Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS KRITIS

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,


Perspektif Gender, dan Feminisme
1. Bibliografi
Ditulis oleh: Mariana Amiruddin, Magister Humaniora Women Studies, Universitas
Indonesia (Komisioner Komnas Perempuan)
2. Tujuan penulisan maslah oleh penulis
Tulisan ini dibuat dalam rangka memberikan tanggapan atas sejumlah pernyataan
tentang konsep RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan
Feminisme dalam makalah Prof. Dr. Euis Sunarti berjudul “Urgensi Pengaturan
Kekerasan Seksual, Akar Masalah, dan Alternatif Solusinya” yang diselenggarakan
dalam rangka membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum yang diselenggarakan oleh Komisi VIII

3. Fakta-fakta filsafat yang ditemukan yang ada kaitannya dengan masalah RUU- PKS
a. Statistik dari sebuah survei yang didukung oleh United Nations Population
Fund (UNFPA) menemukan bahwa sekitar 1 dari 3 perempuan Indonesia usia
15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksua
b. Tahun 2001 - 2011, tercatat 25 % kasus kekerasan kepada perempuan
tergolong kekerasan seksual. Setiap hari, paling tidak 35 perempuan Indonesia
menjadi korban kekerasan seksual.
c. RUU ini secara tidak langsung mendukung hubungan seksual di luar nikah
atau pun hubungan sesama gender asalkan kedua pihak yang terlibat setuju
melakukan hubungan dan tidak mengandung unsur kekerasan.
d. tidak boleh ada pemaksaan dalam hubungan apa pun bahkan misalnya di
antara pasangan suami dan istri.

4. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan


a. Apakah kekerasan seksual itu
b. Batasan –batasan kekerasan seksual
c. Apa makna penghapusan kekerasan seksual
d. Batasan perspektif gender
e. Batasan feminisme, apakah hanya untuk perempuan, bagaimana dengan laki-laki
yang feminisme
f. Urgensi RUU penghapusan kekerasan seksual

5. Beberapa kontruk, filsapat ilmu yang berkaitan dengan masalah RUU-PKS


a. Draft RUU tersebut dapat memberikan ruang masuknya paradigma feminisme
yang berbasis pada sekularisme dan liberalisme. Dengan kata lain, meniadakan
nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan).
b. Menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan jender
yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, serta
tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut.
c. Gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Helen
Tierney (ed), Women’s Studies Encyclopedia, Vol 1, New York: Green Wood
Press)
d. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan.
e. Perspektif gender mengarah pada suatu pandangan atau pemahaman tentang peran
perempuan dibedakan secara kodrati, dan peran gender yang ditetapkan secara
sosial budaya. Perbedaan gender akan menjadi masalah jika perbedaan itu
mengakibatkan ketimpangan perlakuan dalam masyarakat serta ketidakadilan
dalam hak dan kesempatan baik bagi laki-laki maupun perempuan (Susanti, 2000:
2-3).
f. Kekerasan seksual merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pelanggaran Hak
Asasi Manusia dan kekerasan berbasis gender
g. Penghapusan Kekerasan Seksual didasarkan pada asas: penghargaan atas harkat
dan martabat manusia dan nondiskriminasi
6. Refleksi ktritis dari penganalisis

a. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mengutamakan perempuan dan


mengabaikan laki-laki, dan pendampingan korban diutamakan oleh perempuan,
adalah tidak gender equality dan menganggap laki-laki sebagai pelaku.
b. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual soal “ada atau tidaknya persetujuan”
(concent)
c. Perspektif gender adalah menggunakan teori konflik seksual, seharusnya teori
fungsional seperti fungsi keluarga.
d. Paradigma feminis sebagai bagian dari epistemologi pengetahuan perempuan,
tidak dapat disimpulkan sebagai paradigma yang menyalahkan dan membenci
keluarga.
e. Konteks “kekerasan” tidak dapat disandingkan dengan konteks norma dan nilai.
Pengertian “kekerasan” adalah diambil dari kata “Violance” yang maknanya lebih
pada tindakan (pemaksaan, intimidasi, kekuatan emosi yang tidak menyenangkan
dan merusak seseorang.
f. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini pun bersifat individual dan tidak
menunjukkan relasi atau kaitannya dengan konsep keluarga.
g. Kekerasan Seksual diganti menjadi Rancangan Undang-Undang “Kejahatan
Seksual” atau “Kejahatan Kesusilaan
h. bentuk kekerasan seksual adalah “pemaksaan pelacuran”, sedangkan pelacuran
sendiri tidak dijadikan bentuk kekerasan seksual
i. Delik pemaksaan aborsi

7. Lampiran
a. Analisis Kritis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan
Feminisme.
b. Draaf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, Perspektif Gender, dan Feminisme.

Anda mungkin juga menyukai