Anda di halaman 1dari 30

APGAR SCORE (Appreance Pulse Grimace Activity and Respiratory)

Posted by Syauqinaa Sabiilaa , at 17.26


A. Sejarah

Pada sekitar tahun 1949 dan 1952, dianggap ada beberapa tanda yang mudah diamati

pada bayi yang baru lahir. Lima terpilih sebagai tanda yang mudah dievaluasi tanpa

memerlukan peralatan khusus, serta dapat diajarkan kepada tenaga medis di ruang bersalin

tanpa kesulitan.

Tujuan asli menetapkan sistem penilaian adalah untuk memprediksi kelangsungan

hidup, dan untuk membandingkan beberapa metode resusitasi yang digunakan pada saat itu.

Pengaruh berbagai praktik kebidanan seperti induksi persalinan, operasi caesar elektif, dan

anestesi ibu serta analgesia mungkin juga akan tercermin dalam skor. Selanjutnya diharapkan

sistem penilaian akan menjamin pengamatan lebih dekat dari bayi selama menit pertama

kehidupan. Nilai sistem untuk penelitian neonatal dan untuk memprediksi defisit

neuromuskuler pada anak usia dini ditunjukkan kemudian.

Sistem ini bekerja dengan baik dalam mengidentifikasi bayi yang memiliki

ketidakseimbangan metabolik berat. Ini tidak bekerja dengan baik sebagai dasar untuk masa

tindak lanjut studi. Ada dua alasan untuk kekurangan ini :

1. Setelah menerima laporan dari berbagai rumah sakit dan bertemu beberapa tenaga medis,

pengalaman menunjukkan bahwa orang yang melahirkan bayi tidak harus menjadi satu-

satunya orang yang menetapkan skor. Dia selalu terlibat secara emosional antara hasil

pemeriksaan dengan keluarga, dan disadari atau tidak ia tidak membuat keputusan yang

akurat untuk skor total.

2. Waktu untuk menetapkan skor adalah 60 detik setelah lahir. Interval ini dipilih pada tahun

1952 setelah mengamati beberapa ratus bayi untuk waktu depresi klinis maksimal. 30, 60 -,
90 - dan 120-detik pengamatan dilakukan dengan dua pengamat, yang pada akhirnya

menyetujui 60 detik adalah waktu yang tepat untuk menerapkan skor.

Harus ada cara otomatis untuk mengumumkan berlalunya 60 detik. Hanya dokter anestesi

yang telah terbiasa untuk hidup dengan arloji di tangan. Untuk orang lain, satu menit adalah

interval pendek luar biasa. Pada beberapa kesempatan, seperti serangan jantung, itu adalah

interval yang sangat panjang. Sebuah timer otomatis sederhana harus selalu disiapkan, dan

ditetapkan untuk 60 detik. Lima puluh lima detik akan lebih baik untuk pengamatan lima

tanda.

Ketika kepala dan kaki bayi keduanya sudah terlihat, timer dimulai dan alarm berbunyi

setelah 60 detik, dimana skor ditetapkan.

Sekitar sepuluh tahun setelah diperkenalkan oleh Dr. Virgina Apgar, akronim APGAR

dibuat di Amerika Serikat sebagai alat bantu menghafal: Appearance, Pulse, Grimace,

Activity, dan Respiration (warna kulit, denyut jantung, respons refleks, tonus otot/keaktifan,

dan pernapasan). Alat bantu hafal ini diperkenalkan pada tahun 1963 oleh dokter anak Dr.

Joseph Butterfield. Akronim yang sama juga digunakan di Jerman, Spanyol, dan Perancis.

Kata Apgar juga dibuatkan kepanjangan American Pediatric Gross Assessment Record.

Tes ini juga telah direformulasikan dengan singkatan yang berbeda “How Ready Is This

Child”, dengan kriteria yang pada dasarnya sama: Heart rate, Respirotary effort, Irritability,

Tone, dan Color (denyut nadi, pernapasan, reaksi refleks, sikap, dan warna).
Dr. Virginia Apgar
B. Apgar Score
1. Pengertian Nilai Apgar

Penilaian APGAR adalah metode penilaian yang digunakan untuk mengkaji kesehatan

neonatus dalam 1 sapai 5 menit setelah lahir. Penilaian menit pertama adalah menentukan

tindakan, sedangkan menit kelima adalah menentukan prognosa.

Sesaat setelah bayi lahir, penolong persalinan biasanya langsung melakukan penilaian

terhadap bayi tersebut. Perangkat yang digunakan untuk menilai dinamakan Skor APGAR.

Skor Apgar biasanya dinilai pada menit pertama kelahiran dan biasanya diulang pada

menit kelima. Dalam situasi tertentu, Skor Apgar juga dinilai pada menit ke 10, 15 dan 20.

2. Hal Yang Harus Dinilai

Tabel Penilaian APGAR

Tanda-tanda 0 1 2
A:Appreance Pucat atau Tubuh Merah Seluruh Tubuh
(warna kulit] Biru Merah
P: Pulse Tak ada <100x/menit >100x/menit
(frekuensi jantung) detak jantung Lemah dan Detak jantung
Lamban kuat
G:Grimace Tidak ada Menyeringai Menangis
(Reaksi thdp respon atau Kecut
rangsang)
A: Activity Tidak ada Ada sedikit Seluruh
(Tonus otot) gerakan ekstermitas
bergerak aktif
R: Respiratory Tak ada Pernapasan Menangis Kuat
perlahan, Bayi
terdengar marah
Kelima hal diatas dinilai kemudian dijumlahkan.
3. Klasifikasi Klinik

a. Nilai 7-10 : bayi normal

b. Nilai 4-6 : bayi dengan asfiksia ringan dan sedang

c. Nilai 1-3 : bayi dengan asfiksia berat

Jika jumlah skor berkisar di 7 – 10 pada menit pertama, bayi dianggap normal. Jika

jumlah skor berkisar 4 – 6 pada menit pertama, bayi memerlukan tindakan medis segera

seperti penyedotan lendir yang menyumbat jalan napas dengan suction, atau pemberian

oksigen untuk membantunya bernapas. Biasanya jika tindakan ini berhasil, keadaan bayi akan

membaik dan Skor Apgar pada menit kelima akan naik.

Jika nilai skor Apgar antara 0 – 3, diperlukan tindakan medis yang lebih intensif lagi.

Perlu diketahui, Skor Apgar hanyalah sebuah tes yang didisain untuk menilai keadaan

bayi secara menyeluruh, sehingga dapat ditentukan secara cepat apakah seorang bayi

memerlukan tindakan medis segera. Skor Apgar bukanlah patokan untuk memperkirakan

kesehatan dan kecerdasan bayi dimasa yang akan datang.


Apgar Score

C. Hasil dan Tindakan

Bayi dengan hasil total 7 atau lebih pada menit pertama setelah lahir, secara umum

berada pada keadaan sehat. Bukan berarti skor yang rendah menunjukkan bahwa anak tidak

sehat atau tidak normal. Hasil yang rendah dalam penilaian itu, menunjukkan bahwa anak

membutuhkan tindakan yang sifatnya segera, seperti menyedot atau mengeluarkan cairan dari

saluran pernapasan atau pemberian oksigen untuk membantu pernapasan, tindakan tersebut

dapat memberikan perbaikan keadaan bayi secara umum.

Pada menit ke-5 setelah lahir, penilaian kembali dilakukan, dan jika skor bayi tidak

naik hingga nilai 7 atau lebih dan berdasarkan pertimbangan lainnya dari keadaan bayi maka

dokter dan perawat akan melanjutkan tindakan medis yang perlu untuk dilakukan dan

pemantauan intensif. Beberapa bayi yang lahir dengan masalah pada organ jantung dan paru-

paru akan membutuhkan tindakan medis lanjutan, sedangkan yang lain hanya membutuhkan

waktu yang lebih lama untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan luar. Kebanyakan bayi

baru lahir dengan nilai Apgar pertama dibawah 7, akan baik-baik saja.

Penting bagi orang tua yang baru memiliki bayi untuk mengetahui nilai Apgar.

Penilaian ini dibuat untuk menolong tenaga kesehatan dalam mengkaji kondisi secara umum

bayi baru lahir dan memutuskan untuk melakukan tindakan darurat atau tidak. Penilaian ini

bukan ditujukan sebagai prediksi terhadap kesehatan bayi atau perilaku bayi, atau bahkan

status intelegensia/kepandaian. Beberapa bayi dapat mencapai angka 10, dan tidak jarang,

bayi yang sehat memiliki skor yang lebih rendah dari biasanya, terutama pada menit pertama

saat baru lahir.

Perlu diingat bahwa skor Apgar agak rendah (terutama pada menit pertama) adalah

normal pada beberapa bayi baru lahir, terutama bayi yang lahir dari ibu hamil dengan risiko

tinggi, lahir melalui proses operasi cesar, atau ibu yang memiliki komplikasi selama
kehamilan maupun proses persalinan. Skor Apgar yang rendah juga bisa terjadi pada bayi

prematur, dimana kemampuan untuk menggerakkan otot/alat gerak lebih rendah daripada

bayi cukup bulan. Bayi prematur dalam kasus apapun akan memerluan pemantauan ekstra

dan bantuan pernapasan, dikarenakan paru-paru belum sempurna.

Jika dokter atau tenaga kesehatan peduli terhadap penilaian bayi, maka mereka akan

memberitahukan dan menjelaskan kondisi bayi, apa yang mungkin menjadi penyebab

masalah, dan penanganan apa yang akan diberikan. Yang paling penting, sebagian besar bayi

melakukan penyesuaian dengan baik maka tetap tenang dan jalani proses tersebut dengan

sebaik-baiknya.

Pertolongan Yang Mungkin Dilakukan Jika nilai APGAR 4-6 maka dapat dlakukan

pertolongan penghisapan lendir yaitu dengan cara sebagai berikut:

1. Letakkan bayi pada posisi terlentang di tempat yang keras dan hangat.

2. Gulung sepotong kain dan letakkan di bawah bahu sehingga leher bayi lebih lurus dan

kepala tidak menekuk. Posisi kepala diatur lurus lebih sedikit tengadah ke belakang.

3. Bersihkan hidung, rongga mulut dan tenggorokan bayi dengan jari tangan yang dibungkus

kasa steril.

4. Tepuk kedua telapak kaki bayi sebanyak 2-3 kali atau gosok kulit bayi dengan kain

kering. Dengan rangsangan ini biasanya bayi segera menangis. Kekurangan zat asam pada

bayi baru lahir dapat menyebabkan kerusakan otak. Sangat penting membersihkan jalan

napas, sehingga upaya bayi bernapas tidak akan menyebabkan aspirasi lendir (masuknya

lendir ke paru-paru).

5. Alat penghisap lendir mulut (DeLee) atau alat penghisap lainnya yang steril, tabung

oksigen dengan selangnya harus telah siap di tempat.

6. Segera lakukan usaha menghisap mulut atau hidung.

7. Petugas harus memantau dan mencatat usaha napas yang pertama.


8. Warna kulit, adanya cairan atau mekonium dalam hidung atau mulut harus

diperhatikan. Bantuan untuk memulai pernapasan mungkin diperlukan untuk

mewujudkan ventilasi yang adekuat.

9. Dokter atau tenaga medis lain hendaknya melakukan resusitasi setelah satu menit bayi

tak bernapas

DAFTAR PUSTAKA
Apgar, Virginia M.D. The Newborn (Apgar) Scoring System: Reflection and Advice. New York: The National
Foundation <http://130.14.81.99/ps/access/CPBBJY.pdf>
Ucup. Cara Mengukur Apgar Score. Dilihat tanggal 28 September 2013 <http://x-
asuhankeperawatan.blogspot.com/2012/07/cara-mengukur-apgar-score.html>
Wikipedia. Skor Apgar. Dilihat tanggal 28 September 2013 <http://id.wikipedia.org/wiki/Skor_Apgar>
Resusitasi BBL (Bayi baru Lahir)

A. Pengertian

Resusitasi adalah usaha untuk membantu bayi agar bisa bernafas secara

spontanuntuk mempertahankan kelangsungan hidup bayi.

B. Tujuan

Memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen, dan curah jantung yang

cukup, untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya,

C. Penilaian apakah resusitasi perlu dilakukan

1. Apakah air ketuban bersih dari mekonium

2. Apakah bayi bernafas atau menangis

3. Apakah tonus otot baik

4. Apakah warna kulit kemerahan

5. Apakah bayi cukup bulan

Jika salah dari 5 pertayaan tersebut jawabannya tidak maka perlu dilakukan

resusitasi.

D. Langkah Awal Resusitasi

1. Selimuti bayi dengan kain kering dan hangat kecuali kepala, muka, dan dada

sebelah atas.
2. Letakkan punggung bayi pada alas yang bersih dan hangat.

3. Posisikan bayi dengan sedikit tengadah untuk membuka jalan nafas.

4. Beritahu kepada ibu dan keluarga yang menungguinya tentang apa yang akan

dilakukan, dengar keluhan dan dengar respon dengan penuh perhatian setiap

pertayaan dan kekawatiran.

5. Beri dukungan emosional dan kuatkan keyakinan dengan selayaknya

6. Bersihkan jalan nafas dengan menghisap mulut dulu baru hidung:

a. Masukkan kateter sepanjang 5cm ke dalam mulut bayi dan hisap saat menarik

kateter keluar

b. Masukkan kateter sepanjang 3cm kedalam setiap lubang hidung dan hisap saat

menarik kateter keluar.

c. Jangan menghisap kateter terlalu dalam ditenggorokan karena akan

mengakibatkan denyut jantung bayi menurun atau bahkan nafas bayi berhenti

d. Bila terdapat darah atau mekonium didalam mulut atau hidung bayi lakukan

secara khusus

7. Keringkan Bayi sambil member rangsangan taktil

8. Ganti baju bayi dengan kain yang bersih dan kering

9. Amati bayi apakah bayi sudah menangis, apabila bayi masih tidak bernafas

lakukan ventilasi
makalah tentang RESUSITASI JANTUNG PARU (RJP)
KDPK

RESUSITASI JANTUNG PARU(RJP)

pembimbing :.........

Di susun oleh :

Siti Sausan Maisatus Tsorayya

AKADEMI KEBIDANAN YOGYAKARTA

Jalan Parangtritis Km 6 Sewon Bantul Yogyakarta

TA 2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Resusitasi jantung paru (RJP) adalah metode untuk mengembalikan fungsi


pernapasan dan sirkulasi pada pasien yang mengalami henti napas dan henti
jantung yang tidak diharapkan mati pada saat itu. Metode ini merupakan
kombinasi pernapasan buatan dan bantuan sirkulasi yang bertujuan mencukupi
kebutuhan oksigen otak dan substrat lain sementara jantung dan paru tidak
berfungsi.

Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval waktu antara mati


klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4 – 6 menit. Dalam waktu tersebut mulai
terjadi kerusakan sel-sel otak rang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain.
Dengan demikian pemeliharaan perfusi serebral merupakan tujuan utama pada
RJP.

B. TUJUAN

1. Mahasiswa mampu mengetahui tentang RJP

2. Mahasiswa mampu mengetahui tentang Teknik Resusitasi Jantung Paru


(Kompresi)

3. Mahasiswa mampu mengetahui mengenai tentang Resusitasi Jantung Paru Pada


Bayi, Anak dan Dewasa

C.RUMUSAN MASALAH

1. Apa itu RJP?

2.Bagaimana teknik rjp?


BAB II

A. PENGERTIAN RJP(Resusitasi Jantung Paru)

Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat


kegagalan sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna
mencegah kematian biologis.

Resusitasi jantung paru (RJP) atau juga dikenal dengan cardio pulmonier
resusitation (CPR), merupakan gabungan antara pijat jantung dan pernafasan
buatan. Teknik ini diberikan pada korban yang mengalami henti jantung dan
nafas, tetapi masih hidup.

RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah ditemukan telah terjadi
henti nafas dan henti jantung untuk mencegah kerusakan sel-sel otak dan lain-
lain. Jika penderita ditemukan bernafas namun tidak sadar maka posisikan dalm
keadaan mantap agar jalan nafas tetap bebas dan sekret dapat keluar dengan
sendirinya.

A. TUJUAN

Untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung sehingga dapat pulih kembali.

B. DASAR TEORI

C. INDIKASI MELAKUKAN RJP

1. Henti Napas (Apneu)

Dapat disebabkan oleh sumbatan jalan napas atau akibat depresi pernapasan
baik di sentral maupun perifer. Berkurangnya oksigen di dalam tubuh akan
memberikan suatu keadaan yang disebut hipoksia. Frekuensi napas akan lebih
cepat dari pada keadaan normal. Bila perlangsungannya lama akan memberikan
kelelahan pada otot-otot pernapasan. Kelelahan otot-otot napas akan
mengakibatkan terjadinya penumpukan sisa-sisa pembakaran berupa gas CO2,
kemudian mempengaruhi SSP dengan menekan pusat napas. Keadaan inilah yang
dikenal sebagai henti nafas.

2. Henti Jantung (Cardiac Arrest)


Otot jantung juga membutuhkan oksigen untuk berkontraksi agar darah dapat
dipompa keluar dari jantung ke seluruh tubuh. Dengan berhentinya napas, maka
oksigen akan tidak ada sama sekali di dalam tubuh sehingga jantung tidak dapat
berkontraksi dan akibatnya henti jantung (cardiac arrest).

D. LAGKAH-LANGKAH SEBELUM MELAKUKAN RJP

1. Penentuan Tingkat Kesadaran ( Respon Korban )

Dilakukan dengan menggoyangkan korban. Bila korban menjawab, maka ABC


dalam keadaan baik. Dan bila tidak ada respon, maka perlu ditindaki segera.
Pada pedoman sebelumnya (tahun 2005) yang dipergunakan adalah ABC :
Airway, Breathing dan Chest Compressions,yaitu Membuka jalan napas,Memberi
bantuan pernapasan dan Kompresi dada. Pada pedoman yang terbaru (tahun
2010),Kompresi Dada didahulukan dari yang lainnya,baru kemudian Membuka
jalan napas dan Memberi bantuan pernapasan.
Dengan memulai kompresi dada terlebih dahulu diharapkan akan memompa
darah yang masih mengandung oksigen ke otak dan jantung sesegera
mungkin,karena beberapa menit setelah terjadinya henti jantung masih terdapat
kandungan oksigen di dalam paru-paru dan sirkulasi darah.
Kompresi dada dilakukan pada tahap awal selama 30 detik sebelum melakukan
pembukaan jalan napas dan melakukan pemberian napas buatan.
Untuk pada bayi yang baru lahir tetap memakai pedoman ABC,jadi pada bayi yang
baru lahir tidak terjadi perubahan. Pedoman CAB hanya berlaku pada bayi,anak
dan dewasa.
2. Memanggil bantuan (call for help)
Bila petugas hanya seorang diri, jangan memulai RJP sebelum memanggil
bantuan. Jika sesuai panduan RJP tahun 2010 Dalam menyelamatkan seseorang
yang mengalami henti jantung adalah dengan bertindak dengan segera dan
cepat,sehingga tidak perlu dilakukannya lagi suatu penilaian. Segera hubungi
ambulan ketika melihat ada korban yang tidak sadarkan diri dan terlihat adanya
gangguan pernapasan.
Jika dilakukan suatu penilaian bahwa korban masih bernafas atau tidak,itu boleh
saja akan tetapi perlu dipikirkan bahwa dengan melakukan tindakan Look,Listen
dan Feel,ini akan menghabiskan waktu yang ada.
3. Posisikan Korban

Korban harus dalam keadaan terlentang pada dasar yang keras (lantai, long
board). Bila dalam keadaan telungkup, korban dibalikkan. Bila dalam keadaan
trauma, pembalikan dilakukan dengan ”Log Roll”

4. Posisi Penolong

Korban di lantai, penolong berlutut di sisi kanan korban

5. Pemeriksaan Sirkulasi

Pada orang dewasa tidak ada denyut nadi carotis

Pada bayi dan anak kecil tidak ada denyut nadi brachialis

Tidak ada tanda-tanda sirkulasi

Bila ada pulsasi dan korban pernapas, napas buatan dapat dihentikan. Tetapi bila
ada pulsasi dan korban tidak bernapas, napas buatan diteruskan. Dan bila tidak
ada pulsasi, dilakukan RJP.

E. MACAM-MACAM TEKNIK RJP

Henti Napas

Pernapasan buatan diberikan dengan cara :

A. Mouth to Mouth Ventilation


Cara langsung sudah tidak dianjurkan karena bahaya infeksi (terutama hepatitis,
HIV) karena itu harus memakai ”barrier device” (alat perantara). Dengan cara ini
akan dicapai konsentrasi oksigen hanya 18 %.

1. Tangan kiri penolong menutup hidung korban dengan cara memijitnya


dengan jari telunjuk dan ibu jari, tangan kanan penolong menarik dagu korban
ke atas.

2. Penolong menarik napas dalam-dalam, kemudian letakkan mulut penolong ke


atas mulut korban sampai menutupi seluruh mulut korban secara pelan-pelan
sambil memperhatikan adanya gerakan dada korban sebagai akibat dari tiupan
napas penolong. Gerakan ini menunjukkan bahwa udara yang ditiupkan oleh
penolong itu masuk ke dalam paru-paru korban.

3. Setelah itu angkat mulut penolong dan lepaskan jari penolong dari hidung
korban. Hal ini memberikan kesempatan pada dada korban kembali ke posisi
semula.

B. Mouth to Stoma

Dapat dilakukan dengan membuat Krikotiroidektomi yang kemudian


dihembuskan udara melalui jalan yang telah dibuat melalui prosedur
Krikotiroidektomi tadi.

C. Mouth to Mask ventilation

Pada cara ini, udara ditiupkan ke dalam mulut penderita dengan bantuan face
mask.

D. Bag Valve Mask Ventilation ( Ambu Bag)

Dipakai alat yang ada bag dan mask dengan di antaranya ada katup. Untuk
mendapatkan penutupan masker yang baik, maka sebaiknya masker dipegang
satu petugas sedangkan petugas yang lain memompa.

E. Flow restricted Oxygen Powered Ventilation (FROP)

Pada ambulans dikenal sebagai “ OXY – Viva “. Alat ini secara otomatis akan
memberikan oksigen sesuai ukuran aliran (flow) yang diinginkan.
Bantuan jalan napas dilakukan dengan sebelumnya mengevaluasi jalan napas
korban apakah terdapat sumbatan atau tidak. Jika terdapat sumbatan maka
hendaknya dibebaskan terlebih dahulu.

Henti Jantung

RJP dapat dilakukan oleh satu orang penolong atau dua orang penolong.

Lokasi titik tumpu kompresi.

1. 1/3 distal sternum atau 2 jari proksimal Proc. Xiphoideus

2. Jari tengah tangan kanan diletakkan di Proc. Xiphoideus, sedangkan jari


telunjuk mengikuti

3. Tempatkan tumit tangan di atas jari telunjuk tersebut

4. Tumit tangan satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada tepat di
titik pijat jantung

5. Jari-jari tangan dapat dirangkum, namun tidak boleh menyinggung dada


korban

Teknik Resusitasi Jantung Paru (Kompresi)

1. Kedua lengan lurus dan tegak lurus pada sternum

2. Tekan ke bawah sedalam 4-5 cm

a. Tekanan tidak terlalu kuat

b. Tidak menyentak

c. Tidak bergeser / berubah tempat

3. Kompresi ritmik 100 kali / menit ( 2 pijatan / detik )

4. Fase pijitan dan relaksasi sama ( 1 : 1)

5. Rasio pijat dan napas 30 : 2 (15 kali kompresi : 2 kali hembusan napas)

6. Setelah empat siklus pijat napas, evaluasi sirkulasi


BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN
Resusitasi mengandung arti harfiah “Menghidupkan kembali” tentunya
dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah suatu episode
henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi jantung paru
terdiri atas 2 komponen utama yakni : bantuan hidup dasar / BHD dan Bantuan
hidup lanjut / BHL Usaha Bantuan Hidup Dasar bertujuan dengan cepat
mempertahankan pasok oksigen ke otak, jantung dan alat-alat vital lainnya
sambil menunggu pengobatan lanjutan. Bantuan hidup lanjut dengan pemberian
obat-obatan untuk memperpanjang hidup Resusitasi dilakukan pada : infark
jantung “kecil” yang mengakibatkan “kematian listrik”, serangan Adams-Stokes,
Hipoksia akut, keracunan dan kelebihan dosis obat-obatan, sengatan listrik,
refleks vagal, serta kecelakaan lain yang masih memberikan peluang untuk
hidup. Resusitasi tidak dilakukan pada : kematian normal stadium terminal suatu
yang tak dapat disembuhkan.

Penanganan dan tindakan cepat pada resusitasi jantung paru khususnya pada
kegawatan kardiovaskuler amat penting untuk menyelematkan hidup, untuk itu
perlu pengetahuan RJP yang tepat dan benar dalam pelaksanaannya.
AFTAR PUSTAKA

http://www.klikdokter.com/healthnewstopics/read/2010/10/27/15031137/pa
nduan-rjp-aha-2010-dahulukan-kompresi-dada

http://novalintang.blogspot.com/2013/05/revisi-rjp-terbaru-american-
heart.html

http://www.scribd.com/doc/95942220/Resusitasi-Jantung-dan-Paru-Bahasa-
Indonesia-Versi-AHA-2010

http://saptobudinugroho.blogspot.com/2010/10/urutan-rjpcpr-terbaru-dari-
aha-american.html

http://www.slideshare.net/ppnibone/resusitasi-
jantungdanparubahasaindonesiaversiaha2010

http://cigayung.wordpress.com/2010/10/27/prosedur-baru-resusitasi-jantung-
paru-aha-american-heart-association/
EMERIKSAAN NEUROLOGI
Posted on 9 November 2011 by leoyosdimyatiromli

1.Fungsi motorik
a.Otot
Ukuran : atropi / hipertropi
Tonus : kekejangan, kekakuan, kelemahan
Kekuatan : fleksi, ekstensi, melawan gerakan, gerakan sendi.
Derajat kekuatan motorik :
5 : Kekuatan penuh untuk dapat melakukan aktifitas
4 : Ada gerakan tapi tidak penuh
3 : Ada kekuatan bergerak untuk melawan gravitas bumi
2 : Ada kemampuan bergerak tapi tidak dapat melawan gravitasi bumi.
1 : Hanya ada kontraksi
0 : tidak ada kontraksi sama sekali
b.Gait (keseimbangan) : dengan Romberg’s test
2.Fungsi sensorik
Test : Nyeri, Suhu,
Raba halus, Gerak,
Getar, Sikap,
Tekan, Refered pain.
3.Refleks
a.Refleks superficial
•Refleks dinding perut :
Cara : goresan dinding perut daerah epigastrik, supra umbilikal, umbilikal, intra umbilikal
dari lateral ke medial
Respon : kontraksi dinding perut
•Refleks cremaster
Cara : goresan pada kulit paha sebelah medial dari atas ke bawah
Respon : elevasi testes ipsilateral
•Refleks gluteal
Cara : goresan atau tusukan pada daerah gluteal
Respon : gerakan reflektorik otot gluteal ipsilateral
b.Refleks tendon / periosteum
•Refleks Biceps (BPR):
Cara : ketukan pada jari pemeriksa yang ditempatkan pada tendon m.biceps brachii, posisi
lengan setengah diketuk pada sendi siku.
Respon : fleksi lengan pada sendi siku
•Refleks Triceps (TPR)
Cara : ketukan pada tendon otot triceps, posisi lengan fleksi pada sendi siku dan sedikit
pronasi
Respon : ekstensi lengan bawah pada sendi siku
•Refleks Periosto radialis
Cara : ketukan pada periosteum ujung distal os radial, posisi lengan setengah fleksi dan
sedikit pronasi
Respon : fleksi lengan bawah di sendi siku dan supinasi krena kontraksi m.brachiradialis
•Refleks Periostoulnaris
Cara : ketukan pada periosteum prosesus styloid ilna, posisi lengan setengah fleksi dan antara
pronasi supinasi.
Respon : pronasi tangan akibat kontraksi m.pronator quadrates
•Refleks Patela (KPR)
Cara : ketukan pada tendon patella
Respon : plantar fleksi kaki karena kontraksi m.quadrisep femoris
•Refleks Achilles (APR)
Cara : ketukan pada tendon Achilles
Respon : plantar fleksi kaki krena kontraksi m.gastroenemius
•Refleks Klonus lutut
Cara : pegang dan dorong os patella ke arah distal
Respon : kontraksi reflektorik m.quadrisep femoris selama stimulus berlangsung
•Refleks Klonus kaki
Cara : dorsofleksikan kki secara maksimal, posisi tungkai fleksi di sendi lutut.
Respon : kontraksi reflektorik otot betis selama stimulus berlangsung
c.Refleks patologis
•Babinsky
Cara : penggoresan telapak kaki bagian lateral dari posterior ke anterior
Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya
•Chadock
Cara : penggoresan kulit dorsum pedis bagian lateral sekitar maleolus lateralis dari posterior
ke anterior
Respon : seperti babinsky
•Oppenheim
Cara : pengurutan krista anterior tibia dari proksiml ke distal
Respon : seperti babinsky
•Gordon
Cara : penekanan betis secara keras
Respon : seperti babinsky
•Schaefer
Cara : memencet tendon achilles secara keras
Respon : seperti babinsky
•Gonda
Cara : penekukan (plantar fleksi) maksimal jari kaki ke-4
Respon : seperti babinsky
•Stransky
Cara : penekukan (lateral) jari kaki ke-5
Respon : seperti babinsky
•Rossolimo
Cara : pengetukan pada telapak kaki
Respon : fleksi jari-jari kaki pada sendi interfalangeal
•Mendel-Beckhterew
Cara : pengetukan dorsum pedis pada daerah os coboideum
Respon : seperti rossolimo
•Hoffman
Cara : goresan pada kuku jari tengah pasien
Respon : ibu jari, telunjuk dan jari lainnya fleksi
•Trommer
Cara : colekan pada ujung jari tengah pasien
Respon : seperti Hoffman
•Leri
Cara : fleksi maksimal tangan pada pergelangan tangan, sikap lengen diluruskan dengan
bgian ventral menghadap ke atas
Respon : tidak terjadi fleksi di sendi siku
•Mayer
Cara : fleksi maksimal jari tengah pasien ke arah telapak tangan
Respon : tidak terjadi oposisi ibu jari
d.Refleks primitive
•Sucking reflex
Cara : sentuhan pada bibir
Respon : gerakan bibir, lidah dn rahang bawah seolah-olah menyusu
•Snout reflex
Cara : ketukan pada bibir atas
Respon : kontrksi otot-otot disekitar bibir / di bawah hidung
•Grasps reflex
Cara : penekanan / penekanan jari pemeriksa pada telapak tangan pasien
Respon : tangan pasien mengepal
•Palmo-mental reflex
Cara : goresan ujung pena terhadap kulit telapak tangan bagian thenar
Respon : kontaksi otot mentalis dan orbikularis oris (ipsi lateral)

Selain pemeriksaan tersebut di atas juga ada beberapa pemeriksaan lain seperti :
Pemeriksaan fungsi luhur:
1.Apraxia : hilangnya kemampuan untuk melakukan gerakan volunter atas perintah
2.Alexia : ketidakmampuan mengenal bahasa tertulis
3.Agraphia : ketidakmampuan untuk menulis kata-kata
4.Fingeragnosia: kesukaran dalam mengenal, menyebut, memilih dan membedakan jari-jari,
baik punya sendiri maupun orang lain terutama jari tengah.
5.Disorientasi kiri-kanan: ketidakmampuan mengenal sisi tubuh baik tubuh sendiri maupun
orang lain.
6.Acalculia : kesukaran dalam melakukan penghitungan aritmatika sederhana.

Pemeriksaan N. Kranialis
Pemeriksaan saraf merupakan salah satu dari rangkaian pemeriksaan neurologis yang terdiri
dari;

1.Status mental,
2.Tingkat kesadaran,
3.Fungsi saraf kranial,
4.Fungsi motorik,
5.Refleks,
6.Koordinasi dan gaya berjalan dan
7.Fungsi sensorik

Agar pemeriksaan saraf kranial dapat memberikan informasi yang diperlukan, diusahakan
kerjasama yang baik antara pemeriksa dan penderita selama pemeriksaan. Penderita
seringkali diminta kesediaannya untuk melakukan suatu tindakan yang mungkin oleh
penderita dianggap tidak masuk akal atau menggelikan. Sebelum mulai diperiksa,
kegelisahan penderita harus dihilangkan dan penderita harus diberi penjelasan mengenai
pentingnya pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis.
Memberikan penjelasan mengenai lamanya pemeriksaan, cara yang dilakukan dan nyeri yang
mungkin timbul dapat membantu memupuk kepercayaan penderita pada pemeriksa. Penderita
diminta untuk menjawab semua pertanyaan sejelas mungkin dan mengikuti semua petunjuk
sebaik mungkin.
Suatu anamnesis lengkap dan teliti ditambah dengan pemeriksaan fisik akan dapat
mendiagnosis sekitar 80% kasus. Walaupun terdapat beragam prosedur diagnostik modern
tetapi tidak ada yang dapat menggantikan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui lubang-
lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang saraf kranial yang
dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-saraf tersebut adalah

1.olfaktorius (I),
2.optikus (II),
3.Okulomotorius (III),
4.troklearis (IV),
5.trigeminus (V),
6.abdusens (VI),
7.fasialis (VII),
8.vestibula koklearis (VIII),
9.glossofaringeus (IX),
10.vagus (X),
11.asesorius (XI),
12.hipoglosus (XII).

Saraf kranial I, II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII
merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-otot yang
dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf kranial III, VII dan
X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom.

PEMERIKSAAN SARAF KRANIALIS


A.Saraf Olfaktorius (N. I)
Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika terdapat riwayat tentang
hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau penderita mengalami cedera kepala sedang
atau berat, dan atau dicurigai adanya penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus
frontalis.
Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak merangsang seperti kopi,
tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan salah satu bahan-bahan tersebut di depan
salah satu lubang hidung orang tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan
pasien menutup matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai
terhidunya bahan tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu.
B.Saraf Optikus (N. II)
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan perifer (visual field),
refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
1.Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan gerakan tangan.
•Kartu snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien dengan tabel, jika tidak
terdapat ruangan yang cukup luas, pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman
penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan tepat oleh setiap mata
(visus 6/6)
•Jari tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat pada jarak 2 meter,
maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih 2/60.
•Gerakan tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa melihat pada jarak 1 meter
berarti visusnya kurang lebih 1/310.
2.Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang saraf optikus dan
lintasan penglihatan mulai dair mata hingga korteks oksipitalis. Penglihatan perifer diperiksa
dengan tes konfrontasi atau dengan perimetri/kompimetri.
•Tes Konfrontasi
a.Jarak antara pemeriksa – pasien : 60 – 100 cm
b.Objek yang digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut.
c.Objek yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari lapang pandang
kahardan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah dimana mata lain dalam keadaan tertutup
dan mata yang diperiksa harus menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek
tersebut.
d.Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus normal.
•Perimetri / kompimetri
a.Lebih teliti dari tes konfrontasi
b.Hasil pemeriksaan di proyeksikan dalam bentuk gambar di sebuah kartu.
3.Refleks Pupil
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari saraf occulomotorius.
Ada dua macam refleks pupil.
•Respon cahaya langsung
Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien tidak memfokus pada
cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap
cahaya. Inspeksi kedua pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal
pupil yang disinari akan mengecil.
•Respon cahaya konsensual
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya mengecil dengan
ukuran yang sama.
4.Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi)
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus dapat diarahkan
kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina
sudah terfokus carilah terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti
perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini keluar dari diskus
optikus.
5.Tes warna
Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus.
C.Saraf okulomotoris (N. III)
Pemeriksaan meliputi ; Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas kelopak mata atas akan
memotong iris pada titik yang sama secara bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak
mata memotong iris lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan
kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau mengangkat alis mata
secara kronik pula.
Gerakan bola mata.
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint ke arah medial, atas,
dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya
nistagmus. Sebelum pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat
adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi.
Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
a.Bentuk dan ukuran pupil
b.Perbandingan pupil kanan dan kiri
Perbedaanpupil sebesar 1mm masih dianggap normal
c.Refleks pupil
Meliputi pemeriksaan:
1.Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
2.Refleks cahaya tidak alngsung (bersama N. II)
3.Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya sendiri) kedua otot rektus
medialis akan berkontraksi. Gerakan kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan
dengan gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot siliaris
berkontraksi) (Tejuwono) atau pasien disuruh memandang jauh dan disuruh memfokuskan 15
cm matanya pada suatu objek diletakkan pada jarakdidepan mata pasien dalam keadaan
normal terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek akomodasi.
D.Saraf Troklearis (N. IV)
Pemeriksaan meliputi
1.gerak mata ke lateral bawah
2.strabismus konvergen
3.diplopia
E.Saraf Trigeminus (N. V)
Pemeriksaan meliputi; sensibilitas, motorik dan reflex
1.Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula. Pemeriksaan dilakukan pada
ketiga cabang saraf tersebut dengan membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain.
Mula-mula tes dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup kedua
matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien ditanya apakah terasa tajam
atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang
menunjukkan sensasi yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari
daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga dilakukan dari daerah yang
terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi
menuju belakang melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan
timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa secara rutin kecuali
mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi temperatur terjadi pada keadaan
hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba
halus dengan kapas yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya”
setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya.
2.Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot temporalis dan masseter.
Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya dan lakukan palpasi adanya kontraksi
masseter diatas mandibula. Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot
pterigoideus) dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha menutupnya. Lesi
unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang
terkena).
3.Refleks
Pemeriksaan refleks meliputi
•Refleks kornea
a.Langsung
b.Pasien diminta melirik ke arah laterosuperior, kemudian dari arah lain kapas disentuhkan
pada kornea mata, misal pasien diminta melirik kearah kanan atas maka kapas disentuhkan
pada kornea mata kiri dan lakukan sebaliknya pada mata yang lain. Kemudian bandingkan
kekuatan dan kecepatan refleks tersebut kanan dan kiri saraf aferen berasal dari N. V tetapi
eferannya (berkedip) berasal dari N.VII.
c.Tak langsung (konsensual)
d.Sentuhan kapas pada kornea atas akan menimbulkan refleks menutup mata pada mata kiri
dan sebaliknya kegunaan pemeriksaan refleks kornea konsensual ini sama dengan refleks
cahaya konsensual, yaitu untuk melihat lintasan mana yang rusak (aferen atau eferen).
•Refleks bersin (nasal refleks)
•Refleks masseter
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka mulut secukupnya
(jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas jari tangan pemeriksa diketuk mendadak
dengan palu refleks. Respon normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif
lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN akan terlihat penutupan
mulut yang kuat dan cepat.

F.Saraf abdusens (N. VI)


Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan diplopia tanda-
tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena dan bayangan yang timbul
letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain.
G.Saraf fasialis (N. VII)
Pemeriksaan saraf fasialis dilakukan saat pasien diam dan atas perintah (tes kekuatan otot)
saat pasien diam diperhatikan :
•Asimetri wajah
Kelumpuhan nervus VIII dapat menyebabkan penurunan sudut mulut unilateral dan kerutan
dahi menghilang serta lipatan nasolabial, tetapi pada kelumpuhan nervus fasialis bilateral
wajah masih tampak simetrik
•Gerakan-gerakan abnormal (tic facialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus sardonicus tremor
dan seterusnya ).
•Ekspresi muka (sedih, gembira, takut, seperti topeng)
Tes kekuatan otot
a.Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
b.Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa mencoba membuka
kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan dan kiri.
c.Memperlihatkan gigi (asimetri)
d.Bersiul dan menculu (asimetri / deviasi ujung bibir)
e.meniup sekuatnya, bandingkan kekuatan uadara dari pipi masing-masing.
f.Menarik sudut mulut ke bawah.
Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah)
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada salah satu sisi lidah.
Hiperakusis
Jika ada kelumpuhan N. Stapedius yang melayani otot stapedius maka suara-suara yang
diterima oleh telinga pasien menjadi lebih keras intensitasnya.
H.Saraf Vestibulokokhlearis (N. VIII)
Ada dua macam pemeriksaan yaitu pemeriksaan pendengaran dan pemeriksaan fungsi
vestibuler
1)Pemeriksaan pendengaran
Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya serumen atau obstruksi
lainnya dan membrana timpani untuk menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian
lakukan tes pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan audiogram.
Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan tuli konduksi dipakai tes Rinne
dan tes Weber.
a.Tes Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada prosesus mastoideus,
dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar
dengan meatus akustikus oksterna. Dalam keadaan norma anda masih terdengar pada meatus
akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar pada meatus akustikus eksternus.
Keadaan ini disebut Rinne negatif.
b.Tes Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam keadaan normal bunyi akan
terdengar pada bagian tengah dahi pada tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal
pada tuli konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal.

2)Pemeriksaan Fungsi Vestibuler


Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi : nistagmus, tes romberg dan berjalan lurus dengan
mata tertutup, head tilt test (Nylen – Baranny, dixxon – Hallpike) yaitu tes untuk postural
nistagmus.

I.Saraf glosofaringeus (N. IX) dan saraf vagus (N. X)


Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka biasanya dibicarakan
bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek (kelumpuhan palatom), kesulitan
menelan dan disartria(khas bernoda hidung / bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan
inspeksi palatum dengan senter perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian
pasien disuruh menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya
kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi yang sehat.
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah komponen sensorik
dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian belakang faring pada setiap sisi
dengan spacula, jangan lupa menanyakan kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan
spatula tersebut (N. IX) setiap kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi
palatum molle secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini
menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar dapat menilai
adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral), kemudian disuruh batuk , tes
juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya posterior lidah (N. IX).

J.Saraf Asesorius (N. XI)


Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya dan kemudian
rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan bahunya ke bawah, kemudian
pasien disuruh memutar kepalanya dengan melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga
raba massa otot sternokleido mastoideus.

K.Saraf Hipoglosus (N. XII)


Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan diam didasar
mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang halus iregular dan tidak
ritmik). Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral.
Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah (terkena) jika
terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral.
Lesi UMN dari N XII biasanya bilateral dan menyebabkan lidah imobil dan kecil. Kombinasi
lesi UMN bilateral dari N. IX. X, XII disebut kelumpuhan pseudobulbar.
PEMERIKSAAN NEUROLOGI
4.Fungsi Cerebral
Keadaan umum, tingkat kesadaran yang umumnya dikembangkan dengan Glasgow Coma
Scala (GCS) :
•Refleks membuka mata (E)
4 : Membuka secara spontan
3 : Membuka dengan rangsangan suara
2 : Membuka dengan rangsangan nyeri
1 : Tidak ada respon
• Refleks verbal (V)
5 : Orientasi baik
4 : Kata baik, kalimat baik, tapi isi percakapan membingungkan.
3 : Kata-kata baik tapi kalimat tidak baik
2 : Kata-kata tidak dapat dimengerti, hanya mengerang
1 : Tidak keluar suara
•Refleks motorik (M)
6 : Melakukan perintah dengan benar
5 : Mengenali nyeri lokal tapi tidak melakukaan perintah dengan benar
4 : Dapat menghindari rangsangan dengan tangan fleksi
3 : Hanya dapat melakukan fleksi
2 : Hanya dapat melakukan ekstensi
1 : Tidak ada gerakan

Cara penulisannya berurutan E-V-M sesuai nilai yang didapatkan. Penderita yang sadar=
Compos mentis pasti GCS-nya 15 (4-5-6), sedang penderita koma dalam, GCS-nya 3 (1-1-1).
Bila salah satu reaksi tidak bisa dinilai, misal kedua mata bengkak sedang V dan M normal,
penulisannya X – 5 – 6. Bila ada trakheastomi sedang E dan M normal, penulisannya 4 – X –
6. Atau bila tetra parese sedang E an V normal, penulisannya 4 – 5 – X.
GCS tidak bisa dipakai untuk menilai tingkat kesadaran pada anak berumur kurang dari 5
tahun.
Derajat kesadaran :
•Sadar : Dapat berorientasi dan berkomunikasi
•Somnolens : dapat digugah dengan berbagai stimulasi, bereaksi secara motorik / verbal
kemudian terlenan lagi. Gelisah atau tenang.
•Stupor : gerakan spontan, menjawab secara refleks terhadap rangsangan nyeri, pendengaran
dengan suara keras dan penglihatan kuat. Verbalisasi mungkin terjadi tapi terbatas pada satu
atau dua kata saja. Non verbal dengan menggunakan kepala.
•Semi koma : tidak terdapat respon verbal, reaksi rangsangan kasar dan ada yang menghindar
(contoh mnghindri tusukan)
•Koma : tidak bereaksi terhadap stimulus
Kualitas kesadaran :
•Compos mentis : bereaksi secara adekuat
•Abstensia drowsy/kesadaran tumpul : tidak tidur dan tidak begitu waspada. Perhatian
terhadap sekeliling berkurang. Cenderung mengantuk.
•Bingung/confused:disorientasi terhadap tempat, orang dan waktu
•Delerium : mental dan motorik kacau, ada halusinasi dn bergerak sesuai dengan kekacauan
fikirannya.
•Apatis : tidak tidur, acuh tak acuh, tidak bicara dan pandangan hampa
Gangguan fungsi cerebral meliputi :
•Gangguan komunikasi, gangguan intelektual, gangguan perilaku dan gangguan emosi
Pengkajian status mental / kesadaran meliputi :
•GCS, orientasi (orang, tempat dan waktu), memori, interpretasi dan komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai