Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENGEOLAAN SUMBER DAYA ALAM

OBSERVASI DAN WAWANCARA WRC (WILDLIFE RESCUE CENTER)


KULON PROGO, YOGYAKARTA

Dosen Pembimbing :

Hendra Michael Aquan, S.Si, Menv,Mgmt

Puspita Ratna Susilawati M.Sc.

Disusun Oleh :

Novella Arie Astutik 181434079

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FALKUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2019
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1


1.1. Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2
1.3. Tujuan ................................................................................................................ 2
1.4. Manfaat .............................................................................................................. 2
A. Mahasiswa........................................................................................................... 2
B. Masyarakat .......................................................................................................... 2
C. Pemerintah .......................................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 4
2.1. Konservasi Satwa .............................................................................................. 4
2.2. WRC Kulon Progo ............................................................................................ 4
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 6
3.1. Hasil.................................................................................................................... 6
3.2. Pembahasan ....................................................................................................... 8
BAB IV PENUTUP ......................................................................................................... 13
4.1. Kesimpulan ...................................................................................................... 13
4.2. Saran ................................................................................................................ 13
4.3. Refleksi ............................................................................................................. 13
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 14
LAMPIRAN..................................................................................................................... 16
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi
keanekaragaman spesies satwa yang tinggi. Dalam hal keanekaragaman
spesies satwa ini, Indonesia berada diurutan ke-2 setelah Brazil. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya spesies yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia sangat beragam. Akan tetapi, tingginya potensi keanekaragaman
hayati yang dimiliki oleh Indonesia juga diikuti dengan ancaman
kepunahan keanekaragaman hayati itu sendiri. Ancaman kepunahan
tersebut selain berasal dari faktor perubahan alam (iklim global), tetapi juga
diakibatkan karena kehilangan dan kerusakan habitat tepat hidup satwa
tersebut. Selain itu pemanfaatan secara berlebihan dalam perburuan dan
perdagangan yang dilakukan secara ilegal juga menjadi bahasan pokok
yang menjadikan satwa liar di Indonesia semakin berkurang.
Perburuan dan perdagangan ilegal terhadap satwa terus berlangsung
dengan tujuan pemeliharaan, konsumsi, koleksi, maupun untuk pengobatan.
Contoh spesies satwa yang diburu antara lain adalah harimau, orang utan,
burung jalak, gading gajah, dll. Selain itu, adanya kegiatan konversi (alih
fungsi) hutan alam untuk perkebunan dan pembangunan juga menyebabkan
spesies satwa kehilangan tempat tinggalnya. Selain itu, satwa yang langka
memiliki nilai jual yang tinggi serta menjadi daya tarik tersendiri karena
ketersediaan di alam sangat sedikit. Hal ini menyebabkan perburuan satwa
langka meningkat demi pemenuhan kebutuhan seperti uang bagi pihak
penjual dan pemenuhan koleksi bagi pihak pembeli. Dari pemaparan
tersebut, observasi dan wawancara ini dilakukan untuk mengetahui terkait
dengan kondisi dari spesies satwa liar di Indonesia serta upaya yang telah
dilakukan dari berbagai pihak (masyarakat, lembaga, pemerintah, dll)
untuk perlindungan spesies satwa liar tersebut.

1
1.2. Rumusan Masalah
Rehabilitasi merupakan suatu kegiatan yang dilaksanakan untuk
mengadaptasikan satwa dimana karena suatu alasan tertentu satwa tersebut
berada di lingkungan masyarakat dan bukan tempat tinggal aslinya. Salah
satu lembaga yang menyelenggarakan kegiatan rehabilitasi adalah WRC
Kulon Progo, Yogyakarta. Setelah rangkaian proses rehabilitasi dilakukan,
maka satwa liar yang telah layak untuk kembali ke alam da habitatnya akan
dikembalikan ke alamliar dan asalnya. Dari pernyataan tersebut, maka
dapat dijabarkan beberapa permasalahan diantaranya adalah :
A. Apa tujuan dari didirikannya lembaga WRC?
B. Darimanakah asal perolehan satwa yang ada di WRC?
C. Bagaimanakah tindak lanjut dari proses rehabilitasi yang ada di WRC?

1.3. Tujuan
A. Untuk mengetahui tujuan dari didirikannya WRC.
B. Untuk mengetahui asal perolehan satwa yang ada di WRC.
C. Untuk mengetahui tindak lanjut dari proses rehabilitasi yang ada di
WRC.

1.4. Manfaat
A. Mahasiswa
a. Mahasiswa dapat mengetahui tentang tujuan didirikannya WRC.
b. Mahasiswa dapat mengetahui tentang kegiatan dari WRC.
c. Mahasiswa dapat mengetahui terkait dengan kendala yang dihadapi
WRC dalam kegiatan rehabilitasi satwa liar Indonesia.

B. Masyarakat
a. Masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam proses rehabilitasi
maupun program yang dilakukan pihak WRC.
b. Masyarakat dapat lebih peduli terhadap satwa liar Indonesia baik
yang dilindungi maupun tidak.

2
C. Pemerintah
a. Menjadi acuan bagi pemerintah sebagai pemantauan terhadap kasus
terkait dengan perdagangan satwa, kepemilikan satwa ilegal,
maupun perburuan satwa liar yang ada di Indonesia.
b. Menjadi pedoman untuk pemerintah dalam hal menjaga
keanekaragaman hayati terkususnya bagi satwa liar Indonesia.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konservasi Satwa


Rehabilitasi merupakan salah satu usaha pemulihan kondsi fisik
maupun perilaku satwa hasil dari sitaan agar nantinya dapat dikembalikan
ke habitat alaminya (Toni Irfan, 2008). Dalam proses rehabilitasinya, satwa
ditempatkan didalam kandang dengan pengayaan lingkungan semirip
mungkin dengan habitat di alam aslinya. Hal ini dilakukan dengan tujuan
agar satwa dapat termotivasi untuk berperilaku alami (Daniati Eva, dkk,
2017).
Upaya konservasi satwa liar di Indonesia pada prinsipnya dapat
dilakukan di dalam habitat aslinya (in situ) maupun di luar habitat aslinya
(ex situ) (Puspitasari Anggita, dkk, 2016). Konservasi in situ merupakan
konservasi yang dilakukan di dalam wilayah maupun habitat aslinya,
sedangkan yang dimaksud dengan konservasi ex situ merupakan
konservaasi yang dilakukan di luar wilayah dan habitat aslinya(Meijaard
Erik, dkk, 2006).
Dalam upaya konservasi dan rehabilitasi terdapat prinsip dan etika
kesejahteraan satwa yang harus dijalankan. Secara umum ada lima prinsip
kesejahteraan satwa yang harus diperhatikan dalam setiap pengelolaan oleh
lembaga konservasi maupun lembaga rehabilitasi. Lima prinsip dasar
tersebut adalah satwa bebas dari rasa lapar dan haus, satwa bebas dari rasa
tidak nyaman, satwa bebas dari luka, satwa bebas dari rasa sakit dan
penyakit, dan satwa bebas dari rasa stres dan tekanan agar satwa dapat
mengekspresikan perilaku ilmiahnya (Yohanna, dkk, 2014).

2.2. WRC Kulon Progo


WRC Kulon Progo merupakan taman satwa yang berada di daerah
Kulon Progo yang berdiri di bawah managemen Yayasan Konservasi Alam
Yogyakarta. Lembaga ini merupakan lembaga non-pemerintahan yang
didirikan pada Juni 2010 oleh Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta.

4
WRC Kulon Progo berlokasi di Desa Sendangsari, Kabupaten Kulon Progo,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Kegiatan utama dari WRC Kulon Progo
adalah penyelamatan satwa, rehabilitasi satwa, pemberdayaan masyarakat
dan sosialisasi mengenai satwa liar. Dalam proses rehabilitasi, setelah
satwa dirasa cukup untuk direhabilitasi, maka satwa tersebut akan
dikembalikan pada habitat asalnya. Asal dari satwa liar di WRC beragam,
ada yang berasal dari sitaan perdagangan hewan ilegal, bisnis komersial
tanpa izin, kebun binatang ilegal, kepemilikan pribadi yang salah pada
perawatan, dan serahan sukarela dari penduduk (Ikhza Naharul, 2017).
WRC merupakan lembaga yang berbasis pada LSM (Lembaga
Swadaya Masyarakat) dimana dalam pengoperasiannya, WRC tidak
mendapatkan dana dari pemerintah. Pendanaan berasal dari sumbangan
sukarela para relawan pecinta hewan. Dalam proses perawatan seperti
pemberian fasilitas kandang berasal dari bantuan masyarakat sekitar,
sedangkan dalam pemberian pakan, pihak WRC (staff pemeliharaan)
menggalakkan metode pertanian organik musiman (buah dan sayur). Selain
dari pertanian organik, pihak WRC juga mendapatkan pasokan bantuan
dari supermarket besar yang berupa bahan pangan seperti sisa buah dan
sayur yang masih dalam keadaan layak konsumsi.
Saat ini, WRC telah menampung ± 165 spesies satwa liar. spesies
yang ada di WRC meliputi orang utan, owa, kera, beo, elang, buaya,
beruang madu, kasuari, dll. Satwa tersebut bukan hanya berasal dari Pulau
Jawa, melainkan ada yang berasal dari Kalimantan dan Sumatra. Asal dari
satwa yang beragam ini juga menjadi kendala bagi pihak WRC dalam
mengembalikan satwa menuju habitat asalnya (WRCjogja, 2018).

5
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil
Spesies Satwa Deskripsi Kondisi
 Hasil dari sitaan perdagangan satwa liar
 Masuk WRC pada 2012
 Kondisi datang : Masih bayi dan
menderita diare
 Makanan : rayap kayu, serangga, buah
 Kondisi kandang : kandang besar, terdapat
properti seperti kayu, ayunan, saluran air,
(Beruang Madu) tempat makan dan bersih

 Asal : sitaan dari kepemilikan ilegal dan


perdagangan ilegal
 Makanan : buah, sayur
 Kondisi datang : kurang makan dan kurus
 Kondisi kandang : bersih, banyak pohon
dan tanaman

(Burung Kasuari)
 Kondisi datang : cukup baik
 Makanan : daging
 Hasil : sitaan kepemilikan ilegal dan
perdagangan ilegal
 Kondisi kandang : luas untuk ukuran 1
buaya per kandang, terdapat kubangan
lumpur dan tanaman, dan tidak beratap

(Buaya Muara) (atap dibatasi jeruji)

6
 Kondisi datang : cukup baik
 Makanan : daging
 Hasil : sitaan kepemilikan ilegal dan
perdagangan ilegal
 Kondisi kandang : luas untuk ukuran 1
ular per kandang, terdapat kolam air, dan
tidak beratap (atap dibatasi jeruji)

 Kondisi datang : cukup baik


 Makanan : buah, sayur
 Hasil : sitaan kepemilikan ilegal dan
perdagangan ilegal
 Kondisi kandang : luas untuk ukuran 1
kura-kura per kandang, terdapat kolam air
kecil, dan tidak beratap (atap dibatasi
(Kura-Kura)
jeruji)
Binturong  Hasil dari sitaan perdagangan ilegal satwa
liar
 Masuk WRC pada 2012
 Kondisi datang : luka bagian ekor
Elang Brontok
Elang Bondol
Elang Laut
Nuri Bayan
Kucing Hutan
Siamang
Kukang
Owa Jawa
Musang
Orang Utan
Merak Hijau

7
3.3. Pembahasan
Rehabilitasi merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah
untuk pemulihan kondisi satwa baik dari kondisi fisik maupun perilaku
satwa hasil dari sitaan agar dapat dikembalikan ke habitat aslinya. Salah
satu tempat rehabilitasi satwa liar hasil dari sitaan di Yogyakarta adalah
WRC (Wildlife Rescue Center) Kulon Progo. Banyak satwa yang
direhabilitasi di tempat ini, contohnya adalah buaya, ular, elang ular bido,
burung kasuari, rusa, kura-kura, owa jawa, orang utan, beruang madu,
binturong, merak, musang, beruk, dll. Dalam menjalankan rehabilitasi
satwa, prinsip kesejahteraan satwa yang direhabilitasi harus diutamakan.
Maka dari itu, dalam memberikan rasa nyaman, penempatan atau habitat
kandang yang digunakan selama masa karantina haruslah membuat satwa
tersebut merasa nyaman dan aman serta bebas. Kandang dari spesies satwa
harus didesain sesuai dengan habitat aslinya. Tujuan dari desain ini agar
dalam rehabilitasinya satwa dapat cepat beradaptasi pada lingkungan
hidupnya. Sebagai contohnya adalah kandang yang dibuat menyerupai
alam liar hutan tropis bagi jenis primata. Selain itu, kandang buaya yang
didesain seperti kubangan air berlumpur yang disertai dengan rumput dan
tumbuhan hijau agar terlihat dan terasa sama dengan habitat buaya yang
asli.
WRC merupakan lembaga yang didirikan dengan tujuan sebagai
tempat rehabilitasi satwa hasil dari sitaan yang ilegal. Dalam menjalankan
tugasnya, WRC bekerjasama dengan pihak BKSDA (balai konservasi
sumber daya alam) Bantul dan Yogyakarta, Mabes Polri, dan NGO yang
bergerak di bidang penegakan hukum. Satwa liar yang disita merupakan
satwa yang didapat dari masyarakat maupun oknum dimana satwa tersebut
secara hukum memang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi, dipelihara,
diperdagangkan baik utuh maupun mati. Satwa yang ada di WRC berasal
dari berbagai sumber yaitu, sitaan perdagangan ilegal, kepemilikan ilegal,
kepemilikan yang tidak mematuhi standar dalam pemeliharaan, sitaan dari
perburuan liar, maupun dari serahan masyarakat. Serahan masyarakat dapat
berasal dari serahan masyarakat yang tidak sanggup untuk merawat satwa

8
tersebut ataupun serahan masyarakat dimana satwa tersebut masuk dalam
permukiman masyarakat. Maksud dari sitaan kepemilikan yang ilegal
maupun kepemilikan yang telah menyalahi aturan dalam perawatan adalah
ketika sang pemilik satwa memperlakukan satwa diluar dari batas normal
perlakuan. Sebagai contoh nyata yang telah dipaparkan oleh pihak WRC
adalah adanya informasi dari narasumber yang mengatakan bahwa terdapat
orang utan yang ada di sebuah restoran yang tidak mendapatkan kehidupan
yang layak. Orang utan tersebut dijadikan objek atau properti untuk
menarik pelanggan ataupun turis. Dalam kasus tersebut orang utan
diperlakukan dengan kasar dan diberi makan hanya dari sisa makanan
restouran. Hal inilah yang menyebabkan pihak dari WRC berusaha
mendapatkan hak dari kepemilikan orang utan tersebut (dengan cara
menyita) agar menjadi tanggung jawab dari pihak WRC. Kemudian setelah
mendapatkan ijin dan/atau kerelaan dari pihak tersangkut, pihak WRC akan
dapat melakukan rehabilitasi pada satwa tersebut.
Kegiatan yang dilakukan pihak WRC dengan BKSDA adalah
menyita spesies satwa. Setelah proses penyitaan, satwa kemudian akan
dibawa ke balai WRC kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan dan
pengecekan di laboratorium terkait ada atau tidaknya penyakit dalam diri
satwa tersebut. Setelah proses pemeriksaan, satwa tersebut kemudian akan
direhabilitasi. Proses dari rehabilitasi berlangsung sampai satwa yang
bersangkutan dinilai sudah mampu untuk mencari makan sendiri sehingga
layak untuk kembali hidup di alam liar. Selain itu, pelepasliaran satwa juga
memperhatikan kesehatan satwa berdasarkan hasil pengecekan yang
dilakukan oleh tim dokter dan laboratorium. Barulah setelah semua tahapan
satau prasyarat pelepasliaran telah memenuhi, maka satwa liar tersebut
dapat dilepaskakn ke habitat aslinya.
WRC Kulon Progo memiliki program yaitu rehabilitassi yang
kemudian pelepassan spesies satwa menuju alam bebas. Dalam
melaksanakan program tersebut, terdapat tahap-tahap yang dilakukan oleh
pihak WRC. Tahapan yang pertama adalah rehabilitasi dalam kandang.
Rehabilitasi dalam kandang merupakan langkah awal dalam proses

9
rehabilitasi setelah pengecekan kondisi dari satwa. Jadi, dalam rehabilitasi
kandang, satwa diberi kebebasan dalam kandang dan tidak terikat.
Rancangan kandang ini bertujuan untuk memunculkan kembali sifat asli
dari satwa dengan cara perlahan dan terlatih. Perubahan yang terjadi dari
satwa tersebut kemudian diamati dan dipantau setiap hari, kemudian akan
dilaporkan pada dokter hewan. Setelah dirasa terdapat kemajuan dan satwa
dirasa mampu untuk dilepaskan, kemudian satwa akan dipindahkan
kedalam kandang yang lebih besar (kandang komunal). Kandang komunal
ini merupakan kandang yang lebih besar dari kandang yang digunakan
satwa sebelumnya. Kandang tersebut bertujuan untuk menguji kehidupan
spesies satwa dalam bertahan hidup di lingkungan yang lebih luas.
Contohnya adalah burung elang yang dipindahkan menuju kandang
komunal dari kandang yang sebelumnya. Burung elang tersebut akan
diperkenalkan dengan mangsa hidup seperti tikus dan kadal hidup.
Selanjutnya burung elang tersebut dapat belajar terkait dengan cara mereka
menangkap mangsa yang bergerak. Selama masa percobaan di kandong
komunal ini, staf dari WRC akan secara rutin melakukan pemantauan dan
pemeriksaan. Tidak lupa bahwa kandang komunal ini selain ukuran yang
lebih besar, tetapi juga dilengkapi dengan pohon dan tumbuhan yang dapat
menunjang satwa dalam beradaptasi sesuai dengan kehidupan aslinya.
Langkah kedua adalah prosedur pra-pelepasan. Prosedur ini
merupakan prosedur dari dimulainya pemeriksaan terakhir pada kesehatan
satwa. Selanjutnya yaitu pemasangan marker pada satwa terutama satwa
burung yang ada di WRC. Marker sayap ini merupakan alat pantau yang
dipasangkan dalam sayap burung. Selain maker sayap, mikrochipping juga
dapat dipasangkan dalam tubuh spesies satwa. Dalam proses pelepasan
satwa, harus diperhatikan beberapa hal, yaitu adanya fase pembiasaan
sementara di habitat baru yang akan digunakan untuk pelepasan satwa.
Lokasi pelepasan haruslah lokasi yang aman, bebas dari gangguan
(kegiatan berburu/penebangan), dilengkapi dengan sumber makanan.
Habitat sesuai dengan asalnya. Langkah pra-pelepasan selanjutnya adalah
pembuatan sangkar pra-pelepasan. Setelah itu, satwa dipindahkan menuju

10
sangkar pra-pelepasan dan dilakukan pengamatan selama ± 2 minggu.
Setelah itu, satwa dapat dilepasliarkan kembali menuju habitat asalnya.
Program yang dilakukan oleh pihak WRC selain rehabilitasi dan
pelepasan satwa juga ada program translokasi. Program translokasi
merupakan program yang dilakukan untuk pengembalian satwa menuju
daerah asalnya bukan habitat asalnya. Translokasi ini dilakukan kepada
satwa yang hanya dapat hidup dan/atau kembali menuju sifat aslinya jika
berada di daerah asalnya yang bukan merupakan habitat asalnya.
Terdapat dampak positif dan dampak negatif dari pengelolaan satwa
yang ada di WRC Kulon Progo. Dampak positif dari pengelolaan satwa di
WRC Kulon Progo adalah banyaknya satwa yang selamat dan kembali
menuju habitat aslinya. Selain itu, dampak positif lainnya adalah satwa liar
tersebut dapat dipantau perkembangannya dalam hal kemandirian untuk
kembali ke alam setelah sekian lama tinggal dengan manusia. Akan tetapi
dampak negatif dari pengelolaan satwa liar Indonesia yang dilakukan oleh
pihak WRC adalah satwa yang ada di rehabilitasi yang ada di WRC Kulon
Progo tidak mampu langsung belajar hidup di alam. Maksud dari
pernyataan tersebut adalah sehubungan dengan WRC Kulon Progo
merupakan tempat rehabilitasi yang bersifat ex situ, yaitu rehabilitasi yang
dilakukan di luar lingkungan atau habitat asli dari spesies satwa tersebut
membuat spesies satwa terbatas ruang geraknya karena ruang gerak
wilayah ex situ tidak seluas wilayah gerak in situ.
Rehabilitasi yang dilakukan oleh pihak WRC Kulon Progo tidaklah
selalu berjalan dengan lancar. Dalam kegiatan rehabilitasi terdapat kendala
yang menghalangi berjalannya proses rehabilitasi serta halangan yang
menghambat proses rehabilitasi. Kendala yang dialami dalam kegiatan
rehabilitasi adalah terbatasnya dana perawatan WRC. Untuk mengatasi
kendala tersebut, pihak dari WRC melakukan penggalangan dana dengan
melakukan kegiatan atau membuat program kegiatan seperti program
pendidikan konservasi, program kegiatan outbond, menyediakan tempat
penginapan, menyelenggarakan volunteer berbayar. Kegiatan maupun
program fasilitas tersebut menjadi penghasilan oleh pihak WRC yang

11
kemudian akan digunakan sebagai perawatan dari spesies yang
direhabilitasi. Selain kendala terkait dengan pendanaan, kurangnya jumlah
staff dan proses perijinan yang sulit membuat kegiatan di WRC menjadi
terhambat. Mengingat bahwa WRC Kulon Progo merupakan lembaga non
kepemerintahan yang berdiri masih berupa LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), maka banyak dari masyarakat yang masih kurang berminat
bahkan mungkin tidak berminat untuk bekerja dan menjadi staff di WRC.
Yang dimaksud dengan proses perijinan yang sulit berkaitan dengan status
WRC yang merupakan lembaga non kepemerintahan. Jadi sangat sulit
untuk pihak WRC menjalankan tugas seperti penyitaan. Untuk
mendapatkan ijin, pihak dari WRC harus bekerjasama dengan lembaga
yang berdiri dibawah kepemerintahan. Sebagai contohnya adalah
kerjasama WRC dengan pihak Balai KSDA.
Selain kendala, terdapat hambatan yang dihadapi oleh pihak WRC
Kulon Progo dalam proses rehabilitasi. Hambatan tersebut adalah adanya
spesies satwa yang direhabilitasi di WRC Kulon Progo yang berasal dari
luar pulau Jawa. Hambatan ini menjadi hambatan yang kemudian dapat
menjadi kendala bagi WRC untuk melakukan proses rehabilitasi. Akan
tetapi, untuk mengatasi hambatan tersebut, pihak dari WRC Kulon Progo
melakukan kerjasama dengan pihak rehabilitasi maupun konservasi dari
asal spesies satwa yang ada di WRC Kulon Progo. Sebagai contohnya
adalah di WRC Kulon Progo terdapat spesies orang utan yang berasal dari
Kalimantan. Untuk mengembalikan orang utan menuju tempat aslinya,
maka pihak dari WRC akan mengirim orang utan tersebut menuju balai
konservasi maupun balai rehabilitasi yang ada di Kalimantan.
Pengembalian ini bertujuan agar satwa lebih dekat dengan daerah aslinya.

12
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
A. Tujuan dari didirikannya WRC adalah penyelamatan dan perlindungan
satwa dengan cara rehabilitasi.
B. Satwa yang ada di WRC berasal dari berbagai sumber yaitu, sitaan
perdagangan ilegal, kepemilikan ilegal, kepemilikan yang tidak
mematuhi standar dalam pemeliharaan, sitaan dari perburuan liar,
maupun dari serahan masyarakat. Serahan masyarakat dapat berasal
dari serahan masyarakat yang tidak sanggup untuk merawat satwa
tersebut ataupun serahan masyarakat dimana satwa tersebut masuk
dalam permukiman masyarakat.
C. Setelah kegiatan rehabilitassi dilakukan dan satwa dirasa layak di
kembalikan ke alam, maka satwa tersebut akan
dikembalikan/dilepaskan ke alam.

4.2. Saran
A. Sebaiknya dalam proses observasi lapangan pihak narasumber WRC
lebih memperhatikan managemen waktu dan kondisi tempat. Hal ini
dimaksudkan karena saat sesi diskusi lapangan banyak mahasiswa yang
kurang antusias karena narasumber yang ada hanya satu. Hal ini
menyebabkan mahasiswa tidak memiliki ruang untuk ikut
mendengarkan yang dijelaskan oleh narasumber saat sesi tanya-jawab
di lapangan.

4.3. Refleksi
Kegiatan observasi dan wawancara yang dilakukan di WRC Kulon
Progo merupakan kegiatan yang menyenangkan. Di WRC Kulon Progo,
kami dapat belajar terkait dengan satwa liar yang ada di WRC. Selain itu,
kami juga dapat mengetahui seluk beluk dari setiap spesies yang ada di
WRC.

13
DAFTAR PUSTAKA

Daniati Eva., Rifanjani Slamet., & Winarti Indah. (2017). Studi Perilaku Harian
Kukang Kalimantan (Nycticebus Menagensis) Di Pusat Rehabilitasi Satwa
Internasional Animal Rescue Indonesia (Iari) Kabupaten Ketapang,
Kalimantan Barat, Jurnal Hutan Lestari , 5(2), 171-172.

Meijaard Erik., Sheil Douglas., &Nasi Robert. 2006. Hutan Pasca Pemanenan :
Melindungi Satwa Liar Dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan.
Bogor Barat, Jawa Barat. Diakses dari :
https://books.google.co.id/books?hl=id&lr=&id=nax9eAmQbMAC&oi=fn
d&pg=PT61&dq=konservasi+satwa+liar&ots=79tk7RVdgH&sig=PyV4w
ndMv0gt5rKSX7sa2LAUFOg&redir_esc=y#v=onepage&q=konservasi%2
0satwa%20liar&f=false.

Naharul Ikhsan. (2017). Pembelajaran Lapang Berbasis Kearifan Lokal Untuk


Mengembalikan Kemampuan Literasi Lingkungan Melalui Studi Lapang
Terintegrasi Di Yogyakarta, Proposal Studi Lapang Terintegrasi, Hal. 5-7.

Puspitasari Anggita., Masy Burhanuddin., & Sunarminto Tutut. (2016). Nilai


Kontribusi Kebun Binatang Terhadap Konservasi Satwa, Sosial Ekonomi,
dan Lingkungan Fisik : Studi Kasus Kebun Binatang Bandung, Jurnal
Media Konservasi, 21 (2), 116-117.

Toni Irfan. 2008. Konservasi Indonesia : Sebuah Potret Pengelolaan dan Kebijakan.
Bogor : Media Pustaka. Diakses pada :
https://books.google.co.id/books?id=kZtY-
heJ2lwC&pg=PA35&dq=konservasi+satwa+liar&hl=id&sa=X&ved=0ah
UKEwjj7qLb7LHiAhVXWH0KHcgODA4Q6AEIOzAE#v=onepage&q&
f=false.

14
WRCjogja. (2016). WRCjogja : About WRC. Diakses pada :
http://wrcjogja.org/about-us/4594168285

Yohanna., Masy Burhanuddin., & Mardiastuti Ani. (2014). Tingkat Kesejahteraan


Dan Status Kesiapan Owa Jawa Di Pusat Penyelamatan Dan Rehabilitasi
Satwa Untuk Dilepasliarkan, Jurnal Media Konservasi, 19(3), 183-184.

15
LAMPIRAN

Spesies Satwa Deskripsi

Tgl Foto : Selasa, 14 Mei 2019


Gambar : Beruang Madu

Tgl Foto : Selasa, 14 Mei 2019


Gambar : Burung Kasuari

Tgl Foto : Selasa, 14 Mei 2019


Gambar : Buaya Muara

16
Tgl Foto : Selasa, 14 Mei 2019
Gambar : Ular Phyton

Tgl Foto : Selasa, 14 Mei 2019


Gambar : Kura-kura

(Kura-Kura)

Kegiatan : persiapan penyampaian materi oleh pihak WRC Kulon Progo


Tanggal : Selasa, 14 Mei 2019

17

Anda mungkin juga menyukai