan. Persoalan KK Freepot bahkan menjadi semakin rumit setelah pemerintah
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 mengubah skema ‘izin’ pengusahaan
tambang dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Secara mendasar penolakan Freeport terhadap perubahan status KK menjadi IUPK
bukan tanpa alasan. Pasalnya jelas bahwa kedudukan Pemerintah Indonesia menjadi lebih
kuat berdasarkan skema IUPK.
7
Skema IUPK memiliki perbedaan mendasar dibandingkan dengan skema KK.
Berdasarkan skema KK, posisi pemerintah Indonesia dianggap setara dengan PT FI layaknya
kesetaraan para pihak dalam suatu perjanjian. Hal demikian merupakan prinsip mendasar
hukum kontrak yang berlaku secara universal. Sementara itu, skema IUPK memposisikan
kedudukan Pemerintah Indonesia sebagai pihak pemberi izin. Posisi pemerintah selaku
pemberi izin khusus tentu berimplikasi kepada ‘menurunnya’ posisi tawar Freeport. Inilah
yang kemudian meningkatkan ketegangan antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport
dalam proses renegosiasi yang turut menyebabkan munculnya wacana gugatan PT FI kepada
Pemerintah Indonesia atas dasar pelanggaran KK. Keadaan semakin pelik menyusul
pengunduran diri Direktur Utama PT FI beberapa waktu lalu.

2.4. Kelahiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Sebagai Era Baru Pengaturan
Bidang Pertambangan
Kelahiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU
Minerba) dirasakan sebagai suatu tonggak perubahan bagi pembaruan hukum pertambangan
di Indonesia. Sebagai wujud upaya pemerintah dalam memperbarui pengaturan minerba,
pokok-pokok pikiran UU Minerba ini meliputi:
1) Mineral dan batu bara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh
negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah
dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha;
2) Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat
untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan
dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya masing-masing;
3) Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah;
4) Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-
besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia;
5) Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan
mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta
mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan, dan

8
6) Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup,
transparansi dan partisipasi masyarakat.
Materi penting UU Minerba yang merupakan perubahan besar dalam pengaturan sektor
pertambangan mineral dan batubara adalah mengenai perubahan skema pengusahaan sektor
pertambangan dari semula berbentuk Kuasa Pertambangan dan Kontrak Karya/Pengusahaan
Pertambangan Batubara (KK/PKP2B) menjadi skema izin usaha. Skema izin usaha sektor
pertambangan dimaksud meliputi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Izin Usaha Pertambangan
Khusus (IUPK) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Perubahan skema pengusahaan pertambangan dari KK menjadi skema izin dilakukan
dengan beberapa dasar pertimbangan, antara lain:
1) Bentuk kontrak pertambangan melalui skema KK/PKP2B pada satu sisi telah
berhasil menarik investor, akan tetapi pada sisi yang lain justru menimbulkan
diskriminasi antara pihak swasta nasional dengan pihak swasta asing. Pasalnya,
skema pengusahaan pertambangan melalui KK khusus diperuntukan bagi investor
asing.
2) Terdapat perbedaan mendasar antara skema izin pertambangan dengan skema
kontrak (KK). Pada skema izin, perizinan diberikan sesuai dengan tahapan
kegiatan pertambangan yakni eksplorasi, eksploitasi dan pengolahan serta
pengangkutan. Sementara itu dalam skema KK, izin pengusahaan pertambangan
diberikan secara sekaligus mulai dari eksplorasi hingga eksploitasi.
3) Terdapat pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang tidak taat kepada peraturan
mengenai pengawasan KK/PKP2B. Kewenangan melakukan pengawasan
terhadap KK/PKP2B sesungguhnya berada pada pemerintah pusat, namun pada
kenyataannya justru pengawasan banyak dilakukan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
4) Skema pengusahaan pertambangan oleh pihak non pemerintah melalui pemberian
izin memiliki beberapa keunggulan apabila dibandingkan dengan skema
pengusahaan berdasarkan KK.

2.5. Divestasi 51% Saham PT. Freeport Indonesia oleh Pemerintah Indonesia
Sebagaimana yang tertuang dalam KK V, bahwa PT. FI wajib melakukan divestasi atas
kepemilikan saham hingga mencapai 51%, dimana hal tersebut wajib dilakukan dalam jangka
waktu 20 tahun melalui proses pelepasan secara bertahap. Pada dasarnya divestasi tersebut
9
merupakan bentuk hasil dari regenosiasi yang terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar
tercapainya kesepakatan baru yang lebih adil bagi kedua belah pihak.
Setelah melalui proses yang panjang, tarik ulur kesepakatan antara PT. FI dengan
pemerintah Indonesia pada bulan agustus tahun 2017, akhirnya divestasi tersebut memasuki
babak baru, dengan ditandatanganinya pokok-pokok perjanjian (Head of Agreement – HoA)
pada 12 Juli 2018 antara Freeport-McMoran Inc (FCX), Rio Tinto dan holding industri
pertambangan PT. Inalum. Keberadaan PT. Inalum adalah sebagai BUMN yang ditunjuk oleh
pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan hal-hal komersial dengan Freeport (urusan
business to business).
Cambridge Law Dictionary (2018) mengartikan Head of Agreemet (HoA) sebagai
berikut:
“Head of agreement is a document containing the main part of a business deal that
that the companies or people involved must sign before they sign the main written
agreement.”

Dengan kata lain, dalam hal ini Head of Agreement (HoA) merupakan frame work untuk
melakukan transaksi lanjutan guna mengakuisi 51% PT. FI. Adapun isi dari HoA tersebut
adalah tentang pokok-pokok kesepakatan negosiasi sebelumnya, termasuk harga akuisisi.
Serta poin utama negosiasi, yakni landasan hukum dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan
Khusus Operasi (IUPK Op) bukan dalam bentuk Kontrak Karya (KK).
Kemudian divestasi saham 51% untuk kepemilikan nasional Indonesia. Ketiga,
Freeport membangun smelter di dalam negeri. Keempat, penerimaan negara secara agregat
dan total lebih besar disbanding penerimaan negara melalui KK selama ini. Kelima,
perpanjangan operasi 2 x 10 tahun hingga 2041, yang akan diberikan setelah Freeport
memenuhi kewajiban IUPK Op
Divestasi 51% saham PT. FI tersebut akan dilakukan dengan membeli 40% hak
partisipasi (Participating Interest – PI) dalam pengolahan tambang Grasberg milik Rio Tinto
dan saham FCX di PT. Indocopper Investama yang memiliki 9,39% saham di Freeport
Indonesia. Dimana sebelumnya PT. Inalum telah memiliki 9,36% saham pemerintah terhadap
PT. FI.
Untuk menguasai saham tambang emas itu, pemerintah melalui PT. Inalum harus
merogoh kocek sebesar USD 3,85 miliar atau setara dengan Rp 55,44 triliun (mengacu kurs
Rp 14.400). Dari total dana yang dibutuhkan tersebut, sebesar USD 3,5 miliar diperuntukkan
untuk membeli hak partisipasi Rio Tinto di PT. FI dan 100% saham FCX di PT. Indocopper

10
Investama, yang memiliki 9,39% saham di Freeport Indonesia. Sedangkan USD750 juta akan
ditujukan untuk Freeport.

2.6. Hukum Perikatan / Perjanjian


Dalam prakteknya, antara perikatan dan perjanjian tidak dibedakan. Namun, dalam
teorinya kedua istilah tersebut dibedakan. Definisi Perjanjian atau juga dinamakan
persetujuan dapat kita temui dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), didalam pasal tersebut disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan. Dalam perjanjian setidaknya
melibatkan 2 pihak yaitu pihak yang mengajukan penawaran dan pihak yang menerima
penawaran tersebut. Dalam KUHPerdata disebutkan bahwa kedua belah pihak itu adalah
pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi (debitur) dan pihak yang berhak
menuntut terlaksananya prestasi tersebut (kreditur).
Perikatan adalah hubungan hukum antara 2 pihak atau lebih, dimana satu pihak berhak
menuntut, sementara pihak lain berkewajiban memenuhi tuntutan. Mengenai perikatan,
disebutkan dalam Pasal 1233 KUHPerdata bahwa perikatan lahir karena suatu persetujuan
atau perjanjian (Pacta Sunt Servanda) atau karena Undang-Undang. Dengan kata lain,
hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan.
Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain.
a. Asas-Asas Penting Dalam Hukum Perikatan
Adapun asas-asas penting dalam hukum perikatan antara lain:
1) Sistem terbuka dan asas konsensualisme (Pasal 1338 Ayat 1)
 Sistem terbuka – sistem tertutup, berkaitan dengan aanvullend recht
(optinal law) atau hukum pelengkap
 Konsensualisme, lahir pada saat tercapai kata sepakat dengan
pengecualiaan jika adanya perjanjian formal dan perjanjian riil
2) Asas kebebasan berkontrak, yaitu kebebasan untuk menentukan isi dan bentuk
perjanjian
3) Asas kekuatan mengikat, yaitu asas yang menyatakan bahwa para pihak terkait
untuk melaksanakan isi perjanjian termasuk terikat pada kebiasaan & kepatutan
4) Asas kepribadian, yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian berlaku bagi
pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri (Pasal. 1315 jo 1340). Dengan
pengecualiannya pasal. 1317

11
5) Asas itikad baik (Pasal 1388 Ayat 3), perjanjian harus dilakukan dengan itikad
baik. Dimana, itikad baik harus diartikan objektif yaitu berdasarkan keadilan,
kepatutan, dan kesusilaan. Dalam buku II KUHPerdata itikad baik juga didasarkan
kepada kejujuran subjektif.
6) Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 Ayat 1), berkaitan dengan akibat perjanjian
yaitu adanya asas kepastian hukum.
b. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata syarat-syarat sahnya suatu perjanjian antara lain:
1) Adanya kesepakatan (Consensus)
2) Kecakapan (Capacity)
3) Hal tertentu (Certanty of Term)
4) Sebab yang halal (Legality).

2.7. Asuransi
Di Indonesia, pertanggungan adalah istilah asuransi sering digunakan, istilah ini
tampaknya mengikuti istilah dalam bahasa Belanda yaitu assurantie (asuransi) dan
verzekering (pertanggungan). Secara yuridis pengertian asuransi atau pertanggungan merujuk
pada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) Bab Kesembilan Pasal 246 dan
Undang-Undan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992.
Menurut Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) asuransi atau
pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri
kepada seorang tertanggung, dengan meneriman suatu premi untuk memberikan penggantian
kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan,
yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tentu.
a. Unsur-Unsur Asuransi
Dalam pengertian yang terdapat dalam Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) tersebut dapat di simpulkan adanya 3 (tiga) unsur penting dalam
asuransi, yaitu:
 Pihak tertanggung atau dalam bahasa Belanda disebut verzekerde mengikatkan
kepada pihak penanggung atau dalam bahasa Belanda disebut verzekeraar.
 Pihak penanggung mempunyai kewajiban untuk membayar sejumlah uang kepada
pihak tertanggung, karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan
yang diharapkan.

12
 Suatu kejadian atau peristiwa yang tidak tentu jelas akan terjadi.
Ada 2 (dua) pihak yang terlibat di dalam perjanjian asuransi, yaitu:
 Penanggung atau verzekeraar, asuradur, penjamin; ialah mereka yang dengan
mendapat premi, berjanji akan mengganti kerugian atau membayar sejumlah uang
yang telah disetujui, jika terjadi peristiwa yang tidak dapat diduga sebelumnya,
yang mengakibatkan kerugian bagi tertanggung. Jadi penanggung adalah sebagai
subjek yang berhadapan dengan (lawan dari); tertanggung. Dan yang biasanya
menjadi penanggung adalah suatu badan usaha yang memperhitungkan untung
rugi dalam tindakan-tindakannya.
 Tertanggung atau terjamin, verzekerde, insured, adalah manusia dan badan
hukum, sebagai pihak yang berhak dan berkewajiban, dalam perjanjiaan asuransi,
dengan membanyar premi.Tertanggung ini dapat dirinya sendiri ; seorang ketiga;
dan dengan perantaraan seorang makelar.
b. Fungsi Asuransi
Adapun fungsi dari asuransi adalah sebagai berikut:
 Sebagai pemindahan resiko
Tertanggung kemudian mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko
yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi
kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak saat itu risiko beralih kepada
penanggung.Dengan membayar premi yang relatif kecil, seseorang atau perusahaan
dapat memindahkan ketidakpastian atas hidup dan harta bendanya (risiko) ke
perusahaan asuransi.
 Kumpulan dana
Premi yang diterima kemudian dihimpun oleh perusahaan asuransi sebagai dana
untuk membayar risiko atau pembayaran ganti kerugian yang terjadi.
 Pembayaran ganti kerugian / Pembagian resiko
Jika suatu ketika sungguh-sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan
kerugian(risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan
dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya.
Dalam praktiknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak
semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung
mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang
sunguh-sungguh diderita.

13
Dalam pembayaran ganti kerugian oleh perusahaan asuransi berlaku prinsip
subrogasi (diatur dalam pasal 1400 KUH Perdata) dimana penggantian hak si
berpiutang (tertanggung) oleh seorang pihak ketiga (penanggung/pihak asuransi) yang
membayar kepada si berpiutang (nilai klaim asuransi) terjadi baik karena persetujuan
maupun karena undang-undang.
Ditinjau dari beberapa sudut, maka asuransi mempunyai tujuan dan teknik pemecahan
yang bermacam-macam, antara lain :
 Dari segi Ekonomi, maka :
Tujuannya : mengurangi ketidakpastian dari hasil usaha yang dilakukan oleh
seseorang atau perusahaan dalam rangka memenuhi kebutuhan atau mencapai
tujuan.
Tekniknya : dengan cara mengalihkan risiko pada pihak lain dan pihak lain
mengombinasikan sejumlah risiko yang cukup besar, sehingga dapat diperkirakan
dengan lebih tepat besarnya kemungkinan terjadinya kerugian.
 Dari segi Hukum, maka :
Tujuannya : memindahkan risiko yang dihadapi oleh suatu objek atau suatu
kegiatan bisnis kepada pihak lain.
Tekniknya : mellaui pembayaran premi oleh tertanggung kepada penanggung
dalam kontrak ganti rugi (polis asuransi), maka risiko beralih kepada penanggung.
 Dari segi Tata Niaga, maka :
Tujuannya : membagi riisko yang dihadapi kepada semua peserta program
asuransi.
Tekniknya : memindahkan risiko dari individu/perusahaan ke lembaga keuangan
yang bergerak dalam pengelelolaan risiko (perusahaan asuransi), yang akan
membagi risiko kepada seluruh peserta asuransi yang ditanganinya.
 Dari segi Kemasyarakatan, maka :
Tujuannya : menanggung kerugian secara bersama-sama antar semua peserta
program asuransi.
Tekniknya : semua anggota kelompok (kelompok anggota) program asuransi
memberikan kontribusinya (berupa premi) untuk menyantuni kerugian yang
dierita oleh seorang/beberapa orang anggotanya.
 Dari Segi Matematis, maka :

14
Tujuannya : meramalkan besarnya kemungkinan terjadinya risiko dan hasil
ramalan itu dipakai dasar untuk membagi risiko kepada semua peserta
(sekelompok peserta) program asuransi.
c. Syarat Sahnya Perjanjian Asuransi
Syarat-syarat sah suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Ada 4 (empat) syarat sah suatu perjanjian yaitu kesepakatan para pihak,
kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal.
Sedangkan syarat khusus yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
adalah pembayaran premi dan kewajiban pemberitahuan hal-hal yang diketahui oleh si
tertanggung yang diatur dalam Pasal 246 dan Pasal 251 KUHD.
d. Jenis-Jenis Asuransi
Berdasarkan Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, dapat
digolongkan sebagai berikut :
 Usaha asuransi
 Asuransi kerugian (non life insurance) merupakan usaha memberikan jasa
dalam penanggulangan resiko atas kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung
jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.
Adapun jenis asuransi ini antara lain asuransi kebakaran, asuransi kehilangan
dan kerusakan, asuransi laut, asuransi pengangkutan, asuransi kredit, asuransi
kendaraan bermotor, asuransi kerangka kapal, contrution all risk (car),
property/industrial all risk, asuransi customs bond, asuransi surety bond
 Asuransi jiwa (life insurance) merupakan suatu jasa yang diberikan oleh
perusahaan asuransi dalam penanggungan resiko yang dikaitkan dengan jiwa
atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan. Adapun jenis asuransi
ini antara lain asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, asuransi jiwa kredit
 Reasuransi (reinsurance) merupakan suatu system penyebaran resiko dimana
penanggung menyebarkan seluruh atau sebagian dari pertanggungan yang
ditutupnya kepada penanggung yang lain.
 Usaha penunjang
 Pialang asuransi, merupakan usaha yang memberikan jasa keperantaraan
dalam penutupan asuransi dan penanganan penyelesaiaan ganti kerugian
asuransi dengan bertindak untuk kepentingan tertanggung.

15
 Pialang reasuransi, memberikan jasa keperantaraan dalam penempatan
reasuransi dan penangganan penyelesaian ganti rugi reasuransi dengan
bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi.
 Penilai kerugian asuransi, memberikan jasa penilaian terhadap kerugian pada
objek asuransi yang dipertanggungkan.
 Konsultan aktuaria, merupakan usaha memberikan jasa konsultan aktuaria.
 Agen asuransi, merupakan pihak yang memberikan jasa keperantaraan dalam
rangka pemasaran jasa asuransi untuk dan atas nama penanggung.

2.8. Anti Monopolistik


Berdasarkan UU NO 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan monopoli adalah
penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu
oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Praktek monopoli adalah pemusatan
kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Larangan untuk praktek monopoli diatur secara khusus dalam Undang-Undang
Republik Indonesia No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Adapun kegiatan yang dilarang dalam Undang-Undang ini antara lain:
a. Monopoli
Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran
barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
b. Monopsoni
Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli
tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
c. Penguasaan pasar
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun
bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan
atau persaingan usaha tidak sehat berupa :
 Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau

16
 Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak
melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu; atau
 Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan; atau
 Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
d. Persekongkolan
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau
menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan
informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar
barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi
berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Pada dasarnya praktek monopoli tidak dibenarkan di Indonesia, terutama menyangkut
hal-hal krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak salah satunya adalah dalam hal
pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dimana hal ini tercermin dalam UUD 1945 Pasal 33,
yang berbunyi:
Ayat (1) :
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Ayat (2) :
Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh Negara.
Ayat (3) :
Bumi air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ayat (4) :
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.

17
Ayat (5) :
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Sumber kebijakan tentang pengelolaan SDA adalah Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal
33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan SDA ditangan orang
ataupun seorang. Dengan kata lain, monopoli tidak dapat dibenarkan.

2.9. Penyelesaian Sengketa dan Berakhirnya Perjanjian


Dasar hukum alternatif penyelesaian sengketa di Indoneia adalah Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Alternatif
Penyelesaian Sengketa (APS) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan. Adapun jenis-jenis APS antara
lain:
a. Negosiasi
Adalah proses tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan
bersama antara satu pihak dan pihak yang lain; penyelesaian sengketa secara damai
melalui perundingan antara pihak yang bersengketa.
b. Mediasi
Adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Jenis mediasi antara lain mediasi
untuk perbankan, mediasi untuk sengketa pertanahan, mediasi di pengadilan.
c. Konsiliasi
Proses penyelesaian sengketa dimana terdapat pihak ketiga yang memfasilitasi
komunikasi diantara pihak-pihak yang bersengketa dengan tujuan untuk membantu para
pihak menyelesaikan sengketa dan masalah diantara mereka. Proses konsiliasi serupa
dengan mediasi yaitu bentuk penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga, yaitu
mediator dan konsiliator. Perbedaannya, konsiliator aktif memfasilitasi komunikasi
diantara dua pihak dan memberikan solusi penyelesaian. Sedangkan, mediator tidak
selalu aktif memfasilitasi komunikasi diantara pihak ketiga.
d. Pendapat mengikat
Para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat
dari lembaga arbitrase (kepada BANI) atas hubungan hukum tertentu dari suatu
perjanjian. Terhadap pendapat yang mengikat tidak dapat dilakukan perlawanan melalui

18
upaya hukum apapun. Pendapat yang mengikat misalnya mengenai penafsiran
ketentuan/pasal dalam kontrak, penambahan/perubahan ketentuan kontrak, dan lain-lain.
e. Penilaian/pendapat ahli
Yaitu dimana para pihak menunjuk seorang ahli untuk meneliti masalah (sengketa)
yang mereka hadapi dan membutuhkan pendapat ahli khusus (experts determination –
experts appraisal).
f. Ajudikasi
Cara penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang ditunjuk para pihak yang
bersengketa untuk menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul diantara pihak
dimaksud.
g. Arbitrase
Adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut arbitrase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

19
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian yang digunakan dalam rangka menjawab permasalahan dalam
kajian ini adalah studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan dilakukan dengan
mengumpulkan, mempelajari serta menganalisis berbagai sumber kepustakaan yang relevan
dengan permasalahan penelitian.

3.2. Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan adalah data-data sekunder terkait permasalahan. Sumber data
diperoleh dari baik dari sumber data tertulis seperti buku-buku pengetahuan, artikel-artikel di
internet, berita online, dan peraturan-peraturan yang terkait dengan permasalahan, maupun
sumber tidak tertulis seperti berita di televisi.

3.3. Metode Pengumpulan Data


Metode pengumpulan data dalam penulisan makalah ini adalah dengan cara
mengumpulkan sumber-sumber tertulis maupun yang tidak tertulis, yang didapat dari buku-
buku pengetahuan, berita-berita dan artikel-artikel dari media elektronik (internet dan
televisi), dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

20
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Aspek Hukum Perjanjian/Perikatan


a. Kontrak Karya (KK)
Secara mendasar, kekuatan mengikat suatu kontrak tunduk pada asas pacta sun
servanda. Berdasarkan asas pacta sunt servanda, setiap pihak yang membuat suatu
perjanjian harus mematuhi perjanjian tersebut. Setiap pihak dalam perjanjian harus
melaksanakan perjanjian yang mereka buat. Asas pacta sunt servanda timbul dari
anggapan bahwa secara alamiah sifat mengikatnya kontrak didasarkan pada dua hal yang
salah satunya adalah adanya sifat kesederhanaan bahwa seseorang harus bekerjasama dan
berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini masing-masing orang harus memiliki rasa
saling percaya yang pada akhirnya mengakibatkan orang untuk memberikan kejujuran dan
kesetiaan pada janji yang dibuat.
Menurut asas ini pula maka kesepakatan para pihak mengikat sebagaimana undang-
undang bagi para pihak yang membuatnya.30 Hal demikian juga diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan bahwa setiap kesepakatan yang dibuat
secara sah31 berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.
Asas pacta sunt servanda ini berkaitan pula dengan asas kebebasan berkontrak
(freedom of contract) yang juga berlaku universal.33 Artinya, kekuatan mengikatnya suatu
kontrak juga berkaitan dengan sejauh mana para pihak memiliki kekebasan di dalam
membuat suatu kontrak, mementukan dengan pihak mana hendak membuat suatu kontrak
serta kebebasan di dalam menentukan isi kontrak.
sebagaimana berlaku secara universal, maka KK Freeport secara hukum sah dan
mengikat bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, posisi Indonesia dalam KK Freeport
sama dengan posisi para pihak dalam suatu kontrak sehingga wajib untuk taat dan patuh
terhadap isi kontrak.
b. Head of Agreement (HoA)
Dalam proses pengambilalihan saham diperlukan beberapa langkah hukum untuk
mencapai tujuan divestasi 51% oleh Inalum tersebut, Head of Agreement (HoA)
merupakan bentuk proses langkah hukum pertama yang harus dilakukan untuk
memperoleh divestasi tersebut. HoA harus ditindaklanjuti dengan perjanjian lain untuk
sampai pada tujuan divestasi, dengan demikian berarti HoA belum mengikat.

21
Secara hukum HoA mengikat sejauh apa yang telah disepakati di dalam HoA tetapi
bahwa kesepakatan tersebut belum bisa serta-merta efektif terjadi mengingat HoA belum
dikonversi dalam perjanjian utama. Untuk menjadi mengikat, HoA akan dikonversi dalam
Share Purchase Agreement (perjanjian jual-beli saham), Share Holder Agreement
(perjanjian antar pemegang saham), dan Exchange Agreement (pertukaran informasi).

4.2. Aspek Asuransi


Aspek asuransi ditinjau untuk jaminan pendanaan yang direncanakan akan dilakukan
melalui 11 bank baik dalam maupun luar negeri. Mengingat jumlahnya yang cukup besar
yaitu senilai USD 3,85 miliar, maka perlu adanya jaminan terhadap dana pinjaman tersebut
jika terjadi kegagalan PT. Inalum untuk mengembalikannya.
Adapun asuransi yang dapat digunakan dalam hal ini adalah asuransi yang dikaitkan
dengan dunia perbankan yang lebih dititikberatkan pada asuransi jaminan kredit merupakan
bidang asuransi kerugian (general insurance). Asuransi kredit adalah proteksi yang diberikan
oleh Asuransi kepada BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan atas risiko kegagalan
Debitur di dalam melunasi fasilitas kredit atau pinjaman tunai (cash loan) seperti kredit
modal kerja, kredit perdagangan dan lain-lain yang diberikan oleh BankUmum/Lembaga
Pembiayaan Keuangan.
Kredit adalah pinjaman uang yang akan diberikan oleh pemberi kredit (Bank,Lembaga
Keuangan) kepada nasabahnya. Sejak kredit diberikan kepada nasabah, pemberi kredit oleh
nasabah atau tidak diperolehnya kembali kredit tersebut dari nasabah, sehingga pemberi
kredit menderita kerugian.Untuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian tersebut,
pemberi kredit menutup asuransi atas kredit yang diberikannya kepada nasabah. Dalam
asuransi kreit, tertanggung adalah pemberi kredit (Bank atau lembaga keuangan) dan yang
ditanggung oleh penanggung adalah resiko kredit dimana tidak diperolehnya kembali kredit
kepada para nasabahnya. Asuransi kredit bertujuan :
 Melindungi pemberi kredit dari kemungkinan tidak diperolehnya kembali kredit yang
diberikan kepada nasabahnya
 Membantu kegiatan, pengarahan, dan keamanan perkreditan baik kredit perbankan
maupun kredit lainnya di luar perbankan
Pengelolaan asuransi kredit di Indonesia dipercayakan oleh pemerintah kepada PT.
Asuransi Kredit Indonesia yang berpusat di Jakarta, yang menjadi tertanggung adalah bank-
bank pemerintah, bank-bank swasta dan lembaga keuangan lainnya. Pada asuransi kredit

22
yang menjadi tertanggung adalah BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan yang
mengajukan permintaan asuransi kredit bukan debitur yang meminjam dana dari
BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan tersebut. Dengan demikian asuransi kredit
adalah merupakan bi-party agreement dimana hanya ada dua pihak yang terlibat yaitu
perusahaan asuransi sebagai penanggung dan bank umum atau lembaga pembiayaan sebagai
tertanggung.
Adapun yang menjadi objek pertanggungan pada asuransi kredit adalah resiko
timbulnya kerugian yang dialami oleh BankUmum/Lembaga Pembiayaan Keuangan karena
adanya kredit macet dari debitur. Pihak asuransi yang dapat melakukan penjaminan adalah
asuransi yang mempunyai izin untuk melakukan penjaminan asuransi kredit dari Departemen
Keuangan. Kriteria kredit yang dapat dijamin pada asuransi kredit adalah kredit yang
diberikan antara lain:
 Berdasarkan norma-norma perkreditan yang sehat, wajar dan berlaku umum
 Sesuai dengan Manual Pemberian Kredit yang sesuai SE Bank Indonesia
 Ke debitur yang memiliki izin usaha yang ditentukan oleh pihak yang berwenang dan
tidak bertentangan dengan hukum.
 Ke debitur yang tidak sedang dalam proses kepailitan atau telah dinyatakan pailit atau
bubar demi hukum
 Ke debitur yang tidak memiliki tunggakan kredit yang digolongkan kualitas kredit
diragukan.
Dalam hal kredit massal (berkelompok), kriteria kredit yang dapat dijamin adalah kredit
yang:
 Mempunyai sektor ekonomi sama
 Ditinjau dari aspek manajemen, pemasaran, pembelanjaan dan aspek teknis, usaha
tersebut memerlukan pengelolaan yang terkait satu dengan lainnya.
Resiko yang dapat dijamin pada asuransi kredit adalah resiko yang timbul karena
debitur tidak melunasi kredit pada saat kredit yang bersangkutan jatuh tempo dengan
ketentuan usaha debitur sudah tidak ada / tidak berjalan lagi. Plafond untuk asuransi kredit
sebagai berikut:
 Kredit Usaha Mikro ( maks. s/d Rp. 50 Juta)
 Kredit Usaha Kecil ( > Rp. 50 Juta s/d Rp. 500 Juta)
 Kredit Usaha Menengah ( > Rp. 500 Juta s/d Rp. 5 Miliar)

23
Kredit Massal (berkelompok) jumlah debitur/plafond harus memenuhi kriteria sebagai
berikut :
 Untuk sektor Pertanian dalam arti luas adalah kredit yang diberikan kepada lebih dari

100 debitur atau plafond kredit keseluruhan lebih dari Rp. 500 Juta.
 Untuk bidang non pertanian adalah kredit yang diberikan kepada lebih dari 50 debitur
atau plafond kredit keseluruhan lebih dari Rp. 1 M.

4.3. Aspek Anti Monopoli


Seperti yang telah dikemukakan di bab sebelumnya, Sumber kebijakan tentang
pengelolaan SDA adalah Pasal 33 ayat (3), secara tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya, melarang adanya penguasaan SDA ditangan orang ataupun seorang. Dengan
kata lain, monopoli tidak dapat dibenarkan.
Operasi PT. Freeport yang terkait dengan pertambangan SDA tentunya harus
mendapatkan pengawasan khusus, mengingat selama ini Freeport seolah memiliki kendali
yang besar terhadap pengelolaan pertambangan di Mimika, Papua karena tidak ada
perusahaan lain yang ikut mengelola pertambangan SDA di sana dan perekonomian
masyarakat sekitar yang sangat bergantung pada kegiatan operasi bisnis Freeport. Oleh sebab
itu, divestasi saham yang dilakukan pemerintah Indonesia melalui PT. Inalum pada dasarnya
sangat menguntungkan Indonesia, melalui Inalum pemerintah dapat lebih turut mengambil
andil yang lebih besar dalam proses pengelolaan dan pengawasan pertambangan SDA ini.
Sehingga, praktek-praktek monopoli yang dilarang sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat dapat dicegah. Dengan demikian, pengelolaan SDA tersebut akan sesuai dengan
apa yang diamanatkan dalam UUD 1945.

4.4. Penyelesaian Sengketa dan Berkahirnya Perjanjian


Apabila terjadi sengketa di kemudian hari terhadap perjanjian yang dibuat,
penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase internasional jika upaya
perdamaian tidak menemui titik terang. Adapun tahapan penyelesaian sengketa yang harus
dilalui sebelum terjadinya arbitrase adalah sebagai berikut:
 Negosiasi
 Mediasi
 Konsoliasi
 Arbitrase.

24
Mengingat saat ini tahapan yang dilalui baru sebatas HoA, maka ada baiknya kontrak-
kontrak perjanjian tersebut mencantumkan poin-poin penting yang jelas, yang sama-sama
menguntungkan bagi kedua belah pihak.

25
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kewajiban divestasi atau pelepasan saham PT. Freeport Indonesia sebesar 51% kepada
pemerintah Indonesia melalui PT. Inalum berawal dari Kontrak Karya V. Disvestasi itu
sendiri merupakan upaya renegosiasi pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan
Freeport. Proses disvestasi ini dilakukan dengan dengan membeli 40% hak partisipasi
(Participating Interest – PI) dalam pengolahan tambang Grasberg milik Rio Tinto dan saham
FCX di PT. Indocopper Investama yang memiliki 9,39% saham di Freeport Indonesia.
Dimana sebelumnya PT. Inalum telah memiliki 9,36% saham pemerintah terhadap PT. FI.
Babak baru dalam permasalahan Freeport ini ditandai dengan ditandatanganinya Head
of Agreement (HoA) pada tanggal 12 Juli 2018. Dari proses disvestasi ini ada banyak hal
yang perlu dikaji oleh PT. Inalum, diantaranya terpenuhinya aspek perjanjian/perikatan,
asuransi, anti monopoli, penyelesaian sengketa dan berakhirnya perjanjian.
Untuk tahapan awal belum ada bentuk perikatan yang mengikat pihak terkait, karena
kesepakatan yang dibuat baru sebatas HoA, dari segi asuransi dapat diberlakukan asuransi
jaminan kredit. Dengan adanya disvestasi saham ini pemerintah melalui PT. Inalum dapat
melakukan pencgahan terhadap tindakan monopoli oleh Freeport terkait pengelolaan SDA.
Jika terjadi sengketa di kemudian hari, tindakan penyelesaian dapat dilakukan melalui
arbitrase internasional dengan terlebih dahulu melakukan upaya-upaya perdamaian.

5.2 Saran
Dengan adanya disvestasi 51% saham Freeport ini sesungguhya akan memberikan
keuntungan bagi Indonesia. Beberapa hal yang mungkin harus dipertimbangkan oleh PT.
Inalum adalah bagaimana mereka dapat menjamin kemampuan dana untuk menutupi biaya
produksi Freeport yang besar, jangan sampai hal tersebut malah menjadi boomerang bagi PT.
Inalum sendiri yang mengancam keberlangsungan usaha PT. Inalum sendiri. Hal lain yang
harus jadi pertimbangan adalah mengenai banyaknya pelanggaran etika bisnis yang dilakukan
oleh Freeport selama ini, mulai dari permasalahan tenaga kerja sampai hasil audit BPK
terhadap pelanggaran kerusakan lingkungan hidup sebesar Rp 185 triliun, dimana dengan
adanya disvestasi ini kerugian negara atas pelanggaran kerusakan lingkungan hidup tersebut
jga harus ikut ditanggung oleh PT. Inalum. Selanjutnya, PT. Inalum juga harus memastikan
keterlibatan penuh mereka dalam proses pengendalian operasi Freeport nantinya.
26
Karena persoalan dengan Freeport sudah beralih menjadi proses business to business
melalui PT. Inalum. Diharapkan pemerintah dapat lebih fokus untuk menjadi pengawas atas
terselenggaranya pengelelolaan SDA di Indonesia agar dapat memenuhi amanat UUD 1945.

27

Anda mungkin juga menyukai