Anda di halaman 1dari 9

Sindroma Guillain-Barre (GBS) : Patofisiologi dan

Diagnosis
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri.
Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk
klasiknya, GBS merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan
otot asendens yang simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa
gejala sensorik ataupun otonom. Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial
ataupun murni motorik. Pada kasus berat, kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan
nafas sehingga mengancam jiwa.

Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi
saluran pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun
paling sering terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma
Guillain-Barre menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan
segera. Sekitar 30% penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara

GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas, suatu
kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya sendiri. Kelainan ini
ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom. Dari bentuk klasiknya, GBS
merupakan suatu polineuopati demielinasi dengan karakteristik kelemahan otot asendens yang
simetris dan progresif, paralisis, dan hiporefleksi, dengan atau tanpa gejala sensorik ataupun otonom.
Namun, terdapat varian GBS yang melibatkan saraf kranial ataupun murni motorik. Pada kasus berat,
kelemahan otot dapat menyebabkan kegagalan nafas sehingga mengancam jiwa.

Penyebab

Penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun umumnya dicetuskan oleh infeksi saluran
pernafasan atau pencernaan. Semua kelompok usia dapat terkena penyakit ini, namun paling sering
terjadi pada dewasa muda dan usia lanjut. Pada tipe yang paling berat, sindroma Guillain-Barre
menjadi suatu kondisi kedaruratan medis yang membutuhkan perawatan segera. Sekitar 30%
penderita membutuhkan penggunaan alat bantu nafas sementara

Patagonesis dan Patofosiologi


Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana GBS terjadi dan dapat menyerang
sejumlah orang. Yang diketahui ilmuwan sampai saat ini adalah bahwa sistem imun
menyerang tubuhnya sendiri, dan menyebabkan suatu penyakit yang disebut sebagai penyakit
autoimun. Umumnya sel-sel imunitas ini menyerang benda asing dan organisme pengganggu;
namun pada GBS, sistem imun mulai menghancurkan selubung myelin yang mengelilingi
akson saraf perifer, atau bahkan akson itu sendiri. Terdapat sejumlah teori mengenai
bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu
teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah
mengubah keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai
sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya
limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama
dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponen-komponen selubung
myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai
pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai
myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat
insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan
maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan. Sebagai contoh, sinyal dari otak ke otot dapat
ditransmisikan pada kecepatan lebih dari 50 km/jam.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang
dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang.
Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak
terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat.

Pada GBS, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya
antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang
bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya, dengan bantuan sel-sel
leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret
kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak
penghasil myelin. Dengan merusaknya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada
waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh. Seiring dengan
serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik,
sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu;
sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot,
kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk berjalan.10
Untungnya, fase ini bersifat sementara, sehingga apabila sistem imun telah kembali normal,
serangan itu akan berhenti dan pasien akan kembali pulih.

Seluruh saraf pada tubuh manusia, dengan pengecualian pada otak dan medulla spinalis,
merupakan bagian dari sistem saraf perifer, yakni terdiri dari saraf kranialis dan saraf spinal.
Saraf-saraf perifer mentransmisikan sinyal dari otak dan medulla spinalis, menuju dan dari
otot, organ, serta kulit. Tergantung fungsinya, saraf dapat diklasifikasikan sebagai saraf
perifer motorik, sensorik, dan otonom (involunter).

Pada GBS, terjadi malfungsi pada sistem imunitas sehingga muncul kerusakan sementara
pada saraf perifer, dan timbullah gangguan sensorik, kelemahan yang bersifat progresif,
ataupun paralisis akut. Karena itulah GBS dikenal sebagai neuropati perifer.

GBS dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung
myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur , transmisi sinyal saraf yang melaluinya
akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini
adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer.

Akson merupakan bagian dari sel saraf 1, yang terentang menuju sel saraf 2. Selubung myelin
berbentuk bungkus, yang melapisi sekitar akson dalam beberapa lapis.

Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal
ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf
akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan
paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering
setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat.

Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita
diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer
dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga
ikut terlibat.
Manifestasi Klinis

Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung
selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.

Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:

1. Fase progresif. Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal
sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri,
kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi
tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai
nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya
akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko
kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak
didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun
derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan
terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang
masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan,
nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase
ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang
meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan
perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody
yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal,
serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Terdapat enam subtipe sindroma Guillain-Barre, yaitu:

1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang
paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa
terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala,
yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90%
kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang
nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan
oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini
musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-
GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular
dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut
Bickerstaff, 1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun
diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak,
seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis
BBE cukup baik.

Diagnosis

 Kerusakan myelin pada GBS menyebabkan adanya gangguan fungsi saraf perifer,
yakni motorik, sensorik, dan otonom. Manifestasi klinis yang utama adalah
kelemahan motorik yang bervariasi, dimulai dari ataksia sampai paralisis motorik
total yang melibatkan otot-otot pernafasan sehingga menimbulkan kematian. Awalnya
pasien menyadari adanya kelemahan pada tungkainya, seperti halnya ‘kaki karet’,
yakni kaki yang cenderung tertekuk (buckle), dengan atau tanpa disestesia (kesemutan
atau kebas).
 Umumnya keterlibatan otot distal dimulai terlebih dahulu (paralisis asendens
Landry),1 meskipun dapat pula dimulai dari lengan. Seiring perkembangan penyakit,
dalam periode jam sampai hari, terjadi kelemahan otot-otot leher, batang tubuh
(trunk), interkostal, dan saraf kranialis.
 Pola simetris sering dijumpai, namun tidak absolut. Kelemahan otot bulbar
menyebabkan disfagia orofaringeal, yakni kesulitan menelan dengan disertai oleh
drooling dan/atau terbukanya jalan nafas, serta kesulitan bernafas.
 Kelemahan otot wajah juga sering terjadi pada GBS, baik unilateral ataupun bilateral;
sedangkan abnormalitas gerak mata jarang, kecuali pada varian Miller Fisher.
 Gangguan sensorik merupakan gejala yang cukup penting dan bervariasi pada GBS.
Hilangnya sensibilitas dalam atau proprioseptif (raba-tekan-getar) lebih berat daripada
sensibilitas superfisial (raba nyeri dan suhu).1 Sensasi nyeri merupakan gejala yang
sering muncul pada GBS, yakni rasa nyeri tusuk dalam (deep aching pain) pada otot-
otot yang lemah, namun nyeri ini terbatas dan harus segera diatasi dengan analgesik
standar. dan arefleksia. Hilangnya sensasi nyeri dan suhu umumnya ringan; bahkan
Disfungsi kandung kencing dapat terjadi pada kasus berat, namun sifatnya transien;
bila gejalanya berat, harus dicurigai adanya penyakit medulla spinalis. Tidak dijumpai
demam pada GBS; jika ada, perlu dicurigai penyebab lainnya. Pada kasus berat,
didapati hilangnya fungsi otonom, dengan manifestasi fluktuasi tekanan darah,
hipotensi ortostatik, dan aritmia jantung.

Pemeriksaan penunjang
1. Cairan serebrospinal (CSS) Yang paling khas adalah adanya disosiasi
sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai
adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama
jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik,
bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik
dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat
penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis
umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang
telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal.
3. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai
degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala,
sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal
ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas
jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak
sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna,
dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta
berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
4. Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang
dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase
awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia
jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara
anemia bukanlah salah satu gejala.
5. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan
immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan.
Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya
hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus
hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
6. Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus
takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan
voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
7. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) akan menunjukkan adanya
insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
8. Pemeriksaan patologi anatomi, umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif
konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta
demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini
akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam
berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar
hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi
pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang
(limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati,
limpa, jantung, dan organ lainnya.

Diagnosis GBS umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis dan beberapa temuan
klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan serebrospinal
(CSS),
Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre
Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis

 Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih


 Arefleksia

Temuan klinis yang mendukung diagnosis :

 Gejala atau tanda sensorik ringan


 Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya
 Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti
 Disfungsi otonom
 Tidak adanya demam saat onset
 Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu
 Adanya tanda yang relatif simetris

Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:

 Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl


 Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau
terbloknya hantaran saraf

Diagnosis Banding

GBS harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik subakut
lainnya, antara lain sebagai berikut:

1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat
ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS tetap kuat,
sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas; selain
itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.
2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari GBS dimana pada GBS, pupil masih
reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark
batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski
3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot
pernafasan dan hipo atau hiperkalemia.
4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang
terinfeksi.13 Gejala dimulai dengan diplopia13 disertai dengan pupil yang non-reaktif
pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien GBS.
5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi
pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit.
6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun
pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam
aminolevulinik delta.
7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat
kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada GBS.
8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan
paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks
tendon akan menghilang.
9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang
diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.
10. Mielopati servikalis. Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika
muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal
penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang
sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.

Daftar Pustaka

1. Victor Maurice, Ropper Allan H. Adams and Victor’s Principles of neurology. 7 th


edition. USA: the McGraw-Hill Companies; 2001. p.1380-87.
2. Arnason Barry GW. Inflammatory polyradiculoneuropathies. In: Dyck PJ, Thomas
PK, Lambert EH. Peripheral neuropathies. Vol. II. USA: W. B. Saunders Company;
1975. p.1111-48. Guillain-Barre Syndrome. [Update: 2009]. Available from:
http://www.caringmedical.com/conditions/Guillain-Barre_Syndrome.htm.
3. Guillain-Barré Syndrome. [update 2009]. Available from:
http://bodyandhealth.canada.com/condition_info_popup.asp
channel_id=0&disease_id=325&section_name=condition_info.
4. Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in clinical
practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996.
p.1911-16.
5. Gilroy John. Basic neurology. 2nd edition. Singapore: McGraw-Hill Inc.; 1992. p.377-
378.
6.
7. Guillain-Barré Syndrome. Available from: http://www.medicinenet.com/guillain-
barre_syndrome/article.htm
8. Gutierrez Amparo, Sumner Austin J. Electromyography in neurorehabilitation. In: Selzer ME,
Clarke Stephanie, Cohen LG, Duncan PW, Gage FH. Textbook of neural repair and
rehabilitation Vol. II: Medical neurorehabilitation. UK: Cambridge University Press; 2006.
p.49-55.

Anda mungkin juga menyukai