DISUSUN OLEH :
KELOMPOK NO.1 HAK AZASI MANUSIA :
INDRIAN TOPER (181022104)
RAFIKA FEBRIANDA (181022106)
SUCI YUNITA (181022103)
A. LATAR BELAKANG :
Laporan PBB menyatakan bahwa Rohingya merupakan etnis yang paling
teraniaya di dunia sekarang ini. Mengutip keterangan dari media Republika, hal
tersebut dinyatakan sebagai berikut:
"Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengatakan bahwa etnis
minoritas Muslim Rohingya di Myanmar merupakan kelompok
etnis minoritas yang saat ini paling merana di dunia. Ini
dikarenakan konflik kemanusiaan dan kekerasan yang dilakukan
oleh kelompok pengikut Budha radikal di Myanmar."
2|Page
sekali atas apa yang terjadi di sana. Misalnya kekerasan yang terjadi pada
tanggal 01 Oktober 2013 lalu di Negara Bagian Rakhine. Hal itu dikatakan
sebagai berikut: "The human rights violations being committed against the
Rohingya in Rakhine State are widespread and systematic and continues to
absolutely no accountability for what is occurring there."
3|Page
Rohingya," or the pejorative "Kalar," which has a variety of disturbing
translations. The Rohingya face widespread animosity from broader Burmese
society, including from longtime pro-democracy advocates and members of ethnic
nationalities who themselves have long faced oppression from the Burmese state."
4|Page
the majority of the internally displaced persons (IDPs) are also believed to
be without citizenship."
Berdasarkan uraian di atas, maka persoalan yang dialami oleh etnis
Rohingya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan persoalan HAM.
Persoalan HAM yang timbul bahkan menyangkut hak-hak yang bersifat pokok
(core rights), atau dengan perkataan lain menyangkut HAM yang besifat non-
derogable rights. Oleh karena itu, persoalan yang tengah dialami oleh etnis
Rohingya tersebut telah menjadi perhatian dan keprihatinan dunia internasional,
mengingat besarnya dampak yang timbul dari sisi kemanusiaan.
B. RUMUSAN MASALAH :
5|Page
3. Dan apakah tanggung jawab negara dari pemerintah Myanmar atas
pelanggaran tersebut menurut hukum internasional ?
C. KONSEP OPERASIONAL :
1. Kekerasan adalah sebuah tindakan yang mengacu pada sikap atau
perilaku yang tidak manusiawi. Sehingga dapat menyakiti orang lain
yang menjadi korban kekerasan tersebut dan juga tentu merugikan
orang yang berbuat kekerasan karena pasti akan mendapatkan hukuman
sesuai hukum yang berlaku.
2. Etnis adalah sistem penggolongan manusia yang didasarkan pada
sistem kepercayaan yang diyakini, pengimplementasian nilai- nilai di
masyarakat, pemahaman akan beragam kebiasaan, penguatan adat
istiadat yang terkonstruksikan, penegasan norma- norma, penggunaan
bahasa, penjelasan latar belakang sejarah manusia, wilayah geografis
serta hubungan kekerabatan yang tak terpisahkan
3. Rohingnya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga
dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di
Myanmar. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan
bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh (yang berlawanan
dengan mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-Tibet).
4. Myanmar adalah sebuah negara berdaulat di Asia Tenggara. Myanmar
berbatasan dengan India dan Bangladesh di sebelah barat, Thailand dan
Laos di sebelah timur dan China di sebelah utara dan timur laut.
5. Perspektif adalah konteks sistem dan persepsi visual adalah cara
bagaimana objek terlihat pada mata manusia berdasarkan sifat spasial,
atau dimensinya dan posisi mata relatif terhadap objek.
6. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar manusia yang dimiliki sejak
berada dalam kandungan dan setelah lahir ke dunia (kodrat) yang
berlaku secara universal dan diakui oleh semua orang.
7. Sektarian adalah anggota (pendukung, penganut) suatu sekte atau
mazhab.
6|Page
8. Sektarianisme adalah bigotri, diskriminasi atau kebencian yang muncul
akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan
denominasi agama atau fraksi politik.
7|Page
Dalam kasus tersebut, hanya sejumlah kecil hingga ketiadaan
petugas keamanan dari pemerintah untuk menghentikan kekerasan
tersebut, orang-orang mempersenjatai diri mereka dengan pedang, tombak,
kayu, tongkat besi, pisau, dan senjata-senjata lainnya, menjadikan hukum
di tangan mereka sendiri.
Akibatnya, terjadi kehancuran total atas harta benda milik kedua
kelompok komunitas tersebut. Pemerintah mengklaim bahwa 78 orang
tewas terbunuh - suatu keterangan yang diragukan- sementara itu, lebih
dari 100.000 orang melarikan diri dari rumah-rumah mereka. Permusuhan
juga dihembuskan oleh hasutan dari media yang anti-Muslim dan
propanda.
Selama periode setelah terjadinya perkosaan dan pembunuhan
yang dilaporkan dan sebelum pecahnya kekerasan, timbul ketegangan
(tensione) yang terjadi secara dramatis di Negara Bagian Arakan. Namun
demikian penduduk setempat dari kedua komunitas mengatakan kepada
Human Rights Watch bahwa otoritas pemerintah yang berwenang tidak
memberikan perlindungan dan tidak terlihat melakukan tindakan-tindakan
khusus tertentu untuk mencegah atau mengantisipasi terjadinya kekerasan.
Pada tanggal 10 Juni, khawatir akan menyebarnya kerusuhan
sampai ke luar perbatasan Negara Bagian Arakan, maka Presiden
Myanmar Tein Sein mengumumkan keadaan darurat yang menyerahkan
kekuasaan pihak sipil kepada pihak militer di wilayah negara bagian yang
terkena dampak. Pada situasi ini, dimulailah gelombang kekerasan secara
serentak yang dilakukan oleh berbagai aparat keamanan negara.
Sebagai contoh, etnis Rohingya di pelosok Narzi -wilayah Muslim
terbesar di Sittwe, tempat tinggal bagi 10.000 Muslim-digambarkan
bagaimana segerombolan beretnis Arakan membakari rumah-rumah milik
mereka pada tanggal 12 Juni, sementara itu polisi dan kelompok pasukan
paramiliter Lon Thein menembaki orang-orang Rohingya dengan peluru
tajam. Di sebelah utara Negara Bagian Arakan, petugas penjaga perbatasan
di perbatasan Nasaka, tentara, polisi,dan pasukan Lon Thein melakukan
8|Page
pembunuhan, penangkapan secara massal, dan penjarahan terhadap orang-
orang Rohingya.
Setelah peristiwa itu, para pemimpin lokal Arakan dan para
anggota masyarakat Arakan di Sittwe telah meminta dilakukannya
pemindahan secara paksa komunitas Muslim dari wilayah kota, sementara
para pendeta Budha memulai suatu kampanye, meminta penduduk
penganut Budha untuk tidak berteman maupun melakukanbisnis dengan
orang-orang Muslim.
9|Page
internasional, seseorang tidak boleh dalam keadaan tanpa memiliki status
kewarganegaraan.
Sebab, tanpa kewarganegaraan, seseorang tidak mendapatkan
jaminan perlindungan hukum. Hak atas status kewarganegaraan dan hak
untuk tidak didiskriminasi merupakan HAM yang telah dijamin dalam
instrumen hukum internasional, baik dalam Deklarasi Universal HAM
(UDHR), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR), maupun instrumen hukum internasional lainnya.
Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar (Citizenship Act)
tahun 1982, secara eksplisit tidak mengakui orang-orang Rohingya sebagai
warga negara Myanmar. Undang-undang tersebut tidak menyebut etnis
Rohingya sebagai salah satu "national race" di samping delapan etnis yang
disebutkan (yaitu: Arakan, Burman, Chin, Kachin, Karen, Karenni, Mon,
Shan).
Ketiadaan status hukum sebagai warga negara tersebut telah
menjadikan orang-orang Rohingya hidup tanpa mendapatkan perlindungan
hukum sama sekali dan menjadikan mereka sebagai sasaran kekerasan.
Keadaan tersebut juga dianggap menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinyakekerasan di Arakan.
Ketiadaan status tersebut sebenarnya telah berlangsung pada
pertengahan tahun 1970, pada saat itu pemerintah mensyaratkan seluruh
warga negara untuk memiliki "National Registration Certificates"
berdasarkan Undang-undang Imigrasi Darurat (Emergency Immigration
Act), namun orang-orang Rohingya hanya diberikan "Foreign Registration
Cards" dan menyebakan anak mereka sulit untuk bersekolah dan sulit
untuk mencari pekerjaan.
Kemudian, tindakan diskriminatif juga terus berlanjut, misalnve
saat terjadi repatriasi secara massal pengungsi Rohingya dari Banglade
pada tahun 1983, saat itu pemerintah Myanmar menyelesaikan sensus
penduduk secara nasional, namun orang Rohingya tidak diperhitungkan
dan menjadikan mereka tanpa kewarganegaraan (stateless). Undang-
10 | P a g e
undang Kewarganegaraan tahun 1982 melegalkan tindakan tersebut
dengan cara menghilangkan mereka dari daftar kelompok etnis yang
berhak atas kewarganegaraan.
Bahkan pada tanggal 12 Juli 2014, sekitar sebulan setelah peristiwa
kekerasan terjadi, Presiden Thein Sein mengumumkan bahwa "satu-
satunya solusi" mengenai masalah Rohingya adalah dengan mengirim
mereka ke negara lain atau ke kamp pengungsi yang diawasi oleh
UNHCR. UNHCR dengan cepat menolak rencana yang diusulkan tersebut.
Pada kasus kekerasan sektarian yang melibatkan etnis Arakan,
pelanggaran HAM yang terjadi tidak saja karena tindakan yang dilakukan
oleh aparat yang melibatkan anggota kepolisian dan tentara pemerintah
Myanmar, tetapi juga karena aparatur negara tidak berbuat sesuatu yang
kemudian bermuara pada terjadinya kekerasan yang menimbulkan tidak
hanya kerusakan harta benda, tetapi juga hilangnya nyawa orang-orang
Rohingya.
Tindakan kekerasan secara masif oleh aparat negara terjadi
terutama setelah diumumkannya keadaan darurat pada tanggal 10 Juni
2012. Sejumlah peristiwa, seperti: penembakan, penangkapan massal
secara sewenang-wenang dengan menggunakan kekerasan yang tidak sah
(unlawful use of force), pembunuhan, dan penjarahan terhadap orang
Rohingya terjadi di sebelah utara wilayah Rakhine.
Hal tersebut tentunya merupakan pelanggaran atas hak untuk
hidup, untuk tidak ditangkap secara sewenang-wenang dan hak atas rasa
aman. Di samping itu, pemerintah Myanmar juga dianggap melakukan
pembiaran dengan tidak berbuat sesuatu, manakala terjadi pembakaran
terhadap rumah-rumah milik orang Rohingya oleh kelompok etnis Arakan.
Sebaliknya, aparat justru melakukan kekerasan terhadap orang
Rohingya yang menjadi korbannya dengan melakukan penembakan.
Pembatasan atas hak atas kebebasan untuk berpindah atau bergerak,
misalnya terjadi pada tahun 1995, saat itu beberapa orang Rohingya yang
kembali ke Myanmar diberikan "Temporary Registration Cards" (TRC),
11 | P a g e
tetapi mereka hanya memiliki hak-hak yang terbatas untuk
berpindah/bergerak dan bekerja di sebelah utara Negara Bagian Arakan.
Demikian pula mereka yang menjadi korban kekerasan di Rakhine,
pemerintah menerapkan pembatasan untuk berpindah/bergerak terhadap
orang-orang Rohingya yang melarikan diri/mengungsi. Mereka yang tidak
melarikan diri/mengungsi pun dibatasi kebebasannya, sehingga mereka
tidak dapat meninggalkan rumah. Di daerah lain di Sittwe maupun di
sebelah barat Negara Bagian Arakan, aparat penegak hukum menerapkan
pula pembatasan kebebasan bergerak/berpindah untuk mencegah orang-
orang Rohingya memasuki wilayah sekitar kota.
Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, sebagaimana tersebut di
atas, berdasarkan Statuta Roma dapat dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang dalam hal ini
adalah persekusi(persecution).
Pasal 7 ayat (1) (h) Statuta Roma merumuskan tindakan persekusi.
Adapun Mahkamah ICTY merumuskan konsep persekusi (berkaitan
dengan kasus Dusco Tadic) sebagai berikut:
"The most sophisticated modern jurisprudence on the concept of
persecution hasemanated from the Yugosalvia Tribunal. Trial chambes hae
carefully reviewedthe caselaw and reached similar conclusions on two
core issues: (1) persecusionincludes a broad range of severe acts that
violate an individual's basic rightsunder international law; and (2)
persecution requires a discriminatory intent."
Tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang tidak mengakui
etnis Rohingya sebagai warga negara yang dilegalkan melalui perangkat
hukum, kemudian pembunuhan oleh aparat secara masif, perampasan
kebebasan, serta pemindahan secara paksa dapat dikategorikan sebagai
persekusi. Mengingat, tindakan tersebut didasari oleh kebijakan dari
negara dan ditujukan/dilakukan semata-mata terhadap etnis Rohingya.
12 | P a g e
3. TANGGUNG JAWAB TANGGUNG JAWAB NEGARA MYANMAR
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Kewajiban internasional untuk melindungi, menjamin dan
memenuhi HAM yang fundamental bersifat erga omnes, sehingga hal
tersebut menjadi tanggung jawab seluruh negara.
Demikian pula menyangkut HAM berkategori non-derogable
rights. Pelanggaran atas kewajiban internasional itu akan menimbulkan
tanggung jawab negara.
Kewajiban internasional tersebut dapat bersumber dari hukum
kebiasaan internasional, maupun perjanjian internasional. Berkenaan
dengan persoalan yang terjadi, menurut hukum internasional, pemerintah
Myanmar dapat dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban internasionalnya, khususnya menyangkut HAM. Oleh karena,
HAM saat ini telah diatur dan dijamin di dalam berbagai perjanjian
internasionalyang mengikat negara-negara.
Secara konkret pemerintah Myanmar memiliki tanggung jawab
untuk melakukan penyelidikan secara transparan terhadap kasus tersebut,
mengadili dan menghukum orang-orang yang terbukti terlibat dalam kasus
kekerasan di Rakhine. Adapun dari sisi kepentingan korban, pemerintah
harus melakukan pemulihan (reparations) yang bentuknya dapat berupa
pemberian kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi.
Pemerintah Myanmar juga berkewajiban untuk
mencabut/mengamandemen peraturan perundang-undangan yang bersifat
diskriminatif, khususnya Undang-undang Kewarganegaraan (Citizenship
Act) tahun 1982. Karena undang-undang tersebut bertentangan dengan
prinsip-prinsip non-diskriminasi dan secara nyata menegasikan hak-
haketnis Rohingya.
Menurut Rona K. M. Smith setiap orang membutuhkan dan
sepatutnya mendapat perlakuan yang sama/setara (equal) seperti penduduk
lainnya yang tinggal di suatu negara. Kesetaraan itu tergantung pada
penghapusan seluruh bentuk diskriminasi. Diskriminasi rasial dianggap
13 | P a g e
sebagai masalah akut bagi para individu yang didiskriminasi semata-mata
atas dasar warna kulit mereka atau asal-usul etnis mereka yang sebenarnya
merupakan faktor-faktor di luar kekuasaan mereka. Selengkapnya hal itu
dinyatakan sebagai berikut:
"All peoples demand, and deserve, to be treated as the equal (s) of
other inhabitans of the State in which they live. Such equality ia, as
has been noted, dependent on the abolition of all forms of
discrimination. Racial discrimination is deemed particulary acute
as individuals are discriminated against solely on account of the
colour of their skin or their etnic origin, factor over which they
clearly have no control.
14 | P a g e
terkandung di dalam Guiding Principles tersebut. Pelaksanaan prinsip-
prinisp tersebut tidak akan memengaruhi status hukum mereka. Hal itu
dinyatakan dalam Prinsip ke-2(1).
15 | P a g e
c. Menurut hukum internasional, pemerintah Myanmar
memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyelidikan
terhadap kasus tersebut, mencari, mengadili dan
menghukum orang-orang yang terlibat dalam kasus
kekerasan di Rakhine. Pemerintah Myanmar juga
berkewajiban untuk mencabut/mengamandemen peraturan
perundang-undangan yang bersifat diskriminatif terhadap
etnis Rohingya, khususnya Undang-undang
Kewarganegaraan tahun 1982. Memberikan status
kewarganegaraan terhadap etnis Rohingya.
2. SARAN :
Adapun saran-saran yang dapat diberikan menyangkut
permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Mendorong PBB, khususnya kepada U.N. Office of the High
Commissioner for Human Rights (OHCHR) untuk melakukan
investigasi atas kasus- kasus pelanggaran HAM yang terjadi,
serta meminta pemerintah Myanmar agar lebih membuka akses
secara penuh terhadap bantuan internasional bagi etnis
Rohingya.
b. Meminta pemerintah Myanmar untuk memperlakukan orang-
orang Rohingya yang merupakan IDPS sesuai dengan U.N.
Guiding Principles on Internal Displacement. Serta mendorong
pemerintah Myanmar untuk memberikan status
kewarganegaraan kepada etnis Rohingya, serta melakukan
proses rekonsiliasi antara warga Etnis Rohingya dan Arakan.
c. Mendorong agar pemerintah Myanmar segera menandatangani
atau meratifikasi Konvensi tahun 1951 tentang Status Orang-
orang yang tidak Berkewarganegaraan (Convention relating to
the Status of Statelessness) dan Konvensi tahun 1961 tentang
Pengurangan Orang-orang yang Tidak Berkewarganegaraan
(Convention on the Reduction of Statelessness).
16 | P a g e
F. DAFTAR PUSTAKA
17 | P a g e