Anda di halaman 1dari 32

BAB 1

PENDAHULUAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) Sindrom koroner akut (SKA), merupakan


suatu kegawatan kardiovaskular yang memiliki potensi komplikasi yang dapat
berakibat fatal, yang dapat menjadi penyebab utama kejadian henti jantung
mendadak.
Sindrom koroner akut adalah suatu kumpulan gejala klinis iskemia miokard
yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke miokardium berupa nyeri dada,
perubahan segmen ST pada Electrocardiogram (EKG), dan perubahan biomarker
jantung. Keadaan iskemia yang akut dapat menyebabkan nekrosis miokardial yang
dapat berlanjut menjadi Infark Miokard Akut.
Tujuan terapi SKA adalah mengurangi daerah miokard yang mengalami
infark sehingga fungsi ventrikel kiri dapat dipertahankan, mencegah komplikasi
kardiak fatal dan menangani komplikasi SKA. Diagnosis dan terapi yang cepat akan
menyelamatkan miokard pada waktu awal infark.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. ST

Umur : 55 tahun

Jenis kelamin : Laki–Laki

Alamat : Perum Djaroem Village No.C1 RT 02/09 Pancoran mas. Depok

Agama : Islam

Status : Menikah

Masuk RS : Senin, 03 November 2019

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri dada dan sesak nafas sejak 12 jam sebelum masuk
Rumah Sakit
Keluhan Tambahan : Lemas seluruh badan, keringat dingin,tangan kanan
terasa kebas.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD RS Polri pukul 01.16 WIB dirujuk, dengan keluhan
Nyeri dada dan sesak nafas sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Pasien mengatakan nyeri dada datang mendadak sesaat pasien sedang sholat.
Nyeri dada seperti ditekan namun tidak menjalar,Keluhan tambahan lainnya
Lemas seluruh badan disertai keringat dingin dan kebas mulai dari lengan
kanan ketangan kanan. tidak ada demam dan tidak ada batuk.

Riwayat Penyakit Dahulu :

2
Pasien tidak memiliki riwayat hipertensi tak terkontrol, tidak
memiliki riwayat diabetes mellitus. Pasien tidak memiliki riwayat Asma,
Trauma, Ginjal dan Operasi.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat pernyakit serupa.

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien bekerja sebagai Karyawan swasta, pasien mampu melakukan


aktivitas sehari-hari seperti makan, minum dan mandi. Pasien tidak memiliki
riwayat kebiasaan merokok dan minum kopi.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6

Tekanan Darah : 160/100 mmHg

Nadi : 100 kali permenit

Pernapasan : 22 kali permenit

Suhu : 37 oC

Berat Badan : kg

Tinggi Badan : cm

3
STATUS GENERALIS

a. Kepala
- Bentuk : Bulat, simetris, normocephal
- Kulit : Tidak ada kelainan
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Telinga : Bentuk normal, simetris
- Hidung : Bentuk normal, tidak deviasi, tidak ada napas
cuping hidung
b. Thorax
Bentuk normal, tidak ada retraksi, simetris saat statis dan dinamis.

c. Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan: ICS IV linea sternalis
dextra. Batas pinggang jantung: ICS III linea
midclavicularis sinistra Batas jantung kiri:
ICS V linea axilaris anterior sinistra
- Auskultasi : BJ I – BJ II reguller, murmur (-), gallop (-)

d. Paru
- Inspeksi : pergerakan dinding dan bentuk dada simetris
kanan dan kiri
- Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri
simetris, nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-)

4
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-)

e. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-)
- Auskultasi : Bising usus normal
- Palpasi : Nyeri tekan (-), defans muscular (-), ascites (-), massa
(-)
- Perkusi : Shifting dullness (-)

f. Ekstremitas
- Superior : Edema (-/-), sianosis (-), akral dingin (-), deformitas (-),
capillary refill time < 2 detik
- Inferior : Edema (-/-), sianosis (-), akral dingin (-), deformitas (-),
capillary refill time < 2 detik.

5
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Laboratorium IGD RS POLRI
a. Hematologi pada Minggu,03 November 2019 pukul 02:36:41 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

Hemoglobin 16.8 13-16 g/dl

Leukosit 13.000 5000-10.000 /ul

Hematokrit 51 40-48%

Trombosit 243.000 150.000-400.000/ul

b. Kimia Klinik pada Minggu,03 November 2019 pukul 02:36:41 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

Ureum 33 10 - 50 mg/dl

Creatinin 1.0 0,5 - 1,5 mg/dl

CKMB 43 <25

Glukosa darah sewaktu 115 <200 mg/dl

6
Pemeriksaan Laboratorium RS Permata Depok
c. Hematologi pada Sabtu,02 November 2019 pukul 20:24:00 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

Hemoglobin 15.8 13-16 g/dl

Leukosit 14.300 5000-10.000 /ul

Hematokrit 46.4 40-48%

Trombosit 251.000 150.000-400.000/ul

D. Kimia Klinik pada Sabtu,02 November 2019 pukul 20:24:00 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

Troponin I Positif Negatif

7
2. Pemeriksaan EKG

Pemeriksaan EKG RS Permata Depok Sabtu 02 November 2019

8
Pada tanggal 03- November- 2019 (IGD RS POLRI)

9
Pada tanggal :

10
Pemeriksaan Foto THoraks

Cor : Membesar
Sinus dan Diafragma normal
Pulmo : Hili normal , Corakan paru normal , tidak tampak infiltrat
Skeletal dan soft tissue dalam batas normal

Kesan : Kardiomegali

11
2.5 TATALAKSANA MEDIS
a. IVFD RL 14 tpm
b. Aspilet 1x 80mg
c. CPG
d. Captopril
e.
.
2.6 RESUME

Pasien datang ke IGD RS Polri pukul 01.16 WIB dirujuk, dengan keluhan
Nyeri dada dan sesak nafas sejak 12 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
Pasien mengatakan nyeri dada datang mendadak sesaat pasien sedang sholat.
Nyeri dada seperti ditekan namun tidak menjalar,Keluhan tambahan lainnya
Lemas seluruh badan disertai keringat dingin dan kebas mulai dari lengan
kanan ketangan kanan. tidak ada demam dan tidak ada batuk.
Pada pemeriksaan hematologi tanggal 2019, didapakan hasil
Hemoglobin g/dl (13-16 g/dl), Leukosit /ul (5000-10.000 /ul), Hematokrit %
(40-48%), Trombosit /ul (150.000-400.000/ul)
Pada pemeriksaan kimia klinik tanggal 30 september 2019, didapakan
hasil Ureum mg/dl (10 - 50 mg/dl), Creatinine mg/dl (0,5 - 1,5
mg/dl), Glukosa Darah Sewaktu (GDS) mg/dl (<200 mg/dl).
Pada pemeriksaan EKG didapatkan . RO Thorax : Kardiomegali.

2.7 PEMERIKSAAN ANJURAN


a. BNP / NT- pro BNP
b. Troponin
c. Urinalisa lengkap

12
2.8 MONITORING
a. Vital Sign
b. EKG
c. Gejala Klinis

2.9 PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad sanacionam : Dubia ad bonam
Quo Ad functionam : Dubia ad bonam

13
FOLLOW UP

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Sindrom Koroner Akut


Sindroma koroner akut adalah gangguan aliran darah koroner parsial
hingga total ke miokard secara akut yang menyebabkan adanya suatu kumpulan
gejala klinis iskemia miokard yang terjadi akibat kurangnya aliran darah ke
miokardium berupa nyeri dada, perubahan segmen ST pada Electrocardiogram
(EKG), dan perubahan biomarker jantung.

2.2 Epidemiologi
Pada tahun 2010, secara global penyakit ini akan menjadi penyebab kematian
pertama di negara berkembang, menggantikan kematian akibat infeksi.
Diperkirakan bahwa diseluruh dunia, PJK padatahun 2020 menjadi pembunuh
pertama tersering yakni sebesar 36% dari seluruh kematian. Di Indonesia
dilaporkan PJK (yang dikelompokkan menjadi penyakit sistem sirkulasi)
merupakan penyebab utama dan pertama dari seluruh kematian, yakni sebesar
26,4%. Dengan kata lain,lebih kurang satu diantara empat orang yang
meninggal di Indonesia adalah akibat PJK.

2.3 Klasifikasi Sindroma Koroner Akut


Sindroma koroner akut (SKA) lebih lanjut dapat di klasifikasikan menjadi
ST - segment Elevation Myocardial Infract (STEMI), Non ST - segment
Elevation Myocardial Infract (NSTEMI) dan Unstable Angina (UA)

2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor risiko yang sudah kita kenal antara lain merokok, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes melitus, aktifitas fisik, dan obesitas. Di antara faktor
risiko konvensional, ada empat faktor risiko biologis yang tak dapat diubah,
yaitu: usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Hubungan antara usia dan
timbulnya penyakit mungkin hanya mencerminkan lebih panjangnya lama
paparan terhadap faktor-faktor aterogenik. Wanita relatif lebih sulit mengidap

15
penyakit jantung koroner sampai masa menopause dan kemudian menjadi sama
rentannya seperti pria.
Hal ini diduga oleh karena adanya efek perlindungan estrogen. Faktor-faktor
risiko lain masihdapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses
aterogenik. Faktor-faktor tersebut adalah peningkatan kadar lipid serum,
hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa dan diet tinggi lemak
jenuh,kolesterol, dan kalori. SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia
diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat
juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan
batasan usia 40-45 tahun untuk mendefinisikan “pasien usia muda” dengan
penyakit jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai
insidensi yang rendah pada usia muda.

2.5 Patofisiologi
Sebagian besar Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah manifestasi akut
dari plak ateroma pembuluh darah koroner yang koyak atau pecah. Hal ini
berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan penipisan tudung fibrus yang
menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh proses agregasi trombosit
dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya trombosit (white
thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah koroner, baik
secara total maupun parsial; atau menjadi mikroemboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif
yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah
koroner. Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium.
Pasokan oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan
miokardium mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah
koroner. Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat
menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard).
Akibat dari iskemia, selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium
karena proses hibernating dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan
remodeling ventrikel (perubahan bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian
pasien SKA tidak mengalami koyak plak seperti diterangkan di atas. Mereka

16
mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat spasme lokal dari arteri
koronaria epikardial (Angina Prinzmetal).
Penyempitan arteri koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat
diakibatkan oleh progresi plak atau restenosis setelah Intervensi Koroner
Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti demam, anemia,
tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus terjadinya SKA
pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat
utama dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial
disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses
yang sangat komplek dan multifaktor serta saling terkait. Aterotrombosis terdiri
dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan proses
pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti
lipid-filled macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak
fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini
menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana
awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel,
pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih
lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil. Banyak sekali
penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan penting
dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner inflamasi
dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak
yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA.
Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication
pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan
dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak
(fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun
pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada
pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan
pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan
subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau
keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul berbagai
presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini
dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang

17
dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak
stabil /progresif yang dikenal juga dengan SKA.
Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding
arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan
tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit
serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis.
Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau
subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak
aterosklerosis yang relatif kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil
dan tidak sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien
labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10–20 menit.
Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral
atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka
akan timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan miokard). Trombus yang
terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila oklusi
menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan
miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan
STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan persisten yang
menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih
dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural
Sekarang semakin diyakini dan lebih jelas bahwa trombosis adalah
sebagai dasar mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner
terutama disebabkan oleh pecahnya vulnerable plak aterosklerotik akibat
fibrous cups yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah.
Fibrous cups bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami
remodeling akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel
inflamasi, gangguan matriks ekstraselular atau extra-cellular matrix (ECM)
akibat aktivitas matrix metallo proteinases (MMPs) yang menghambat
pembentukan kolagen dan aktivitas inflammatory cytokines
Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses
inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses poto-biologis
SKA, dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh proses inflamasi.
Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat bersifat sistemik.
Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan homeostatik.

18
Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi fibrinogen dan
inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat
menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah karena tergganggunya aliran
darah.
Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada
patogenesis SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi
endotel ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu
sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan faktor
relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai Endothelium Derived
Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti endotelin-1,
tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi
lebih dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami disrupsi
terjadi platelet dependent vasocontriction yang diperantarai oleh serotonin dan
tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction diduga akibat
interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.

2.6 Manifestasi Klinis


Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA. Nyeri
dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar
pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri dada angina
dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena gejala ini
merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien SKA. Sifat nyeri dada yang
spesifik angina sebagai berikut :
a) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
b) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
c) Penjalaran : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula,
dan dapat juga ke lengan kanan.
d) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
e) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan
f) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan
lemas.

19
Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan antara gejala
NSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal
ventrikel kiri akut. Gejala yang tidak tipikal seperti rasa lelah yang tidak jelas, nafas
pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi,
terutama pada wanita, penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus
lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan
agar tidak terjadi kesalahan diagnosis.

Diagnosis
a) Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung intermiten atau
beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal sering disertai
keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan
sinkop. Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah
penjalaran angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang
tidak dapat diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan.
Keluhan atipikal ini lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun)
atau usia lanjut (>75 tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau
demensia. Walaupun keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini
patut dicurigai sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama
pada pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan
angina setelah terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.dapat
juga ditanyakan apakah pasien mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok,
dislipidemia, diabetes mellitus dan riwayat PJK dini dalam keluarga.

b) Pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia.
Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis,

20
ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap SKA.
Pericardial friction rub karena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis
banding SKA.

c) Pemeriksaan enzim jantung


Creatine kinase (CK) adalah enzim miokard yang meningkat apabila terjadi
IMA, mencapai konsentrasi maksimal setelah 24 jam serangan, kemudian kembali ke
nilai normal setelah 72 jam serangan. Walaupun demikian fase positive dapat teradi
pada miokarditis, perikarditis, trauma miokard, penyakit kolagen yang mengenai
miokard, dan trauma pada otot seperti miositis, luka bakar atau setelah dikerok.
Dilaporkan juga enzim ini dapat meningkat pada hipotiroidisme, gagal ginjal, dan
subarachnoid hemorrahge. Creatine Kinase Myocardial Band (CKMB) adalah
isoenzim dari CK yang lebih spesifik mewakili enzim miokard, maka beberapa
laboratorium mendiagnosis IMA bila kenaikan nilai CKMB melebihi 6% dari CK.
Troponin I/T sebagai marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas lebih tinggi dari CK-MB. Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab
kelainan kardiak nonkoroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung,
hipertrofi ventrikel kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat
meningkatkan kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit
neurologik akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi
ginjal. Pada dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesifisitas yang lebih tinggi dari troponin T.

d) Pemeriksaan elektrokardiografi
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah
kepada iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan
prognosis. Rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat.
Rekaman EKG penting untuk membedakan STEMI dan SKA lainnya

21
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-
V4/V5
2 Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V3
3 Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V1-V6
dan I dan aVL
4 Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di V5-V6
dan inversi gelombang T/elevasi ST/gelombang Q di I
dan aVL
5 Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan aVL).
6 Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
dan aVF
7 Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q di II, III,
aVF, V1-V3
8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen ST
depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di V1-V2
9 RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead (V3R-V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

22
e) Penatalaksanaan

2.5.1 Terapi Awal


Berdasarkan langkah diagnostik tersebut di atas, dokter perlu segera
menetapkan diagnosis kerja yang akan menjadi dasar strategi penanganan
selanjutnya, yang dimaksud dengan terapi awal adalah terapi yang diberikan pada
pasien dengan diagnosis kerja kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina
di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung.
Terapi awal yang dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin dan Clopidogrel
(disingkat MONACO).
Setelah diberikan Nitrat, maka umumnya gejala nyeri dada akan menghilang,
tetapi hati – hati pada pasien dengan keluhan nyeri dada, tetapi kontraindikasi
terhadap nitrat, yaitu pasien dengan bradikardi, takikardi ekstrem, tekanan darah
kurang dari 90mmHg dan pemakaian obat obatan kuat (obat kuat) maka pasien
dengan kondisi tersebut tidak bisa diberikan nitrat. Pantau tanda – tanda vital setiap
setengah jam sampai stabil. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka
dengan saturasi O2 arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi.

23
Pemberian morfin sulfat intravena 2 – 4 mg dengan interval 5 – 15 menit bila nyeri
belum teratasi.

Terapi intervensi koroner perkutan (PCI)


Pada pasien SKA dengan elevasi ST dan onset < 12 jam direkomendasikan
terapi PCI primer (Primary PCI) yaitu terutama pasien dengan presentasi klinis nyeri
dada < 3 jam, tersedianya fasilitas dan tenaga ahli laboratorium kateterisasi jantung
yang memadai, pasien dengan syok kardiogenik atau ditemukan kontraindikasi terapi
fibrinolitik. PCI primer pada beberapa kondisi tertentu mempunyai angka
keberhasilan yang lebih baik dibandingkan fibrinolitik. Waktu ideal antara pasien tiba
dengan inflasi balon (door-to-balloon time) adalah 90 menit.

Obat-obatan yang diperlukan dalam menangani SKA adalah:


2.1 Penyekat Beta (Beta blocker)
Keuntungan utama terapi penyekat beta terletak pada efeknya terhadap reseptor
beta-1 yang mengakibatkan turunnya konsumsi oksigen miokardium. Terapi
hendaknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrio-ventrikler
yang signifikan, asma bronkiale, dan disfungsi akut ventrikel kiri. Pada kebanyakan
kasus, preparat oral cukup memadai dibandingkan injeksi.

2.2 Nitrat
Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang mengakibatkan
berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri sehingga konsumsi
oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah dilatasi pembuluh darah
koroner baik yang normal maupun yang mengalami aterosklerosis. Umumnya nitrat
dikonsumsi jika timbul adanya nyeri dada.

24
2.3 Calcium channel blockers (CCBs)
Nifedipin dan amplodipin mempunyai efek vasodilator arteri dengan sedikit
atau tanpa efek pada SA Node atau AV Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem
mempunyai efek terhadap SA Node dan AV Node yang menonjol dan sekaligus efek
dilatasi arteri. Semua CCB tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang
seimbang.

2.4 Antiplatelet
Aspirin harus diberikan kepada semua pasien tanda indikasi kontra dengan
dosis loading 150-300 mg dan dosis pemeliharaan 75-100 mg setiap harinya untuk
jangka panjang, tanpa memandang strategi pengobatan yang diberikan.
1) Penghambat reseptor ADP perlu diberikan bersama aspirin sesegera mungkin
dan dipertahankan selama 12 bulan kecuali ada indikasi kontra seperti risiko
perdarahan berlebih.
2) Penghambat pompa proton (sebaiknya bukan omeprazole) diberikan bersama
DAPT (dual antiplatelet therapy - aspirin dan penghambat reseptor ADP)
direkomendasikan pada pasien dengan riwayat perdarahan saluran cerna atau
ulkus peptikum, dan perlu diberikan pada pasien dengan beragam faktor
risiko seperti infeksi H. pylori, usia ≥65 tahun, serta konsumsi bersama
dengan antikoagulan atau steroid.
3) Penghentian penghambat reseptor ADP lama atau permanen dalam 12 bulan
sejak kejadian indeks tidak disarankan kecuali ada indikasi klinis.

25
4) Ticagrelor direkomendasikan untuk semua pasien dengan risiko kejadian
iskemik sedang hingga tinggi (misalnya peningkatan troponin) dengan dosis
loading 180 mg, dilanjutkan 90 mg dua kali sehari.
Pemberian dilakukan tanpa memandang strategi pengobatan awal. Pemberian
ini juga dilakukan pada pasien yang sudah mendapatkan clopidogrel
(pemberian clopidogrel kemudian dihentikan).
5) Clopidogrel direkomendasikan untuk pasien yang tidak bisa menggunakan
ticagrelor. Dosis loading clopidogrel adalah 300 mg, dilanjutkan 75 mg
setiap hari.
6) Pemberian dosis loading clopidogrel 600 mg (atau dosis loading 300 mg
diikuti dosis tambahan 300 mg saat IKP) direkomendasikan untuk pasien
yang dijadwalkan menerima strategi invasif ketika tidak bisa mendapatkan
ticagrelor.
7) Dosis pemeliharaan clopidogrel yang lebih tinggi (150 mg setiap hari) perlu
dipertimbangkan untuk 7 hari pertama pada pasien yang dilakukan IKP tanpa
risiko perdarahan yang meningkat.
8) Pada pasien yang telah menerima pengobatan penghambat reseptor ADP
yang perlu menjalani pembedahan mayor non-emergensi (termasuk CABG),
perlu dipertimbangkan penundaan pembedahan selama 5 hari setelah
penghentian pemberian ticagrelor atau clopidogrel bila secara klinis
memungkinkan, kecuali bila terdapat risiko kejadian iskemik yang tinggi.
9) Ticagrelor atau clopidogrel perlu dipertimbangkan untuk diberikan (atau
dilanjutkan) setelah pembedahan CABG begitu dianggap aman.
Tidak disarankan memberikan aspirin bersama NSAID (penghambat COX-2
selektif dan NSAID non-selektif ).

Terapi Reperfusi
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan
untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi

26
segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang
(terduga) baru.
Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer) diindikasikan
apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia yang sedang
berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam yang lalu atau jika
nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat.
Dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan
ada tidaknya rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada,
langsung pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat
kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah kurang
atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam, reperfusi
pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan, jika
memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.
Intervensi koroner perkutan primer IKP primer adalah terapi reperfusi
yang lebih disarankan dibandingkan dengan fibrinolisis apabila dilakukan oleh
tim yang berpengalaman dalam 120 menit dari waktu kontak medis pertama.
IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat
atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan
tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama.
Stenting lebih disarankan dibandingkan angioplasti balon untuk IKP primer.
Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah
tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien stabil tanpa
gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis. Bila pasien
tidak memiliki indikasi kontra terhadap terapi antiplatelet dual (dual antiplatelet
therapy-DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, drug-
eluting stents (DES) lebih disarankan daripada bare metal stents (BMS)

Terapi fibrinolitik
Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada
tempat- tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam
waktu yang disarankan.
Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan
gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis

27
pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala)
dengan infark yang besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu
dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon
lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase)
lebih disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin
(streptokinase). Aspirin oral atau intravena harus diberikan. Clopidogrel
diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin. Antikoagulan
direkomendasikan pada pasien-pasien STEMI yang diobati dengan fibrinolitik
hingga revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit
hingga 5 hari. Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:

Pemindahan pasien ke pusat pelayanan medis yang mampu melakukan


IKP setelah fibrinolisis diindikasikan pada semua pasien. IKP
“rescue”diindikasikan segera setelah fibrinolisis gagal, yaitu resolusi segmen
ST kurang dari 50% setelah 60 menit disertai tidak hilangnya nyeri dada. IKP
emergency diindikasikan untuk kasus dengan iskemia rekuren atau bukti
adanya reoklusi setelah fibrinolisis yang berhasil. Hal ini ditunjukkan oleh
gambaran elevasi segmen ST kembali. Angiografi emergensi dengan tujuan
untuk melakukan revaskularisasi diindikasikan untuk gagal jantung/pasien syok
setelah dilakukannya fibrinolisis inisial. Jika memungkinkan, angiografi dengan
tujuan untuk melakukan revaskularisasi (pada arteri yang mengalami infark)
diindikasikan setelah fibrinolisis yang berhasil. Waktu optimal angiografi untuk
pasien stabil setelah lisis yang berhasil adalah 3-24 jam.

28
2.5 Komplikasi
a) Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi disfungsi
miokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau trombolisis,
perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas
transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior,
dapat terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodeling
patologis disertai tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir
dengan gagal jantung kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai
konsekuensi dari aritmia yang berkelanjutan atau sebagai komplikasimekanis.

b) Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90
mmHg. Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga
disebabkan oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis. Bila
berlanjut, hipotensi dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubular necrosis
dan berkurangnya urine output.

c) Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal,
berkurangnya saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan
perbaikan klinis terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.

d) Keadaan output rendah


Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk
dengan hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin.
Ekokardiografi dapat menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi
mekanis atau infark ventrikel kanan.

e) Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%.
Meskipun syok seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard
akut, ia biasanya tidak didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit.

29
Penelitian registry SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded
coronaries for Cardiogenic shoCK) menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik
terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis
syok kardiogenik yang dapat ditemukan beragam dan menentukan berat
tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka pendek. Pasien biasanya
datang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah (takikardia saat
istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan kongesti
paru.

f) Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut


Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam pertama
setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 15 hari sejak
infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar
28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10%
(≤30 detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak
per menit selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik),VT berkelanjutan
sebesar 3% dan VF sebesar 3%.

BAB III
KESIMPULAN

30
DAFTAR PUSTAKAOVASKULAR

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana


Sindrom Koroner Akut. Jakarta: Centra Communications. 2015.
2. Depkes RI. Buku Saku Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung
Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut.
3. Syukri K, Peter Kabo. Buku Ajar EKG dan penanggulangan beberapa penyakit
jantung untuk dokter umum. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007.
4. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.2007
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
6. Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. Cermin Dunia Kedokteran.
2005; 147: 6-9
7. Fauci, Braunwald, dkk. 17thEdition Harrison’s Principles of Internal Medicine.
New South Wales: McGraw Hill. 2010.
8. Antman EM, Hand M, Armstrong PW, et al. Focused update of the ACC/AHA
2004 guidelines for the management of the patients with ST- elevation
myocardial infarction : a report of the American College of Cardiology American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. 2008;51:210–247.
9. Fesmire FM, Bardy WJ, Hahn S, et al. Clinical policy: indications for reperfusion
therapy in emergency department patients with suspected acute myocardial
infarction. American College of Emergency Physicians Clinical Policies
Subcommittee (Writing Committee) on Reperfusion Therapy in Emergency
Department Patients with Suspected Acute Myocardial Infarction. Ann Emerg
Med. 2006;48:358–383.
10. Rieves D, Wright G, Gupta G. Clinical Trial (GUSTO-1 and INJECT) Evidence
of Earlier Death for Men thanWomen after Acute Myocardial Infarction. Am J
Cardiol.2000; 85 : 147-153
11. International Joint Efficacy Comparison of Thrombolytics. Randomized, Double-
blind Comparison of Reteplase Doublebolus Administration with Streptokinase in
Acute Myocardial Infarction. Lancet.1995; 346 : 329-336.

31
12. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A
Comprehensive Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York. 2004.
p.227.
13. Werf FV, Bax J, Betriu A, Crea F, Falk V, Fox K, et al. Management of acute
myocardial infarction in patients presenting with persistent ST-segment elevation:
the Task Force on the Management of ST-Segment Elevation Acute Myocardial
Infarction of the European Society of Cardiology. Eur Heart J 2008;29:2909–
2945.
14. ISIS 2 Collaborative Group: Randomized trial of intravenous streptokinase, oral
aspirin, both or neither among 17.187 cases of suspected AMI. Lancet.1986;
1:397.

32

Anda mungkin juga menyukai