Anda di halaman 1dari 17

TUGAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

Dosen Pengampu : H.M.HUSNU ABADI,S.H,M.Hum,Ph.D

KEKERASAN TERHADAP ETNIS ROHINGNYA DI MYANMAR


DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK NO.1 HAK AZASI MANUSIA :
INDRIAN TOPER (181022104)
RAFIKA FEBRIANDA (181022106)
SUCI YUNITA (181022103)

PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM RIAU
PEKANBARU
2019
KEKERASAN TERHADAP ETNIS ROHINGNYA DI MYANMAR
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

A. LATAR BELAKANG :
Laporan PBB menyatakan bahwa Rohingya merupakan etnis yang paling
teraniaya di dunia sekarang ini. Mengutip keterangan dari media Republika, hal
tersebut dinyatakan sebagai berikut:
"Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengatakan bahwa etnis
minoritas Muslim Rohingya di Myanmar merupakan kelompok
etnis minoritas yang saat ini paling merana di dunia. Ini
dikarenakan konflik kemanusiaan dan kekerasan yang dilakukan
oleh kelompok pengikut Budha radikal di Myanmar."

Hal di atas terutama terjadi setelah peristiwa kekerasan bernuansa


sektarian yang terjadi pada Juni 2012 di Negara Bagian Arakan yang
melibatkan etnis Arakan dan etnis Rohingya, yaitu:

"The sectarian violence in Arakan State took place primarily from


June 8 to 12, 2012, when Arakan and Rohingya mobs attacked
homes, shops, and houses of worship. Witnesses described mobs
from both populations storming neighborhoods, pillaging and
setting fire to homes and other buildings, and beating those they
found with crude weapons, such as swords, bamboo sticks, metal
bars, and poles. Members of both communities conceded to Human
Rights Watch that members of their own groups were responsible
for violent acts, including killings.

Keterangan di atas diperkuat dengan pernyataan dari Tomás Ojea Quintana


selaku Pelapor Khusus PBB (U.N. Special Rapporteur) tentang situasi Hak
Asasi Manusia (HAM) di Myanmar, yang pada intinya mengatakan bahwa
telah terjadi pelanggaran HAM secara meluas dan sistematis serta berlanjut
terhadap etnis Muslim Rohingya tanpa adanya pertanggungjawaban sama

2|Page
sekali atas apa yang terjadi di sana. Misalnya kekerasan yang terjadi pada
tanggal 01 Oktober 2013 lalu di Negara Bagian Rakhine. Hal itu dikatakan
sebagai berikut: "The human rights violations being committed against the
Rohingya in Rakhine State are widespread and systematic and continues to
absolutely no accountability for what is occurring there."

Setelah kekerasan sektarian tersebut terjadi, mulailah muncul kekerasan-


kekerasan baru yang ditujukan kepada etnis Rohingya. Kekerasan yang terjadi
melibatkan pula oknum-oknum aparat pemerintah Myanmar baik dari kepolisian
dan militer-yang seharusnya non-partisan-maupun unsur-unsur masyarakat seperti
dari etnis Arakan. Oknum-oknum bhiksu turut pula memprovokasi untuk
menyebarkan kebencian (hatred) terhadap etnis Rohingya, seperti seruan untuk
tidak berbisnis dengan orang-orang dari etnis Rohingnya dan tidak menganggap
orang-orang dari etnis Rohingya sebagai saudara/kelompoknya.

Hingga tanggal 19 Juli 2012, pemerintah Myanmar memperkirakan 70.000


orang Rohingya telah melarikan diri/mengungsi sejak terjadinya kekerasan di
Negara Bagian Arakan sejak Juni 2012. U.N. Office or the Coordination of
Humanitarian Affairs (UNOCHA) melaporkan bahwa terdapat 104.719 internally
displaced persons (IDPS) yang berada di 114 lokasi di empatdaerah kota.

Jauh sebelum terjadi peristiwa kekerasan tersebut, sebenarnya hak- hak


orang-orang dari etnis Rohingya telah dinegasikan dengan sejumlah kebijakan
dari pemerintah Myanmar sendiri yang secara nyata tidak mengakui mereka
sebagai warga negara Myanmar.

Sebaliknya, oleh pemerintah Myanmar mereka justru dianggap sebagai


"pendatang"/"imigran" dari Bangladesh. Mereka bahkan sering direndahkan atau
dilecehkan dengan sebutan orang "Bengali", atau "Kalar". Human Rights Watch
(HRW) dalam laporannya menyatakan hal itu sebagai berikut: "Anti-Rohingya
and anti-Muslim sentiments, long a part of the political and social landscape of
Burma, have become rampant since the outbreak of violence in June. Burmese
government officials typically refer to the Rohingya as "Bengali," "so-called

3|Page
Rohingya," or the pejorative "Kalar," which has a variety of disturbing
translations. The Rohingya face widespread animosity from broader Burmese
society, including from longtime pro-democracy advocates and members of ethnic
nationalities who themselves have long faced oppression from the Burmese state."

Terlebih lagi, pemerintah Bangladesh juga melakukan kekerasan terhadap


etnis Rohingya yang melarikan diri ke negara itu dengan melakukan pemulangan
paksa terhadap mereka yang melarikan diri dari Myanmar. Hal itu berdasarkan
informasi berikut:

"...Yet when sectarian violence broke out in June, the Bangladeshi


government, in violation of its international legal obligations
towards asylum seekers, ordered its border guards and naval
services to prevent anyone from crossing the border. Rohingya
men, women, and children arrived onshore and pleaded for mercy
from Bangladesh authorities, only to be pushed back to sea in their
frail boats during rough monsoon rains, putting them at grave risk
of drowning or persecution in Burma. It is unknown how many
died in these pushbacks".
Sejumlah laporan menunjukkan bahwa pemerintah Rohingya dianggap
telah gagal mencegah terjadinya kekerasan atau melakukan pembiaran hal itu
terhadap etnis Rohingya. Hal tersebut berujung pada timbulnya persoalan Hak
Asasi Manusia (HAM), antara lain, seperti: perusakan harta benda, penganiayaan,
pembunuhan hingga tindakan persekusi terhadap anggota/kelompok masyarakat
yang berasal dari etnis Rohingya.

Badan PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) dalam laporannya menyatakan


bahwa hingga saat ini ketegangan sektarian yang bersifat horizontal masih terus
terjadi dan Rakhine. Di samping itu, diperkirakan masih terdapat sekitar 800.000
orang dari etnis Rohingya yang tidak memiliki kewarganegaraan di sebelah utara
Negara Bagian Rakhine. Hal itu dinyatakan sebagai berikut:

"In Myanmar, inter-communal tension remains high with almost 140,000


people still displaced in Rakhine State. The fragile protection environment
and efforts to promote coexistence and reconciliation will need significant
support in the year ahead...Over 800,000 persons are estimated to be
without citizenship in the northern part of the Rakhine State. In addition,

4|Page
the majority of the internally displaced persons (IDPs) are also believed to
be without citizenship."
Berdasarkan uraian di atas, maka persoalan yang dialami oleh etnis
Rohingya memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan persoalan HAM.
Persoalan HAM yang timbul bahkan menyangkut hak-hak yang bersifat pokok
(core rights), atau dengan perkataan lain menyangkut HAM yang besifat non-
derogable rights. Oleh karena itu, persoalan yang tengah dialami oleh etnis
Rohingya tersebut telah menjadi perhatian dan keprihatinan dunia internasional,
mengingat besarnya dampak yang timbul dari sisi kemanusiaan.

Persoalan-persoalan tersebut tentunya dapat dikaji dalam perspektif


hukum HAM internasional, yaitu mengaitkannya dengan instrumen- instrumen
hukum HAM internasional yang relevan. Di sisi lain, perlu pula melihat tanggung
jawab pemerintah Myanmar sebagai bentuk komitmennya selaku warga dunia-
sebagai anggota PBB maupun ASEAN yang memiliki kewajiban hukum untuk
melindungi, menjamin dan memenuhi HAM semua orang yang ada di dalam
wilayah teritorialnya tanpa diskriminasi dan tanpa terkecuali. Dengan Demikian
kelompok kami sepakat dan telah disetujui Oleh pembimbing mengangkat judul
“KEKERASAN TERHADAP ETNIS ROHINGNYA DI MYANMAR
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA”. Sehingga dapat
mengkategorikan Pelanggaran atau bukan, dan bagaimana bentuk pertanggung
jawaban Negara Myanmar.

B. RUMUSAN MASALAH :

Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat beberapa permasalahan yang


akan kelompok kami kupas dalam makalah ini, yang akan meliputi hal-hal
sebagai berikut, yaitu:

1. Apakah terdapat pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya ?


2. kemudian, terkait dengan pelanggaran tersebut, meliputi apa
sajakah hak-hak dilanggar ?

5|Page
3. Dan apakah tanggung jawab negara dari pemerintah Myanmar atas
pelanggaran tersebut menurut hukum internasional ?

C. KONSEP OPERASIONAL :
1. Kekerasan adalah sebuah tindakan yang mengacu pada sikap atau
perilaku yang tidak manusiawi. Sehingga dapat menyakiti orang lain
yang menjadi korban kekerasan tersebut dan juga tentu merugikan
orang yang berbuat kekerasan karena pasti akan mendapatkan hukuman
sesuai hukum yang berlaku.
2. Etnis adalah sistem penggolongan manusia yang didasarkan pada
sistem kepercayaan yang diyakini, pengimplementasian nilai- nilai di
masyarakat, pemahaman akan beragam kebiasaan, penguatan adat
istiadat yang terkonstruksikan, penegasan norma- norma, penggunaan
bahasa, penjelasan latar belakang sejarah manusia, wilayah geografis
serta hubungan kekerabatan yang tak terpisahkan
3. Rohingnya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine (juga
dikenal sebagai Arakan, atau Rohang dalam bahasa Rohingya) di
Myanmar. Rohingya adalah etno-linguistik yang berhubungan dengan
bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh (yang berlawanan
dengan mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-Tibet).
4. Myanmar adalah sebuah negara berdaulat di Asia Tenggara. Myanmar
berbatasan dengan India dan Bangladesh di sebelah barat, Thailand dan
Laos di sebelah timur dan China di sebelah utara dan timur laut.
5. Perspektif adalah konteks sistem dan persepsi visual adalah cara
bagaimana objek terlihat pada mata manusia berdasarkan sifat spasial,
atau dimensinya dan posisi mata relatif terhadap objek.
6. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dasar manusia yang dimiliki sejak
berada dalam kandungan dan setelah lahir ke dunia (kodrat) yang
berlaku secara universal dan diakui oleh semua orang.
7. Sektarian adalah anggota (pendukung, penganut) suatu sekte atau
mazhab.

6|Page
8. Sektarianisme adalah bigotri, diskriminasi atau kebencian yang muncul
akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan
denominasi agama atau fraksi politik.

D. ANALISIS DAN PEMBAHASAN :


1. PELANGGARAN HAM TERHADAP ETNIS ROHINGYA
Sebelumnya harus memahami terlebih dahulu Ringkasan Kasus
Kekerasan di Negara Bagian Arakan khususnya menyangkut peristiwa
yang terjadi pada Juni 2012.
Pada Juni 2012, kekerasan sektarian yang bersifat mematikan
terjadi di sebelah barat Negara Bagian Arakan, antara etnis Budha Arakan
dan Muslim Rohingya (maupun non-Muslim Rohingya). Kekerasan pecah
setelah adanya kabar yang beredar bahwa pada tangggal 8 Mei 2012 ada
seorang wanita beretnis Arakan yang diperkosa dan dibunuh di kota Ramri
dan menurut dugaan dilakukan oleh tiga orang laki-laki dari etnis Muslim
Rohingya. Rincian peristiwa tersebut beredar secara lokal dalam sebuah
pamflet yang bersifat menghasut, dan pada 3 Juni, sekelompok besar
penduduk Arakan di Toungop menghentikan sebuah bus dan secara brutal
membunuh 10 orang Muslim di dalamnya.
Human Rights Watch memastikan bahwa anggota polisi setempat
dan para tentara yang berada di situ melihat pembunuhan tersebut tanpa
berbuat sesuatu. Pada tanggal 8 Juni, ribuan orang beretnis Rohingnya
melakukan kerusuhan di kota Maungdaw setelah melakukan shalat Jumat,
menghancurkan harta benda milik orang-orang Arakan dan melakukan
pembunuhan terhadap penduduk Arakan yang jumlah korbannya tidak
diketahui.
Kemudian, kekerasan sektarian dengan cepat menyebar ke Sittwe,
ibukota Negara Bagian Arakan dan wilayah-wilayah di sekitarnya.
Kerusuhan antara kedua komunitas tersebut tanpa diduga juga menerpa
desa-desa dan lingkungan di sekitarnya, serta diikuti dengan pembunuhan
terhadap penduduk, penghancuran rumah, toko, dan rumah ibadah.

7|Page
Dalam kasus tersebut, hanya sejumlah kecil hingga ketiadaan
petugas keamanan dari pemerintah untuk menghentikan kekerasan
tersebut, orang-orang mempersenjatai diri mereka dengan pedang, tombak,
kayu, tongkat besi, pisau, dan senjata-senjata lainnya, menjadikan hukum
di tangan mereka sendiri.
Akibatnya, terjadi kehancuran total atas harta benda milik kedua
kelompok komunitas tersebut. Pemerintah mengklaim bahwa 78 orang
tewas terbunuh - suatu keterangan yang diragukan- sementara itu, lebih
dari 100.000 orang melarikan diri dari rumah-rumah mereka. Permusuhan
juga dihembuskan oleh hasutan dari media yang anti-Muslim dan
propanda.
Selama periode setelah terjadinya perkosaan dan pembunuhan
yang dilaporkan dan sebelum pecahnya kekerasan, timbul ketegangan
(tensione) yang terjadi secara dramatis di Negara Bagian Arakan. Namun
demikian penduduk setempat dari kedua komunitas mengatakan kepada
Human Rights Watch bahwa otoritas pemerintah yang berwenang tidak
memberikan perlindungan dan tidak terlihat melakukan tindakan-tindakan
khusus tertentu untuk mencegah atau mengantisipasi terjadinya kekerasan.
Pada tanggal 10 Juni, khawatir akan menyebarnya kerusuhan
sampai ke luar perbatasan Negara Bagian Arakan, maka Presiden
Myanmar Tein Sein mengumumkan keadaan darurat yang menyerahkan
kekuasaan pihak sipil kepada pihak militer di wilayah negara bagian yang
terkena dampak. Pada situasi ini, dimulailah gelombang kekerasan secara
serentak yang dilakukan oleh berbagai aparat keamanan negara.
Sebagai contoh, etnis Rohingya di pelosok Narzi -wilayah Muslim
terbesar di Sittwe, tempat tinggal bagi 10.000 Muslim-digambarkan
bagaimana segerombolan beretnis Arakan membakari rumah-rumah milik
mereka pada tanggal 12 Juni, sementara itu polisi dan kelompok pasukan
paramiliter Lon Thein menembaki orang-orang Rohingya dengan peluru
tajam. Di sebelah utara Negara Bagian Arakan, petugas penjaga perbatasan
di perbatasan Nasaka, tentara, polisi,dan pasukan Lon Thein melakukan

8|Page
pembunuhan, penangkapan secara massal, dan penjarahan terhadap orang-
orang Rohingya.
Setelah peristiwa itu, para pemimpin lokal Arakan dan para
anggota masyarakat Arakan di Sittwe telah meminta dilakukannya
pemindahan secara paksa komunitas Muslim dari wilayah kota, sementara
para pendeta Budha memulai suatu kampanye, meminta penduduk
penganut Budha untuk tidak berteman maupun melakukanbisnis dengan
orang-orang Muslim.

2. HAK-HAK YANG DILANGGAR OLEH MYANMAR TERHADAP


ROHINGNYA.
Adapun Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Rohingya dan Hak-hak
yang Dilanggar Perlu digarisbawahi, bahwa jauh sebelum terjadinya
konflik horizontal pada Juni 2012, pemerintah Myanmar telah menerapkan
sejumlah kebijakan yang pada hakikatnya merupakan pelanggaran
terhadap HAM. Kebijakan tersebut secara khusus ditujukan kepada orang-
orang dari etnis Rohingya, misalnya kebijakan negara menyangkut
kewarganegaraan yang secara nyata bersifat diskriminatif dan sangat
merugikan mereka.
Pengingkaran terhadap status kewarganegaraan inilah yang
kemudian menimbulkan persoalan persoalan lain yang terkait dengan hak-
hak orang orang Rohingya, seperti menyangkut hak untuk hidup, hak atas
rasa aman, hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, pembatasan
atas hak atas kebebasan bergerak/berpindah, hak untuk tidak
ditangkap/ditahan secara sewenang-wenang, hak atas pendidikan, dan hak
atas pekerjaan.
Pengingkaran atas status kewarganegaraan orang-orang Rohingya
tersebut dapat dikatakan sebagai "contoh sempurna" yang menggambarkan
konsekuensi yang timbul manakala seseorang tidak memiliki status
kewarganegaraan (statelessness), Oleh karena itu, menurut hukum

9|Page
internasional, seseorang tidak boleh dalam keadaan tanpa memiliki status
kewarganegaraan.
Sebab, tanpa kewarganegaraan, seseorang tidak mendapatkan
jaminan perlindungan hukum. Hak atas status kewarganegaraan dan hak
untuk tidak didiskriminasi merupakan HAM yang telah dijamin dalam
instrumen hukum internasional, baik dalam Deklarasi Universal HAM
(UDHR), Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR), maupun instrumen hukum internasional lainnya.
Undang-undang Kewarganegaraan Myanmar (Citizenship Act)
tahun 1982, secara eksplisit tidak mengakui orang-orang Rohingya sebagai
warga negara Myanmar. Undang-undang tersebut tidak menyebut etnis
Rohingya sebagai salah satu "national race" di samping delapan etnis yang
disebutkan (yaitu: Arakan, Burman, Chin, Kachin, Karen, Karenni, Mon,
Shan).
Ketiadaan status hukum sebagai warga negara tersebut telah
menjadikan orang-orang Rohingya hidup tanpa mendapatkan perlindungan
hukum sama sekali dan menjadikan mereka sebagai sasaran kekerasan.
Keadaan tersebut juga dianggap menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinyakekerasan di Arakan.
Ketiadaan status tersebut sebenarnya telah berlangsung pada
pertengahan tahun 1970, pada saat itu pemerintah mensyaratkan seluruh
warga negara untuk memiliki "National Registration Certificates"
berdasarkan Undang-undang Imigrasi Darurat (Emergency Immigration
Act), namun orang-orang Rohingya hanya diberikan "Foreign Registration
Cards" dan menyebakan anak mereka sulit untuk bersekolah dan sulit
untuk mencari pekerjaan.
Kemudian, tindakan diskriminatif juga terus berlanjut, misalnve
saat terjadi repatriasi secara massal pengungsi Rohingya dari Banglade
pada tahun 1983, saat itu pemerintah Myanmar menyelesaikan sensus
penduduk secara nasional, namun orang Rohingya tidak diperhitungkan
dan menjadikan mereka tanpa kewarganegaraan (stateless). Undang-

10 | P a g e
undang Kewarganegaraan tahun 1982 melegalkan tindakan tersebut
dengan cara menghilangkan mereka dari daftar kelompok etnis yang
berhak atas kewarganegaraan.
Bahkan pada tanggal 12 Juli 2014, sekitar sebulan setelah peristiwa
kekerasan terjadi, Presiden Thein Sein mengumumkan bahwa "satu-
satunya solusi" mengenai masalah Rohingya adalah dengan mengirim
mereka ke negara lain atau ke kamp pengungsi yang diawasi oleh
UNHCR. UNHCR dengan cepat menolak rencana yang diusulkan tersebut.
Pada kasus kekerasan sektarian yang melibatkan etnis Arakan,
pelanggaran HAM yang terjadi tidak saja karena tindakan yang dilakukan
oleh aparat yang melibatkan anggota kepolisian dan tentara pemerintah
Myanmar, tetapi juga karena aparatur negara tidak berbuat sesuatu yang
kemudian bermuara pada terjadinya kekerasan yang menimbulkan tidak
hanya kerusakan harta benda, tetapi juga hilangnya nyawa orang-orang
Rohingya.
Tindakan kekerasan secara masif oleh aparat negara terjadi
terutama setelah diumumkannya keadaan darurat pada tanggal 10 Juni
2012. Sejumlah peristiwa, seperti: penembakan, penangkapan massal
secara sewenang-wenang dengan menggunakan kekerasan yang tidak sah
(unlawful use of force), pembunuhan, dan penjarahan terhadap orang
Rohingya terjadi di sebelah utara wilayah Rakhine.
Hal tersebut tentunya merupakan pelanggaran atas hak untuk
hidup, untuk tidak ditangkap secara sewenang-wenang dan hak atas rasa
aman. Di samping itu, pemerintah Myanmar juga dianggap melakukan
pembiaran dengan tidak berbuat sesuatu, manakala terjadi pembakaran
terhadap rumah-rumah milik orang Rohingya oleh kelompok etnis Arakan.
Sebaliknya, aparat justru melakukan kekerasan terhadap orang
Rohingya yang menjadi korbannya dengan melakukan penembakan.
Pembatasan atas hak atas kebebasan untuk berpindah atau bergerak,
misalnya terjadi pada tahun 1995, saat itu beberapa orang Rohingya yang
kembali ke Myanmar diberikan "Temporary Registration Cards" (TRC),

11 | P a g e
tetapi mereka hanya memiliki hak-hak yang terbatas untuk
berpindah/bergerak dan bekerja di sebelah utara Negara Bagian Arakan.
Demikian pula mereka yang menjadi korban kekerasan di Rakhine,
pemerintah menerapkan pembatasan untuk berpindah/bergerak terhadap
orang-orang Rohingya yang melarikan diri/mengungsi. Mereka yang tidak
melarikan diri/mengungsi pun dibatasi kebebasannya, sehingga mereka
tidak dapat meninggalkan rumah. Di daerah lain di Sittwe maupun di
sebelah barat Negara Bagian Arakan, aparat penegak hukum menerapkan
pula pembatasan kebebasan bergerak/berpindah untuk mencegah orang-
orang Rohingya memasuki wilayah sekitar kota.
Berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, sebagaimana tersebut di
atas, berdasarkan Statuta Roma dapat dikategorikan sebagai kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) yang dalam hal ini
adalah persekusi(persecution).
Pasal 7 ayat (1) (h) Statuta Roma merumuskan tindakan persekusi.
Adapun Mahkamah ICTY merumuskan konsep persekusi (berkaitan
dengan kasus Dusco Tadic) sebagai berikut:
"The most sophisticated modern jurisprudence on the concept of
persecution hasemanated from the Yugosalvia Tribunal. Trial chambes hae
carefully reviewedthe caselaw and reached similar conclusions on two
core issues: (1) persecusionincludes a broad range of severe acts that
violate an individual's basic rightsunder international law; and (2)
persecution requires a discriminatory intent."
Tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang tidak mengakui
etnis Rohingya sebagai warga negara yang dilegalkan melalui perangkat
hukum, kemudian pembunuhan oleh aparat secara masif, perampasan
kebebasan, serta pemindahan secara paksa dapat dikategorikan sebagai
persekusi. Mengingat, tindakan tersebut didasari oleh kebijakan dari
negara dan ditujukan/dilakukan semata-mata terhadap etnis Rohingya.

12 | P a g e
3. TANGGUNG JAWAB TANGGUNG JAWAB NEGARA MYANMAR
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
Kewajiban internasional untuk melindungi, menjamin dan
memenuhi HAM yang fundamental bersifat erga omnes, sehingga hal
tersebut menjadi tanggung jawab seluruh negara.
Demikian pula menyangkut HAM berkategori non-derogable
rights. Pelanggaran atas kewajiban internasional itu akan menimbulkan
tanggung jawab negara.
Kewajiban internasional tersebut dapat bersumber dari hukum
kebiasaan internasional, maupun perjanjian internasional. Berkenaan
dengan persoalan yang terjadi, menurut hukum internasional, pemerintah
Myanmar dapat dianggap telah melakukan pelanggaran terhadap
kewajiban internasionalnya, khususnya menyangkut HAM. Oleh karena,
HAM saat ini telah diatur dan dijamin di dalam berbagai perjanjian
internasionalyang mengikat negara-negara.
Secara konkret pemerintah Myanmar memiliki tanggung jawab
untuk melakukan penyelidikan secara transparan terhadap kasus tersebut,
mengadili dan menghukum orang-orang yang terbukti terlibat dalam kasus
kekerasan di Rakhine. Adapun dari sisi kepentingan korban, pemerintah
harus melakukan pemulihan (reparations) yang bentuknya dapat berupa
pemberian kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi.
Pemerintah Myanmar juga berkewajiban untuk
mencabut/mengamandemen peraturan perundang-undangan yang bersifat
diskriminatif, khususnya Undang-undang Kewarganegaraan (Citizenship
Act) tahun 1982. Karena undang-undang tersebut bertentangan dengan
prinsip-prinsip non-diskriminasi dan secara nyata menegasikan hak-
haketnis Rohingya.
Menurut Rona K. M. Smith setiap orang membutuhkan dan
sepatutnya mendapat perlakuan yang sama/setara (equal) seperti penduduk
lainnya yang tinggal di suatu negara. Kesetaraan itu tergantung pada
penghapusan seluruh bentuk diskriminasi. Diskriminasi rasial dianggap

13 | P a g e
sebagai masalah akut bagi para individu yang didiskriminasi semata-mata
atas dasar warna kulit mereka atau asal-usul etnis mereka yang sebenarnya
merupakan faktor-faktor di luar kekuasaan mereka. Selengkapnya hal itu
dinyatakan sebagai berikut:
"All peoples demand, and deserve, to be treated as the equal (s) of
other inhabitans of the State in which they live. Such equality ia, as
has been noted, dependent on the abolition of all forms of
discrimination. Racial discrimination is deemed particulary acute
as individuals are discriminated against solely on account of the
colour of their skin or their etnic origin, factor over which they
clearly have no control.

Atas dasar prinsip-prinsip kemanusiaan, pemerintah Myanmar


seharusnya memberikan status kewarganegaraan terhadap etnis Rohingy
melalui suatu proses tertentu berdasarkan mekanisme hukum nasional
yang adil dan tidak diskriminatif.

Menurut Prinsip ke-1 U.N. Guiding Principles on Internal


Displacement pemerintah Myanmar memiliki kewajiban untuk
memperlakukan sama secara penuh, hak-hak dan kebebasan-kebebasan
orang Rohingya yang merupakan IDPS berdasarkan hukum internasional
dan hukum nasional. Mereka tidak boleh diperlakukan secara diskriminatif
atas dasar status mereka sebagai IDPS. Hal itu dinyatakan sebagai berikut:

"Internally displaced persons shall enjoy, in full equality, the same


rights and freedoms under international and domestic law as do other
persons in their country. They shall no be discriminated against in the
enjoy ment of any rights and freedoms on the ground tha they are
internally displaced."

Semua komponen yang ada di Myanmar, seperti seluruh otoritas


atau aparatur negara, kelompok-keompok dan orang-orang apa pun jabatan
atau status hukumnya (legal status) harus menerapkan prinsip-prinsip yang

14 | P a g e
terkandung di dalam Guiding Principles tersebut. Pelaksanaan prinsip-
prinisp tersebut tidak akan memengaruhi status hukum mereka. Hal itu
dinyatakan dalam Prinsip ke-2(1).

Bahkan menurut Prinsip ke-3 (1) pemerintah Myanmar memiliki


tugas dan tanggung jawab utama untuk memberikan perlindungan dan
bantuan kemanusiaan kepada orang-orang Rohingya yang berada di dalam
wilayah yurisdiksinya yang nota bene merupakan IDPS. Kemudian,
ditegaskan pula bahwa prinsip-prinsip ini harus dilaksanakan tanpa
diskriminasi dalam bentuk apa pun menurut Prinsip ke-4(1).

E. KESIMPULAN DAN SARAN


1. KESIMPULAN :
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat disusun beberapa
kesimpulan sebagai berikut, yaitu:
a. Terdapat sejumlah pelanggaran HAM terhadap etnis
Rohingya. Pelanggaran hak atas status kewarganegaraan
merupakan hal yang paling kentara. Hal tersebut
menimbulkan pelanggaran atas hak-hak lainnya. Pada kasus
kekerasan sektarian yang melibatkan etnis Arakan,
pelanggaran HAM terjadi karena adanya tindakan yang
melibatkan aparat kepolisian dan tentara pemerintah
Myanmar. Serta, karena aparatur negara tidak berbuat
sesuatu yang kemudian bermuara pada terjadinya kekerasan
yang menimbulkan tidak hanya kerusakan harta benda,
tetapi juga luka hingga hilangnya nyawa orang-orang dari
etnisRohingya.
b.Hak-hak etnis Rohingya yang dilanggar, antara lain, yaitu:
hak untuk hidup, hak untuk tidak didiskriminasi, hak atas
status kewarganegaraan, hak atas rasa aman, hak untuk
tidak diasingkan, hak untuk bebas berpindah/bergerak.

15 | P a g e
c. Menurut hukum internasional, pemerintah Myanmar
memiliki tanggung jawab untuk melakukan penyelidikan
terhadap kasus tersebut, mencari, mengadili dan
menghukum orang-orang yang terlibat dalam kasus
kekerasan di Rakhine. Pemerintah Myanmar juga
berkewajiban untuk mencabut/mengamandemen peraturan
perundang-undangan yang bersifat diskriminatif terhadap
etnis Rohingya, khususnya Undang-undang
Kewarganegaraan tahun 1982. Memberikan status
kewarganegaraan terhadap etnis Rohingya.
2. SARAN :
Adapun saran-saran yang dapat diberikan menyangkut
permasalahan tersebut di atas adalah sebagai berikut:
a. Mendorong PBB, khususnya kepada U.N. Office of the High
Commissioner for Human Rights (OHCHR) untuk melakukan
investigasi atas kasus- kasus pelanggaran HAM yang terjadi,
serta meminta pemerintah Myanmar agar lebih membuka akses
secara penuh terhadap bantuan internasional bagi etnis
Rohingya.
b. Meminta pemerintah Myanmar untuk memperlakukan orang-
orang Rohingya yang merupakan IDPS sesuai dengan U.N.
Guiding Principles on Internal Displacement. Serta mendorong
pemerintah Myanmar untuk memberikan status
kewarganegaraan kepada etnis Rohingya, serta melakukan
proses rekonsiliasi antara warga Etnis Rohingya dan Arakan.
c. Mendorong agar pemerintah Myanmar segera menandatangani
atau meratifikasi Konvensi tahun 1951 tentang Status Orang-
orang yang tidak Berkewarganegaraan (Convention relating to
the Status of Statelessness) dan Konvensi tahun 1961 tentang
Pengurangan Orang-orang yang Tidak Berkewarganegaraan
(Convention on the Reduction of Statelessness).

16 | P a g e
F. DAFTAR PUSTAKA

Condé, H. Victor, A Handbook of International Human Rights


Terminology, Lincoln NE: University of Nebraska Press, 1999.
http://m.republika.co.id/berita/internasional/asean/14/02/05/n0hw4s-pbb-
rohingya-etnis-minoritas-yang-saat-ini-paling-teraniaya "PBB:
Rohingnya Etnis Minoritas yang Saat ini Paling Teraniaya"
(05/02/2014).
http://www.hrw.org/reports/2012/08/01/government-could-have-stopped
Human Rights Watch Report, 1 Agustus 2012, "The Government
Could Have Stopped This", h. 18. (08/02/2014)
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID 45142#. UvaiKqOlbjs
UN News Centre, "UN expert: Myanmar authorities must do more
to curb abuses against the Rohingya." (09/02/2014).
"Human Rights Watch, Burma: Rohingya Muslims: Ending a Cycle of
Exodus?", September 1996, p. 29 http://www.unhcr.org/refworld/
docid/3ae6a84a2.html (accessed 12, 2012)
"Myanmar moots camps, deportation as Rohingya 'solution," Agence
France Presse, July 12, 2012, http://www.rnw.nl/english/bulletin/
myanmar-moots-camps-deportation-rohingya-solution-0 (accessed
July 13, 2012).
Rainer, Steven R., Abrams Jason S., Accountability for Human Rights
Atrocities in Internatioal Law Beyond the Nuremberg Legacy,
(Oxford: Oxfod University Press), 2001
Smith, Rhona K. M., Text Book on International Human Rights, 3rd
Edition, New York: Oxford University Press, 2007. U.N.Guiding
Principles on Internal Displacement (E/CN.4/1998/53/Add.2) "UN
Refugee Chief Rejects Call to Resettle Rohingya,"
AssociatedPress, July 12, 2012,
http://abcnews.go.com/International/wireStory/refugee-chief-
rejects-call-resettle-rohingya-16762724#.T_-RVHB Vekl(accessed
July 13, 2012).
www.unhcr.org/pages/49e4877d6.html 2014 UNHCR Country Operations
Profile-Myanmar (31-01-2014).

17 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai