Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN MANAJEMEN Oktober 2019

MANAJEMEN (P2) TB

DISUSUN OLEH:

NAMA : AULIA AGMA DARWIS

STAMBUK : N 111 17 081

PEMBIMBING KLINIK
Dr. dr. Ketut Suarayasa, M.Kes

PEMBIMBING LAPANGAN
dr. Sherly A Ponga

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYA RAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat. TB adalah suatupenyakit infeksi yang
disebabkan bakteri berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama
Mycobacterium tuberculosis dan ditularkan melalui perantara droplet udara.1
Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksis sepertiga penduduk dunia.
PadaTahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena
pada sebagian besar negara di dunia.Penyakit TB tidak terkendali, ini disebabkan
banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita
menular /BTA (+). Jumlah penderita TB diperkirakan akan meningkat seiring
dengan munculnya epidemi HIV/AIDS di dunia.2,3
Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2012, mendeskripsikan
bahwa untuk wilayah regional Asia Tenggara merupakan regional dengan kasus
TB paru tertinggi yaitu sebesar 40%, diikuti regional Afrika 26%, Pasifik Barat
19%, dan terendah pada regional Eropa 3%. Pada regional Asia Tenggara, negara
tertinggi prevalensi TB Paru adalah Myanmar yaitu 525 per 100.000 penduduk,
diikuti Bangladesh sebesar 411 per 100.000 penduduk, dan Indonesia menempati
urutan ke lima yaitu dengan prevalensi sebesar 289 per 100.000 penduduk.2
Laporan Riset Kesehatan Daerah (Riskesda) tahun 2010, memberikan
gambaran bahwa terdapat (5) lima provinsi yang memiliki angka prevalensi
tertinggi adalah (1) Papua 1.441 per 100.000 peduduk, (2) Banten 1.282 per
100.000 penduduk), (3) Sulawesi Utara 1.221 per 100.000 penduduk, (4)
Gorontalo 1.200 per 100.000 penduduk, dan (5) DKI Jakarta 1.032 per 100.000
penduduk. Berdasarkan komposisi penduduk, diketahui prevalensi TB paru paling
banyak terdapat pada jenis kelamin laki-laki 819 per 100.000 penduduk,
penduduk yang bertempat tinggal di desa 750 per 100.000 penduduk, kelompok
pendidikan yang tidak sekolah 1.041 per 100.000 penduduk),

2
petani/nelayan/buruh 858 per 100.000 penduduk dan pada penduduk dengan
tingkat pengeluaran kuintil 4 sebesar 607 per 100.000 penduduk.2
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia, (2012), diketahui peningkatan angka
penjaringan suspek mempunyai range 8-123 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan
peningkatan angka penjaringan suspek tertinggi adalah Provinsi Maluku (123 per
100.000 penduduk) dan Provinsi Sumatera Utara (8 per 100.000 penduduk).3
Di Sulawesi Tengah sendiri berdasarkan jumlah penduduk diperkirakan
kasus TB BTA positif dimasyarakat pada tahun 2011 sekitar 4.856 orang. Pada
tahun 2011 ditemukan 2.807 kasus yang menandakan CDR hanya 57,80%. Angka
CDR Propinsi masih dibawah 70%. Berbagai upaya-upaya yang dilakukan, salah
satunya promosi secara aktif, pendekatan pelayanan terhadap pelayanan kesehatan
yaitu memaksimalkan Puskesmas Pembantu dan Bidan Desa untuk mendekatkan
pelayanan TB di masyarakat terpencil.
Penyakit TB Paru masih termasuk dalam 10 penyakit terbanyak di
Puskesmas Kaleke tahun 2014, yaitu menempati urutan ke 10 dari 10 penyakit
terbanyak, dengan jumlah kasus, yaitu 103 kasus. Kemudian mengalami
peningkatan pada tahun 2017 dan tahun 2018 dengan jumlah kasus, yaitu 109 dan
112 kasus.

1.2.Identifikasi Masalah
Pada laporan manajemen ini, permasalahan terkait program P2 (Program
Penanggulanagan) TB Paru yang akan dibahas antara lain :
1. Bagaimana pelaksanaan P2TB Paru di Pukesmas Kaleke?

2. Apa saja permasalahan yang menjadi kendala dalam mencapai target cakupan

P2TB Paru di Puskesmas Kaleke?

3
BAB II
PERMASALAHAN

2.1. Gambaran Umum UPTD Urusan Puskesmas Kaleke


Puskesmas mempunyai wilayah kerja di Kecamatan Dolo
Barat yang terdiri dari12 desa dengan luas wilayah 112,18 Km². Kondisi
geografis berupa 63 % dataran, 27.2 % Perbukitan, 9,2 % pegunungan,
oleh karena keadaan geografis wilayah kerja tersebut diatas maka ada
beberapa desa maupun dusun yang wilayahnya sulit dijangkau dengan
kendaraan bermotor sehingga hanya dicapai dengan berjalan kaki.
Batas wilayah kerja Puskesmas , yaitu:
Sebelah Utara : Puskesmas Marawola Kec. Marawola
Sebelah Selatan : Puskesmas Baluase Kec. Dolo Selatan
Sebelah Timur : Puskesmas Dolo Kec. Dolo
Sebelah Barat : Kecamatan Pinembani Kab. Donggala
Secara geografis Puskesmas mempunyai letak pada lokasi yang
strategis, yaitu akses jalan yang memadai.
Wilayah Dolo Barat dibagi menjadi 12 Desa. Jumlah
penduduk sebanyak 13.577 jiwa (Laki-laki 6884 jiwa dan perempuan 6693
jiwa) dengan jumlah kepala keluarga 4226 KK. Dari Piramida penduduk
wilayah puskesmas di bawah ini, golongan umur terbanyak adalah usia 0-4
tahun baik laki-laki maupun perempuan.

1400
1200
1000
800
600
400 LAKI-LAKI
200
0 PEREMPUAN
KALUKUTING…
BALAROA…

RARAMPADE…

PESAKU

BOBO
SIBONU

KALEKE

BALAMOA

LUKU
BALUMPEWA
PEWUNU

MANTIKOLE

Sumber: Data Desa Kecamatan sigi desa Kaleke 2017

4
Program kegiatan puskesmas mengacu pada program kesehatan
nasional dengan visi Indonesia Sehat, dengan mempertimbangkan
paradigma masyarakat, dimana masyarakat semakin sadar akan tuntutan
pelayanan kesehatan yang lebih optimal, dengan dilandasi oleh kesadaran
dan keyakinan bahwa kesehatan merupakan hak azasi manusia, sehingga
pemerintah dalam hal ini lembaga pelayanan kesehatan dituntut peka
terhadap berbagai permasalahan kesehatan yang berkembang di
masyarakat serta memberikan pelayanan lebih optimal kepada masyarakat.
2.2. Penyakit TB Paru
Penyakit TB Paru merupakan salah satu masalah kesehatan kelompok
usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah dan berpendidikan rendah.
Kegiatan pemberantasan penyakit TB Paru seperti tahun sebelumnya
mengacu pada program DOTS (Directly Observed Treatment Short
Course), yang artinya pengobatan jangka pendek dengan pengawasan
langsung.
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
menyerang orang tubuh lain. TB pada anak terjadi pada anak usia 0-14
tahun. Di Negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15
tahun adalah 40-50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat
sekitar 500.000 anak didunia menderita TB setiap tahun.
Proporsi kasus TB di Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4% ,
kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011, 8,2% pada tahun 2012, 7,9%
pada tahun 2013, 7,16% pada tahun 2014 dan 9 % ditahun 2015. Variasi
populasi ini mungkin menunjukan endemisitas yang berbeda antar
provinsi, tetapi bias juga karena perbedaan kualitas diagnosis TB anak
pada level provinsi.
Factor risiko penularan TB, tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan dan daya tahan tubuh. Pasien TB dengan BTA positif memberikan
kemungkinan risiko penularan yang lebih besar dibandingkan dengan
pasien yang BTA negative.

5
2.3. Tujuan Program Penanggulangan TB paru
Adapun tujuan program penanggulangan TB Paru meliputi tujuan
jangka panjang dan tujuan jangka pendek. Tujuan jangka panjang adalah
menurunkan angka kesakitan dan angka kematian yang diakibatkan
penyakit TB paru dengan cara memutuskan rantai penularan,sehingga
penyakit TB paru tidak lagi merupakan masalah kesehatan masyarakat
Indonesia, sedangkan tujuan jangka pendek adalah :
1) Melaksanakan kegiatan penemuan dan tata laksana kasus TB.

2.4. Strategi Program Penanggulangan TB paru


1) Peningkatan komitmen politis yang berkesinambungan untuk
menjamin ketersediaan sumberdaya dan menjadikan penanggulangan
TB suatu prioritas.
2) Pelaksanaan dan pengembangan strategi DOTS yang bermutu
dilaksanakan secara bertahap dan sistematis.
3) Peningkatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak terkait melalui
kegiatan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial.
4) Kerjasama dengan mitra internasional untuk mendapatkan komitmen
dan bantuan sumber daya.
5) Peningkatan kinerja program melalui kegiatan pelatihan dan supervisi,
pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan.

2.5. Kegiatan Program Penanggulangan TB paru


Kegiatan pada Program Penanggulangan (P2) TB Paru yaitu
kegiatan pokok dan kegiatan pendukung. Kegiatan pokok mencakup
kegiatan penemuan penderita (case finding) pengamatan dan monitoring
penemuan penderita didahului dengan penemuan tersangka TB paru
dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama tiga minggu
atau lebih. Kegiatan pendukung mencakup kegiatan penanganan logistik
yaitu penanganan tersedianya OAT (Obat Anti Tuberkulosis) dan

6
penanganan tersedianya reagensia di laboratorium. Setiap orang yang
datang ke unit pelayanan kesehatan dengan gejala utama ini harus
dianggap suspek tuberkulosis atau tersangka TB Paru dengan pasive
promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan promosi
yang aktif) (Depkes RI, 2009).
Kegiatan-kegiatan penanggulangan TB Paru tersebut merupakan
jenis kegiatan yang termasuk dalam upaya kesehatan wajib Puskesmas,
artinya puskesmas sebagai sarana kesehatan terdepan bertanggung jawab
terhadap keseluruhan upaya penanggulangan TB paru. Petugas kesehatan
yang terlibat langsung sebagai petugas pelaksana program TB paru di
Puskesmas adalah seluruh petugas yang sudah dilatih tentang program
penanggulangan TB Paru yaitu dokter, perawat dan tenaga laboratorium
untuk petugas di Puskesmas satelit dibutuhkan tenaga yang telah dilatih
terdiri dari dokter dan perawat dan bagi Puskesmas pembantu cukup 1
orang perawat sebagai petugas pengelola TB. Keseluruhan petugas
tersebut mempunyai tugas masing-masing sesuai uraian tugas pokoknya
dalam penanggulangan kasus TB. Tanpa penemuan suspek maka program
pemberantasan TB paru dari penemuan sampai pengobatan tidak akan
berhasil, sehingga proses penemuan suspek TB paru oleh petugas sangat
menentukan keberhasilan program. Proses ini akan berhasil apabila
kompetensi yang mencakup pengetahuan, sikap petugas dan keterampilan
petugas baik.
Pengobatan TB Paru dilakukan dalam dua tahap/ kriteria, yaitu tahap
awal (intensif, 2 bulan) dan tahap lanjutan. Lama pengobatan 6-8 bulan,
tergantung berat ringannya penyakit. Penderita harus minum obat secara
lengkap dan teratur sesuai jadwal berobat sampai dinyatakan sembuh.
Dilakukan tiga kali pemeriksaan ulang dahak untuk mengetahui
perkembangan kemajuan pengobatan, yaitu pada akhir pengobatan tahap
awal, sebulan sebelum akhir pengobatan dan pada akhir pengobatan.
Pengobatan TB Paru Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat
kontak, tidak menderita TB) dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi

7
tidak menderita TB (gejala TB tidak ada, radiologi tidak mendukung dan
bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan pemberian INH 5–10
mg/kgbb/hari.
Pengobatan TB Paru dengan menggunakan strategi DOTS atau
Directly Observed Treatment Short-course adalah strategi penyembuhan TB
jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Dengan menggunakan
strategi DOTS, maka proses penyembuhan TB dapat secara tepat. DOTS
menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan
obatnya secara teratur sesuai ketentuan sampai dinyatakan sembuh.
Strategi DOTS memberikan angka kesembuhan yang tinggi, bisa
sampai 95%. Strategi DOTS direkomendasikan oleh WHO secara global
untuk menanggulangi TB. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu, (a)
komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana,
(b) diagnosa penyakit TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, (c),
kesinambungan persediaan OAT jangka pendek untuk penderita, dan (d)
Pengobatan TB dengan paduan obat anti-TB jangka pendek, diawasi secara
langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat).
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai upaya
pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di
Indonesia. Pengobatan TB tanpa didukung oleh kualitas dan persediaan OAT
yang baik akan menyebabkan kegagalan pengobatan dan Multi Drug
Resistance yang dapat memperparah keadaan penderita TB. OAT yang
tersedia saat ini harus dikonsumsi penderita dalam jumlah tablet yang cukup
banyak dan dapat menyebabkan kelalaian pada penderita, oleh sebab itu
banyak ahli berusaha untuk mengembangkan OAT-Fixed Dose Combination
(FDC), yaitu kombinasi OAT dalam jumlah tablet yang lebih sedikit dimana
jumlah kandungan masing-masing komponen sudah disesuaikan dengan dosis
yang diperlukan. Diharapkan dengan penggunaan OAT-FDC dapat
menyederhanakan proses pengobatan, meminimalkan kesalahan pemberian
obat, dan mengurangi efek samping.

8
2.6. Indikator Keberhasilan Program Penanggulangan TB Paru
Indikator dalam data yang terdaftar pada puskesmas Kaleke tidak di
rindikan indicator pada TB anak namun indicator TB secara keseluruhan.
- Cakupan penderita baru BTA positif target 20 pencapaian 14 atau 70%
- Cakupan proporsi suspek yang diperiksa dahak 37,84%
- Cakupan proporsi penderita positif antara suspek yang ditemukan yaitu
70%
- Cakupan cure rate atau angka kesembuhan target 14 pencapaian 14
atau 100 %
2.7. Evaluasi program penanggulangan TB paru
Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen
untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program. Pemantaun dilaksanakan
secara berkala dan terus menerus, untuk dapat segera mendeteksi bila ada
masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, supaya
dapat dilakukan tindakan perbaikan segera. Evaluasi dilakukan setelah
suatu jarak-waktu (interval) lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1
tahun. Dengan evaluasi dapat dinilai sejauhmana tujuan dan target yang
telah ditetapkan sebelumnya dicapai. Dalam mengukur keberhasilan
tersebut diperlukan indikator. Hasil evaluasi sangat berguna untuk
kepentingan perencanaan program. Masing-masing tingkat pelaksana
program (UPK, Kabupaten/Kota, Propinsi, dan Pusat) bertanggung jawab
melaksanakan pemantauan kegiatan pada wilayahnya masing-masing.
Seluruh kegiatan harus dimonitor baik dari aspek masukan (input), proses,
maupun keluaran (output). Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah
laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana
maupun dengan masyarakat sasaran.
Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi, diperlukan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik dan
benar. Evaluasi hasil kegiatan penanggulangan TB didasarkan pada
indikator–indikator program penanggulangan TB yang dilakukan pada
tahap akhir program dilakukan. Indikator merupakan alat yang paling

9
efektif untuk melakukan evaluasi dan merupakan variabel yang
menunjukkan keadaan dan dapat digunakan untuk mengukur terjadinya
perubahan. Indikator yang baik harus memenuhi syarat – syarat tertentu
antara lain : valid, sensitive dan specific, dapat dimengerti, dapat diukur
dan dapat dicapai.
2.8. Uraian Tugas Pengelola Program Penanggulangan TB Paru
Petugas pengelola program TB paru adalah petugas yang
bertangung jawab dan mengkoordinir seluruh kegiatan dari mulai
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi dalam program TB di Puskesmas.
Adapun Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program TB paru di Puskesmas
yaitu : (Depkes RI, 2009)
a. Menemukan Penderita
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB
paru, antara lain
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
6) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7) Membuat klasifikasi penderita
8) Mengisi kartu penderita
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita
TBC yang ditemukan.
b. Memberikan Pengobatan
1) Menetapkan jenis paduan obat
2) Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita
4) Menentukan PMO (bersama penderita)

10
5) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6) Memantau keteraturan berobat
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita
c. Penanganan Logistik
1) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir,
reagens, dll)
3) Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c

11
BAB III
PEMBAHASAN

A. Input
Program Penanggulangan (P2) TB Paru di puskesmas Kaleke dikelola
oleh seorang perawat yang bekerjasama dengan dokter. Kegiatan awalnya
berupa penemuan kasus yang bersifat pasif yaitu penemuan kasus berdasarkan
pasien yang datang berobat ke puskesmas yang memiliki gejala utama seperti
batuk lebih dari 3 minggu. Pasien yang memiliki gejala tersebut akan berstatus
suspek yang selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan sputum. Pemeriksaan
sputum dilakuan untuk menjaring pasien yang BTA positif terhadap pasien
suspek. Pemeriksaan sputum dilakukan selama 2 hari berturut-turut yaitu
sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)-dahak pagi (keesokan harinya)-
sewaktu (pada saat mengantarkan dahak pagi (SPS).
Untuk pemeriksaan sputum di puskesmas Kaleke hanya sebatas
pembuatan spesimen, karena puskesmas Kaleke belum memiliki laboratorium
sendiri. Spesimen akan di periksa di laboratorium RS Torabelo sigi karena
Rumah Sakit ini yang memiliki laboratorium khusus TB. Pasien dengan hasil
pemeriksaan sputum BTA positif akan dilakukan pengobatan sesuai kategori.
Untuk pengantaran sample disini ada kendala SDM karena sampel
kadang dikumpulkan beberapa sampel baru kemudian dilakukan pengantaran
sampel ke RS Torabelo, dengan demikian point pada five level prevention
point tiga yaitu penegakan diagnosis dini dengan pengobatan yang cepat dan
tepat belum tercapai.
B. Proses
Adapun tugas pokok petugas pengelola program penanggulangan TB
paru, antara lain
1. Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2. Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3. Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek
4. Membuat sediaan hapus dahak

12
5. Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium
6. Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7. Membuat klasifikasi penderita
8. Mengisi kartu penderita
9. Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TB BTA (+)
10. Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang
ditemukan.

Memberikan Pengobatan
1. Menetapkan jenis paduan obat
2. Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan
3. Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita
4. Menentukan PMO (bersama penderita)
5. Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6. Memantau keteraturan berobat
7. Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8. Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara
penanganannya
9. Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita

Penanganan Logistik
1. Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2. Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formolir, reagens, dll)
3. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan a s/d c

C. Output
Untuk program p2TB pada tahun 2018 kemarin angka keberhasilannya
yaitu sekitar 19 % pada data, namun untuk cakupan cure rate atau angka
kesembuhan dari target yaitu 22 dan pencapaian juga 22 maka angkat cure
rate 100%.

13
BAB IV
PENUTUP

4.1.Kesimpulan
1. Dalam pelaksanaan program P2TB paru di puskesmas Kaleke sejauh
ini telah berjalan sesuai dengan pedoman pedoman nasional
pengendalian tuberculosis, namun banyak menemui kendala.
2. Permasalahan yang didapat selama pelaksanaan program antara lain
yaitu masih banyak nya pasien yang tidak mengantar pot dahak yang
diberikan oleh petugas kesehatan sehingga banyak pasien suspek yang
belum diperiksa sputum.
4.1.Saran
1. Penyuluhan kesehatan mengenai TB Paru harus lebih sering dilakukan
untuk meningkatkan kunjungan masyarakat ke puskesmas sehingga
angka penemuan kasus bisa dideteksi lebih cepat.
2. Monitoring dan evaluasi pemeriksaan maupun pengobatan TB Paru harus
lebih ketat sehingga penjaringan pasien suspek TB Paru akan lebih baik.
3. Jumlah SDM dalam hal ini petugas P2TB harus ditambah untuk
memaksimalkan program kerja yang telah ditargetkan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Hiswani, 2014, ‘Tuberkulosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih


Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat’, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Sumatra Utara, Medan.
2. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2015, ‘Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan ke-8’, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2014, ‘Pedoman
Nasional Pengendalian Tuberkulosis’, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.
4. Girsang, M., 2012, Pengobatan Standar Penderita TBC’, Cermin Dunia
Kedokteran 137, 6-8.
5. Permatasari, A., 2015, ‘Pemberantasan Penyakit TB Paru Dan Strategi
DOTS’, Bagian Paru, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatra Utara,
Medan.
6. Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2016. Petunjuk teknis menajement dan tatalaksana
TB Paru.
7. UPTD Puskesmas Kaleke, 2017-2018. Profil Kesehatan Puskesmas Kaleke.
Depkes RI, Palu.

15

Anda mungkin juga menyukai