Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tinjauan Pustaka


4.1.1 Definisi Diabetes Melitus dan Hipertrigliseridemia
Diabetes adalah penyakit kronis serius yang terjadi
karena pankreas tidak menghasilkan cukup insulin (hormon
yang mengatur gula darah atau glukosa), atau ketika tubuh
tidak dapat secara efektif menggunakan insulin yang
dihasilkannya. Diabetes adalah masalah kesehatan masyarakat
yang penting, menjadi salah satu dari empat penyakit tidak
menular prioritas yang menjadi target tindak lanjut oleh para
pemimpin dunia. Jumlah kasus dan prevalensi diabetes terus
meningkat selama beberapa dekade terakhir. (WHO Global
Report, 2016).
Peningkatan trigliserida (hipertrigliseridemia) pada
orang obesitas karena adanya peningkatan pelepasan Asam
Lemak Bebas (ALB) dari jaringan adiposa juga menyebabkan
peningkatan hidrolisis dari trigliserida. Trigliserida disintesis
dari asam lemak yang terbentuk dari esterifikasi dari gliserol
dengan tiga molekul asam lemak. Banyaknya sintesis
trigliserida dari asam lemak tergantung jumlah asam lemak
yang tersedia. Asam lemak bebas diperoleh dari proses lipolisis
asam lemak, diet dan De Novo Lipogenesis (DNL) selanjutnya
dipakai untuk sintesis trigliserida. Trigliserida dirubah menjadi
Very Low Density Lipoprotein (VLDL) setelah berikatan
dengan apolipoprotein B 100 (ApoB 100). Trigliserida
terakumulasi di liver jika terjadi peningkatan pembentukan
dibanding yang dirubah menjadi VLDL.
4.1.2 Derajat dan Progrevitas Diabetes Melitus
1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa
adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.
2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75
gram.
3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan
keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya).
4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode
yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin
Standarization Program (NGSP).

4.1.3 Patofisiologi Diabetes Melitus


Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih
umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM
Tipe 1. Penderita DM Tipe 2 mencapai 90-95% dari
keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya berusia di
atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di
kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat. Faktor
genetik dan pengaruh lingkungan cukup besar dalam
menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain obesitas, diet
tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.
Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor
pradisposisi utama. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan
disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel
sasaran insulin gagal atau tak mampu merespon insulin secara
normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “Resistensi Insulin”.
Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas, gaya
hidup kurang gerak (sedentary), dan penuaan.
Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2
dapat juga timbul gangguan sekresi insulin dan produksi
glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak
terjadi pengrusakan sel-sel β Langerhans secara otoimun
sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1. Dengan demikian
defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2 hanya
bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam
penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian
insulin.
Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam
dua fase. Fase pertama sekresi insulin terjadi segera setelah
stimulus atau rangsangan glukosa yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase
kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada awal
perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal
mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani
dengan baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya
penderita DM Tipe 2 akan mengalami kerusakan sel-sel β
pankreas yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan
mengakibatkan defisiensi insulin, sehingga akhirnya penderita
memerlukan insulin eksogen.

4.1.4 Manifestasi Klinis pada Diabetes Melitus


Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun
demikian ada beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai
isyarat kemungkinan diabetes. Gejala tipikal yang sering
dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang
air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak
makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan
penglihatan kabur, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu,
kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang
seringkali sangat mengganggu (pruritus), dan berat badan
menurun tanpa sebab yang jelas.
Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya
hampir tidak ada. DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa
diketahui, dan penanganan baru dimulai beberapa tahun
kemudian ketika penyakit sudah berkembang dan komplikasi
sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih mudah
terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan
makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi,
hiperlipidemia, obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh
darah dan syaraf.

4.1.5 Penatalaksanaan Diabetes Melitus


1. Edukasi
Seluruh kegiatan tatalaksana DM dilakukan secara
berkelanjutan seumur hidup pasien, dengan sebagian besar
kegiatannya memerlukan tata laksana mandiri. Pasien
memerlukan motivasi dalam proses perubahan perilaku
menuju pola hidup sehat yang diperlukan dengan
melibatkan kerja sama dokter, ahli gizi, perawat, pasien dan
keluarganya. Penatalaksanaan yang baik diharapkan akan
memberikan usia harapan hidup lebih panjang dengan
kesehatan dan kualitas hidup yang baik.
2. Terapi Nutrisi Medis
Setiap penderita DM sebaiknya mendapat Terapi Nutrisi
Medis (TNM) yang merupakan bagian dari penatalaksanaan
DM secara holistik. Tujuan utama TNM adalah menjaga
kadar glukosa darah. Prinsip anjuran asupan nutrisi
penderita DM tipe 2 hampir sama dengan individu tanpa
DM yaitu jumlah yang sesuai dengan kebutuhan dan
komposisi seimbang. Selain hal-hal tersebut di atas, penting
juga bagi penderita DM untuk mengatur jadwal, jenis, dan
pembagian jumlah makanan dalam sehari.
3. Aktivitas Fisik atau Latihan Jasmani
Aktivitas fisik merupakan bagian penting dari tata
laksana DM. Aktivitas fisik yang teratur dikatakan dapat
memperbaiki kontrol glikemik, menurunkan risiko penyakit
kardiovaskuler dan berperan dalam menurunkan berat
badan serta memperbaiki kualitas hidup.Aktivitas fisik juga
mencegah berkembangnya DM tipe 2 pada individu
prediabetes.Penelitian mendapatkan penurunan kadar
HbA1C sebesar 0,66%pasca aktivitas fisik teratur sesuai
rekomendasi selama 8 minggu, walaupun tanpa penurunan
indeks massa tubuh (IMT).
Anjuran aktivitas fisik bagi penderita DM berusia diatas
18 tahun adalah latihan fisik dengan intensitas sedang
sebanyak 150 menit per minggu, atau latihan fisik berat
sebanyak 75 menit per minggu, atau kombinasi keduanya.
Selain itu dianjurkan juga untuk melakukan peregangan
otot pada dua atau lebih otot utama per minggu. Penderita
DM berusia lebih dari 65 tahun atau dengan keterbatasan
lain, diharapkan dapat secarafisik seaktif mungkin sesuai
dengan kemampuannya.
4. Terapi Farmakologis
Penderita DM yang dengan kontrol glikemik yang tidak
adekuat dengan mengikuti anjuran TNM, dianjurkan
mendapat terapi farmakologis DM tipe 2 yaitu obat
hipoglikemik oral (OHO) dan terapi insulin. Terapi insulin
diperlukan pada individu dengan gangguan produksi insulin
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme. Penderita DM
tipe 2 memerlukan insulin bila terjadi kegagalan kontrol
glikemik dengan terapi nutrisi, terapi mendikamentosa oral
dan latihan fisik/jasmani.
Secara fisiologis, laju sekresi insulin oleh sel beta
pankreas adalah rendah diantara waktu asupan makanan
serta malam hari, dan meningkat di siang hari dan pasca
asupan makanan. Terapi insulin yang ideal adalah
sedemikian rupa sehingga mendekati sekresi insulin
fisiologis tersebut. Beberapa variasi tipe insulin telah
dikembangkan, sehingga kombinasi tipe insulin dapat
diberikan dalam mencapai kontrol glikemik yang optimal.
4.2 Skrining
Pasien Ny. N berusia 57 tahun datang ke Rumah Sakit pada hari Rabu, 2
Oktober 2019 dengan keluhan nyeri lemas, pusing, mual, dan nyeri di bagian
ulkus kaki kanan dengan skala nyeri 3. Selanjutnya dilakukan skrining
menggunakan formulir Malnutrisi Screening Tool (MST).
Skrining gizi menggunakan MST yang dihasilkan adalah :
1. Penurunan berat badan selama 6 bulan terakhir sebesar 3kg memiliki skor
1.
2. Asupan makan Ny.N berkurang karena tidak nafsu makan memiliki skor 1
3. Ny.N memiliki kondisi Khusus yaitu memiliki riwayat Diabetes dengan
Hipertrigliseridemia.

Berdasarkan hasil Skrining menggunakan MST pasien Ny.N memiliki risiko


malnutrisi dengan total skor 2

4.3 Asessment Gizi


4.3.1 Riwayat Anthropometri

Data anthropometri yang diperlukan dalam menentukan


status gizi pasien. Berdasarkan hasil skrining yang dilakukan
melalui pengukuran LILA, dan estimasi tinggi badan
menggunakan ulna. Keterbatasan fisik yang tidak
memungkinkan dilakukan penimbangan berat badan secara
langsung bisa menggunakan berat badan estimasi dengan
predictor ukuran lingkar lengan atas (LILA). (Supariasa, 2002).

Pengukuran tinggi badan biasa dilakukan dengan


mikrotoise, dengan syarat seseorang yang diukur dapat berdiri
tegak, sedangkan pada orang yang tidak dapat berdiri tegak
digunakan pengukuran estimasi tinggi badan yaitu tinggi lutut,
panjang ulna (Lorini, et al, 2013), rentang lengan dan rentang
demi (Shahar, 2003). Pengukuran estimasi tinggi badan dapat
lebih akurat digunakan karena pada tulang yang panjang seperti
lengan dan kaki tidak berubah dalam beberapa tahun, tidak
seperti tulang ekor (Hirani, 2008).
Hasil pengukuran anthropometri Ny.N tanggal 04 Oktober
2019, LILA pasien 33 cm, ulna 24,5 cm dan estimasi tinggi
badan pasien 153,4cm. Dari data tersebut dapat dihitung status
gizi pasien dengan menggunakan LILA menurut umur sebesar
110,3% yang artinya status gizi pasien tergolong overweight.

4.3.2 Diagnosis Medis


Hasil diagnosis medis menunjukkan pasien mengalami
Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Hipertrigliseridemia. Kriteria
diagnosis Diabetes Melitus (DM) menurut pedoman American
Diabetes Association (ADA) 2011 dan konsensus Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2011 yaitu ketika
Glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl dengan gejala klasik
penyerta, Glukosa 2 jam pasca pembebanan ≥200 mg/dl;3, dan
Glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl bila terdapat keluhan
klasik DM seperti banyak kencing (poliuria), banyak minum
(polidipsia), banyak makan (polifagia), dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Selain
penyakit kardiovaskuler, DM juga merupakan salah satu
penyebab utama penyakit ginjal dan kebutaan pada usia di
bawah 65 tahun, dan juga amputasi (Marshall dan Flyvbjerg,
2006 dalam Hill, 2011). Selain itu, diabetes juga menjadi
penyebab terjadinya amputasi (yang bukan disebabkan oleh
trauma), disabilitas, hingga kematian. Dampak lain dari
diabetes adalah mengurangi usia harapan hidup sebesar 5-10
tahun. Usia harapan hidup penderita DM tipe 2 yang mengidap
penyakit mental serius, seperti Skizofrenia, bahkan 20% lebih
rendah dibandingkan dengan populasi umum. (Goldberg, 2007
dalam Garnita, 2012).
Obesitas merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi timbulnya penyakit DM tipe 2. Salah satu cara
mengetahui adanya obesitas adalah dengan menilai indeks
massa tubuh (IMT). Peningkatan IMT menyebabkan
meningkatnya timbunan lemak bebas yang tinggi yang
akhirnya dapat memicu oksidasi lemak yang menghambat
penggunaan glukosa dalam otot (Purwandari, 2014). Selain itu,
pada individu dengan kelebihan berat badan atau obesitas
ditemukan peningkatan kadar hormon leptin. Hal tersebut dapat
menyebabkan resistensi insulin, yaitu dengan cara menghambat
fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS-1), sehingga
ambilan glukosa terhambat dan meningkatkan kadar glukosa
darah (Fathmi, 2012).
Kadar trigliserida yang tinggi akan berbahaya bagi
tubuh. Kadar trigliserida baiknya tidak lebih dari 150 mg/dl.
Apabila kadar trigliserida melebihi batas normal, akan
berbahaya bagi tubuh karena beberapa lipoprotein yang tinggi
juga mengandung kolesterol sehingga dapat menyebabkan
hiperkolesterol (NCEP ATP III, 2001)

4.3.3 Diagnosis Gizi


Berdasarkan permasalahan gizi pasien, dirumuskan diagnosis
gizi yaitu:
1. NC 2.2 perubahan nilai lab dengan zat gizi berkaitan
dengan gangguan fungsi endokrin ditandai dengan nilai
GDS tinggi
2. NC 3.2 penurunan berat badan yang tidak diharapkan
berkaitan dengan perubahan pola makan ditandai dengan
penurunan berat badan sebanyak 3kg

4.3.4 Intervensi Gizi


Intervensi direncanakan sesuai dengan diagnosis gizi
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan asupan energi, protein
dan zat gizi lainnya sesuai kebutuhan dan keadaan penyakit pasien,
membantu menurunkan glukosa darah dan Hipertrigliseridemia
hingga batas normal. Intervensi juga dilakukan dengan pemberian
edukasi dan konseling untuk meningkatkan pengetahuan pasien
dan keluarga mengenai pola makan yang seimbang sesuai anjuran
diit pasien.
Penentuan kebutuhan Ny.N menggunakan referensi dari
Perkeni. Dengan mempertimbangkan BBI, jenis kelamin, faktor
aktivitas dan faktor usia. Koreksi faktor aktivitas untuk Ny.N yaitu
ringan (20% dari BMR) dan koreksi faktor usia menggunakan
kategori usia 40-59 tahun (5% dari BMR). Sehingga kebutuhan
Ny.N seharinya yaitu: Energi (1.410,7 kkal), Protein 20% (70,5
gram), Lemak 25% (39,1 gram) dan Karbohidrat 55% (194 gram).
Intervensi dilakukan tanggal 5-7 Oktober 2018 mulai dari makan pagi
sampai makan sore.

4.3.5 Monitoring dan Evaluasi


4.3.5.1 Asupan Makan

Rencana intervensi gizi pada Ny.N dilakukan dengan


tujuan memberikan makanan melalui oral sesuai dengan
kebutuhan. Perhitungan kebutuhan gizi pasien menggunakan
rumus PERKENI :

BMR= 25xBBI

 Energi= (BMR + Fa) - Fu


 Protein 20% dari total energi
 Lemak 25% dari total energi
 Karbohidrat 55% dari total energi

Prinsip pemberian diit ditentukan dengan mempertimbangkan


BBI, jenis kelamin, faktor aktivitas dan faktor usia. Hasilnya yaitu
Energi (1.410,7 kkal), Protein 20% (70,5 gram), Lemak 25% (39,1
gram) dan Karbohidrat 55% (194 gram). Jenis diet yang diberikan yaitu
diet rendah karbohidrat dan rendah lemak. dengan frekuensi pemberian
3 kali makan utama dan 2 kali selingan.

a. Asupan Energi
ASUPAN ENERGI
100%
90%
80%
70%
60% Hari 3
50%
Hari 2
40%
30% Hari 1
20%
10%
0%
1 2 3

Berdasarkan hasil asupan energi pada hari pertama 1.016,3 kkal


dengan prosentase 72%, hari ke-2 994,5 kkal dengan prsentase
70,5%, hari ke-3 962,5 kkal dengan prosentase 76%. Berdasarkan
pengamatan asupan energi terjadi fluktuasi. Asupan energi
menurun pada hari kedua dan terjadi peningkatan lagi pada hari
ketiga, penurunan sebesar 1,5%. Penurunan asupan terjadi karena
hilangnya nafsu makan dikarenakan menu yang dibuat.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan asupan energi pasien
masih <80%.
Energi dibutuhkan tubuh untuk memelihara fungsi dasar tubuh
yang disebut metabolisme basal sebesar 45-65% dari kebutuhan
energi total. Kebutuhan energi untuk metabolisme basal diperlukan
untuk fungsi tubuh seperti mencerna, mengolah dan menyerap
makanan dalam pencernaan, serta untuk bergerak, berjalan, bekerja
dan beraktivitas. Tingkat kecukupan akan mempengaruhi status
gizi. Apabila asupan energi kurang maka tubuh akan memecah
protein, hal ini akan mengakibatkan hemoglobin semakin rendah.

b. Asupan Protein
Asupan Protein
100%
90%
80%
70%
60% Hari 3
50%
Hari 2
40%
30% Hari 1
20%
10%
0%
1 2 3

Berdasarkan hasil asupan protein pada hari pertama 50,5 gram


dengan prosentase 95,5%, hari ke-2 46,1 gram dengan prsentase
87,1%, hari ke-3 52 gram dengan prosentase 100%. Terjadi
penurunan asupan pada hari ke-2 dikarenakan menurunnya nafsu
makan karenaa menu yang dibuat. Selain itu pasien kurang
menyukai lauk nabati. Sehingga pada hari ke-3 untuk memenuhi
kebutuhan protein, kebutuhan protein pada lauk nabati diganti
dengan pembuatan snack bubur kacang hijau.
Defisiensi asam amino esensial akan melemahkan kinerja sel
yang bertugas memproses gula. Proses penyembuhan akan
berlangsung lama karena ketiadaan asam amino penting yang
diperlukan tubuh untuk meregenerasi sel yang rusak akibat level
gula darah yang tinggi. Defisiensi asam amino terutama sistein dan
taurin menyebabkan peningkatan level insulin terkait dengan stress
yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya asam amino yang bekerja
sebagai neurotransmitter di otak. Selain itu fungsi utama protein
adalah untuk pertumbuhan dan mengganti sel-sel yang rusak
sehingga dapat mempercepat penyembuhan ulkus pada telapak
kaki bagian kanan pasien. Berdasarkan pengamatan asupan protein
terjadi kenaikan dan memenuhi target yaitu >80%.

c. Asupan Lemak
Asupan Lemak
100%
90%
80%
70%
60% Hari 3
50%
Hari 2
40%
30% Hari 1
20%
10%
0%
1 2 3

Berdasarkan hasil asupan lemak pada hari pertama 28,5 gram


dengan prosentase 73,5%, hari ke-2 33,65 gram dengan prsentase
86,1%, hari ke-3 31 gram dengan prosentase 74%. Berdasarkan
pengamatan asupan lemak terjadi fluktuasi, yaitu kenaikan pada
hari ke-2 sebesar 12,6% dan penurunan pada hari ke 3 sebesar
12,1%, sehinggga kecukupan asupan lemak belum memenuhi
target.

d. Asupan Karbohidrat

Asupan Karbohidrat
100%
90%
80%
70%
60% Hari 3
50%
Hari 2
40%
30% Hari 1
20%
10%
0%
1 2 3

Berdasarkan hasil asupan karbohidrat pada hari pertama 136,3


gram dengan prosentase 64,4%, hari ke-2 122,7 gram dengan
prosentase 58%, hari ke-3 117 gram dengan prosentase 70%.
Berdasarkan pengamatan asupan karbohidrat terjadi fluktuasi, yaitu
penurunan pada hari ke-2 sebesar 6,4% dan kenaikan pada hari ke-
3 sebesar 12%, sehinggga kecukupan asupan lemak belum
memenuhi target.

4.3.5.2 Data Biokimia


Pada monitoring nilai laboratorium terkait gizi, Glukosa
ACC terus menurun tiap harinya hingga mencapai nilai normal
102mg/dL. Dan albumin meningkat dari 2,6g/dL sampai
3,0g/dL. Untuk menaikkan albumin diberi ekstrak putih telur
setiap makan sebanyak 1p atau 50 gram putih telur.
Telur merupakan satu bahan pangan hewani yang
mempunyai kandungan protein tinggi. Jenis telur yang biasa
dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah telur ayam ras, telur
yam kampung dan telur itik. Tingkat konsumsi telur ayam ras
lebih tinggi karena harganya relatif murah dan tingkat
ketersediaannya tinggi di pasaran. Telur merupakan sumber
albumin dari hewani. Diketahui albumin pada telur (ovalbumin)
paling banyak terdapat pada putih telurnya daripada kuningnya.
Putih telur ayam ras dalam setiap 100 gram nya mengandung
ratarata 10,5 gram protein yang 95% nya adalah albumin (9,83
gram), sedang putih telur itik setiap 100 gram mengandung
rata-rata 11 gram protein.
Putih telur merupakan protein dengan nilai bilogi tinggi
(100) sehingga seluruh protein putih telur dapat diserap tubuh.
Perbandingan antara nitrogen ditahan dan nitrogen dikonsumsi
merupakan paling tinggi diantara protein makanan (Net Protein
Utilization sebesar 94).
Kandungan protein akan meningkat untuk setiap 1
gram berat telur. Putih telur mengandung albumin sebanyak
95% dalam bentuk ovoalbumin 54%, ovamukoid 11%, lisosim
11,5%, ovomukoin 1,5%avidin 0,05% dan ovoglobulin 0,5%.
Ovalbumin merupakan jenis albumin yang paling mudah
diserap oleh usus dibanding jenis albumin lain.
Putih telur dipecah pada sepanjang saluran pencernaan
menjadi ploippeptida kecil yang diserap oleh usus kemudian
ditranspor menuju hati, menggalami proses deaminasi dan
dihidrolisis menjadi asam amino oleh enzim transaminase.
Enzim peptidase, aminopeptidase dan karboksipeptidase
memecah asam amino menjadi alfa alanin yang bergabung
dengan glisin membentuk fraksi nitrogen amino dan ikatan
sulfide. Sebagian asam amino bebas berikatan dengan nitrogen
fraksi amino yang masuk sistem sekretorik (membran
endoplasma kasar, membran endoplasma halus, dan apparatus
golgi) dan albumin disekresi oleh vesikel sekretorik, melalui
transport aktif masuk sistem peredaran darah.

4.3.5.3 Data Fisik dan Klinis


Data pemeriksaan awal klinis pasien menunjukkan
kondisi sakit sedang dengan kesadaran compos mentis. Pasien
datang dengan keluhan pusing, lemas, dan nyeri di bagian ulkus
kaki sebelah kanan. Tetapi kondisi dapat membaik tidak pusing
dan lemas. Namun ulkus pada kaki tetap ada, hanya saja skala
nyeri tidak seperti pada awal masuk yaitu 3.

4.3.5.4 Edukasi Gizi


Edukasi gizi dilakukan setiap hari saat intervensi.
Pemberian edukasi bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
pasien mengenai tatalaksana diit Diabetes Mellitus dan
Hipertrigliseridemia serta memotivasi pasien untuk mematuhi
anjuran diet. Dengan demikian, pengetahuan gizi yang baik
sangat berpengaruh terhadap usia harapan hidup pasien
Diabetes Mellitus karena lebih pengalaman dalam menangani
masalah gizinya.

4.3.5.5 Konseling gizi


Konseling gizi dilakukan setelah intervensi. Konseling
gizi bertujuan unruk memotivasi, meningkatkan pengertian,
menanamkan perilaku dan sikap hidup sehat sesuai anjuran diet
kepada pasien shingga mereka dapat mengenali dan mengatasi
masalah gizi melalui pengaturan makan dan minum. Hasil dari
konseling adalah pasien berkomitmen untuk merubah perilaku
makan sesuai dengan anjuran diit selalu memonitoring asupan
makannya. Keluarga diharapkan juga untuk mampu
memotivasi Ny.N dalam menjalankan diet.

Anda mungkin juga menyukai