B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Ketika seorang dokter, terutama yang tergabung dalam tim operasi, hendak melakukan suatu tindakan, sangatlah
sulit membedakan pasien mana yang darahnya sedang tercemar bakteri atau virus, pasien mana yang tidak. Oleh karena itu,
keputusan untuk melindungi diri dokter dan tim medis lainnya agar tidak tertular penyakit dari pasien memunculkan suatu
kewaspadaan, yang lama-kelamaan dijadikan acuan di seluruh dunia. Selain melindungi tim medis, kewaspadaan ini juga
akan melindungi pasien karena dapat mencegah timbulnya infeksi pada daerah operasi (surgical site infection) karena tim
operasi bekerja di area steril.
PPE (personal protective equipment) adalah peralatan yang dapat menjadi penghalang (barrier) bagi kuman agar
tidak masuk ke membran mukosa saluran napas, kulit, dan pakaian tim medis, yaitu jas operasi, sarung tangan, kacamata
(google), masker, pelindung wajah (face shield). Pemilihan PPE yang akan digunakan tergantung dari keadaan pasien.
Pemakaian jas operasi (gowning) dan sarung tangan (gloving) merupakan kebiasaan rutin yang dilakukan di ruang
operasi. Berdasarkan kewaspadaan universal, jas operasi steril dan sarung tangan steril harus digunakan untuk mencegah
perpindahan kuman dari kulit. Sebagai fungsi tambahan, penggunaan jas operasi ini akan mencegah darah dan cairan tubuh
mengkontaminasi anggota tim operasi. Wadah yang sudah didesain khusus untuk tempat menampung semua PPE bekas
pakai yang sudah terkontaminasi harus diletakkan di tempat yang mudah dijangkau.
Selain pemakaian jas operasi dan sarung tangan, anggota tim juga harus melakukan prosedur cuci tangan khusus
operasi sebelum melakukan tindakan pada pasien. Mencuci tangan disarankan menggunakan air bersih yang mengalir
dengan sabun sampai batas siku, perlu disikat juga, dan dikeringkan dengan handuk steril sekali pakai.
3. Langkah Kerja
1. Memakai topi bedah
1. Topi dipasang bersamaan pada waktu mengganti pakaian dengan baju khusus kamar bedah.
2. Topi harus menutupi seluruh rambut kepala.
3. Topi diikatkan cukup erat.
2. Memakai masker
1. Pasang dulu masker sebelum memakai gaun dan sarung tangan, juga sebelum melakukan cuci tangan bedah.
2. Masker hanya dipakai sekali saja untuk jangka waktu (misalnya tiap menangani satu pasien). Kemudian
dibuang dalam tempat pembuangan yang disediakan untuk itu.
3. Cuci tangan dan ambil masker dari container, tekuk bagian logam yang akan mengenai hidung sesuai dengan
bentuk hidung untuk mencegah pengembungan kaca mata.
4. Hindarkan memegang masker sebelum dipasang di wajah.
5. Pasang masker hingga menutupi sebagian wajah dan hidung.
6. Ikatkan tali pada bagian atas dibelakang kepala dan pastikan bahwa tali lewat di atas telinga.
7. Ikat tali di belakang kepala sejajar dengan bagian atas leher/dagu.
8. Begitu masker lembab harus segera diganti.
9. Jangan membuka masker dari hidung dan mulut atau membiarkannya bergelantungan di leher.
Tindakan pencegahan:
1. Sekali memulai prosedur cuci tangan, setiap kontaminasi atau gangguan mengharuskan kita untuk
mengulang kembali semua urutan cuci tangan dari awal.
2. Tidak seorangpun boleh mencuci tangan sementara memakai cat kuku atau perhiasan
3. Tidak seorangpun boleh mencuci tangan bila tangannya memakai perban.
4. Air yang mengalir dari siku ke jari-jari tangan bertindak sebagai kotaminnan. Air seharusnya mengalir ke
siku yang dilipat.
5. Prosedur cuci tangan ini bersifat rutin, lamanya minimal 5 ½ menit dan aturannya sama saja setiap kali anda
mencuci tangan untuk suatu tindakan bedah. Faktor waktu itu tidak mengurangi untuk setiap kasus bedah.
6. Tangan perlu disikat sebersih mungkin tetapi kulit tidak pernah steril.
4. Mengeringkan tangan
Setelah mencuci tangan, keringkan dengan handuk steril sebelum mengenakan jas operasi steril. Untuk
mengeringkan tangan dan lengan, pegang handuk yang terlipat dengan jari-jari kedua tangan dan jauhi meja
atau orang lain sehingga anda tidak mungkin menyentuh sesuatu. Buka handuk itu dan letakkan satu ujung
handuk pada satu tangan, lalu keringkan tangan dan pergelangan tangan yang bebas, lakukan dengan
keyakinan bahwa handuk tersebut tidak menyentuh sesuatu yang steril. Handuk yang sudah dipakai (bahan
handuk yang steril) tidak dipertemukan lagi dengan daerah yang kering. Pegang bagian handuk yang masih
steril dengan tangan dan lengan yang bebas dan mulai keringkan tangan dan lengan satunya lagi. Buang
handuk pada tempat yang disediakan untuk itu.
Gambar 1. Persiapan abdomen: wilayahnya meliputi garis buah dada sampai 1/3 bagian atas paha, dari batas
area yang menyentuh meja ke batas area yang menyentuh meja dengan posisi pasien melintang. Area
bayangan menunjukkan area anatan dari pencukuran. Tanda panah dalam area itu menunjukkan arah
gerakan persiapan kulit pada meja operasi
Gambar 2.
Persiapan Torakoabdomen Lateral
Wilayah meliputi aksila, dada dan abdomen dari leher ke pundak iliaka, dan
diteruskan sampai melewati garis tengah pada bagian anterior dan posterior
Gambar 3. Persiapan dada dan payudara
Wilayahnya meliputi bahu, lengan atas, kebawah siku ketiak dan dinding dada
sampai batas area yang menyentuh meja dan Melewati sternum sampai di bahu
yang lainnya. Bila pasien dalam posisi lateral, punggung juga dipersiapkan
Gambar 4.
Persiapan Rektoperineum & Vagina
Wilayahnya meliputi pubis, vulva, labia, perineum, anus dan area di
dekatnya termasuk bagian-bagian dalam 1/3 bagian atas paha
Gambar 5.
Persiapan pinggul
Wilayahnya meliputi bagian abdomen dari pinggul yang akan dilakukan tindakan, paha
sampai ke lutut, bokong, sampai batas area yang menyentuh meja, selangkangan dan
pubis
Gambar 6
Persiapan lututt dan tungkai bawah
Wilayahnya meliputi seluruh lingkaran kaki yang terkena dan diteruskan dari kaki
sampai bagian atas paha
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan tindakan penatalaksanaan jalan napas dengan benar.
a. Mempersiapkan peralatan yang dibutuhkan untuk penatalaksanaan jalan napas.
b. Melakukan intubasi orotrakheal.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Gangguan jalan napas sering terjadi pada kasus henti jantung dan henti napas sehingga memerlukan penanganan yang
tepat dan akurat. Berikut ini beberapa penyebab terjadinya gangguan jalan napas (Gabbot dan Baskett, 1997), yaitu:
a. Letak lidah yang menutupi faring pada pasien yang tidak sadar, trauma, atau henti jantung.
b. Edema lidah, spasme laring, atau obstruksi orofaring biasanya timbul pada pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis, termakan benda asing, atau iritasi zat kimia.
c. Obstruksi laring, trachea, atau bronchi akibat masuknya benda asing.
d. Kerusakan laring pada pasien trauma, atau edema laring pada pasien infeksi dan reaksi anafilaksis.
e. Bronchospasme yang mungkin terjadi pada pasien asma, reaksi anafilaksis, masuknya benda asing zat iritan.
f. Edema paru yang mungkin terjadi akibat terpapar zat iritan dan benda asing, infeksi, gagal jantung, tenggelam,
atau syok neurogenik.
Langkah-langkah yang harus dilakukan pada pasien dengan gangguan jalan napas merupakan urut-urutan dari
Resusitasi Jantung Paru yaitu A (airway). Yang penting dalam penatalaksanaan jalan napas adalah bagaimana agar
jalan napas tidak terhalang sehingga udara dapat mengalir bebas dan lancar karena bila terjadi kekurangan oksigen
selama 2-5 menit, maka akan timbul kerusakan organ yang membahayakan kelangsungan hidup pasien.
Pada dewasa, penyebab tersering dari aspirasi (masuknya benda asing ke saluran napas) adalah darah akibat
trauma atau isi lambung. Pada anak-anak dan orang dengan gangguan mental penyebab aspirasi selain yang dua
tersebut adalah masuknya benda-benda asing seperti mainan-mainan kecil, kertas, batu kerikil, tanah. Hal-hal tersebut
menyebabkan tersedak (choking), obstruksi jalan napas, aliran udara berkurang, lalu timbul sianosis dan berujung pada
kematian bila tidak segera ditangani. Beberapa cara untuk menghilangkan obstruksi pada tersedak adalah dengan back
blow, abdominal thrust (Heimlich manoeuvre), chest thrust, pasien diposisikan miring, mengambil benda yang
mengobstruksi dengan jari-jari, atau dengan bantuan laringoskop dan alat penghisap (suction), atau bahkan dengan
operasi.
Prinsip dasar ventilasi pada resusitasi jalan napas adalah memberikan udara melalui mulut ke mulut, mulut ke
lobang hidung, mulut ke lobang hidung dan mulut (pada neonatus), dan mulut ke masker. Metode mulut ke masker
lebih disukai karena mengurangi kemungkinan pertukaran infeksi antara pasien dengan penolong.
Langkah selanjutnya setelah membebaskan jalan napas adalah dengan menggunakan alat bantu ventilasi yang
banyak macamnya. Berikut ini beberapa cara yang sering dilakukan untuk mempertahankan ventilasi:
a. Menekan tulang cricoidea (cricoid pressure)
b. Intubasi trachea
c. Laryngeal Mask Airway (LMA)
d. Oesophageal tracheal Combitube
e. Operasi untuk membuka jalan napas
- Cricothyroidotomy: melakukan insisi pada membran cricothyroid lalu memasukkan tracheal tube.
- Blind stab : menusukkan suatu benda (sekali tusuk) sehingga menembus kulit, jaringan subkutan, dan
membran cricothyroid. Saat ini banyak tersedia produk-produk medis untuk tujuan ini, misalnya trokar.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 2 Blok XX FK UMP
2. Ruang Instalasi Gawat Darurat
3. Manikin resusitasi jalan napas
4. Stetoskop dewasa
5. Laringoskop dewasa
www.en.wikipedia.org
www.alatrumahsakit.blogspot.com
8. Ambu bag
www.tracheostomy.com
9. Introducer (Stylet/Mandrin) yang dimasukkan ke dalam pipa endotrakheal
www.healthsystem.virginia.edu
10. Connector
www.spectrummedicalgroup.com
11. Plester
12. Alat suction (alat pengisap)
3. Langkah Kerja
1. Bersiaplah untuk memasang airway surgical bila mengalami kegagalan dalam menguasai jalan nafas.
2. Oksigenasi penderita dengan oksigen 100%
3. Lakukan penekanan di atas kartilago krikoidea (bila diperlukan).
4. Masukkan laringoskop ke dalam rongga mulut.
5. Setelah terlihat pita suara dan epiglotis, masukkan pipa endotrakheal.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah suatu seri tindakan untuk menyelamatkan nyawa yang meningkatkan
kemungkinan hidup pada kasus henti jantung (cardiac arrest). RJP pada dasarnya menggabungkan kompresi dada dan
bantuan napas dengan tujuan mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan korban tentunya
berpengaruh pada aplikasi dari komponen-komponen RJP.
Setiap orang, baik terlatih maupun tidak, dapat menjadi penolong pada kasus henti jantung. Karena sangat
pentingnya kompresi dada pada henti jantung, maka langkah ini menjadi langkah pertama dalam urutan RJP
berdasarkan 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and Emergency Cardiovascular Care.
Algoritma Basic Life Support (BLS) adalah suatu konsep kerja untuk semua tingkatan penolong pada semua seting
yang mungkin. Setelah itu, penolong memulai kompresi dada, dengan atau tanpa ketersediaan defibrillator.
Algoritmanya adalah sebagai berikut:
1. Pengenalan tanda henti jantung dan aktivasi sistem respon cepat emergensi
Ketika menemukan seseorang dengan henti jantung mendadak, seorang penolong pertama sekali harus mengenali
tanda bahwa korban/pasien tersebut mengalami henti jantung. Korban/pasien dengan henti jantung tidak responsif
bila dibangunkan. Pernapasannya tidak ada atau tidak normal. Look, listen and feel tidak lagi dianjurkan.
Pencarian denyut nadi pun sulit dilakukan, selain itu membutuhkan tambahan waktu. Setelah mengenali, penolong
sebaiknya segera mengaktifkan sistem respon cepat emergensi atau meminta orang-orang di sekitar untuk
membantunya.
2. Kompresi dada
Penolong harus melakukan kompresi dada pada semua korban/pasien henti jantung, tanpa memedulikan
karakteristik korban/pasien, tingkat kemampuan si penolong, maupun ketersediaan bantuan. Hal-hal yang perlu
diperhatikan pada kompresi dada pada henti jantung:
a. Frekuensi kompresi dada yang adekuat ( kira-kira 100 kali/menit)
b. Kedalaman kompresi cukup:
- Dewasa: 5 cm (2 inci)
- Balita dan anak: kurang lebih 1/3 diameter antero-posterior dada ATAU 4 cm pada balita dan 5 cm pada
anak.
c. Memberi kesempatan pada dinding dada untuk kembali ke posisi semula setelah kompresi dada.
d. Mengurangi kemungkinan terhentinya kompresi karena ada interupsi dari lingkungan sekitar.
e. Menghindari ventilasi berlebihan.
Jika ada dua atau lebih penolong, maka mereka harus bergantian melakukan kompresi dada setiap 2 menit.
4. Defibrilasi
Defibrilasi merupakan terapi utama pada kasus fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut (pulseless).
Salah satu kunci penting suksesnya sebuah tindakan defibrilasi adalah kompresi dada yang dilakukan dengan baik
dan benar.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK Blok XX FK UMP
2. Manikin Resusitasi Jantung Paru dengan lampu sensor
3. Langkah Kerja
BANTUAN HIDUP DASAR
1. Sebelum menolong posisi penolong dan penderita dalam posisi yang aman
2. Mengkaji respon penderita (panggil, goyangkan bahu) dengan segera untuk menilai kesadaran penderita.
3. Bila penderita tidak sadar segera memanggil bantuan.
a. Bila diluar RS segera menelpon tanggap darurat
b. Bila didalam RS segera siapkan tim dan peralatan RJP
4. Circulation
- Melakukan perabaan nadi (selama 5-10 detik)
Dewasa: hanya di arteri karotis kanan atau kiri, atau arteri femoralis kanan atau kiri.
Jika nadi tidak teraba dilakukan RJP (Resusitasi Jantung Paru)
- Mengambil posisi menolong, dengan memposisikan bahu penderita di antara kedua paha penolong.supaya
posisi penolong tidak berubah sedikit pun selama melakukan pertolongan.
- Menentukan titik kompresi dengan benar
Dewasa: pertengahan antara manubrium sterni dan prosessus xiphoideus
- Melakukan kompresi dada dengan kedalaman
Dewasa: 5 cm (1/3 garis aksila)
- Melakukan kompresi dengan irama teratur, dilanjutkan ventilasi (5 siklus dalam 2 menit) dengan
perbandingan antara ventilasi dengan kompresi jantung adalah 30:2
Dewasa: 30:2 (1 atau 2 penolong sama)
- Melakukan pemeriksaan/evaluasi napas dan denyut jantung kembali.
- Memposisikan pasien pada posisi stabil.
Airway
- Mengatur posisi klien (terlentang dengan alas datar dan keras). Hati-hati pada pasien dengan curiga fraktur
cervical.
- Melakukan teknik-teknik mempertahankan jalan napas dengan head tilt-chin lift manuver, jika ada trauma
servikal dengan jaw thrust manuever serta memastikan jalan nafas bersih dari corpus alienum (muntah, gigi
palsu, kawat gigi), tidak diperbolekan menggunakan manuver head tilt-chin lift.
Breathing
- Tindakan pemberian napas bantuan dilakukan kepada penderita henti jantung setelah satu siklus kompresi
selesai dilakukan (30 kali kompresi). Bila tidak ada napas, berikan ventilasi 2 kali dengan teknik mouth to
mouth/mouth to mask/bag-valve-mask. Untuk kewaspadaan universal, apabila melakukan ventilasi mouth to
mouth menggunakan pelindung berupa tisu atau sarung tangan, yang diletakkan di mulut penderita.
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mengenali dan menangani kasus syok hipovolemik.
2. Memberikan terapi cairan melalui intravena dan intraosseus.
3. Memperkenalkan jenis-jenis cairan resusitasi.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Syok merupakan kelanjutan dari suatu keadaan kritis pada pasien yang biasanya ditandai dengan
hipotensi, takikardia, denyut nadi lemah, serta kulit dingin dan lembab. Perbedaan etiologi penyebab syok
akan menyebabkan variasi tanda dan gejala syok. Syok yang timbul akibat adanya vasodilatasi patologis
atau disfungsi organ berlebihan biasanya akan timbul sepsis yang memperparah tanda dan gejala, sementara
pada syok karena perdarahan tidak.
Syok dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu:
a. Syok hipovolemik
Syok ini terjadi akibat menurunnya volume intravascular yang akan menyebabkan menurunnya
preload dan cardiac output sehingga akan menurunkan pengantaran oksigen ke jaringan. Etiologi syok
ini adalah dehidrasi, perdarahan hebat, muntah dalam jumlah banyak, luka bakar ukuran besar, serta
iatrogenic (diuretic, vasodilator). Syok ini dapat dikenali dengan adanya takikardia, takipnea, hipotensi,
tekanan nadi yang sempit, gangguan status mental, penurunan JVP, penurunan jumlah urine yang
dikeluarkan, serta penurunan capillary refill. Tanda dan gejala ini biasanya baru dapat dikenali apabila
jumlah cairan intravaskular sudah berkurang 10-20%.
Tanda dan gejala ini timbul akibat aktivasi baroreseptor yang berkurang, menyebakan
peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung, ditambah dengan berkurangnya aktivasi reseptor di
atrium, yang akan menyebabkan penurunan pelepasan atrial natriuretic peptide. Penggantian cairan dan
transfuse darah merupakan terapi utama pada syok hipovolemik ini.
b. Syok kardiogenik
Syok ini timbul akibat kegagalan jantung memompa darah, akibat kelainan katup, kelainan otot jantung,
atau kelainan perikardial. Menurunnya cardiac output yang efektif menyebabkan penurunan
pengantaran oksigen ke jaringan. Manifestasi klinisnya hampir sama dengan syok hipovolemik. Terapi
awal syok kardiogenik biasanya adalah kombinasi dari vasopresor dan agen inotropik.
c. Syok distributif
Syok ini biasanya disebabkan oleh vasodilatasi akibat menurunnya preload. Menurunnya resistensi
arterial menyebabkan hipotensi. Syok ini dapat terjadi pada sepsis, anafilaksis, insufisiensi adrenal, dan
syok neurogenik.
d. Syok obstruktif
Syok ini merupakan syok akibat obstruksi ekstrakardia menyebabkan penurunan pengisian diastolik atau
penurunan fraksi ejeksi.
Ada juga yang dinamakan syok campuran, merupakan campuran dari berbagai syok yang bisa saling
tumpang tindih.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 4 Blok XX FK UMP
2. Manikin lengan untuk pemasangan cairan intravena
3. Cairan intravena koloid dan kristaloid
4. Selang infus
5. Kateter (Abocath) No. 18G atau 20G
6. Plester
7. Kasa steril
8. Cairan antiseptik
9. Bengkok
10. Tiang penyangga infuse
11. Sarung tangan steril
12. Anestesi lokal
13. Torniquet
14. Kasa steril
15. Kapas alkohol
16. Salep antibiotic
17. Kaki ayam
3. Langkah Kerja
AKSES VENA PERIFER
1. Siapkan infus set dan cairan yang diperlukan serta kateter intravena dengan ukuran yang sesuai bagi
pasien.
2. Cuci tangan dan pasang sarung tangan.
3. Pilih tempat yang baik di salah satu anggota badan, misalnya pembuluh di sebelah depan dari siku,
lengan depan, pembuluh kaki (v. safena magna).
4. Bersihkan tempat itu dengan larutan antiseptis.
5. Pasang torniket pada proximal lengan atau tungkai.
6. Tusuklah pembuluh tersebut dengan kateter (abocath) kaliber besar dengan plastik di atas jarum, dan
amatilah kembalinya darah ke dalam kateter.
7. Masukkan abocath ke dalam pembuluh di atas jarum kemudian keluarkan jarum dan buka torniketnya.
8. Pada saat ini boleh sekalian mengambil contoh darah untuk pemeriksaan laboratorium.
9. Sambunglah abocath dengan pipa infus intravena dan mulailah infus larutan kristaloid yang telah
dihangatkan.
10. Amatilah infiltrasi yang mungkin terjadi dari cairan ke jaringan.
11. Tambatkan abocath dan selang dengan plester ke kulit anggota badan.
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan manajemen luka
a. Melakukan pencucian luka (wound toilet)
b. Melakukan penjahitan luka (wound stitching)
c. Melakukan pembungkusan luka (wound dressing)
d. Melakukan pencabutan jahitan (wound removal of sutures)
2. Melakukan balut tekan terhadap luka
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Kulit manusia terdiri dari tiga lapisan utama yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutan. Lapisan
epidermis kulit terdiri dari 5 lapisan, yaitu:
a. Stratum corneum
b. Stratum lucidum
c. Stratum granulosum
d. Stratum spinosum
e. Stratum basale
Lapisan dermis terdiri atas fibrosit yang membentuk jaringan kolagen dan elastin, saraf tepi dan sirkulasi darah perifer.
Lapisan subkutan terdiri atas lapisan adipose/lemak dan pembuluh darah arteri dan vena. Kulit memiliki fungsi sebagai
pelindung dari gangguan mekanis, zat kimiawi,
Prinsip utama dalam manajemen luka adalah mempertahankan situasi steril dan teknik aseptik selama melakukan
tindakan untuk mencegah infeksi. Manajemen luka yang akan dilakukan seorang dokter haruslah sesuai dengan klasifikasi
luka pasien. Klasifikasi luka yang ada saat ini adalah sebagai berikut:
a. Luka bersih (clean wound)
Contohnya adalah luka sayatan pada saat operasi dalam keadaan steril.
b. Luka bersih terkontaminasi (clean-contaminated wound)
Contohnya adalah apendektomi dan operasi daerah vagina.
c. Luka terkontaminasi (contaminated wound)
Contohnya laserasi, tertusuk benda tajam, patah tulang terbuka. Dalam waktu enam jam, luka ini dapat terinfeksi.
d. Luka kotor dan terinfeksi (dirty and infected wound)
Contohnya adalah perforasi organ dalaman, abses, atau luka yang sudah lama dengan banyak jaringan mati di
dalamnya.
Tahap-tahap penyembuhan luka primer adalah:
a. Fase I: Respons inflamasi. Terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-5.
Pada fase ini leukosit bermigrasi ke area luka dan menimbulkan respons inflamasi.
b. Fase II: proliferasi/migrasi. Terjadi pada hari ke-5 sampai hari ke-14.
Pada fase ini terjadi migrasi fibroblast ke daerah luka untuk membentuk kolagen dan jaringan ikat (fibrin, fibronectin).
c. Fase III: Maturasi/remodeling. Terjadi pada hari ke-14 sampai selesai.
Hampir sama dengan fase II, merupakan tahap akhir dari penyembuhan luka.
Selain penyembuhan primer, terdapat juga penyembuhan sekunder dan tersier. Penyembuhan luka sekunder adalah
penyembuhan yang tertunda akibat timbulnya infeksi atau trauma berlebihan pada luka. Pada kasus ini, luka dibiarkan
terbuka sampai timbul jaringan granulasi dari dasar luka. Penyembuhan luka tersier adalah penyembuhan luka dengan cara
menyatukan dua jaringan granulasi.
Jenis-jenis dressing untuk luka post operasi:
- Gauze (kassa)
- Transparent Adhesive Film
- Kombinasi
Rekomendasi CDC: penyembuhan luka post operasi tertutup (primary intention)
- Gunakan dressing steril untuk menutup luka selama 24-48 jam post operasi.
- Gunakan teknik steril dalam penggantian dressing.
- Tidak ada rekomendasi diteruskan dressing setelah 24-48 jam, dan tidak ada rekomendasi batasan waktu kapan
luka boleh terkena air (mandi) pada luka yang tidak tertutup.
Dressing yang dianjurkan
- Dressing dengan daya serap/absorpsi minimal.
- Mencegah luka terkontaminasi dari luar.
- Mencegah terjadinya trauma saat dressing dibuka/diganti.
Gauze dressing (kain kassa)
Bahan:
- Katun atau sintetis
- Berupa anyaman atau bukan anyaman
- Berupa bantalan, lembaran atau gulungan
Sifat
- Berbagai bentuk
- Menyerap
Yang harus diperhatikan dalam perawatan luka dengan dressing adalah mencuci tangan dengan antiseptik sebelum dan
sesudah mengganti dressing. Pilihlah antiseptik dengan bahan aktif chlorhexidine 2%, dengan bahan dasar alkohol, serta
mengandung pelembab (rekomendasi AORN).
Prinsip perawatan luka post operasi:
- Kaji keadaan luka.
- Seleksi jenis dressing yang diperlukan.
- Seleksi jenis perekat & cara penggunaan perekat.
- Beri edukasi/pendidikan bagi pasien mengenai perawatan luka post operasi.
Beberapa dokter membiarkan luka insisi operasi yang bersih terbuka tanpa kasa dan ternyata dari sudut penyembuhan,
hasilnya baik. Beberapa penelitian memang telah membuktikan bahwa luka insisi operasi yang bersih dapat pulih dengan
baik walaupun tanpa kasa. Walau demikian, sebagian besar dokter tetap menutup luka operasi dengan kasa steril/dressing
sesuai dengan prosedur pembedahan. Tujuan penutupan luka operasi:
- Melindungi luka terhadap mikroorganisme yang datang dari tangan.
- Menyerap cairan yang meleleh keluar agar luka cepat kering.
- Memberikan tekanan pada luka supaya dapat menahan perdarahan superficial.
- Melindungi ujung luka dari trauma lainnya.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
- Menjaga sterilitas alat dan luka operasi.
- Hindari penutup luka longgar atau terlalu besar.
- Hindari penutup jangan terlalu kencang.
- Ganti segera bila penutup luka tampak perdarahan (rembes).
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 5 Blok XX FK UMP
2. Manikin
3. Spons cuci piring yang dilapisi Hipafix
4. Minor Surgery set
5. Kasa steril
6. Plester (plester biasa, hypavix, opsite)
7. Cairan antiseptik (Betadine)
8. Jarum jahit cutting (ujung tajam) dan rounded (ujung bulat)
9. Benang silk, catgut (plain, chromic)
10. Benang atraumatik (vicryl, proline)
11. Sarung tangan
12. Doek bolong steril
3. Langkah Kerja
A. MENCUCI LUKA
1. Luka diirigasi dengan cairan saline (NaCl 0,9%).
2. Bersihkan jaringan nekrotik dan benda asing yang terdapat pada luka.
B. MENJAHIT LUKA
1. Luka yang telah dicuci diolesi dengan cairan antiseptic (betadine) dari bagian tengah memutar ke perifer.
2. Siapkan alat-alat menjahit:
3. Tentukan apakah yang akan dijahit adalah otot atau kulit. Otot dijahit dengan jarum berujung bulat
(rounded) dan kulit dijahit dengan jarum berujung runcing (cutting).
4. Jepit jarum jahit dengan needle holder pada 1/3 ujung (dekat lubang jarum).
5. Pasangkan benang pada jarum.
6. Jepit tepi luka yang akan dijahit dengan pinset chirurgis lalu tusukkan jarum kulit tepi luka sampai
menembus ke bagian dalam luka.
7. Lalu tusukkan jarum dari bagian dalam luka sampai menembus kulit tepi luka di bagian satunya.
8. Tarik jarum sampai benang tersisa sedikit di kulit bagian awal tusukan.
C. MEMBUNGKUS LUKA
1. Luka yang telah dijahit diolesi antiseptik kembali.
2. Bungkus luka dengan kasa steril dengan agak kencang.
3. Kasa bisa diikat dengan simpul atau direkatkan dengan plester.
D. MENCABUT JAHITAN
1. Bersihkan area yang akan dilakukan tindakan dengan antiseptik.
2. Angkat salah satu ujung jahitan dengan forsep/pinset lalu gunting sedekat mungkin dengan kulit
di bagian benang yang masuk ke kulit.
3. Tarik benang dengan perlahan pada ujung jahitan yang bersimpul, sehingga benang yang
terletak di luar tidak masuk ke dalam kulit.
4. Lakukan pencabutan jahitan sampai semua jahitan tercabut.
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Mempersiapkan peralatan yang diperlukan untuk penatalaksanaan trauma spinal.
2. Melakukan tindakan immobilisasi spinal.
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Pada fase pra RS biasanya dilakukan tindakan imbolisasi sebelum transfer penderita ke UGD.
Setiap pederita yang dicurigai mengalami cedar tulang belakang harus dilakukan imobilisasi di bagian atas
dan bawah bagian yang dicurigai menderita cedera, sampai fraktur dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
ronsen. Harap diingat, proteksi vertebra dapat disingkirkan. Imobilisasi yang tepat dilakukan pada
penderita dengan posisi netral, seperti berbaring, terlentang tanpa rotasi atau membengkokkan tulang
belakang. Apabila ditemukan deformitas yang jelas, jangan lakukan reduksi. Anak-anak mungkin
menderita tortikolis dan pada orang tua menderita penyakit tulang belakang degeneratif berat yang
menyebabkan mereka mengalami kyphosis nontraumatik atau angulasi pada tulang belakangnya. Penderita
seperti ini harus di imobilisasi dalam spine board dengan posisi yang nyaman, perlu digunakan bantalan
yang tepat untuk mencegah terbentuknya decubitus. Usaha untuk meluruskan tulang belakang dalam
rangka imobilisasi pada spine board tidak direkomendasikan bila menyebabkan nyeri.
Imobilisasi leher dengan kolar servikal semirigid tidak menjamin stabilisasi tulang leher yang
lengkap. Imobilisasi dengan menggunakan spine board dengan memakai tambahan alat penyangga kepala,
jauh lebih efektif dalam mengurangi gerakan leher. Penggunaan long spine board direkomendasikan.
Penderita cedera tulang cervical membutuhkan imobilisasi seluruh tubuh penderita dengan cervical collar.
Semirigid, imoblisasi kepala, backboard, plester dan tali pengikat sebelum dan sewaktu transfer ke fasilitas
yang definitif. Ekstensi atau fleksi leher harus dihindarkan. Hal yang sangat penting adalah airway pada
penderita cedera medulla spinalis karena intubasi harus segera dilakukan bila terdapat itu bukti gangguan
respirasi. Sewaktu melakukan tindakan intubasi, leher dipertahankan dalam posisi netral.
Perlu perhatian khusus dalam melakukan imobilisasi bagi penderita yang gelisah dan agitasi.
Keadaan ini disebabkan karena nyeri, bingung yang berhubungan dengan hipoksia atau hipotensi, alkohol
atau obat-obatan, atau kelainan kepribadian. Dapat diberikan sedatif bila diperlukan, bahkan obat
pelumpuh otot, dengan catatan perlu proteksi dan control jalan napas serta ventilasi. Penggunaan sedatif
atau pelumpuh otot memerlukan pertimbangan klinis yang tepat, dianjurkan untuk menggunakan obat
dengan masa kerja pendek serta reversibel.
Sewaktu penderita datang ke UGD, yang pertama dilakukan adalah secepatnya melepas long
spine board setelah dilakukan pemeriksaan, untuk mengurangi terjadinya ulkus decubitus. Melepaskan
long spine board biasanya dilakukan sebagai bagian dari survey sekunder yaitu sewaktu dilakukan tindakan
log roll pada penderita untuk memeriksa bagian belakang tubuh. Jangan sampai ditunda.
Gerakan yang aman, atau melakukan logroll pada penderita cedera tulang belakang yang tidak
stabil atau akan menjadi tidak stabil, memerlukan perencanaan dan bantuan dari 4 atau lebih penolong
tergantung ukuran tubuh penderita. Kesegarisan (alignment) anatomi dari seluruh kolumna vertebralis
harus dipertahankan sewaktu memutar atau mengangkat penderita. Satu orang bertugas mempertahankan
imobilisasi kepala dan leher dalam posisi segaris (in line). Posisi orang ke dua dan ketiga adalah pada sisi
yang sama dengan torso penderita, mencegah secara manual terjadinya rotasi, fleksi, ekstensi, bengkok ke
lateral pada daerah dada dan perut sewaktu transfer penderita. Orang keempat bertanggung jawab untuk
menggerakkan kaki dan melepas spine board dan memeriksa bagian belakang penderita.
Tindakan imobilisasi spinal dapat dilakukan pada dua kondisi, yaitu di lapangan (luar rumah sakit)
atau di rumah sakit. Berikut ini beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat melakukan imobilisasi
spinal.
a. Di lapangan (pre hospital)
- Perlindungan tulang belakang secara manual harus segera dilakukan. Namun perlu diingat bahwa
usaha menyelamatkan nyawa harus tetap didahulukan daripada imobilisasi spinal.
- Jika leher tidak dalam posisi netral, maka harus diluruskan. Bila korban/pasien dalam keadaan sadar
maka ia diminta untuk meluruskan lehernya. Bila pasien tidak sadar, mengalami defisit neurologis,
merasa nyeri, atau ada tahanan pada saat digerakkan maka leher dibiarkan pada posisi seperti pada
saat ditemukan, tidak perlu diluruskan.
- Long spine board menjadi alat transportasi untuk memindahkan korban/pasien. Selain long spine
board, dapat juga digunakan vacuum mattres atau scoop stretcher.
b. Di rumah sakit
- Long spine board harus segera dilepas bila korban/pasien sudah berada di atas brankar yang keras.
Penggunaan long spine board jangka lama dapat menimbulkan trauma akibat tekanan.
- Imobilisasi penuh harus tetap dilakukan. Perlindungan manual harus kembali dilakukan bila
imobilisasi harus dilepas untuk melakukan pemeriksaan atau tindakan procedural seperti intubasi.
- Untuk memeriksa bagian punggung, digunakan metode log-roll di atas alas yang keras. Dibutuhkan
minimal empat orang untuk melakukan hal ini. Satu orang memegang kepala korban dan
mengkoordinasikan gerakan log-roll, sementara tiga orang lainnya menggulingkan dada, panggul,
dan tungkai bawah.
- Korban/pasien dengan kemungkinan agitasi atau syok, hipoksia, trauma kepala, atau intoksikasi
biasanya agak sulit untuk diimobilisasi dengan benar. Fiksasi yang kuat pada bagian kepala malah
akan menambah parah cedera tulang belakang pada pasien-pasien tersebut. Dalam hal ini, alat-alat
imobilisasi dapat dilepaskan dan pasien dibiarkan bergerak-gerak.
- Anestesi mungkin diperlukan untuk memudahkan proses mendiagnosa dan melakukan
penatalaksanaan medis.
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 6 Blok XX FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Collar neck
4. Long spine board
5. Vacum mattres
6. Extrication device
7. Scoop Stretcher
8. Helm full face
3. Langkah Kerja
Prinsip Imobilisasi Spinal
1. Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan keadaan yang dialami.
2. Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil.
3. Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah.
4. Menjaga agar perdarahan tidak bertambah.
5. Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak jatuh pada keadaan yang lebih buruk lagi.
Gambar 1. Cara memasang extrication device Gambar 2. Cara memasang collar neck
Sumber: www.spservices.co.uk Sumber:www.spineuniverse.com
Gambar 3. Long Spine Board Gambar 4. Scoop Stretcher
Sumber: www.hkfsd.gov.hk Sumber: www.medicalindustry.net
Gambar 5. Cara menggunakan vacuum mattress Gambar 6. Cara melakukan log roll
Sumber: www.mdimicrotek.com Sumber: www.ispub.com
A. Sasaran Pembelajaran
Setelah kegiatan ini mahasiswa diharapkan mampu:
1. Melakukan imobilisasi pada tulang yang fraktur.
a. Memasang bidai
2. Melakukan imobilisasi pada kondisi trauma sendi/otot.
a. Memasang bidai
B. Pelaksanaan
1. Landasan Teori
Prinsip Imobilisasi
Membidai trauma ekstremitas bila tidak disertai masalah ancaman nyawa, bisa ditunda sampai
secondary survey. Setelah pemasangan bidai dan meluruskan fraktur harus dilakukan pemeriksaan status
neurovaskular. Fraktur tertentu dapat dipasang bidai khusus. PASG tidak dianjurkan sebagai bidai tungkai
bawah, walaupun dapat berguna sebagai bidai sementara pada perdarahan dengan ancaman nyawa pada fraktur
pelvis atau pada trauma ekstremitas bawah yang berat dengan kerusakan jaringan lunak. Pemasangan lama
(lebih dari 2 jam) pada tungkai penderita dengan hipotensi dapat menimbulkan sindroma kompartemen.
Long spine board digunakan untuk penderita trauma multipel dengan dugaan trauma spinal yang tidak
stabil, namun karena dasar yang keras apalagi bila dipakai tanpa bantalan dapat menimbulkan ulcus decubitus
pada oksiput, scapula, sacrum, dan tumit. Karena itu sesegera mungkin penderita dipindahkan secara hati-hati
ke tempat yang lebih lembut, dengan memakai scoop stretcher atau cara log rolling. Bila akan dirujuk,
penderita harus dilakukan imobilisasi penuh dengan cukup tenaga pendamping untuk membantu pemindahan
penderita.
a. Fraktur Femur
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction splint ini menarik bagian
distal tungkai di atas kulit pergelangan kaki. Di proximal, traction splint didorong ke pangkal paha melalui
ring yang menekan bokong, perineum, dan pangkal paha. Tarikan yang berlebihan akan merusak kulit pada
kaki, ankle, pangkal paha, dan perineum. Gangguan neurovaskular terjadi karena tarikan saraf perifer.
Fraktur collum femoris dapat dilakukan imobilisasi dengan traction splint, tetapi lebih nyaman dengan
traksi kulit atau traksi sepatu busa dengan posisi lutut sedikit fleksi. Cara paling sederhana adalah
membidai tungkai yang trauma dengan tungkai sebelahnya.
d. Fraktur Tibia
Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter, long leg splint. Jika
tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi tungkai bawah, lutut dan ankle.
e. Fraktur Ankle (pergelangan kaki)
Fraktur ankle diimobilisasi dengan bidai bantal atau karbon dengan bantalan, dengan demikian menghindari
tekanan pada daerah tulang yang menonjol.
f. Cedera lengan dan tangan
Tangan dapat dibidai sementara dalam posisi anatomis fungsional, dengan pergelangan tangan sedikit
dorsofleksi dan jari-jari fleksi 45˚ pada sendi metakarofalangeal. Posisi ini diperoleh dengan imobilisasi
dengan rol kasa dan bidai pendek.
Gambar 3. Macam-macam pembidaian dengan spalk
Sumber: www.kesehatandanpertolongan.blogspot.com
2. Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 7 Blok XX FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Spalk panjang
4. Spalk pendek
5. Elastic bandage ukuran 6 inchi
6. Elastic bandage ukuran 4 inchi
7. Kapas sebagai bantalan, yang diletakkan di sepanjang spalk
8. Soft band
9. Kassa gulung
10. Gips
3. Langkah Kerja
Prinsip Imobilisasi Ekstremitas
1. Periksa ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, environment). Dahulukan
penatalaksanaan keadaan yang mengancam nyawa.
2. Buka semua pakaian, termasuk keempat ekstremitas harus terbuka. Lepaskan jam, cincin, kalung,
dan semua yang dapat menjepit. Namun jangan lupa untuk mencegah terjadinya hipotermia pada
penderita.
3. Periksa keadaan neurovaskular ekstremitas sebelum memasang bidai. Periksa pulsasi perdarahan
eksternal yang harus dihentikan, dan periksa fungsi sensorik dan motorik dari ekstremitas. Pada
ekstremitas superior pemeriksaan pulsaso dilakukan di arteri radialis, sedangkan di ekstremitas
inferior di arteri dorsalis pedis.
4. Bila ada luka, tutup luka dengan balutan steril.
5. Pilih jenis dan ukuran bidai yang sesuai dengan ekstremitas yang trauma. Bidai harus mencakup
sendi di atas dan di bawah bagian ektremitas yang mengalami trauma.
6. Pasang bantalan di atas tonjolan tulang. Pada LKK ini, bantalan kapas telah dipasang di sepanjang
spalk dan dililit dengan kasa gulung.
7. Jika pulsasi distal ekstremitas dapat diraba, ekstremitas dibidai sesuai dengan posisi ekstremitas pada
saat ditemukan.
8. Jika pulsasi distal ekstremitas tidak dapat diraba, coba luruskan ekstremitas. Traksi secara hati-hati
dan pertahankan posisi ekstremitas sampai bidai terpasang. Bidai dipasang pada ekstremitas yang
telah lurus. Jika belum lurus, coba luruskan.
9. Jangan meluruskan secara paksa, jika mengalami kesulitan, pasang bidai pada posisi yang
ditemukan.
10. Setelah selesai melakukan pembidaian, konsultasikan ke ahli orthopedi.
11. Catat status neurovascular sebelum dan setelah pemasangan bidai atau manipulasi
12. Berikan profilaksis tetanus pada kasus luka terbuka.
Meluruskan Deformitas
Pemeriksaan fisik dapat membedakan deformitas yang terjadi akibat dislokasi atau akibat fraktur. Prinsip
meluruskan ekstremitas yang patah adalah mengembalikan panjang ekstremitas secara hati-hati dengan
tarikan lurus, mengoreksi angulasi dan rotasi. Dengan mempertahankan ekstremitas secara manual,
pasang bidai dengan bantuan asisten.
1. Ekstremitas atas
a. Humerus
Pegang siku dan tarik ke bawah. setelah lengan lurus lalu bidai dipasang. Lengan
dipertahankan dengan elastic bandage ke dinding dada.
b. Lengan bawah
Tarik pergelangan tangan ke bawah dengan siku ditahan sebagai counter traksi. Bidai
dipasang dengan sling dan swath ke leher.
a) b)
Gambar a) Cara memasang sling dan swath manual, b) sling dan swath
langsung pakai
Sumber: www.adam.about.net, www.amazon.com
2. Ekstremitas Bawah
a. Femur
Luruskan femur dengan melakukan traksi di daerah ankle jika tibia dan fibula tidak fraktur.
Setelah spasme otot diatasi, tungkai diluruskan dan rotasi dikoreksi. Tindakan ini memerlukan
waktu beberapa menit tergantung dari besarnya tubuh penderita.
b. Tibia
Lakukan traksi di daerah ankle dan kontra traksi di atas lutut, dikerjakan bila femur utuh.
B. PELAKSANAAN
1. PROSEDUR PELAKSANAAN PEMBUATAN VISUM ET REPERTUM DAN PENERBITAN SERTIFIKAT
KEMATIAN
1.1 Landasan Teori
KLASIFIKASI LUKA
Identifikasi dan deskripsi luka memiliki peran penting dalam proses medikolegal tidak hanya sejak perlukaan baru terjadi
namun juga setelah beberapa waktu berlalu sejak perlukaan tersebut berlaku. Oleh karena itu penting bagi seorang dokter
umum memiliki kompetensi untuk mengetahui berbagai jenis luka dan dapat diidentifikasi dan dijelaskan dengan benar,
dengan deskripsi lengkap yang dibuat dalam catatan yang diambil pada saat, atau segera setelah pemeriksaan dan akan
menjadi laporan luka untuk korban mati dan korban hidup pada Visum et Repertum.
Luka adalah istilah yang diberikan untuk kerusakan jaringan yang disebabkan oleh kekuatan mekanik (juga disebut cedera
atau trauma). Mekanisme terjadinya luka antara lain luka akibat tusukan, trauma tumpul (ditinju, ditendang, dipukul dll),
cekik, gigit, tembak, jatuh dari ketinggian, ditabrak oleh kendaraan, dan trauma ledakan dari bahan peledak.
Deskripsi luka harus mencakup:
- Sifat luka, yaitu apakah itu memar, abrasi atau laserasi dll.
- Dimensi luka, misalnya panjang, lebar, kedalaman dll. Hal ini membantu untuk mengambil foto luka dengan
indikasi dimensi (misalnya pita pengukur ditempatkan di samping luka), dan untuk pengukuran yang akan diambil
dari luka seperti yang muncul pertama, dan kemudian dengan tepi luka ditarik bersama-sama (jika itu adalah
laserasi dll).
- Posisi luka dalam kaitannya dengan tanda anatomiyang tetap, misalnya jarak dari garis tengah, di bawah klavikula
dll.
- Ketinggian luka dari tumit (yaitu permukaan tanah) - ini sangat penting dalam kasus di mana pejalan kaki telah
ditabrak oleh kendaraan bermotor.
Jenis-jenis utama luka yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk:
- lecet
- memar / kontusio
- laserasi
- luka gores
- luka tusukan
- fraktur
- bekas gigitan
- luka pertahanan
Lecet (abrasi)
Sebuah abrasi adalah gundulan kulit yang disebabkan oleh gesekan.Sebuah luka dapat berupa dalam atau dangkal
tergantung pada kekuatan dan kekasaran permukaan yang menyebabkan abrasi. Seseorang yang terseret di trotoar mungkin
memiliki luka yang lebih dalam dan lebih kasar daripada orang yang terseret di karpet. Sesekali, arah daya dapat
ditentukan. Jika salah satu ujung luka memiliki margin dengan kulit timbul, misalnya, daya berasal dari sisi berlawanan.
Memar (kontusio)
Memar adalah perubahan warna kulit yang disebabkan oleh perdarahan ke dalam jaringan dari pembuluh darah yang pecah.
Secara umum, semakin tua seseorang, semakin mudah pembuluh darahakan pecah. Tidak ada cara, namun, untuk
menentukan dengan tepat berapa banyak daya yang dibutuhkan untuk menghasilkan memar. Usia memar sulit untuk
menentukan karena variabilitas besar reaksi tubuh terhadap trauma. Orang dengan kelainan darah dan penyakit hati dapat
mengembangkan lebih kontusio parah daripada orang yang sehat. Apabila terjadinya penyembuhan, luka memar berubah
warna dari biru atau merah, merah-biru, hijau, coklat, dan akhirnya kuning.Perubahan warna ini, walaubagaimanapun,
mungkin muncul tidak beraturan dan mungkin tumpang tindih. Tidak ada cara untuk mengetahui berapa lama setiap tahap
warna akan berlangsung. Kadang-kadang luka memar baru-baru ini akan memiliki semburat coklat.
Laserasi (Robek)
Kulit robek dari trauma tumpul disebut laserasi.Banyak robekan terkait dengan kedua luka memar dan lecet.Sebagai
contoh, sebuah pukulan ke kepala dengan palu dapat menyebabkan robeknya kulit kepala dengan lecet yang
berdekatan.Jika darah keluar ke jaringan sekitarnya, kulit juga bisa memar.Laserasi harus dibedakan dari luka iris. Laserasi
biasanya memiliki jembatan jaringan menghubungkan satu sisi luka yang lain. Luka iris dan insisi tidak memiliki jembatan
jaringan karena benda tajam memotong luka bersih dari atas ke bawah luka. Kematian akibat trauma tumpul mungkin
memiliki beberapa atau tidak ada tanda-tanda eksternal atas trauma.Hal ini terjadi terutama pada pukulan fatal di abdomen.
Trauma tumpul di kepala
Trauma tumpul ke kepala dan wajah dapat menghasilkan memar, luka, dan lecet. Namun, mungkin tidak ada tanda-tanda
eksternal dari trauma kepala jika seseorang memiliki kepala yang penuh rambut. Luka eksternal yang jelas tidak diperlukan
untuk menentukan kematian disebabkan oleh trauma kepala. Kadang-kadang, senjata meninggalkan karakteristikpattern
identifikasi pada kulit kepala. Sayangnya, ini adalah pengecualian daripada aturan.
Tanda Battle - perubahan warna kebiruan pada kulit belakang telinga yang terjadi dari darah bocor di bawah kepala setelah
patah tulang tengkorak.
Perdarahan kacamata (mata rakun) - perubahan warna dari jaringan di sekitar mata biasanya karena fraktur tulang
tengkorak. Para perdarahan ini mungkin melibatkan satu atau kedua mata dan dapat keliru ditafsirkan bahwa orang yg
meninggal telah melanda sekitar wajah dan mata. Ketika seseorang menerima pukulan signifikan ke kepala akan ada
perdarahan di bawah kepala bahkan dengan tidak ada luka eksternal. Tergantung pada jumlah daya, mungkin terjadi patah
tulang tengkorak.Ada berbagai jenis patah tulang tengkorak, namun jenis tertentu tidak sepenting mengenali pola seperti
fraktur sirkular disebabkan oleh palu
Materi tentang visum
1. Definisi Visum et Repertum
Visum et Repertum berasal dari bahasa Latin. Kata “visum” atau “visa” dalam bentuk tunggalnya berarti tanda melihat atau
melihat, sedangkan “Repertum” berarti melapor. Visum et Repertum secara etimologi adalah apa yang dilihat dan
diketemukan.
Visum et Repertum diartikan sebagai laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah atau janji
yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, yang memuat pemberitaan tentang segala hal atau fakta yang dilihat
dan ditemukan pada benda bukti berupa badan manusia yang diperiksa dengan pengetahuan dan keterampilan yang
sebaikbaiknya dan pendapat mengenai apa yang ditemukan sepanjang pemeriksaan tersebut (Amir, 2005).
Visum et Repertum adalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang
pemeriksaan medis terhadap seorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari badan manusia, berupa temuan
dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan (Budiyanto et al., 1997).
Visum et Repertum merupakan salah satu bantuan yang sering diminta oleh pihak penyidik (polisi) kepada dokter
menyangkut perlukaan pada badanmanusia.
Visum et Repertum merupakan alat bukti dalam proses peradilan yang tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam
medis, tetapi juga harus memenuhi hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan (Herkutanto, 2005).
Visum et Repertum merupakan bentuk keterlibatan dokter dalam penegakan hukum yang dalam tugas profesinya dijalankan
sebagaimana sesuai dengan Lafal Sumpah Kedokteran Indonesia yang telah di sempurnakan dalam Musyawarah Kerja
Nasional Etik Kedokteran ke-2 di Jakarta, Desember 1981 pada poin 4 dan 6. Poin 4 berbunyi “Saya akan menjalankan
tugas saya dengan mengutamakan kepentingan masyarakat”. Poin 6 berbunyi “Saya akan tidak mempergunakan
pengetahuan kedokteran saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam” (Soeparto et
al., 2011). Konsil Kedokteran Indonesia mengubah poin lafal sumpah kedokteran tersebut, sehingga tertuang pada poin 1
dan 5 pada tahun 2012 (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012).
2. Prosedur Permintaan Visum et Repertum
Permintaan Visum et Repertum guna membuat terang suatu perkara pidana hanya dapat dilakukan oleh penyidik (KUHAP
Pasal 133). Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi
wewenang khusus olehundang-undang (KUHAP Pasal 6).
Kebutuhan akan Visum et Repertum terdapat pada perkara pidana yang berhubungan dengan badan manusia, tergolong
kasus pidana umum, sehingga penyidiknya adalah polisi. Penyidik polisi ditentukan dengan sekurang-kurangnya
berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi. Penyidik dibantu oleh seorang penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah
pejabat polisi negara Republik Indonesia tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkungan kepolisian negara Republik Indonesia yang sekurang-kurangnya berpangkat
Pengatur Muda (Golongan 11/a) atau yang disamakan dengan itu (Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983). Penyidik
pegawai negeri sipil dan penyidik pembantu pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum. Tidak
dibenarkan pula Visum et Repertum diminta tanggal yang lalu.
3. Bentuk dan Isi Visum et Repertum
Bentuk dan isi Visum et Repertum adalah sebagai berikut (Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Indonesia, 2005):
a. Pro Justitia
Kata “Pro Justitia” merupakan pernyataan yang menunjukkan semata-mata demi keadilan, guna kepentingan peradilan.
Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas sebagai pemenuhan syarat yuridis, pengganti materai, sehingga Visum et
Repertum tidak perlu bermaterai.
b. Visum et Repertum
Kata “ Visum et Repertum” menyatakan jenis dari barang bukti atau pengganti barang bukti.
c. Pendahuluan
Kata “Pendahuluan” tidak dituliskan dalam Visum et Repertum. Bagian ini menerangkan identitas dokter pemeriksa yang
membuat Visum et Repertum, identitas pemohon Visum et Repertum, tanggal diterimanya permohonan Visum et
Repertum, waktu dan tanggal dilakukan pemeriksaan, tempat pemeriksaan, dan identitas subjek yang diperiksa: nama, jenis
kelamin, umur, bangsa, pekerjaan, alamat
d. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)
Menerangkan hasil pemeriksaan yang objektif, sesuai dengan apa yang diamati, dilihat dan ditemukan pada subjek yang
diperiksa. Pemeriksaan dilakukan secara sistematis dari atas ke bawah untuk menghindari ketertinggalan bagian yang
diamati. Deskripsinya tertentu, mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya, jenis luka atau cedera, karakteristik serta
ukurannya. Rincian tersebut sangat dibutuhkan terutama pada pemeriksaan subjek mati yang pada tidak dapat dihadirkan
kembali pada persidangan.
Pemberitaan pada pemeriksaan korban hidup terdiri dari:
1) Anamnesis mengenai apa yang menjadi keluhan, apa yang diriwayatkan terkait penyakit yang diderita subjek sebagai
dugaan hasil tindak pidana yang berhubungan dengan badan manusia.
2) Hasil pemeriksaan yang mencakup keseluruhan pemeriksaan, meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,
serta pemeriksaan penunjang lainnya.
3) Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau keadaan sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang
seharusnya dilakukan. Deskripsi meliputi semua temuan pada saat itu. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari
kesalahpahaman tepat atau tidaknya penanganan dokter dan tepat atau tidaknya kesimpulan yang diambil.
4) Keadaan akhir korban. Deskripsi lengkap mengenai segala sisa dan cacat badan. 6 unsur
yang termuat didalamnya yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada badan, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan
pengobatan atau perawatan yang diberikan.
e. Kesimpulan
Memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil pemeriksaan, berupa opini pribadi dokter pemeriksa, bersifat subjektif,
tidak terikat oleh pengaruh pihak tertentu, namun dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta yang ditemukan
oleh dokter pemeriksa dan pembuat Visum et Repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya Visum et
Repertum tersebut. Hal pokok yang wajib tercantum pula adalah jenis luka, jenis kekerasan dan kualifikasi luka.
Kesimpulan menjadi jembatan temuan ilmiah dengan manfaatnya sebagai pendukung penegakan hukum.
f. Penutup
Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima
jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi
tanda tangan dokter pembuat Visum et Repertum
1.2 Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 8 Blok XX FK UMP
2. Pasien simulasi/Gambar
3. Checklist VER dan Surat Kematian
4. Tempat tidur periksa
5. Status Pasien (Sketsa Tubuh), Ballpoint
Sketsa Tubuh
Prosedur Penulisan laporan Luka untuk KORBAN HIDUP
No Aktivitas
1 Periksa semua administrasi dan peralatan yang dibutuhkan:
a. Surat permohonan pemeriksaan eksternal(SPV)
b. Anamnesis dan Informed consent yang telah ditandatangani
c. Sketsa tubuh hasil pemeriksaan
d. Hasil foto yang berisi data pemeriksaan sebelumnya
2 Tuliskan kembali informasi yang diperlukan dari surat permohonan pemeriksaan
eksternal (SPV) pada laporan visum :
a. Nomor permintaan polisi (nama polisi, NRP, pangkat)
b. Nama Korban / usia / Jenis kelamin / pekerjaan / alamat
c. nama pemeriksa
d. Tanggal pemeriksaan
e. Waktu pemeriksaan
f. Tempat pemeriksaan
3 Menuliskan dalam laporan hasil deksripsi dari dokumentasi bahan bukti (baju robek,
tempat darah, dll)
4 Menuliskan dalam laporan hasil dokumentasi tubuh dengan cara fotografi
Regional berisi dokumentasi kerusakan dengan jaringan sekitarnya
5 Menuliskan dalam laporan deksripsi luka berdasarkan daerah anatomi dan absis dan
ordinat dari luka
6 Menuliskan dalam laporan deksripsi luka yang mencakup :
I. Jumlah luka
II. Jenis luka
III. Lokasi (wilayah anatomi)
IV. Pengukuran luka (panjang dan lebar)
V. Lokasi (absis and ordinat)
VI. Karakteristik luka
Batas Luka: bentuk luka (oval, garis, tidak beraturan), tepi luka (rata atau
bergerigi), ujung luka (runcing atau tumpul)
Luas dalam batas luka: ada tidaknya jembatan jaringan, jaringan dasar luka
(otot, tulang, lemak)
Wilayah di sekitar perbatasan luka: memar, bekuan darah, jelaga, tattoage
3 Menuliskan dalam laporan hasil deksripsi dari dokumentasi bahan bukti (baju
robek, tempat darah, kantong mayat, penutup mayat, benda disekitar mayat)
4 Menuliskan dalam laporan hasil dokumentasi tubuh dengan cara fotografi
Regional berisi dokumentasi kerusakan dengan jaringan sekitarnya
5 Menuliskan dalam laporan deksripsi luka berdasarkan daerah anatomi dan
absis dan ordinat dari luka
6 Menuliskan dalam laporan deksripsi luka yang mencakup :
I. Jumlah luka
II. Jenis luka
III. Lokasi (wilayah anatomi)
IV. Pengukuran luka (panjang dan lebar)
V. Lokasi (absis and ordinat)
VI. Karakteristik luka:
Batas Luka: bentuk luka (oval, garis, tidak beraturan), tepi luka
(rata atau bergerigi), ujung luka (runcing atau tumpul)
Luas dalam batas luka: ada tidaknya jembatan jaringan, jaringan
dasar luka (otot, tulang, lemak)
Wilayah di sekitar perbatasan luka: memar, bekuan darah, jelaga,
tattoage
Check List Latihan Keteranpilan Klinik Forensik dan Medikolegal untuk Penulisan laporan Luka pada
KORBAN HIDUP
No Aktivitas 0 1 2
1 Periksa semua administrasi dan peralatan yang dibutuhkan:
a. Surat permohonan pemeriksaan eksternal (SPV)
b. Informed consent yang telah ditandatangani
c. Sketsa tubuh hasil pemeriksaan
d. Pena
e. Hasil foto yang berisi data pemeriksaan sebelumnya
2 Tuliskan kembali informasi yang diperlukan dari surat
permohonan pemeriksaan eksternal (SPV) pada laporan
visum :
a. Nomor permintaan polisi
b. Nama Korban / usia
c. Nomor register kasus
d. Nama pemeriksa
e. Penguji nomor ID
f. Tanggal pemeriksaan
g. Waktu pemeriksaan
Check List Latihan Keterampilan Klinik Forensik dan Medikolegal untuk Penulisan laporan Luka pada
KORBAN MATI
No Aktivitas 0 1 2
1 Periksa semua administrasi dan peralatan yang dibutuhkan:
a. Surat permohonan pemeriksaan eksternal (SPV)
b. Informed consent yang telah ditandatangani
c. Sketsa tubuh hasil pemeriksaan
d. Pena
e. Hasil foto yang berisi data pemeriksaan sebelumnya
2 Tuliskan kembali informasi yang diperlukan dari surat
permohonan pemeriksaan eksternal (SPV) pada laporan
visum :
a. Nomor permintaan polisi
b. Nama Korban / usia
c. Nomor register kasus
d. Nama pemeriksa
e. Penguji nomor ID
f. Tanggal pemeriksaan
g. Waktu pemeriksaan
XII.
Karakteristik luka
Batas Luka: bentuk luka, luka perbatasan -
bahkan atau bergerigi, ujung luka - runcing atau
tumpul
Luas dalam batas luka: lereng interior - bahkan
atau bergerigi, jenis jaringan, jaringan bridging,
basis od luka
Wilayah di sekitar perbatasan luka: memar,
bekuan darah, jelaga, tattoage; dll
TOTAL
0: tidak dilakukan
1: dilakukan tetapi tidak lengkap / sempurna
2: sempurna dilakukan
Daftar Pustaka
Dorland’s Ilustrated Medical Dictionary E-Book 32nd edition. Elsevier Health Science. 2011.
Dolinak D, Evan et al. Forensic Pathology Principle and Practice. Elsevier Academic Press. London.
2005
Skhrum, Micheal J, David A Ramasay et al. Forensic Pathologic of Trauma: Common Problem for the
Pathologist. Human Press. New Jersey. 2007
DAFTAR KELENGKAPAN POIN-POIN
SURAT KETERANGAN VISUM ET REPERTUM KORBAN HIDUP
Poin Ada/Tidak Keterangan
1. Logo institusi yang mengeluarkan/menerbitkan VeR
2. Kop surat
3. Logo institusi jejaring
4. Pro Justitia
5. No. Surat Keterangan VeR dari [1]
6. No. Surat Keterangan VeR dari [3]
7. No. Surat Permintaan VeR (SPV)
8. Tanggal dan Waktu SPV diterima
9. Pihak yang membuat SPV (penyidik)
10. Waktu dan Tempat Pembuatan VeR
11. Nama Pasien/Korban
12. Tanggal Lahir/Umur
13. Alamat
14. No. Bukti Identitas
15. Anamnesis
16. Pemeriksaan Fisis
17. Pemeriksaan Penunjang
18. Ringkasan Pemeriksaan
19. Diagnosis Kerja (ICD coding)
20. Pengobatan dan Tindakan
21. Prognosis dari penyakit/damage
22. Kesimpulan
23. Tempat dan Tanggal dikeluarkan VeR
24. Nama lengkap dan Nomor Induk Kepegawaian (NIK) dari
dokter/dokter gigi yang diberi wewenang pelayanan
kesehatan
25. Jabatan dan kompetensi dari [24]
26. Tanda tangan dari [24]
27. Lampiran pemeriksaan
VER No. ……………………
1 2 3
SURAT KETERANGAN VISUM ET REPERTUM
KORBAN HIDUP Logo
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang Institusi
RS Pendidikan Universitas Muhammadiyah Jejaring
Palembang
Jl. KH. Balkhi
PRO JUSTITIA 4
VeR : …………………………………………………………. 9
b) Tanggal dan Waktu SPV : ………………………………………………………….
diterima
c) Pihak yang membuat SPV
II. Laporan Visum et Repertum-----------------------------------------------------------------------------------
10
a) Waktu dan Tempat : ………………………………………………………….
Pembuatan VeR
b) Identitas Pasien/Korban (KTP/SIM/Paspor/SPV)*------------------------------------------------------
1. Nama : …………………………………………………………. 11
2. Tangg : …………………………………………………………. 12
al : …………………………………………………………. 13
Lahir/U : …………………………………………………………. 14
mur
3. Alamat
4. No.
Bukti
Identita
s
c) Hasil Pemeriksaan----------------------------------------------------------------------------------------------
1. Anamn : …………………………………………………………. 15
esis
2. Pemeriksaan Fisis -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------6
1
(a) Kesadaran (u) Anggota gerak bawah
(b) Denyut nadi
(c) Pernapasan
(d) Tekanan
darah
(e) Suhu tubuh
(f) Pakaian
(g) Tinggi badan
(h) Berat badan
(i) Ciri khusus
(j) Kepala
(k) Leher
(l) Bahu
(m) Dada
(n) Punggung
(o) Perut
(p) Pinggang
(q) Bokong
(r) Dubur
(s) Alat kelamin
(t) Anggota gerak
atas
VER No. ……………………
: : ………………………………………………………….
……………………………… : ………………………………………………………….
…………………………. : ………………………………………………………….
: : ………………………………………………………….
……………………………… : ………………………………………………………….
…………………………. : ………………………………………………………….
: : ………………………………………………………….
……………………………… : ………………………………………………………….
…………………………. : ………………………………………………………….
: : ………………………………………………………….
……………………………… : ………………………………………………………….
…………………………. : ………………………………………………………….
: : ………………………………………………………….
……………………………… : ………………………………………………………….
………………………….
:
………………………………
………………………….
:
………………………………
………………………….
3. Pemeriksaan Penunjang -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------17
(a) Laboratoriu : ………………………………………………………….
m : ………………………………………………………….
(b) Radiologi : ………………………………………………………….
(c) Odontogram : ………………………………………………………….
(d) Lain-lain : …………………………………………………………. 18
4. Ringkasan 1
Pemeriksaan
5. Diagnosis Kerja (ICD coding) -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------9
Damage : ………………………………………………………….
Penyebab damage langsung (A-1) :
…………………………………………………………. Penyebab antara (A-2)
: ………………………………………………………….
…
…
Penyebab yang mendasari (A-n) : ………………………………………………………….
Keadaan morbid lain yang tidak berhubungan dengan penyebab langsung tersebut (A-
1), namun berkontribusi terhadap damage tersebut:
Keadaan morbid lain (B-1) : ………………………………………………………….
Keadaan morbid lain (B-2) : ………………………………………………………….
…
…
Keadaan morbid lain (B-n) : ………………………………………………………….
6. Pengobatan dan Tindakan : …………………………………………………………. 20
7. Prognosis dari penyakit/damage : 21
…………………………………………………………. 8. Kesimpulan : 22
………………………………………………………….
III. Penutup---------------------------------------------------------------------------------------------------------
------
Demikian surat keterangan ini dibuat berdasarkan dengan penguraian yang sejujur-
jujurnya dan menggunakan pengetahuan yang sebaik-baiknya serta
mengingat sumpah pada saat menerima jabatan.----------------------------------------------------
-----------------
a) Tempat dan Tanggal dikeluarkan Surat Visum et Repertum: ………………………………… 23
b) Nama lengkap dan Nomor Induk Kepegawaian dokter/dokter gigi yang diberi
wewenang pelayanan kesehatan : …………………………………………………………. 24
c) Jabatan dan kompetensi dari (b) : …………………………………………………………. 25
d) Tanda tangan : 26
Catatan : penulisan surat keterangan Visum et Repertum (VeR) menggunakan font Arial,
ukuran 11, dengan spasi 1.
Skenario kasus
Seorang laki-laki umur 30 tahun dibawa ke UGD dengan beberapa luka akibat luka bacok oleh
tetangganya, buatlah visumnya?
Seorang perempuan umur 32 tahun datang ke UGD dengan beberapa luka akibat kekerasan yang
dilakukan oleh suaminya, buatlah visumnya?
VER No. ……………………