Anda di halaman 1dari 17

MAIN CHARACTER

1. Arysthicle Fodonne Marxisle a.k.a Aricle Fomarxl


2. Aerl Skyfozio Cluez
3. Xander Haze Vareon
4. Paula Nebbyanca Vorus
5. Demian Largwell
6. Delle Lewisqueen Sabrinee
7. Luke Ardeon Druss
8. Aleinzky Dwarkes Blake
9. Allana Becham Marxisle a.k.a Allena Fomarxl
10. Bob Skyfozio Cluez

Judul :SHADOW

Jumlah halaman :unknow

Awal penulisan :22 Agustus 2019 –

Genre :Fantasy (minor) romance, action, dramas, mystery

Jadwal :Saturday, Sunday

Situs web :Wattpad 2019, worked in website Chocoberry 2016 revisi


SHADOW
PROLOGUE

Hujan yang turun di daerah pusat kota menjadikan orang-orang bergerak dengan
gesit untuk menghindari tetesan demi tetesan air yang terjatuh mengenai kaki bumi.
Beberapa orang bergumam mengatakan betapa merepotkannya hujan yang turun tiba-tiba
pada siang hari ini, padahal pagi tadi langit masih cerah.

Di ujung jalan dekat dengan belokan ruko-ruko, terdapat gang kecil yang merupakan jalan
pintas penghubung salah satu perumahan yang cukup berkelas di daerah ini. Tidak banyak
orang yang tahu akan hal itu.

Kaki ku melangkah memasuki gang tersebut dengan langkah agak terburu. Pasalnya hari ini --
sepulang dari sekolah, Mama tidak bisa menjemput karena ada tugas dari kantor dadakan.
Jadilah aku harus rela berhujan-hujanan di sepanjang jalan.

Sebenarnya, Paula—salah satu teman dekatku, menawarkan tumpangan mobilnya. Tapi aku
menolak, bukan apa-apa hanya saja aku merasa tidak ingin merepotkannya karena arah jalan
rumah kami yang tidak searah. Hingga akhirnya aku pulang menggunakan bus umum.

Gang kecil yang sedang ku lewati sekarang cukup becek dengan beberapa kubangan air di
beberapa sisi jalan. Aku memperhatikan jam tanganku yang menunjukkan pukul satu siang.
Hari ini sekolah dipulangkan lebih awal karena ada rapat mengenai acara ulangtahun sekolah
di akhir bulan mendatang.

Mataku melirik ke ujung jalan, aku telah melewati setengah dari gang ini rupanya. Gang kecil
dan panjang ini jarang dilewati oleh warga karena sepi dan banyak yang berdongeng
tentang betapa menyeramkannya gang yang berada di antara ruko-ruko ini.
Aku sebenarnya agak ngeri karena mendengar berita tentang pembunuhan yang terjadi di
gang ini, lalu ada juga sosok putih berambut panjang yang konon menjaga area ini.

Dan sekarang nyaliku berangsut ciut setelah berhasil melewati setengah lebih bagian gang
karena membayangkan beberapa rumo—

BRAK

Tubuhku sontak berbalik dengan napas memburu karena saking terkejutnya. Dahiku
mengernyit ketika melihat jalanan panjang dan sedikit redup di depan kosong. Benar-benar
tidak ada orang disitu, jadi tadi bunyi apa?

Perlahan tangan ku mendingin dan bergetar karena melihat bayangan seperti seseorang
pada jarak sepuluh meter dari tubuhku. Aku mencoba menajamkan indra pengelihatanku
untuk memastikan hal itu. Bayangan itu masih disana, bergerak dengan lembut seperti bukan
gerakan orang pada umumnya.

“Hei, siapa disana?”dengungku dengan gentar melawan rasa takut.

Oke, sekarang telapakku pucat. Ku coba sekuat tenaga untuk bergerak meninggalkan gang ini
dan untungnya berhasil.

Aku berbalik badan setelah berhasil berlari meninggalkan gang itu, hanya untuk memastikan
saja apakah bayangan itu masih disana atau tidak.

Beruntung bayangan tadi sudah hilang, hendak berbalik namun aku melihat sesuatu disana.
Seseorang.

Seseorang itu berjalan santai mengarah padaku. Dan, yang membuatku tiba-tiba kehilangan
napas adalah…
Ketika orang itu tersenyum dengan tangan kirinya yang baru kusadari memegang seuntai
kalung perak dengan liontin angsa.

Detik itu juga aku meraba area leherku dengan bergetar. Aku melihat liontin ku dan liontin
seseorang itu.

Sama.
FIRST PART DIMENTION

Bertepatan hari ini sekolahku mengadakan festival yang diadakan untuk umum. Kelas-
kelas yang terpilih untuk tampil pentas seni telah berusaha untuk menampilkan
penampilannya yang terbaik, termasuk kelasku.

Saat ini aku sedang berjalan bersama Paula menuju ruang ganti untuk berganti pakaian
sehabis pentas. Paula sedari tadi sibuk berkomentar mengenai beberapa bazar yang
ditawarkan oleh kelas-kelas yang tidak terpilih untuk mengikuti pensi tadi.

“hey, kau mau menemaniku ke bazar kelas 11 A tidak? Katanya mereka memiliki pengunjung
yang paling ramai dibandingkan dengan kelas lainnya, aku penasaran.”Paula melirik kearah
tenda yang memiliki warna campuran merah, ungu, dan hitam di ujung.

Aku melirik juga sekilas, tampilannya tampak unik tapi sedikit tertutup dengan antrean
panjang di pintu masuknya.

“bagaimana, mau ya?”Paula bertanya sekali lagi yang ku balas dengan anggukan ringan.

Kami berjalan beriringan menuju tenda yang dimaksud Paula tadi setelah berganti kostum
menjadi baju biasa. Rupanya di tempat ini ramai siswa yang mengantre hendak memasuki
stand ini, beberapa dari yang lain tampak seperti telah mengunjungi tenda ini beberapa kali,
terdengar dari obrolan yang nampak jelas kutangkap.

Paula datang sambil menyodorkan sebuah kertas bertuliskan nomor yang dicetak warna emas
keunguan yang cukup menarik perhatianku.

“kita kebagian nomor 32 dan 33. Huft, seenggaknya tidak sampai angka antrean ke-50.”

Aku hanya merespon dengan senyuman tipis sambil sesekali mengamati kertas yang mungkin
dijdikan tiket masuk di genggamanku.
Hingga akhirnya nomor antrean milik Paula terdengar. Ku lihat Paula sangat antusias ketika
berjalan memasuki tenda kecil itu. Sebelum masuk, anak itu sempat-sempatnya berkata tanpa
suara ‘doakan aku’dengan tatapan jenaka. Aku tertawa kecil sambil mengacungkan
jempolku ke arahnya.

Sekitar lima menit berlalu, Paula keluar tenda sambil tersenyum riang, dia datang ke arahku.

“ada apa?”tanyaku heran.

“kau tahu, di dalam ternyata bukan game atau menjual assesoris dan baju,”katanya dengan
raut berbinar.

Aku lantas mengernyit heran, “lalu apa? Dan apa yang kau bawa ini?”tunjukku kepada
benda yang berada di genggaman Paula.

“ini sapu tangan. Dan di sana ada seseorang yang ak-“

“nomor 33, silakan masuk!”

Aku dan Paula bertatapan sejenak sebelum masuk ke tenda itu. Belum sempat aku
melangkah, Paula menahanku,“semoga beruntung,”begitu katanya sambil tersenyum lebar.

***

Hari ini hujan lagi dan ku rasa sekarang memang sudah mulai memasuki musim penghujan.
Aku mengira musim penghujan kali ini datang lebih cepat dibandingkan dengan tahun lalu.
Mataku melirik ke luar jendela melihat payung-payung yang bergerak sejalan dengan langkah
kaki orang-orang yang berlindung dibawahnya. Dan saat itu pula mataku terpaku pada satu
titik.

Payung abu-abu.
Sepertinya aku mengenal payung itu, tapi ingatanku yang memang sudah payah sejak kecil
membuatku lupa siapa orang yang berlindung di bawah payung itu. Aku terus mengikuti arah
pergerakan payung itu hingga benda itu terhenti sejenak di depan toko yang tidak familiar di
mataku.

Aku terus mengamatinya sampai orang yang berlindung di bawah payungan abu-abu itu
berbalik menatap jalanan, dan aku merasa sekarang dia tengah menatapku dari posisinya
berdiri.

Aku mengangkatkan alisku bingung ketika orang di seberang sana tersenyum kecil kepadaku.
Atau justru aku lah yang terlalu besar kepala dan mengada-ada?

Kepalaku menoleh ke arah belakang dan tidak menemukan seseorang pun yang juga
menoleh ke arah jendela di sampingku. Mereka sibuk dengan minuman atau mengobrol. Dan
aku pastikan bahwa detik itu juga mataku yang suci ini sudah tidak suci lagi ketika melihat
sebuah ‘adegan’tepat di meja bagian pojok depan. Tolong ingatkan aku saat sampai
dirumah nanti untuk membilas mataku dengan daun aryscender muda.

Cepat-cepat aku menoleh keluar jendela lagi, namun yang ku dapati bukan payung abu-abu
beserta seseorang disana. Melainkan hanya seutas benda perak yang sedikit silau karena
terkena pantulan sinar.

Benda itu terjatuh di muka tanah. Mataku berkedip beberapa kali karena bingung antara ingin
mengambilnya atau tidak. Jika aku mengambilnya, sedangkan barang itu bukanlah milikku
dan jika aku biarkan maka benda itu akan kotor terkena cipratan air hujan beserta lumpur
disana. Kemungkinan terbesarnya nanti adalah hilang.

Pada akhirnya tubuhku berdiri lalu melangkah meninggalkan meja dengan kopi putih yang
masih utuh di dalam cangkir. Yang aku pikirkan sekarang hanyalah benda diseberang sana.
“Nona Aryst—” aku menoleh dengan kilat sebelum orang itu menyelesaikan kalimatnya.
Ah, kebiasaannya belum juga hilang. Perlukah aku menempelkan stick note ke dahinya atau
telapak tangannya yang ku tuliskan sebuah kalimat disana?

“m-maaf, Nona,”ucapnya sambil menunduk dalam.

Ku hela napasku lalu tersenyum kecil. “jangan lakukan lagi,”

Orang yang memanggilku tadi adalah Lewisqueen, salah satu orang suruhan Mama yang
ditugaskan untuk mengawasiku. Dia dulunya salah satu orang terpandang di kota kami,
hingga pada beberapa dekade yang lalu, Lewis dan keluarganya ditemukan oleh Mama
terlibat dalam salah satu kasus pembunuhan berencana di bagian timur kota.

Mama bekerja sebagai seorang detektif di salah satu clan terkenal di negeri ini. Maka dari
itulah aku jarang bertemu dengan Mama.

Lewis mengangguk, ia beralih menatap mataku sambil bergerak sedikit resah. Dan aku yakin
ada sesuatu masalah yang sangat serius jika seseorang seperti Lewis bereaksi seperti itu.

“katakan!”titahku sambil berjalan pelan meninggalkan café yang telah ku singgahi hingga
dua jam lamanya.

Aku melirik Lewis yang menarik napas kecil, dia lalu menatapku bertepatan dengan
pandanganku yang sudah terfokus ke depan.

“Ny. Aleinzky mengirimkan beberapa‘orang’lagi.”katanya dengan tegas namun sedikit


bergetar. Aku membeku, jelas karena masalah ini tidak begitu mudah bagiku atau Mama.
Bahkan untuk Lewis yang notabene-nya seorang yang sudah terbiasa menjumpai kasus
seperti itu.

“berikan aku minuman nanti dan lakukan gerakan mengecoh pada mereka. Turutkan Jake
untuk mengawasi area sekitar hutan dan Luke untuk menjaga lingkungan zona A.”
Ku lihat dari ekor mata, jika Lewis sedikit melebarkan mata emeraldnya.

“Luke akan baik-baik saja,”ucapku tanpa ekspresi, sedangkan Lewis terlihat menunduk
karena malu.

“ba-baik, No—”

“tolong jangan panggil aku Nona jika berada di luar. Gunakan nama biasa saja.”potongku
yang sudah jengah dengan daya ingat Lewis yang payah.

Dan, akupun lupa jika aku juga memiliki daya ingat yang lebih parah dari pada Lewis.

***

Mataku melihat malas seseorang yang tidur terlentang di sofa ruang kerja Mama. Hari ini aku
memutuskan pulang untuk mengurus beberapa masalah dan tujuanku biasanya hanya satu
ruang yaitu ruang kerja milik Mama.

Tanganku sengaja sedikit menggebrak meja dengan alih-alih orang itu akan terbangun dan
sedikit merasa bersalah denganku karena berani dengan lancang tidur di sofa kesayanganku.

Geram karena tidak mendapatkan respon apapun, karena ku rasa orang itu terlalu lelap
dalam tidurnya, aku pun berdiri membungkuk mensejajarkan kepalaku dengan wajahnya, lalu
meniupnya dengan pelan.

“eunghh… berhentilah Durry, kau membuatku risih,”orang itu berbalik memunggungi


posisiku.

Aku berdecak karena membayangkan orang ini bersama Durry di dalam satu ruangan
penting seperti ini. Dan akan aku pastikan nanti jika mereka tidak membuat masalah lagi.
Aku mendekati telinga sang empu, “bangun, dasar pemalas,”bisikku dengan ekspresi jijik.

Tak lama orang itu terbangun namun masih dalam posisi yang sama, sedangkan aku siap
menerkamnya dengan cacian sambil berdiri melipat tangan di dada.

“eh, k-kau kapan kembali?”tanyanya dengan gugup sambil mengubah posisinya menjadi
duduk.

Aku memutar bola mata malas, bisa-bisanya dia tidak merasakan kehadiranku.

“Demian, tolong keluar,”desisku yang dibalas ringisan olehnya. Aku pun tidak peduli, salah
siapa beristirahat di ruangan atasannya padahal dia sendiri sudah disiapkan kamar khusus
yang layak.

“maaf, Arys. Sepertinya malam tadi aku kecapekan sampai-sampai salah masuk ruangan. Ku
kira ini sofa tempat biasa ku tiduri,”Demian beralih manuju ke sisi sofa sambil menundukkan
kepalanya. Ku rasa ia merasa tidak enak denganku. Ah, biarlah.

Aku duduk di sofa kesayanganku ini sambil mengusap permukaannya. Sudah lama aku tidak
merasakan tidur beralaskan sofa lebar ini.

Kepalaku mendongak, melihat rupa si Demian yang masih saja menunduk sambil memainkan
jemarinya. “kau tidak macam-macam kan dengan Durry?”

Demian menatapku sambil menganga tidak percaya, dia lantas menggelengkan kepalanya
dramatis yang membuatku sedikit geli. “aku tidak menghancurkan ruanganmu, bisa kau lihat
sendiri kan. Lagi pula, kau kira aku dan si bodoh itu gay?”ucapnya tak terima di akhir kalimat.

Aku mengangkat bahuku acuh, “pergilah, dan temui Luke. Dia butuh bantuanmu.”ucapku
dengan mata terpejam merasakan empuknya sofa ini.

Ku dengar Demian mencaci Luke dengan suara kecil yang pasti terdengar jelas di telingaku.

“pasti soal berkencan dengan pengawalmu itu kan? Cih, sok sekali dia.”aku masih terdiam.
“kau tau, Luke kemarin repot-repot membatalkan eksekusi seorang makhluk kotor hanya
karena dia ingin menanyakan saranku agar membuat pengawalmu itu menjadi luluh dengan
ajakannya. Dasar bastard!”Demian menggeram jengkel.

Ku buka mataku sebelah agar bisa melihat ekspresi pria itu, “aku ada misi,”

Demian menolehkan kepalanya cepat lalu menatapku seperti mengatakan‘apa’dari


sorotnya.

“maka, temuilah Luke”sebenarnya aku ingin memberitahu pria itu, tapi apa daya, tenagaku
sangat terkuras hari ini jadilah aku hanya mengatakan begitu kepadanya. Biarlah dia mati
penasaran karena tidak ku beri tahu alasannya.

Lagi-lagi Demian mencaci Luke dengan suara kecilnya,“baiklah, sampai nanti.”katanya


sebelum mataku benar-benar terpejam.

***

Hari selanjutanya aku mejalani aktivitas seperti biasa. Aku memilih tinggal di salah satu rumah
yang dibeli oleh Mama beberapa bulan yang lalu. Alasannya klise, karena disana letaknya
tidak jauh dari sekolahku. Bukan itu saja sebenarnya, masih banyak lagi alasan-alasan Mama
memilih rumah ini sebagai tempat tinggal sementaraku.

Hari ini aku memilih berangkat sekolah menggunakan bis umum. Sebenarnya tadi pagi Paula
memaksaku untuk berangkat bersama melewati telepon. Biar ku tebak, pasti anak itu meminta
sesuatu sampai-sampai mau repot pergi ke arah timur kota dari rumahnya yang berada di
pusat kota.
Dasar.

Sepanjang perjalanan, mataku hanya tertuju ke luar jendela. Di luar turun hujan, lagi.

Bukan berjenis hujan yang deras, hanya saja hujan kali ini lumayan bisa membuat orang-
orang di luar sana kuyub walaupun hanya menggunakan mantel tipis tipe V.

Tanganku mengambil sesuatu di bagian resleting tas paling depan. Sebuah permen.

Aku sebenarnya tidak bisa jauh-jauh dari permen satu ini. Karena permen ini termasuk ke
dalam salah satu hal terpenting yang harus dibawa ketika aku berangkat ke sekolah.

Ketika aku sedang asik menikmati permen, tiba-tiba lampu di bis ini mati. Mendadak
penerangan cahaya menjadi temaram karena akses cahaya hanya masuk melalui kaca tebal
bis. Itu pun tidak terang karena cuaca sedang hujan. Aku menatap sekitar, orang-orang
banyak yang memprotes dan bertanya karena merasa kurang nyaman.

Diriku hanya diam sambil kembali memandang keluar jendela, perjalanan masih kurang lima
menit lagi untuk sampai ke sekolah. Suara orang-orang yang semula riuh menjadi tenang.
Aku mengernyit ketika merasakan hal aneh disekitar bis ini. Bersamaan dengan itu pula
duduklah seorang lelaki dengan pakaian hitamnya. Hoddie hitam itu menutupi hampir seluruh
wajahnya, terkecuali mulut.

Aku sendiri bingung harus merespon seperti apa.

Keheningan ini masih berlangsung hingga aku hampir sampai ke tempat tujuan. Suara
pengeras yang berasal dari dalam bis ini mendengung. Aku meringis karena telingaku yang
terasa seperti keram saking kerasnya. Saat di sela-sela ringisan, aku mendengar beberapa
orang mengkhawatirkanku. Hah, tolong jangan tatap aku seperti itu, aku tidak suka.
Tiba-tiba seseorang yang berada di sampingku mengulurkan tangannya. Aku menatapnya

dengan tanya dengan keadaan masih meringis mendengar suara pengeras itu yang belum
reda juga.

“kau akan mati jika gendang telingamu mendengar suara ini. Pakailah,”katanya sambil
menyodorkan tangannya.

“a-apa itu?”kataku takut-takut. Dia tersenyum sambil tetap menyodorkan benda yang
kurasa ada digenggamannya. Perlahan tanganku meraihnya, dan detik itu juga aku
merasakan kulitku yang seperti terbakar. Sangat sakit hingga aku harus menahan
jeritanku dengan menggigit bibir.

Orang itu tersenyum mengejek kepadaku sebelum dia berjalan meninggalkan kursi yang tadi
di dudukinya. Aku menggeram marah, emosiku meluap begitu saja. Belum sempat aku
mengejar lelaki tadi, tiba-tiba pandanganku memburam.

Aku mendengar beberapa orang meneriaki ku, walaupun mereka tidak tahu namaku. Dan
salah satu bayangan membuatku sedikit bingung yaitu sosok yang sama ketika aku
melihatnya di gang kecil diantara ruko-ruko di dekat rumah.

Orang yang memiliki liontin kalung sama denganku, berjalan mendekat.

SECOND PART DIMENTION


“yang benar saja?!”Allana berdiri dari posisinya ketika mengetahui jika putrinya—Arycle
tidak ada di rumah. Wanita yang terlihat masih muda itu panik, ia mengerahkan
beberapa anak buahnya untuk mencari putri sematawayangnya.

Pasalnya Allana mengetahui dari salah satu teman dekat Arycle yang bertanya mengapa anak
perempuannya itu tidak berangkat ke sekolah. Padahal yang Allana ketahui, putrinya
tadi berangkat dari rumah lalu ijin berangkat ke sekolah menggunakan bis umum.

Dan sekarang pikiran wanita itu tidak tenang. Jika Arycle tidak segera pulang hingga pagi
mendatang, maka akan ada suatu masalah.

“n-nyonya, nona Arys belum ditemukan”ucap salah satu orang yang disuruhnya.

Allana menghembuskan napasnya gusar. “tolong panggilkan Luke, bawa dia kemari”

Orang itu mengangguk lalu bergegas menuju ruang dimana Luke berada. Tak lama Luke
datang bersama dengan Lewis, pengawal setia Aricle. Allana bangun dari posisi
duduknya menghampiri kedua orang penting yang ditugaskan untuk menjaga
putrinya.

“kapan terakhir kalinya kalian menemui putriku?”tanya Allana bergetar.

Lewis angkat bicara, “saat subuh menjelang pagi Nona meminta kepada saya untuk menjaga
perbatasan, Nyonya. Beliau berbincang sejenak setelah itu pergi menuju
rumah.”jelasnya dengan kepala tertunduk. Luke yang berada di samping gadis itu
malah terdiam seperti sedang mencerna sesuatu.

“maaf, Nyonya Allana, sebenarnya apa yang telah terjadi?”tanya Luke dengan wajah
penasaran yang dibalas pelototan oleh Lewis. Allana menghela napasnya lelah, sudah
ia duga pasti Luke akan bertanya sedemikian.
Mengindahkan pertanyaan Luke, Allana bersuara mengatakan kepada Luke untuk mencari
keberadaan putrinya. Dan dari situ pula Luke sudah menyadari beberapa
kemungkinan.

Pertama, Nona-nya itu sedang pergi, namun tidak kunjung pulang dan yang kedua, ada
kemungkinan Nona-nya hilang dan semua orang suruhan Allana tidak berhasil
menemukannya.

Tapi, yang paling membuat Luke bingung adalah bagaimana seorang Allana tidak bisa
mendeteksi keberadaan putrinya sendiri. Bahkan Luke juga tidak dapat melacak
keberadaan Arycle. Ini sungguh janggal menurutnya. Tiba-tiba pemikiran yang cukup
tidak masuk akal terlintas di pikiran Luke, tetapi dengan cepat Luke menepis semua
pemikiran itu.

“apa kita harus ke rumah Tuan Cluez, Nyonya?”pendapat dari Lewis membuat Luke sedikit
mendapatkan pencerahan. Yap, keluarga Cluez pasti memiliki banyak koneksi di kota
ini dengan begitu mereka dapat dengan mudah melacak keberadaan Nona muda
mereka.

Luke menganggukkan kepalanya tanda setuju, “benar, Nyonya yang dikatakan oleh Lewis.
Tidak ada salahnya kita mencoba terlebih dahulu.”

Allana tampak menimbang, disaat kondisi seperti ini bisa-bisanya sang putri hilang dari
jangkauannya. “baiklah, sore nanti kau ikut denganku Luke.”kata Allana lalu kembali
duduk di kursi kerjanya sambil menyuruh Luke serta Lewis kembali ke pekerjaan
masing-masing.

***

Berbeda di tempat, saat ini gadis yang sedang dicari-cari malah tampak berdebat dengan
seorang pemuda dengan pakaian serba hitamnya. Arycle, gadis itu tampak geram dan
marah ketika pemuda itu tampak mengacuhkannya. Padahal niatnya hanya ingin
bertanya dimana tempat yang sekarang ia kunjungi.
Pemuda itu berdecak karena telinganya terasa panas mendengar geraman dan amukan dari
gadis di depannya. Dengan berlipat tangan pemuda itu berjalan mendekati Arycle,

“apakah kau benar-benar penasaran?”tanya si pemuda dengan ringan.

Arycle menggeram marah. “tentu saja!”jeritnya membuat pemuda itu meringis ngilu karena
telinganya yang sedikit mendengung.

Pemuda itu berhenti tepat selangkah di depan Arycle. Gadis itu bahkan tak gentar menatap
mata tajam yang ternyata baru ia sadari memiliki warna yang sungguh cantik. Pemuda
itu membungkukkan badannya menyejajari wajah Arycle yang tampak sangar tetapi
tidak membuat pemuda itu takut akan tatapan yang diberikan.

“jika aku mengatakannya, apakah kau akan percaya?”pemuda itu berbisik pelan tepat di
depan muka Arycle yang masih menahan amarahnya. Dia tidak suka hal yang terbelit-
belit, seperti ini contohnya. Apa susahnya hanya menyebutkan nama tempat yang ia
kunjungi sekarang?

Arycle menggeram, “terserah apa katamu!”tatapannya menjadi setajam elang menatap


lawan bicaranya yang tersenyum geli, “Aku hanya ingin pulang,”lanjutnya dengan penekanan
di setiap katanya.

Pemuda itu menegakkan badannya sambil melipat tangan di depan dada. Ia memiringkan
kepalanya sambil tersenyum kecil, “lucu sekali,”katanya yang masih bisa di dengar oleh
Arycle. Gadis itu sukses geram di buatnya, ia melangkah mendekati pemuda itu dengan
mengangkat tangannya seperti hendak mencakar. Namun, belum sempat menyentuh kulit,
pemuda itu sudah dulu mencekal tangan Arycle.

“well, jangan seperti itu. Apa kau tidak lapar hm?”pemuda itu melepaskan cekalannya sambil
terus menatap mata hazel milik Arycle. “sebaiknya sebelum pulang kita makan dulu.”pemuda
itu berbalik meninggalkan Arycle yang ternganga. Lantas gadis itu menatap turun kearah
perutnya lalu meringis, “ya, untunglah dia menyadari itu.”lalu setelahnya Arycle berlari
menyusul pemuda tadi.

Anda mungkin juga menyukai