Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

EPILEPSI

OLEH

Sofiyan Djainuddin
R014191030

Preceptor Institusi Preceptor Lahan

(……………….…………………….) (……………….…………………….)

PRAKTIK PROFESI KEPERAWATAN ANAK


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019
EPILEPSI
1. Defenisi
Epilepsi adalah kompleks gejala dari beberapa kelainan fungsi otak yang
ditandai dengan terjadinya kejang secara berulang. Dapat berkaitan dengan
kehilangan kesadaran, gerakan yang berlebihan, atau kehilangan tonus atau gerakan
otot, dangangguan prilaku suasana hati, sensasi dan persepsi (Brunner dan suddarth,
2000).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersifat reversibel
Epilepsi merupakan gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak yang
dikarakteristikkan oleh kejang berulang. Kejang merupakan akibat dari pembebasan
listrik yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai dengan
serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas motorik, atau
gangguan fenomena sensori.

2. Etiologi
Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :
o Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti ibu
menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami
infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
o Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
o Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
o Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama pada
anak-anak.
o Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
o Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak
o Penyakit keturunan seperti fenilketonuria (fku), sclerosis tuberose dan
neurofibromatosis dapat menyebabkan kejang-kejang yang berulang.
o Kecendrungan timbulnya epilepsi yang diturunkan. Hal ini disebabkan
karena ambang rangsang serangan yang lebih rendah dari normal diturunkan
pada anak
1. Epilepsi Primer (Idiopatik)
Epilepsi primer hingga kini tidak ditemukan penyebabnya, tidak ditemukan
kelainan pada jaringan otak diduga bahwa terdapat kelainan atau gangguan
keseimbangan zat kimiawi dan sel-sel saraf pada area jaringan otak yang
abnormal. Penyebab pada kejang epilepsi sebagian besar belum diketahui
(Idiopatik). Sering terjadi pada:
1. Trauma lahir, Asphyxia neonatorum
2. Cedera Kepala, Infeksi sistem syaraf
3. Keracunan CO, intoksikasi obat/alkohol
4. Demam, ganguan metabolik (hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia)
5. Tumor Otak
6. Kelainan pembuluh darah
2. Epilepsi Sekunder (Simtomatik)
Epilepsi yang diketahui penyebabnya atau akibat adanya kelainan pada jaringan
otak. Kelainan ini dapat disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya
jaringan parut sebagai akibat kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa
perkembangan anak, cedera kepala (termasuk cedera selama atau sebelum
kelahiran), gangguan metabolisme dan nutrisi (misalnya hipoglikemi,
fenilketonuria (PKU), defisiensi vitamin B6), faktor-faktor toksik (putus alkohol,
uremia), ensefalitis, anoksia, gangguan sirkulasi, dan neoplasma.

Penyebab step / childhood epilepsi / epilepsi anak-anak:

 fever / panas (these are called febrile seizures)


 genetic causes
 head injury / luka di kepala.
 infections of the brain and its coverings
 lack of oxygen to the brain/ kekurangan oksigen, terutama saat proses
kelahiran.
 hydrocephalus/pembesaran ukuran kepala (excess water in the brain cavities)
 disorders of brain development / gangguan perkembangan otak.

3. Patofisiologi
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian berjuta-juta
neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas
listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps
terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter. Asetilkolin dan norepinerprine ialah
neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid)
bersifat inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan
epilepsi dicetuskan oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus
epileptogen. Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit
ke neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada keadaan
demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya akan menyebar
ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa disertai hilangnya
kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami depolarisasi, aktivitas listrik dapat
merangsang substansia retikularis dan inti pada talamus yang selanjutnya akan
menyebarkan impuls-impuls ke belahan otak yang lain dan dengan demikian akan
terlihat manifestasi kejang umum yang disertai penurunan kesadaran.
Selain itu, epilepsi juga disebabkan oleh instabilitas membran sel saraf,
sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan. Hal ini terjadi karena adanya
influx natrium ke intraseluler. Jika natrium yang seharusnya banyak di luar
membrane sel itu masuk ke dalam membran sel sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi
neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus
kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat
apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang. Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1). Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2). Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.

3). Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu


dalam repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi
asam gama-aminobutirat (GABA).
4). Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas
neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan
listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah
otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di
cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin
mengalami deplesi (proses berkurangnya cairan atau darah dalam tubuh terutama
karena pendarahan; kondisi yang diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh
berlebihan) selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan
fokal pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus
kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin, suatu neurotransmitter
fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
4. Tanda dan gejala
1. Manifestasi klinik dapat berupa kejang-kejang, gangguan kesadaran atau
gangguan penginderaan
2. Kelainan gambaran EEG
3. Tergantung lokasi dan sifat Fokus Epileptogen
4. Dapat mengalami Aura yaitu suatu sensasi tanda sebelum kejang epileptik
(Aura dapat berupa perasaan tidak enak, melihat sesuatu, men cium bau-bauan
tak enak, mendengar suara gemuruh, mengecap sesuatu, sakit kepala dan
sebagainya)
5. Pemeriksaan diagnostik/penunjang
1. CT Scan
Untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal,
gangguan degeneratif serebral.
2. Elektroensefalogram(EEG)
Untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan.
3. Magnetik resonance imaging (MRI)
4. Kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah
6. Komplikasi
Menurut (Pinzon, 2007) komplikasi yang mungkin timbul akibat epilepsi antara
lain: - cedera kepala
- cedera mulut
- luka bakar dan
- fraktur.
7. Penatalaksanaan/pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan
diberikan obat antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis
serangan. Penggunaan obat dalam waktu yang lama biasanya akan menyebabkan
masalah dalam kepatuhan minum obat (compliance) seta beberapa efek samping
yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi, mengantuk, hiperaktif, sakit
kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama
pengobatan tergantung jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama
2-3th sudah cukup, sedang yang berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian
pengobatan selalu harus dilakukan secara bertahap. Tindakan pembedahan sering
dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika
terlambat mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau
bahkan keterbalakangan mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari.
Kondisi yang menyedihkan ini bisa berlangsung seumur hidupnya.
Penatalaksanaan
 Farmakoterapi
Anti konvulsion untuk mengontrol kejang
 Pembedahan
Untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses, kista atau adanya anomali
vaskuler
Jenis obat yang sering digunakan :
 Phenobarbital (luminal).
Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.
 Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
 Difenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH.
Berhasiat terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Tak berhasiat terhadap petit mal.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan
gangguan darah.
 Carbamazine (tegretol).
Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan
bangkitan epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang
mempunyaiefek psikotropik.
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering
disertai gangguan tingkahlaku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia,
depresi sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.

 Diazepam.
Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status
konvulsi.).
Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat.
Sebaiknya diberikan i.v. atau intra rektal.
 Nitrazepam (Inogadon).
Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.
 Ethosuximide (zarontine).
Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal
 Na-valproat (dopakene)
Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai. Obat ini dapat meninggikan kadar
GABA di dalam otak. Efek samping mual, muntah, anorexia
 Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi.
Zat ini menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun,
influks Na berkurang akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
 ACTH
Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil.
Status epileptikus
Adalah serangan kejang kontinu dan berlangsung lebih dari 30 menit atau
serangkaian serangan epilepsi yang menyebabkan anak yang tidak sadar kembali.
Terapi awal diarahkan untuk menunjang dan mempertahankan fungsi-fungsi vital,
meliputi mempertahankan fungsi-fungsi vital, meliputi mempertahankan jalan napas
yang adekuat, pemberian oksigen, dan terapi hidrasi, serta dilanjutkan dengan
pemberian diazepam (Valium) atau fenobarbitol per IV. Diazepam per rektum
merupakan preparat yang sederhana, efektif, dan aman, untuk penatalaksanaan
epilepsi sebelum masuk rumah sakit. Lorazepam (Ativan) dapat menggantikan
diazepam IV sebagai obat pilihan. Preparat ini memiliki masa kerja yang lebih
panjang dan lebih sedikit menyebabkan gawat napas pada anak-anak di atas usia 2
tahun. Merupakan keadaan kedaruratan medis yang memerlukan intervensi segera
untuk mencegah cedera permanen pada otak, gagal napas, dan kematian.
Penatalaksanaan gawat darurat
Kejang tonik-klonik
Selama kejang :
Waktu episode kejang
- lakukan pendekatan dengan tenang
- jika anak berada dalam posisi berdiri atau duduk, baringkan anak
- letakkan bantal atau lipatan selimut di bawah kepala anak. Jika tidak
tersedia kepala anak bisa disangga oleh kedua tangannya sendiri.
Yang perlu dihindari:
1. Menahan gerakan anak atau menggunakan paksaan
2. Memasukkan apapun ke dalam mulut anak
3. Memberikan makanan atau minuman
Jika anak muntah miringkan tubuh anak sebagai satu kesatuan ke salah satu sisi
Setelah kejang :
- Hitung lamanya periode postiktal (pasca kejang)
- Periksa pernapasan anak. Periksa posisi kepala dan lidah.
- Reposisikan jika kepala anak hiperekstensi. Jika anak tidak bernapas, lakukan
pernapasan buatan dan hubungi pelayanan medis darurat.
- Periksa sekitar mulut anak untuk menemukan gejala luka bakar/kimia atau
kecurigaan zat yang mengindikasikan keracunan
- Pertahankan posisi tubuh anak berbaring miring
- Tetap dampingi anak sampai pulih sepenuhnya
- Jangan memberi makanan atau minuman sampai anak benar-benar sadar dan
refleks menelan pulih
- Hubungi pelayanan kedaruratan medis jika diperlukan
- Kaji faktor-faktor pemicu awitan kejang (kolaborasi)
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Perawat mengumpulkan informasi tentang riwayat kejang pasien. Pasien
ditanyakan tentang faktor atau kejadian yang dapat menimbulkan kejang. Asupan
alkohol dicatat. Efek epilepsi pada gaya hidup dikaji: Apakah ada keterbatasan
yang ditimbulkan oleh gangguan kejang? Apakah pasien mempunyai program
rekreasi? Kontak sosial? Apakah pengalaman kerja? Mekanisme koping apa yang
digunakan?
1. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, suku
bangsa,alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, tanggal pengkajian
dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Merupakan kebutuhan yang mendorong penderita untuk masuk RS.
Biasanya anak sering kejang
3. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan riwayat klien saat ini meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan
keadaan penyakit sekarang perlu ditanyakan.

5. Riwayat kehamilan dan kelahiran.


Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post
natal. Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah
diderita oleh ibu. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam usia
kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi sistem kekebalan terhadap
penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya
penyakit contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan
untuk mengetahui keadaan anak setelah
6. Riwayat penyakit keluarga
Merupakan gambaran kesehatan keluarga, apakah ada kaitannya
dengan penyakit yang dideritanya. Pada keadaan ini status kesehatan keluarga
perlu diketahui, apakah ada yang menderita gangguan hematologi, adanya
faktor hereditas misalnya kembar monozigot.
Obsevasi dan pengkajian selama dan setelah kejang akan membantu
dalam mengindentifikasi tipe kejang dan penatalaksanaannya.
1. Selama serangan :
 Apakah ada kehilangan kesadaran atau pingsan.
 Apakah ada kehilangan kesadaran sesaat atau lena.
 Apakah pasien menangis, hilang kesadaran, jatuh ke lantai.
 Apakah disertai komponen motorik seperti kejang tonik, kejang klonik,
kejang tonik-klonik, kejang mioklonik, kejang atonik.
 Apakah pasien menggigit lidah.
 Apakah mulut berbuih.
 Apakah ada inkontinen urin.
 Apakah bibir atau muka berubah warna.
 Apakah mata atau kepala menyimpang pada satu posisi.
 Berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada
satu sisi atau keduanya.
2. Sesudah serangan
 Apakah pasien : letargi , bingung, sakit kepala, otot-otot sakit, gangguan
bicara
 Apakah ada perubahan dalam gerakan.
 Sesudah serangan apakah pasien masih ingat apa yang terjadi sebelum,
selama dan sesudah serangan.
 Apakah terjadi perubahan tingkat kesadaran, pernapasan atau frekuensi
denyut jantung.
 Evaluasi kemungkinan terjadi cedera selama kejang.
3. Riwayat sebelum serangan
 Apakah ada gangguan tingkah laku, emosi.
 Apakah disertai aktivitas otonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar.
 Apakah ada aura yang mendahului serangan, baik sensori, auditorik,
olfaktorik maupun visual.
4. Riwayat Penyakit
 Sejak kapan serangan terjadi.
 Pada usia berapa serangan pertama.
 Frekuensi serangan.
 Apakah ada keadaan yang mempresipitasi serangan, seperti demam,
kurang tidur, keadaan emosional.
 Apakah penderita pernah menderita sakit berat, khususnya yang disertai
dengan gangguan kesadaran, kejang-kejang.
 Apakah pernah menderita cedera otak, operasi otak
 Apakah makan obat-obat tertentu
 Apakah ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga
Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
Gejala : kelelahan, malaise, kelemahan.
Tanda : kelemahan otot, somnolen.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi.
Tanda : Takikardi, membrane mukosa pucat.
c. Eliminasi
Gejala : diare, nyeri, feses hitam, darah pada urin, penurunan haluaran
urine.
d. Makanan / cairan
Gejala : anoreksia, muntah, penurunan BB, disfagia.
Tanda : distensi abdomen, penurunan bunyi usus, hipertropi gusi (infiltrasi
gusi mengindikasikan leukemia monositik akut).
e. Integritas ego
Gejala : perasaan tidak berdaya / tidak ada harapan.
Tanda : depresi, ansietas, marah.
f. Neurosensori
Gejala : penurunan koordinasi, kacau, disorientasi, kurang konsentrasi,
pusing, kesemutan.
Tanda : aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
g. Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri abdomen, sakit kepala, nyeri tulang / sendi, kram otot.
Tanda : gelisah, distraksi.
h. Pernafasan
Gejala : nafas pendek dengan kerja atau gerak minimal.
Tanda : dispnea, takipnea, batuk.
i. Keamanan
Gejala : riwayat infeksi saat ini / dahulu, jatuh, gangguan penglihatan,
perdarahan spontan, tak terkontrol dengan trauma minimal.
Tanda : demam, infeksi, purpura, pembesaran nodus limfe, limpa atau
hati.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan
2. Resiko cedera.
3. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan :
klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit
yang dialami,menangis wajah meringis
4. Defisiensi pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, kurang pemajanan, atau
kesalahan interpretasi informasi.
5. Hipertermi berhubungan dengan kejang
6. Ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot
pernapasan
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan pasien tidak
mengalami gangguan pola napas dengan kriteria hasil :
- RR dalam batas normal sesuai umur
- Nadi dalam batas normal sesuai umur

Intervensi Rasional
1. Tanggalkan pakaian pada daerah 1. Memfasilitasi usaha
leher/dada, abdomen bernapas/ekspansi dada
2. Masukkan spatel lidah/jalan napas 2. Dapat mencegah tergigitnya
buatan lidah, dan memfasilitasi saat
melakukan penghisapan
lendir, atau memberi
sokongan pernapasan jika
diperlukan
3. Lakukan penghisapan sesuai sesuai 3. Menurunkan risiko aspirasi
indikasi atau asfiksia
Kolaborasi Kolaborasi
4. Berikan tambahan O2 4. Dapat menurunkan hipoksia
serebral
2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Tujuan : setelah diberikan asuhan keperawatan, nyeri klien berkurang
kriteria hasil:
- Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan
rasa nyeri yang dialami
- Klien tidak menangis lagi
- Wajah klien tampak ceria
-
Intervensi Rasional
1. Kaji PQRST dengan menggunakan 1. Karakteristik nyeri yang dialami
media gambar sebagai tindakan intervensi
selanjutnya
2. Berikan posisi yang nyaman sesuai
2. Dengan posisi yang nyaman
kebutuhan
sesuai kebutuhan dapat
menurunkan stimulasi yang
3. Berikan lingkungan yang nyaman berlebihan yang dapat
bagi klien mengurangi nyeri yang dirasakan

3. Ketidaknyaman yang dirasakan


4. Libatkan keluarga untuk baik dari reaksi non verbal
mendampingi klien menunjukan derajat nyeri yang
5. Kolaborasi untuk pemberian obat tidak langsung dialami. Nyeri
analgesic yang dirasakan mungkin bersifat
atau kronik

4. Kehadiran keluarga
memberikan efek psikologis
pada anak untuk mengurangi
nyeri
5. Pemberian obat analgesik untuk
mengurangi nyeri
3. Resiko cedera
Kriteria hasil :
- Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien
- Kriteria pengkajian fokus makna klinis
- Riwayat kejang
- Tingkatan kejangnya
Intervensi Rasional
1. Kaji karakteristik kejang Untuk mngetahui seberapa besar
tingkatan kejang yang dialami
pasien sehingga pemberian
intervensi berjalan lebih baik
2. Jauhkan pasien dari benda benda tajam/ Benda tajam dapat melukai dan
membahayakan bagi pasien mencederai fisik pasien
3. Segera letakkan sendok di mulut pasien Dengan meletakkan sendok
yaitu diantara rahang pasien diantara rahang atas dan rahang
bawah, maka resiko pasien
menggigit lidahnya tidak terjadi
dan jalan nafas pasien menjadi
lebih lancer
4. Kolaborasi dalam pemberian obat anti Obat anti kejang dapat
kejang mengurangi derajat kejang yang
dialami pasien, sehingga resiko
untuk cidera pun berkurang

4. Defisiensi pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi


Tujuan :
- pengetahuan keluarga meningkat
- keluarga mengerti dengan proses penyakit epilepsi
- keluarga klien tidak bertanya lagi tentang penyakit, perawatan dan kondisi
klien.
Intervensi
Kriteria pengkajian focus Makna klinis
1. Kaji tingkat pendidikan keluarga 1. pendidikan merupakan
klien. salah satu faktor penentu
tingkat pengetahuan
seseorang
2. Kaji tingkat pengetahuan keluarga 2. untuk mengetahui seberapa
klien. jauh informasi yang telah
mereka ketahui,sehingga
pengetahuan yang nantinya
akan diberikan dapat sesuai
dengan kebutuhan keluarga
3. Jelaskan pada keluarga klien tentang 3. untuk meningkatkan
penyakit kejang demam melalui pengetahuan
penkes.
4. Beri kesempatan pada keluarga 4. untuk mengetahui seberapa
untuk menanyakan hal yang belum jauh informasi yang sudah
dimengerti. dipahami
5. Libatkan keluarga dalam setiap 5. agar keluarga dapat
tindakan pada klien. memberikan penanngan
yang tepat jika suatu-waktu
klien mengalami kejang
berikutnnya.
D. Evaluasi
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelelahan otot pernapasan
RR dalam batas normal sesuai umur
Nadi dalam batas normal sesuai umur
2. Nyeri berhubungan dengan perubahan metabolisme, ditandai dengan : klien
secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili rasa sakit yang
dialami,menangis wajah meringis
Klien secara non verbal menunjukkan gambar yang mewakili penurunan rasa
nyeri yang dialami
Klien tidak menangis lagi
Wajah klien tampak ceria
3. Resiko cedera
Dapat mengurangi risiko cidera pada pasien
Kriteria pengkajian fokus makna klinis
a. Riwayat kejang
b. Tingkatan kejangnya
4. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi.
Pengetahuan keluarga meningkat, Keluarga mengerti dengan proses penyakit
PKDM EPILEPSI

Proses infeksi

Peningkatan metabolisme Pelepasan pirogen Evaporasi


berlebihan
basal dan kebutuhan O2 endogen (IL- 1)

Mengubah keseimbangan Prostaglandin Resiko kekurangan


Membrane sel neuron
volume cairan tubuh

Difusi Ion K dan Na Hipotalamus


Meningkatkan Sel point

Terjadi lepasan muatan listrik Peningkatan suhu tubuh Perubahan status


Yang besar kesehatan pada anak

Meluas keseluruh sel sekitarya Hipertermi


Melalui membrane neurotransmitter

Kurang pemajanan Koping


Kejang orangtua/keluarga
informasi pada
orangtua/anak tidak efektif
Konstriksi pembuluh darah

Sirkulasi tidak lancer Defisiensi Ansietas


pengetahuan
Kekurangan O2 otak dan seluruh tubuh

Kompensasi tubuh dengan otot pernapasan


Ketidakefektifan
perfusi jaringan
cerebral Ketidakefektifan pola
nafas
DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, G. M., et.al. (2015). Nursing interventions classification (NIC). United


States of America: Elsevier.

Herdman, T. H., & Kamitsuru, S. (2015). Nanda International Nursing Diagnoses :


Definitions and Classification 2015-2017. Jakarta: EGC.

Ngastiyah, 2005,Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta

Marilyn E. Doenges. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. EGC:Jakarta

Moorhead, S., et.al. (2015). Nursing outcomes classification (NOC). United States of
America: Elsevier.

Wong, D et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong. Volume 2. EGC:
Jakarta.

Sylvia, A. pierce.1999. Patofisologi Konsep Klinis Proses penyakit. EGC: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai