Kesunyian malam kala sang rembulan terlelap. Terperanjatku dibuatnya. Ku tatap keluar jendela
kamarku. Sepi sendiri tak ada yang temani malam. Seketika air mataku telah membasahi kaca jendela
yang semula berembun. Ketika itulah, malam sepi mampu tuk jadi tempat pengaduanku. Malam seolah
menjadi teman terindah dari yang indah. Sekeras dan sedalam apapun isak tangisku tak kan ada ora yang
mendengar, selain malam. Malam telah menjadi saksi dimana semua keluh kesah ku rintihkan
kepadanya.
Tak ku sangka jarum jam menunjuk pukul 3 pagi. Air mataku yang kian menderas mengusap pipi
membuat mataku merah lebam.
" Cukup Andini. Tak perlu kau bersedih meratapi semua yang terjadi. Air matamu tak akan menjadi
berlian. Coba tersenyumlah. Kembalilah kau dalam dunia nyata bukan terjebak dalam dubia fantasi yang
kau ciptakan. Senyum Andini." ucap malam kepadaku
Secara perlahan ku coba melengkungkan rautan tipis dalam di pipiku. Ku rasa kebebasan telah menjelma
menjadi tidur yang lelap.
" Bangun Andini. Cepat bangunlah nak, ini sudah pukul 7 pagi nak." ucap Mama sambil mengetuk pintu
kamarku
" Lha Mah.. Kenapa gak bangunin aku dari tadi." ucapku tergesa-gesa
Sesegera mungkin aku engkang dari tempat tidurku dan bergegas mandi. Sejenak ku menghadap cermin
kamar.
" Mata ku masih terlihat lebam karna semalaman menangis. Harus berkata apa aku bila Mama dan Papa
melihatnya?" ucapku di dalam kamar
Sesegera mungkin aku mencari ide untuk menutupi mataku yang lebam. Dan ku temukan sebuah
kacamata di laci tempat belajar ku.
" Setidaknya itu sedikit membuatku terbebas dari sambaran berjibun pertanyaan dari Mama." ucapku
dalam hati
Berlariku menuruni anak tangga dan bergegas bersalaman dengan Mama dan Papa.
"Tidak Ma, aku sudah terlambat. Daaa.... Ma Pa." ucapku sambil melambaikan tangan
" Bagaimana ini supaya aku dapat masuk ke kelas? Apalagi nanti ada ujian matematika. Kacaulah aku."
tanyaku dalam keramaian jalan
Kemudian teringat ku pada anak tangga yang ada di sisi pagar. Segera ku ambil dan secepatnya ku
menaikinya. Karna tergesa-gesa, hampir saja aku terjatuh di tumpukan semen. Tapi untunglah ada sosok
laki-laki yang menyelamatkanku.
" Cepatlah kamu naik, nanti kamu akan terlambat masuk kelas." perintahnya
Dengan spontan aku mengikuti saja perintahnya. Kemudian berlariku menuju kelas. Untung saja guru
mapel ku belum masuk ke kelas, jadi selamatlah aku.
Dengan mengatur nafas yang masih terpenggal-penggal, dudukku di bangku nomor dua dari depan.
Selang beberapa menit, datanglah guru mapel yang terkenal galak. Dan tiba-tiba ada sosok lelaki yang
menabrak pintu kelas ku.
" Maaf Bu, saya terlambat. Saya anak baru disini." ucap lelaki itu
" Kamu ini, anak baru bisa-bisanya terlambat. Berhubung kamu siswa baru disini, maka kamu saya beri
kesempatan duduk. Tapi, apabila kamu terlambat lagi, maka kamu silakan belajar di luar kelas." ucap
guru itu dengan nada sedikit meninggi
" Lho.. Itukan lelaki yang tadi, ternyata dia disini." ucapku dengan terkejut
" Ngapain kamu tadi dia Din?" tanya Vita, teman karibku
" Tadi dia yang menolongku ketika aku hampir saja jatuh dari anak tangga." jelasku
" Oh.. Bakal ada yang cinta lokasi nih." goda si Vita
" Apaan sih, baru saja melihatnya, ya gak mungkin lah." jawabku
" Huss.. Sudahlah, ini waktunya ujian matematika." ucapku mengalihkan pembicaraan
Setelah ujian telah berlangsung selama 90 menit, tiba-tiba lelaki itu menghampiriku dan mengajakku
berkenalan.
" Aku Dika." ucapnya sambil menjulurkan tangannya padaku
(Baru kenal saja sudah ngajak jalan) " Maaf aku ada acara sore ini."
Tak terasa jam sekolah telah berakhir. Sesampainya di rumah, ku buka handphone ku dan ada pesan dari
nomor yang tak ku kenal ku biarkan saja pesan tersebut. Malam harinya pun sama, nomor itu lagi yang
masuk. Entah siapakah dia dan darimana ia mendapat nomor ku aku pun tak peduli. Hingga malam telah
larut pun ia tetap saja menghubungiku. Karna aku merasa terganggu, jadi secara terpaksa ku buka pesan
tersebut dan membalasnya. Dan ternyata pesan tersebut berasal dari Dika, anak baru itu.
Mulai saat malam itu, kini setiap harinya kita berkomunikasi. Aku merasa nyaman dengannya. Hingga
suatu hari Dika dikabarkan sakit dan masuk ke rumah sakit. Aku merasa khawatir dan terkejut. Aku tak
tau apa penyakit yang ia derita selama ini, karna ia selalu terlihat ceria di depan ku.
Sebelum ia masuk kerumah sakit, ia sempat bertanya kepadaku apakah aku mau menemaninya setiap
harinya menjadi wanita nya? Dikeesokan harinya saat ia tengah terbaring lemas di atas kasur rumah
sakit, aku menjawab iya mau dengan tangis mengguyur pipi. Aku berharap saat mendengar jawabanku ia
bisa kembali pulih. Sesuai janjiku aku akan berusaha selalu menemaninya dimanapun, seperti saat ini.
Satu bulan telah berlalu. Kini Dika sudah pulih dari sakitnya. Kini aku dan Dika sudah berpacaran
selayaknya anak remaja. Satu sekolahan sudah mengetahui tentang hal itu.
Hubungan ku dengan Dika sudah berjalan 2 tahun. Sekarang kita sudah kelas 12. Jadi saatnya kita fokus
ujian kedepannya.
Aku senang ketika mendengar Dika mendapat nilai bagus UN nya, tapi aku pun merasa sedih.
Bahwasannya ia akan meneruskan kuliah di London. Aku tak mau menjadi penghambat cita-citanya dan
ku relakan ia pergi.
" Jaga dirimu baik-baik dan juga hatimu. Aku akan kembali pulang bersamamu lagi. Simpan buku ini baik-
baik bila kamu rindu aku, bacalah."ujarnya
Dan kini ia telah pergi bersama mimpi yang ia bawa dan segenggam cita-cita.