Anda di halaman 1dari 28

LONGCASE

APENDISITIS AKUT
Disusun Untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Bedah di RSUD Salatiga

Disusun Oleh:
Nama : Rosmayda Ria Julianti
NIM : 1413010002
NIPP : 1813020012

Pembimbing:
dr. Heri Purnomo, Sp.B., M.Kes

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
RSUD KOTA SALATIGA

2019

i
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan longcase dengan judul
APENDISITIS AKUT

Disusun Oleh:
Nama : Rosmayda Ria Julianti
NIM : 1413010002
NIPP : 1813020012

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal: Kamis / 31 Oktober 2019

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. Heri Purnomo, Sp.B., M.Kes

ii
BAB I
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS

Nama : An. ARA


Umur : 13 tahun 9 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Sendang Sari, Randuacir, Kec. Argomulyo,
Salatiga
Tanggal Masuk : 10 September 2019

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga diantar kedua orang tuanya
dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu SMRS. Awal
mula nyeri dirasakan di ulu hati, sekitar 3 hari yang lalu nyeri dirasakan
bertambah berat dan berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri
dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari.
Nyeri bertambah berat ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur,
batuk ataupun mengejan dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat.
Pasien merasakan nyeri dengan skala 6 dari 10. Aktivitas pasien menjadi
terhambat, karena harus berjalan dengan posisi menunduk untuk
mengurangi nyeri. Pasien juga tidak dapat tidur dengan nyenyak akibat
nyeri yang dirasakan. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah
setiap kali makan sejak nyeri pertama kali dirasakan, sehingga nafsu
makan pasien juga berkurang. Pasien menyangkal mengalami sulit atau
nyeri saat BAK ataupun gangguan pola BAB. Tidak ada riwayat
penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan terakhir.

2
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Riwayat keluhan serupa disangkal. Riwayat asma, penyakit liver,
kencing manis, penyakit jantung, alergi obat dan makanan serta kejang
disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga (RPK)
Riwayat asma, penyakit liver, kencing manis, penyakit jantung, alergi
dan kejang pada keluarga disangkal.
5. Riwayat Menarche
Pasien pertama kali menacrhe pada awal usia 13 tahun, kurang lebih 6
bulan yang lalu. Lama haid berkisar 5-7 hari, siklus teratur antara 27-29
hari, setiap kali haid ganti balut sekitar 2-3 kali per hari. Keluhan nyeri saat
menstruasi disangkal.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien merupakan seorang santri pondok pesantren di daerah Ungaran,
Semarang. Sejak SD, pasien tinggal bersama tantenya, sedangkan kedua
orang tuanya berada di Salatiga. Pasien baru tinggal bersama kedua orang
tuanya sejak masuk rumah sakit. Menurut pengakuan tantenya, pasien
jarang makan, sehari hanya makan sekali. Pasien tidak merokok dan tidak
pernah mengkonsumsi obat-obatan tertentu.

C. PEMERIKSAAN FISIK
10 September 2019
Data Antropometri
BB : 42 kg
TB : 150 cm
Status Gizi (Z Score)
BMI : 18,6 kg/m3
BB/TB : -2 SD s.d 2 SD (Gizi baik)
BB/U : -2 SD s.d 2 SD (Gizi baik)
TB/U : -2 SD s.d 2 SD (Gizi baik)
BMI/U : -2 SD s.d 2 SD (Gizi baik)

3
Status Generalisata
Kesan Umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos Mentis (GCS : E4V5M6)
IGD Bangsal
Tekanan Darah : 100/90 Tekanan Darah : 110/80
Vital Signs / mmhg mmhg
Tanda-Tanda Nadi : 105x/menit Nadi : 101x/menit.
Vital Respirasi : 20x/menit Respirasi : 18x/menit
Suhu : 37,5 0C Suhu :37,10C
SpO2: 98% SpO2: 99%
Kepala dan Leher
Inspeksi Normocephal, Conjungtiva anemis (-/-), Sklera
Ikterik (-/-), nafas cuping hidung (-), sianosis (-)
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-), Trakea teraba di garis
tengah
Thorax
Pulmo
Inspeksi Bentuk dada simetris, tidak ada kelainan bentuk,
retraksi (-)
Palpasi Ketertinggalan gerak (-) dan vokal fremitus tidak ada
peningkatan maupun penurunan
Perkusi Sonor dikedua lapang paru
Auskultasi Suara vesikular dasar (SDV) : +/+
Suara ronkhi : -/-
Wheezing : -/-
Cor
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Ictus cordis teraba di SIC V midclavicularis sinistras
Jantung tidak membesar, batas paru-jantung dalam
Perkusi
batas normal
Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada
Auskultasi bising ataupun suara tambahan jantung

4
Abdomen
Inspeksi Datar
Auskultasi Bising usus (+) normal 7x/menit
Palpasi Nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik
McBurney (+), Rovsing sign (+), Psoas sign (+),
Obturator sign (+), hepar dan limpa sulit dinilai
karena nyeri
Perkusi Timpani
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-/-/-/-)
Sianosis (-/-/-/-)
Palpasi Akral hangat (+/+/+/+)
CRT <2 detik
Genitalia
Inspeksi Tidak dilakukan pemeriksaan
Rectal Toucher Tidak dilakukan pemeriksaan

D. ASSESMENT AWAL
Suspek apendisitis akut

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1.1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium (10 September 2019)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 22,45* 4,5 – 13,00 ribu/ul
Eritrosit 4,86 3,6 – 5,20 juta/ul
Hemoglobin 14,6 10,8 – 12,8 gr/dL
Hematokrit 43,6 35 – 43 vol%
MCV 89,8 73 – 101 Fl
MCH 30,0 23 – 31 Pg
MCHC 33,5 33 – 36 gr/dL
Trombosit 384 150 – 450 ribu/ul

5
Goldar ABO O
PT 13,7 11-18 Detik
APTT 31,9 27-42 Detik
Hitung Jenis
Eosinophil 1,9 1–5 %
Basophil 0,1 0–1 %
Limfosit 2,3 25 – 60 %
Monosit 9,3 1–6 %
Neutrofil 93,9* 25 – 60 %
Imuno/Serologi
Salmonella Typhi O Negatif Negatif

6
2. Pemeriksaan USG Abdomen

Gambar 1.1. USG Regio Mc Buney (10 September 2019)

Gambar 1.2. USG Vesico urinaria (10 September 2019)

7
Gambar 1.3. USG hepar, pankreas, dan lien (10 September 2019)

Gambar 1.4. USG vesica felea (10 September 2019)

Hasil:
- HEPAR: ukuran dan echostruktur dalam batas normal. Permukaan licin, sudut
kiri hepar lancip, sisterna vasculer dan sisterna biliaris intra hepatal tak tampak
melebar, tak tampak lesi hipo maupun hiperechoic intraparenchimal.

8
- VESICA FELEA: ukuran dalam batas normal, lumen sonoechoic, tak tampak
batu maupun sludge intravesical.
- LIEN: ukuran dan echostruktur normal, hilus lienalis tak melebar, tak tampak
nodul intraparenchimal.
- PANKREAS: tak tampak kelainan.
- KEDUA REN: ukuran dalam batas normal, batas korteks dan medula tegas, tak
tampak pelebaran PCS, tak tampak massa maupun batu.
- VU: terisi cairan optimal, dinding tak tampak menebal, tak tampak batu maupun
massa intravesikal.
- UTERUS: tak tampak kelainan.
- Pada eksplorasi regio Mc Burney, appendix tervisualisasi dengan kelaiber ± 3,74
mm. Pasien mengeluh nyeri pada penekanan regio Mc Burney.

Kesimpulan:
- Appendix tervisualisasi dengan keliber ± 3,74 mm.
- Hepar, VF, Lien, Pankreas, kedua ren, VU dan Uterus tak tampak kelainan
secara sonographic.
- Tak tampak gambaran massa maupun batu pada organ-organ tersebut.
- Tak tampak gambaran cystitis maupun nefritis.

F. RESUME
Seorang anak perempuan usia 13 tahun datang diantar kedua orang tuanya
ke RSUD Kota Salatiga dengan diantar kedua orang tuanya dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu SMRS. Awal mula nyeri dirasakan
di ulu hati, lalu berpindah ke daerah perut kanan bawah. Nyeri dirasakan
tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang hari. Nyeri
bertambah berat ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur, batuk
ataupun mengejan dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat. Pasien
merasakan nyeri dengan skala 6 dari 10. Pasien tidak pernah mengalami
keluhan serupa sebelumnya. Diketahui pasien tinggal dengan tantenya di
Ungaran, sedangkan orangtuanya berada di Salatiga. Dari hasil pemeriksaan
fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh 37,5oC pada pemeriksaan axilla,
nyeri tekan titik McBurney (+), nyeri lepas titik McBurney (+), Rovsing sign

9
(+), nyeri lepas indirek (+), Psoas sign (+), Obturator sign (+). Hasil
pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya peningkatan kadar leukosit
(22,45 ribu) dan neutrofil (93,8%). Pada hasik pemeriksaan UGS Abdomen
menunjukkan appendix tervisualisasi dengan keliber ± 3,74 mm, dan organ
lain dalam batas normal.

G. ASSESMENT AKHIR
Apendisitis akut

H. TATALAKSANA
1. Farmakologi
- Inf KaEn 3B 16 tpm
- Inj cefotaxim 2 gram/12 jam
- Inj parasetamol 500mg/8jam
- Inj ketorolac 30 mg extra bila perlu
- Inj ranitidin 50 mg/12jam
- Inj ondansetron 4 mg extra bila perlu

2. Non-farmakologi
- Rawat inap
- Tirah baring

I. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI
Pada orang dewasa, rata-rata panjang apendiks adalah 6 hingga 9 cm; namun, dapat
bervariasi antara <1 dan >30 cm. Diameter luarnya bervariasi antara 3 dan 8 mm,
sedangkan diameter luminal antara 1 dan 3 mm.

Gambar 2.1. Anatomi intestinum crasum


Apendiks mendapat vaskularisasi dari appendicular branch dari ileocolic artery.
Arteri ini berasal dari belakang ileum terminal, memasuki mesoapendiks dekat dengan
basis apendiks. Drainase limfatik dari apendiks mengalir ke kelenjar getah bening (KGB)
yang berada sepanjang ileocolic artery. Inervasi apendiks berasal dari elemen simpatis
oleh pleksus mesenterik superior (T10-L1) dan aferen dari elemen parasimpatis oleh
nervus vagus.

1
Gambar 2.2. Anatomi appendix
Secara histologis, apendiks dibungkus oleh 3 lapisan, yaitu lapisan luar serosa,
merupakan ekstensi dari peritoneum; lapisan muskularis, yang tidak well defined dan
bisa tidak ada pada lokasi tertentu; dan lapisan submukosa dan mukosa. Agregrat limfoid
terjadi pada lapisan submukosa dan dapat menyebar hingga muskularis mukosa. Saluran
limfatik terlihat jelas pada daerah agregat limfoid ini. Mukosanya mirip dengan kolon,
kecuali densitas dari folikel limfoidnya. Kriptusnya berukuran dan berbentuk ireguler,
kontras dengan kriptus kolon yang tampak lebih seragam. Kompleks neuroendokrin
terbentuk oleh sel ganglion, sel Schwann, serat neural, dan sel neurosekretorik yang
terletak tepat di bawah kriptus.

B. FISIOLOGI
Selama beberapa tahun, apendiks secara keliru diyakini sebagai organ vestigial tanpa
fungsi yang diketahui. Saat ini apendiks dianggap sebagai organ imunologik yang secara
aktif ikut berpartisipasi dalam sekresi imunoglobulin, khususnya imunoglobulin A.
Walau tidak ada peran yang jelas untuk apendiks dalam timbulnya penyakit manusia,
telah dilaporkan adanya asosiasi terbalik antara apendektomi dan timbulnya kolitis
ulseratif, menunjukkan fungsi protektif dari apendektomi.
Namun, asosiasi ini hanya ditemukan pada pasien yang diterapi apendektomi untuk
apendisitis sebelum usia 20.

2
Asosiasi antara Crohn’s disease dan apendektomi lebih kurang jelas. Walaupun
penelitian terdahulu menunjukkan bahwa apendektomi meningkatkan resiko timbulnya
Crohn’s disease, penelitian lebih baru dengan teliti menilai waktu apendektomi
berhubungan dengan onset Crohn’s disease membuktikan tidak adanya hubungan.
Sebuah meta-analisis baru menunjukkan resiko signifikan Crohn’s disease tidak lama
setelah apendisitis. Resiko ini selanjutnya memudar, menunjukkan adanya hubungan
diagnostik (salah mengidentifikasi Crohn’s disease sebagai apendisitis) daripada
hubungan fisiologis antara apendektomi dan Crohn’s disease.
Apendiks dapat berfungsi sebagai tempat penyimpanan untuk rekolonisasi kolon
dengan bakteri sehat. Satu penelitian retrospektif membuktikan bahwa apendektomi
sebelumnya mungkin memiliki hubungan terbalik dengan infeksi Clostridium difficile
berulang. Namun, pada penelitian retrospektif lain, apendektomi sebelumnya tidak
mempengaruhi terjadinya infeksi C. difficile. Peran apendiks dalam merekolonisasi kolon
tetap dicari kejelasannya.

C. APENDISITIS AKUT
1. Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermivormis dan merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan.
2. Epidemiologi
Resiko seumur hidup timbulnya apendisitis adalah 8,6% untuk laki-laki dan 6,7%
untuk perempuan, dengan insiden tertinggi pada dekade kedua dan ketiga. Jumlah
apendektomi untuk apendisitis telah menurun sejak 1950an pada sebagian besar
negara. Di Amerika, mencapai jumlah insiden terendah menjadi 15 per 10.000
penduduk pada tahun 1990an. Sejak saat itu, terjadi kenaikan insidensi apendisitis non-
perforasi. Alasannya tidak jelas, tetapi disarankan bahwa peningkatan penggunaan
pencitraan diagnostik menyebabkan deteksi yang lebih tinggi dari apendisitis ringan
yang mungkin tidak terdeteksi.
3. Etiologi dan Patogenesis
Etiologi dan patogenesis dari apendisitis tidak sepenuhnya dimengerti. Obstruksi
lumen karena fecaliths atau hipertrofi dari jaringan limfoid disarankan sebagai faktor
etiologik utama dari apendisitis akut. Frekuensi obstruksi meningkat seiring dengan
keparahan proses imflamatorik. Fecaliths dan calculi ditemukan pada 40% kasus

3
apendisitis akut simpel, pada 65% kasus apendisitis gangrenosa tanpa ruptur dan pada
hampir 90% gangrenosa dengan ruptur.
Dahulu diyakini bahwa terdapat tahapan kejadian yang dapat diprediksi yang pada
akhirnya berujung ruptur apendiks. Obstruksi proksimal pada lumen apendiks
menyebaban closed-loop obstruction, dan sekresi normal yang terus-menerus oleh
mukosa apendiks menyebabkan distensi. Distensi apendiks menstimulasi ujung saraf
dari visceral afferent stretch fibers, menyebabkan nyeri tidak jelas, tumpul, menyebar
pada regio umbilikus atau bagian bawah epigastrium. Distensi akan bertambah dengan
sekresi mukosa terus-menerus dan multiplikasi cepat dari bakteri yang tinggal di
apendiks. Hal ini menyebabkan refleks mual dan muntah, dan nyeri viseral bertambah.
Seiring dengan bertambahnya tekanan pada organ, melebihi tekanan vena. Kapiler dan
vena teroklusi tetapi aliran arteri tetap berlanjut, menyebabkan pembengkakan dan
kongesti vaskular. Lalu proses inflamasi mengikutsertakan serosa apendiks,
selanjutnya peritoneum parietalis. Hal ini menggambarkan karakteristik gejala
perpindahan nyeri ke kuadran kanan bawah.
Mukosa apendiks rentan terhadap gangguan perfusi, sehingga integritasnya
terganggu di awal proses, memberi peluang invasi bakteri. Daerah dengan perfusi yang
paling sedikit yang paling terpengaruh: infark elipsoidal berkembang pada batas
antimesenterik. Dengan berkembangnya distensi, invasi bakterial, gangguan perfusi,
dan infarksi, perforasi terjadi, biasanya pada batas antimesenterik tepat setelah titik
obstruksi. Tahapan ini tidak bisa dihindari, namun pada beberapa episode apendisitis
akut dapat sembuh dengan sendirinya.
4. Manifestasi Klinis
a. Gejala
Apendisitis umumnya dimulai dengan nyeri menyebar di sekitar umbilikus yang
nantinya terlokalisasi pada kuadran kanan bawah (sensitivitas 81%, spesifisitas
53%). Walaupun nyeri kuadran kanan bawah adalah salah satu tanda paling sensitif
dari apendisitis, nyeri pada lokasi atipikal atau nyeri minimal sering menjadi
presentasi awal. Variasi lokasi anatomis dari apendiks dapat berperan dalam
membedakan perbedaan presentasi dari fase somatis nyeri.
Apendisitis juga memiliki hubungan dengan gejala gastrointestinal seperti mual
(sensitivitas 58%, spesifisitas 45%) dan anoreksia (sensitivitas 68%, spesifisitas
36%). Gejala gastrointestinal yang timbul sebelum timbulnya nyeri menyarankan

4
etiologi yang berbeda seperti gastroenteritis. Banyak pasien mengeluhkan sensasi
obstipasi sebelum gejala nyeri timbul dan merasa bahwa defekasi dapat meredakan
gejala nyeri abdomen. Diare dapat terjadi berhubungan dengan perforasi, terutama
pada anak-anak.
b. Tanda
Awalnya, tanda vital dapat berubah secara minimal. Suhu tubuh dan nadi dapat
normal atau sedikit meningkat. Perubahan yang lebih besar mengindikasikan
terjadinya komplikasi atau diagnosa lain perlu dipertimbangkan.
Penemuan fisik ditentukan dari ada tidaknya iritasi peritoneum dan dipengaruhi
oleh ruptur tidaknya organ saat pertama kali diperiksa. Pasien apendisitis biasanya
bergerak perlahan dan lebih memilih berbaring telentang karena iritasi peritoneum.
Pada palpasi abdomen, ditemukan nyeri tekan maksimal pada atau sekitar titik
McBurney. Pada palpasi dalam, sering dirasakan adanya resisten muskular
(guarding) pada fossa iliaca dextra, lebih jelas dibandingkan dengan sisi sinistra.
Saat tekanan dari tangan pemeriksa dilepaskan secara mendadak, pasien merasakan
nyeri mendadak, yang disebut sebagai nyeri lepas (rebound tenderness). Nyeri tekan
tidak langsung (Rovsing’s sign) dan nyeri lepas tidak langsung (nyeri pada kuadran
kanan bawah saat kuadran kiri bawah dipalpasi) adalah bukti kuat terjadinya iritasi
peritoneum. Nyeri lepas dirasa sangat tajam dan tidak nyaman bagi pasien. Sehingga
disarankan untuk memulai memeriksa nyeri lepas tidak langsung dan nyeri ketok
langsung terlebih dahulu.
Variasi anatomis pada apendiks yang meradang berujung pada deviasi
penemuan fisik yang umum. Dengan apendiks retrocecal, penemuan pada abdomen
bisa menjadi kurang jelas, dan nyeri tekan paling jelas pada pinggang (flank). Saat
apendiks tergantung di dalam pelvis, penemuan pada abdomen bisa sama sekali tidak
ditemukan, dan diagnosa apendisitis dapat terlewatkan. Nyeri rektal sisi kanan
dikatakan dapat membantu dalam situasi ini, tetapi nilai diagnostiknya rendah. Nyeri
pada ekstensi dari kaki kanan (psoas sign) mengindikasikan adanya fokus iritasi pada
bagian proksimal dari muskulus psoas (menunjukkan apendiks retrosekal).
Peregangan muskulus obturator internus melalui rotasi internal dari paha terfleksi
(obturator sign) menyarankan inflamasi di dekat otot (menunjukkan apendiks
pelvis). Peningkatan nyeri yang dirasakan saat batuk disebu Dunphy sign.

5
c. Hasil Pemeriksaan Laboratorium
Apendisitis berasosiasi dengan respon inflamasi yang berhubungan erat dengan
keparahan penyakitnya. Sehingga pemeriksaan laboratorium adalah bagian penting
dari diagnosa. Leukositosis ringan sering timbul pada pasien dengan apendisitis akut
tanpa komplikasi dan biasanya dibarengi dengan polymorphonuclear prominence.
Jarang ditemukan leukosit >18.000 sel/mm3 pada apendisitis tanpa komplikasi.
Jumlah melebihi level ini meningkatkan kemungkinan dari apendiks yang perforasi
dengan atau tanpa abses. Peningkatan konsentrasi C-reactive protein (CRP) adalah
indikator kuat apendisitis, terutama apendisitis dengan komplikasi.
Leukosit bisa rendah karena lymphophenia atau reaksi septik, tetapi dalam
situasi ini, proporsi neutrofil umumnya sangat tinggi. Maka seluruh variabel
inflamasi harus dilihat secara bersamaan. Kemungkinan kecil adalah apendiks jika
leukosit, proporsi neutrofil dan CRP dalam batas normal. Respon inflamasi pada
apendisitis akut adalah proses dinamis. Awalnya, respon inflamasi bisa lemah.
Elevasi CRP, pada umumnya, dapat terjadi penundaan hingga 12 jam. Respon
inflamasi yang berkurang dapat mengindikasikan resolusi spontan.
Urinalisis dapat berguna untuk menyingkirkan saluran kencing sebagai sumber
infeksi; namun, leukosit atau eritrosit dapat ditemukan dari iritasi ureter atau buli.
Bakteriuria umumya tidak tampak
5. Diagnosis Appendisitis Akut
Anamnesis dan pemeriksaan fisik arus diarahkan untuk mendiagnosis apendisitis
akut dan mengeksklusi diagnosis alternatif seperti ganstroenteritis viral, konstipasi,
infeksi saluran kemih, sindrom hemolitik-uremik, Henoch-Schonlein purpura, adenitis
mesenterik, osteomielitis pelvis, abses psoas, dan penyakit tubo ovarian (kehamilan
ektopik, kista ovarium, pelvic inflamatory disease, ovarium torsion).
Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi yang meliputi ekspresis pasien
dan keadaan abdomen, Pada auskultasi, bising usus normal atau meningkat pada awal
apendisitis dan bising melemah jika terjadi perforasi. Palpasi terutama pada titik
McBurney yaitu titik pada dinding perut kuadran kanan bawah yang terletak pada 1/3
lateral dari garis yang menghubungkan spina iliaka anterior superior (SIAS) dengan
umbilikus. Nyeri tekan dan nyeri lepas disertai rigiditas pada daerah McBurney ini
sensitif untuk suatu apendisitis akut. Pemeriksaan rektal juga dapat dilakukan jika
diagnosis meragukan, khususnya untuk anak berusia dibawah4 tahun dan remaja

6
wanita. Suhu tubuh biasanya normal atau sedikit meningkat (37,2-38℃ ), bila suhu
tubuh diatas 38,3℃, perlu dicurigai telah terjadi perforasi. Takikardi biasanya sebagai
penyerta kenaikan suhu tubuh.
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang dicurigai apendisitis biasanya
meliputi hiung jumlah dan jenis sel darah lengkap dan urinalisa. Peran utama
pemeriksaan laboratorium ini adalah untuk mengeksklusi diagnosus alternatif seperti
infeksi saluran kemih, sindrom hemolitik-uremik, Henoch-Schonlein purpura.
Leukositosis moderat biasanya sering terjadi pada pasien (75%) dengan apendisitis
dengan jumlah leukosit berkisar antara 10.000-18.000 sel/mL dengan pergeseran ke
kiri dan didominasi oleh sel polimorfonuklear. Sekalipun demikian, tidak adanya
leukositosis tidak menutup kemungkinan terhadap apendisitis akut. Pada urinalisa
terdapat peningkatan berat jenis urin, terkadang ditemukan hematuria, piuria dan
albuminuria. Obat-obatan seperti antibiotik dan steroid dapat mempengaruhi hasil
laboratorium.
Pemeriksaan radiologi yang dapat membantu mengevaluasi asien dengan
kecurigaan apendisitis meliputi foto polos abdomen dan torkas, ultrasonografu (USG),
CT dan barium enema. Gambaran radiologik foto polos andomen dapat berupa
bayangan apendikolit (radioopak), distensi atau obstruksi usus halus, deformitas
sekum, adanya udara bebas, dan efek masa jaringan lunak. Pemeriksaan USG
menunjukkan adanya edema apendiks yang disebabkan oleh reaksi peradangan.
Dengan barium enema terdapat non-filling appendiks, efek massa dikuadran kanan
bawah abdomen, appendiks tampak tidak bergerak, pengisian apendiks tidak rata atau
tertekuk dan adanya retensi barium stelah 24-48 jam. CT unuk mendeteksi abses
periapendiks.
6. Tatalaksana
Apendiktomi langsung dilakukan ketika diagnosis apendisitis ditegakkan.
Antibiotik biasnya diberikan juga segera setelah diagnosis ditegakkan. Apendiktomi
harus dilengkapi dengan pemberian antibiotik IV. Pilihan antubiotik yang baik untuk
bakteri gram negatif anaerob dan enterobakter, yang banyak digunakan adalah
sefalosporin generasi ketiga. Pemberian antibiotik terutama pada apendisitis perforasi dan
diteruskan hingga suhu tubuh dan hitung jenis leukositnya sudah kembali normal.
Pemberian antibiotik ini dapat menurunkan angka kematian.

7
Ada pasien yang inflamasi dan infeksi ringan dan terlokalisasi pada daerah yang
kecil. Tubuhnya dapat menyelesaikan inflamasi tersebut. Pasien seperti ini tidak terlalu
sakit dan mengalami kemajuan setelah beberapa hari observasi. Apendisitis ini disebut
apendisitis terbatas dan dapat ditatalaksana dengan antibiotik saja. Apendiks dapat
diangkat segera atau beberapa saat setelahnya.
Jika tatalaksana terlambat dan ruptur telah terjadi untuk beberapa hari bahkan
beberapa minggu, abses biasanya telah terbentuk dan perforasi dapat sudah menutup. Jika
abses kecil dapat ditatalaksana dengan antibiotik, tetapi biasanya memerluan drainase.
Tabung kecil dari plastik atau karet dimasukkan lewat kulit kedalam abses dengan
bantuan ultrasound atau CT yang menunjukkan lokasi abses. Tabung tersebut
mengalirkan pus ke luar tubuh. Apendiks dapat diangkat beberapa minggu atau bulan
setelah abses dikeluarkan. Ini disebut interval apendiktomi dan dilakukan untuk
mencegah serangan apendisitis berikutnya.
a. Apendiktomi Terbuka
Pada umumnya pasien pada posisi terlentang dan dalam anastesi umum. Seluruh
abdomen telah disiapkan dan ditutup kain apabila insisi yang lebih besar dibutuhkan.
Untuk apendisitis awal tanpa perforasi, insisi kuadran kanan bawah pada titik
McBurney (sepertiga jarak dari spina iliaca anterior superior ke umbilikus)
umumnya digunakan. Insisi McBurney (oblique) atau Rocky-Davis (transversal)
pada kuadran kanan bawah dibuat. Jika diduga apendisitis perforasi atau diagnosa
masih diragukan, dipertimbangkan untuk laparotomi garis tengah bawah. Walau
telah dilaporkan bahwa posisi apendiks dapat berubah dengan kehamilan, penelitian
prospektif telah membuktikan bahwa kehamilan tidak merubah proporsi pasien
dengan appendiceal base dalam 2 cm dari titik McBurney.
Setelah memasuki abdomen, pasien seharusnya diposisikan dalam posisi sedikit
Trendelenburg dengan rotasi kasur ke kiri pasien. Jika apendiks sulit diidentifikasi,
lokasi cecum harus diidentifikasi. Menelusuri taenia libera (taenia anterior), yang
paling terlihat dari 3 taeniae coli, pada distal dasar apendiks dapat diidentifikasi.
Apendiks sering memiliki penempelan pada dinding lateral atau pelvis yang
dapat dibebaskan dengan diseksi. Membelah mesenterium apendiks terlebih dahulu
dapat memperjelas eksposur dasar apendiks. Appendiceal stump dapat ditangani
dengan ligasi sederhana atau dengan ligasi dan inversi. Selama stump terlihat jelas
dan dasar cecum tidak dilibatkan dalam proses inflamasi, stump dapat dengan aman

8
diligasi. Obliterasi mukosa dengan electrocautery dengan tujuan menghindari
timbulnya mucocele direkomendasikan oleh beberapa ahli bedah; namun, tidak ada
data yang mengevaluasi resiko atau manfaat manuver pembedahan ini. Inversi stump
dengan lipatan dari cecum juga telah dideskripsikan. Pemasangan surgical drains
baik untuk apendisitis tanpa dan dengan komplikasi, dipraktekkan oleh banyak ahli
bedah, tidak didukung oleh penelitian klinis. Nanah di abdomen harus diaspirasi,
tetapi irigasi pada apendisitis dengan komplikasi tidak dirokemdasikan. Kulit juga
dapat langsung ditutup pada pasien dengan apendisitis perforasi.

Gambar 2.3. Teknik paendiktomi terbuka


Jika apendisitis tidak ditemukan, pencarian metodis harus dilakukan untuk
diagnosa alternatif. Cecum dan mesenterium harus diinspeksi. Usus halus harus
dievaluasi dengan cara retrogade dimulai dari katup ileocecal. Keterlibatan Crohn’s
disease atau Meckel’s diverticulum harus menjadi prioritas utama. Pada pasien
perempuan, organ reproduksi harus diinspeksi dengan teliti. Jika ditemukan cairan
purulen atau bilious, asalnya harus diidentifikasi. Sebagai contoh, Valentino’s
appendicitis, atau ulkus duodenal bergejala seperti apendisitis, harus disingkirkan.
Ekstensi medial insisi (Fowler-Weir) atau ekstensi superios dari insisi lateral pantas
dilakukan jika evaluasi lebih lanjut dari abdomen bawah atau kolon kanan

9
diperlukan. Laparoskopi selektif melalui insisi kuadran kanan bawah juga telah
dideskripsikan. Jika patologi abdomen atas ditemukan, insisi garis tengah harus
dilakukan.
b. Apendiktomi Laparoskopik
Apendektomi laparoskopik yang pertama kali dilaporkan dilakukan pada tahun
1983 oleh Semm; namun, pendekatan laparoskopik tidak digunakan secara luas
hingga nanti, setelah keberhasilan kolesistektomi laparoskopik. Ini mungkin karena
inisisi kecil sudah umum digunakan dengan open appendectomy.
Apendektomi laparoskopik dilakukan dalam anastesi umum. Oro- atau
nasograstric tube dan kateter urin dipasang. Pasien dalam posisi terlentang dengan
lengan kiri terlipat dan diikat pada meja operasi. Baik ahli bedah dan asisten harus
berdiri di sisi kiri pasien menghadap ke apendiks. Layar laparoskopi diposisikan
pada sisi kanan pasien atau pada kaki kasur. Apendektomi laparoskopik standar
umumnya menggunakan tiga saluran. Umumnya, saluran 10 atau 12 mm dipasang
pada umbilikus, sedangkan saluran 5 mm dipasang pada supra-pubik dan kuadran
kiri bawah. Pasien seharusnya dalam posisi Trendelenburg dan dimiringkan ke kiri.

Gambar 2.4. Teknik apendiktomi laparoskopik


Apendiks harus diidentifikasi sama halnya dengan pembedahan terbuka dengan
menyusuri taenia libera/coli ke dasar apendiks. Melalui saluran supra-pubik,
apendiks dipegang dengan mantap dan dielevasikan ke arah jam 10. “Appendiceal
critical view” seharusnya didapatkan dengan taenia libera pada arah jam 3, ileum
terminal pada arah jam 6 dan apendiks yang ditarik pada arah jam 10 untuk

10
identifikasi dasar apendiks. Melalui saluran infra-umbilikus, mesenterium harus
diseksi secara perlahan dari dasar apendiks dan dibuat jendela. Umumnya dasar
apendiks di-staple setelah stapling mesenterium. Selain itu, mesenterium dapat
dibagi dengan energy device atau clipped dan dasar apendiks ditahan dengan
Endoloop. Stump harus diperiksa dengan seksama untuk memastikan hemostasis,
transeksi komplit, dan memastikan tidak ada stump tertinggal. Apendiks diambil
melalui lubang infra-umbilikus dengan retrieval bag.
c. Perawatan Post Operatif
Perlu dilakukan observasi tanda vital untuk mengantisipasi adanya perdarahan
dalam, syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Pasien dibaringkan dalam
posisi Fowler dan selama 12 jam dipuasakan terlebih dahulu.
Setelah apendektomi tanpa komplikasi, peluang komplikasinya rendah, dan
kebanyakan pasien dapat dengan cepat memulai diet dan dipulangkan pada hari yang
sama atau sehari setelahnya. Terapi antibiotik post-operatif tidak diperlukan.
Di sisi lain, apendektomi dengan komplikasi, peluang komplikasinya meningkat
dibanding apendisitis tanpa komplikasi. Pasien harus melanjutkan antibiotik
spektrum luas selama 4-7 hari. Ileus post-operatif dapat terjadi, maka diet harus
dimulai dalam evaluasi klinis harian. Pasien ini memiliki resiko meningkat
terjadinya infeksi pada lokasi pembedahan. Pada operasi dengan perforasi atau
peritonitis umum, puasa dilakukan hingga fungsi usus kembali normal. Secara
bertahap pasien diberikan minum, makanan saring, makanan lunak, dan makanan
biasa.
Jika apendiks tidak ruptur, pasien dapat pulang dalam 1-2 hari, jika terdapat
perforasi ia dapat tinggal selama 4-7 hari, terutama jika terjadi peritonitis. Antibiotik
intravena dapat diberikan untuk mengobati infeksi dan membantu penyembuhan
abses.
d. Komplikasi
1) Infeksi lokal pembedahan
Pada pasien dengan infeksi lokasi pembedahan insisional (superfisial atau
profunda), dilakukan penanganan berupa pembukaan insisi dan mengambil kultur.
Setelah apendektomi laparoskopik, ekstraksi lokasi saluran adalah tempat yang
paling sering terjadi infeksi lokasi pembedahan. Pasien dengan selulitis dapat

11
memulai antibiotik. Organisme yang dikultur pada umumnya flora usus,
dibandingkan dengan flora kulit.
Pasien dengan abses intra-abdomen post-operatif dapat bergejala dengan cara
yang bervariasi. Walaupun demam, leukositosis dan nyeri abdomen adalah gejala
yang paling sering, pasien dengan ileus, obstruksi usus, diare, dan tenesmus dapat
juga menderita abses intra-abdomen. Abses kecil dapat diterapi hanya dengan
antibiotik; namun abses yang lebih besar memerlukan drainase. Pada umumnya,
drainase per kutan dengan panduan CT-scan atau USG efektif. Untuk abses yang
tidak merespon terhadap drainase per kutan, drainase abses laparoskopik bisa
menjadi pilihan.
2) Stump appendicitis
Apendektomi inkomplit menunjukkan kegagalan pengambilan seluruh
apendiks pada prosedur awal. Sebuah review literatur menunjukkan hanya 60
laporan dari fenomena ini. Kemungkinan, apendektomi inkomplit sedikit
dilaporkan, dan prevalensi nyatanya jauh lebih tinggi. Dilaporkan sebagai “stump
appendicitis”, pasien umumnya datang dengan gejala berulang apendisitis kurang
lebih 9 tahun setelah pembedahan awal. Tidak ada perbedaan dalam pembedahan
awal antara laparoskopik dan prosedur terbuka. Namun terdapat lebih banyak
apendektomi dengan komplikasi pada pembedahan awal. Pasien dengan stump
appendicitis lebih memungkinkan untuk mengalami apendisitis dengan
komplikasi, menjalani prosedur terbuka dan colectomy.
Kunci untuk menghindari stump appendicitis adalah pencegahan. Penggunaan
“appendiceal critical view” (apendiks diletakkan pada arah jam 10, taenia
coli/libera pada jam 3 dan ileum terminal pada jam 6) dan identifikasi apakah
taenia coli bersatu atau menghilang adalah hal penting untuk identifikasi dan ligasi
dasar apendiks saat pembedahan awal. Stump yang tersisa harus tidak lebih
panjang dari 0,5 cm, dikatakan stump appendicitis jika ≥0,5 cm pada literatur.
Pada pasien yang telah menjalani apendektomi sebelumnya, indeks
kecurigaan yang rendah penting untuk mencegah penundaan diagnosa dan
komplikasi. Apendektomi sebelumnya tidak seharusnya menjadi kriteria mutlak
menyingkirkan apendisitis akut.

12
e. Prognosis
Tingkat mortalitas dan morbiditas sangat kecil dengan diagnosis yang akurat
serta pembedahan. Tingkat mortalitas keseluruhan berkisar 0,2-0,8% dan disebabkan
oleh komplikasi penyakit daripada intervensi bedah. Pada anak, angka ini berkisar
0,1-1% sedangkan pada pasien di atas 70 tahun angka ini meningkat di atas 20%
terutama karena keterlambatan diagnosa dan terapi.

13
BAB III
PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga diantar kedua orang tuanya dengan keluhan
nyeri perut kanan bawah sejak 1 minggu SMRS. Awal mula nyeri dirasakan di ulu hati,
sekitar 3 hari yang lalu nyeri dirasakan bertambah berat dan berpindah ke daerah perut
kanan bawah. Nyeri dirasakan tajam seperti ditusuk jarum dan hilang timbul sepanjang
hari. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati menggambarkan gejala akibat distensi apendiks
yang menstimulasi ujung saraf dari afferent stretch fiber. Lalu nyeri berpindah ke
kuadran kanan bawah menggambarkan peradangan yang telah menyebar ke peritoneum
parietalis. Nyeri bertambah berat ketika pasien hendak bangun dari tempat tidur, batuk
ataupun mengejan (Dunphy Sign) dan membaik ketika pasien diam dan beristirahat. Hak
ini dikarenakan adanya iritasi pada daerah peritoneum. Pasien merasakan nyeri dengan
skala 6 dari 10. Aktivitas pasien menjadi terhambat, karena harus berjalan dengan posisi
menunduk untuk mengurangi nyeri. Pasien juga tidak dapat tidur dengan nyenyak akibat
nyeri yang dirasakan. Pasien juga mengeluhkan adanya mual dan muntah setiap kali
makan sejak nyeri pertama kali dirasakan, sehingga nafsu makan pasien juga berkurang,
hal ini sering dijumpai pada apendisitis akibat multiplikasi bakteri yang cepat di dalam
apendiks. Pasien menyangkal mengalami sulit atau nyeri saat BAK ataupun gangguan
pola BAB. Tidak ada riwayat penurunan berat badan drastis dalam beberapa bulan
terakhir. Serta tidak ada riwayat kelainan obstetrik maupun ginekologik pada pasien.
Pada pasien ini tidak didapatkan masalah sehingga diagnosa banding PID dapat
dikesampingkan
Berdasarkan pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang dan
hemodinamik stabil, namun didapatkan suhu tubuh pasien 37,5oC dan VAS 6/10. Suhu
tubuh pasien nantinya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam Alvarado
Score, sedangkan VAS dapat mendukung keluhan nyeri perut pasien. Berdasarkan
pemeriksaan status generalis, ditemukan kelainan pada abdomen melalui palpasi berupa :
nyeri tekan dan nyeri lepas titik McBurney, Rovsing sign, nyeri lepas indirek, dan defans
muskular lokal. Penemuan ini mendukung adanya iritasi peritoneum parietalis lokal yang
diduga akibat peradangan apendiks. Pada pemeriksaan fisik lainnya tidak ditemukan
kelainan.

14
Berdasarkan pemeriksaan penunjang yang dilakukan, didapatkan leukositosis
(22.450/μL) dengan jumlah neutrofil (93.900%) dari pemeriksaan laboratorium. Selain itu,
didapatkan skor 9 pada Alvarado score, yang diinterpretasikan sebagai kemungkinan besar
apendisitis (skor ≥7). Alvarado score sangatlah berguna untuk menyingkirkan diagnosa
apendisitis dan memilah pasien untuk manajemen diagnostik lanjutan.
Tabel 3.1. Hasil alvarado skore pada pasien
Temuan Hasil Poin
Perpindahan nyeri ke fossa iliaca (+) 1
dextra
Anoreksia (+) 1
Mual atau muntah (+) 1
Nyeri tekan : fossa iliaca dextra (+) 2
Nyeri lepas : fossa iliaca dextra (+) 1
Demam ≥36,3oC (+) 1
Leukositosis ≥10 x 109 /L (+) 2
Shift to the left of neutrophils (+) 0
Total 9
Berdasarkan hal ini, pemeriksaan USG dilakukan untuk memastikan diagnosa
apendisitis. USG dilakukan dengan pertimbangan pemeriksaannya tidak mahal, dapat
dilakukan dengan cepat, tidak membutuhkan kontras, dan tidak memaparkan pasien
dengan radiasi. Pada USG diharapkan adanya penebalan dinding apendiks (>5 mm), pada
pasien didapatkan tebal apendiks ±14,9 mm dan tampak edematous dengan gambaran
doughnut sign. Dari pemeriksaan USG didapatkan kesan sugestif apendisitis akut, organ
intra-abdominal lainnya normal. Apendisitis dapat dipastikan dengan pemeriksaan ini dan
keganasan dapat dikesampingkan karena organ intra-abdominal lainnya tampak normal.
Berdasarkan diagnosa klinis yang telah ditegakkan, maka pasien direncanakan
untuk dioperasi open appendectomy cito. Tindakan ini menjadi pilihan karena apendisitis
akut termasuk dalam kegawatdaruratan dalam bidang bedah. Operasi cito menjadi pilihan
untuk mencegah progresi penyakit yang nantinya dapat menyebabkan kerusakan dan
komplikasi yang lebih berat. Selain itu, dengan berkembangnya apendisitis akut dan
terjadi perforasi maka peritonitis akan terjadi dan akan mempersulit penanganan pasien
serta meningkatkan mortalitas. Sebagai tatalaksana awal pasien dipasangkan IV line
untuk memudahkan akses memasukkan obat dan rehidrasi. Pasien diberikan cairan (KaEn

15
3B 16 tpm), analgesik (ketorolac 30 mg extra bila perlu), antibiotik (cefotaxim 2 gram/12
jam IV), antipiretik (parasetamol 500mg/8jam IV), ranitidin 50 mg/12jam IV dan
ondansetron 4 mg extra IV selagi mempersiapkan operasi.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore KL, Agur AMR. 2007. Abdomen. In: Moore KL, Agur AMR. Essential Clinical
Anatomy. 3rd Edition. Lippincott & Williams Wilkins. p. 118-204
2. Standring S. 2008. Peritoneum and Peritoneal Cavity. In: Standring S. Gray’s Anatomy:
The Anatomical Basis of Clinical Practice. Churchill Livingstone El Sevier.
3. Schrock. T. R.. 2000. Massa abdominal dalam Ilmu Bedah, alih bahasa dr. Petrus
Lukmanto, Jakarta: ECG
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000. Bedah Digestif, dalam Kapita Selekta
Kedokteran, p 302-321, Jakarta: Media Aesculapius FKUI.
5. Sjamsuhidajat R., Wim de Jong. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
6. Schwartz, Shires, Spencer. 2000. Peritonitis dan Abses Intraabdomen dalam Intisari
Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. Hal 489 – 493
7. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999. Abdomen Akut, dalam Radiologi Diagnostik,
Hal 256-257. Jakarta: Gaya Baru.
8. Baron MJ, Kasper DL. 2012. Intraabdominal Infections and Abscesses. In: Longo DL,
Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison’s Principles of
Internal Medicine. The McGraw Hill Companies.
9. Doherty GM. 2010. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM, ed. Current Diagnosis &
Treatment: Surgery. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855. Accessed Oktober 21,
2018.

17

Anda mungkin juga menyukai