Anda di halaman 1dari 12

58

BAB V

PEMBAHASAN

Bab ini akan membahas hasil penelitian mengenai breathing exercises

terhadap kualitas hidup dan peak expiratory flow rate pada penyakit paru

obstruktif kronik di UPT. Pelayanan Kesehatan Paru Kalimantan Barat yang

diuraikan pada bab IV. Data yang telah diolah peneliti bertujuan untuk mengetahui

hasil penelitian breathing exercises pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol dengan diperkuat oleh hasil penelitian sebelumnya dan teori-teori yang

telah ada. Bab ini juga membahas mengenai keterbatasan penelitian, dan implikasi

keperawatan.

5.1 Karakteristik Responden Pasien PPOK


Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti pada 30

responden didapatkan bahwa ada hubungan tingkat kualitas hidup dan nilai

peak expiratory flow rate dengan usia pada pasien PPOK. Usia responden

pada kelompok intervensi hampir setengahnya pada rentang usia dewasa

akhir yaitu (36-45 tahun) dan kategori usia responden pada kelompok kontrol

sebagian besar pada rentang usia lansia awal (46-55 tahun) yang mengalami

PPOK dengan perubahan kualitas hidup dan nilai peak expiratory flow rate.
Penelitian Jordan et al (2012) menyatakan bahwa perkiraan prevalensi

PPOK bervariasi sesuai dengan definisi penyakit dan lebih ditandai dengan

bertambahnya usia. Hasil penelitian Firdausi (2014) menunjukkan bahwa

faktor resiko terjadinya PPOK meningkat karena seiring bertambahnya usia.

Usia di atas 50 tahun akan mengalami penurunan daya tahan sistem


59

kardiorespirasi hal ini terjadi karena pada organ paru, jantung dan pembuluh

darah mulai menurun fungsinya.


Penelitian yang dilakukan Irianti et al (2018) menyatakan bahwa

berdasarkan karakteristik kelompok usia, sebagian besar memiliki kualitas

hidup yang buruk yaitu pada kelompok usia 50-59 tahun dan bertambahnya

usia pasien dapat menurunkan tingkat kualitas hidup. Beberapa faktor yang

mempengaruhi nilai peak expiratory flow rate (PEFR) menurut Suprayitno et

al (2017) salah satunya adalah usia. Hal ini sejalan dengan penelitian

Muthmainnah, Restuastuti & Munir (2015) menyatakan bahwa dengan

semakin bertambahnya usia fungsi paru akan mengalami kemunduran hal ini

disebabkan karena penurunan elastisitas jaringan paru dan dinding dada.

Akibat dari kerusakan pada jaringan paru akan menimbulkan obstruksi jalan

napas sehingga menyebabkan seseorang mengalami kesulitan bernapas.


Responden yang mengalami PPOK banyak mengalami penurunan fungsi

organ tubuh terutama pada organ paru-paru, sebagian besar aktifitas fisik

pada usia lanjut mulai berkurang sehingga oksigen yang dibutuhkan relatif

sedikit hal ini menyebabkan kualitas hidup dan nilai peak expiratory flow

rate menurun pada pasien PPOK.


Berdasarkan hasil penelitian, responden berjenis kelamin laki-laki lebih

banyak menderita PPOK disertai dengan penurunan kualitas hidup dan nilai

peak expiratory flow rate dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan hal

ini dipengaruhi populasi laki-laki yang menderita PPOK lebih banyak

jumlahnya dibandingkan populasi perempuan.


Penelitian Aryal, Guzman & Mannino (2014) menunjukkan bahwa

sebagian besar infeksi saluran pernapasan lebih parah pada laki-laki dan
60

mengarah pada kematian. Hal ini sejalan dengan penelitian Fajriawan dkk

dalam Shamara & Fachri (2014) mengemukakan bahwa di Indonesia pada

penelitian terakhir jumlah perokok laki-laki diatas 10 tahun sekitar 52.9% dan

perempuan hanya 3.6%. Penelitian Jordan et al (2012) menyatakan bahwa

perbedaan jenis kelamin muncul karena penurunan alami dalam tubuh yang

dimulai lebih awal pada pria (sekitar usia 42 tahun) dibandingkan dengan

wanita (sekitar usia 48 tahun).


Hasil penelitian yang dilakukan Morrow et al di Rumah Sakit Groote

Schuur, Cape Town, Afrika Selatan tahun 2016 bahwa mayoritas pasien

PPOK adalah laki-laki sebesar 72,22%. Penelitian yang dilakukan

Muthmainnah dkk tahun 2015 di Poli Paru RSUD Arifin Achmad Provinsi

Riau dari total 71 orang pasien PPOK di dapatkan yaitu 57 orang (80,28%)

berjenis kelamin laki-laki.


Perbandingan yang begitu besar terjadi karena sebagian besar PPOK lebih

sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan disebabkan karena

jumlah perokok aktif lebih banyak pada laki-laki dibandingkan dengan

perempuan. Hal inilah yang dianggap sebagai pemicu terjadinya kasus PPOK

pada laki-laki.
Berdasarkan hasil dari data didapatkan sebagian besar responden dalam

penelitian ini adalah berpendidikan sekolah dasar (SD). Didapatkan hasil

bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kualitas hidup

dan peak expiratory flow rate. Menurut Jia et al (2018) pengetahuan yang

kurang pada pasien tentang PPOK membuat tenaga kesehatan harus

mengambil tindakan untuk meningkatkan pengetahuan pasien PPOK.


61

Pendidikan, pembelajaran, dan manajemen diri merupakan proses saling

bergantungan yang diperlukan untuk mencapai perubahan perilaku dan pada

akhirnya peningkatan kesehatan (Blackstock et al, 2018). Penelitian Kwon &

Kim (2016) menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama

kejadian PPOK karenanya perubahan pendidikan dan gaya hidup diperlukan

sebagai pencegahan tindakan sehingga dalam hal ini tingkat pendidikan

mempengaruhi kualitas hidup pasien PPOK. Orang dengan tingkat pendidikan

tinggi memiliki pengetahuan yang lebih dibanding dengan orang

berpendidikan rendah sehingga tingkat pendidikan sangat mempengaruhi pola

hidup seseorang (Mulyani, Muslima, & Yohastuti, 2018).


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Uzel et al yang dilakukan di

Klinik Rawat Jalan Turki pada tahun 2017 menyatakan bahwa yang memiliki

pendidikan sekolah dasar (SD) dari 201 responden ada sebanyak 135 (67,2%)

responden yang berpendidikan sekolah dasar (SD). Penelitian Irianti et al

(2018) menyatakan bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi meningkatkan

skor kualitas hidup. Penelitian Dimitropoulos et al (2013) menyatakan bahwa

semakin tinggi tingkat pendidikan dan status keuangan maka semakin baik

skor kualitas hidup pasien PPOK.


Pendidikan rendah yang ditunjukkan dengan kurangnya pengetahuan yang

dimiliki pasien PPOK terhadap informasi yang didapatkan dalam pemecahan

masalah terutama masalah kesehatan dapat berdampak buruk terhadap kondisi

pada pasien PPOK. Sehingga pada penelitian ini dengan adanya breathing

exercises yang dilakukan dirumah antara peneliti dan responden dapat


62

berdiskusi untuk mengatasi masalah pasien atau mencegah pasien agar tidak

dalam keadaan yang lebih buruk.


Berdasarkan hasil dari data didapatkan sebagian besar responden dalam

penelitian ini rata-rata memiliki riwayat merokok. Didapatkan hasil bahwa

ada hubungan riwayat merokok dengan kejadian PPOK yang mengalami

penurunan kualitas hidup dan nilai peak expiratory flow rate.


Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mogera & Sa yang

dilakukan di RS Mangalore dan Karkala Taluk pada tahun 2018 menyatakan

bahwa yang memiliki riwayat merokok dari 60 responden ada sebanyak 49

(81,67%) responden yang memiliki riwayat merokok. Pengaruh bahan-bahan

kimia yang dikandung rokok seperti nikotin, CO (Karbonmonoksida) dan tar

dapat menyebabkan susunan syaraf pusat dan susunan syaraf simpatis bekerja

lebih cepat sehingga dapat mengakibatkan meningkatnya tekanan darah dan

detak jantung menjadi cepat, dapat menstimulasi kanker dan berbagai

penyakit lain seperti penyempitan pembuluh darah, tekanan darah tinggi,

jantung, paru-paru, dan bronkitis kronis (Turbago, 2013).


Kebiasaan merokok dapat meningkatkan risiko terjadinya kelainan pada

saluran nafas berupa penyempitan yang akhirnya menyebabkan kejadian

PPOK (GOLD, 2018). Kandungan zat nikotin dalam rokok dapat

menurunkan fungsi sel epitel saluran pernapasan sehingga memicu terjadinya

peradangan dan peningkatan penebalan dinding di paru-paru sehingga

menyebabkan keterbatasan aliran udara (Birajdar et al, 2016). Hal ini sejalan

dengan penelitian Mehmood et al (2018) yang menyatakan bahwa tahap awal

merokok memang menyebabkan penurunan fungsi paru, asap rokok yang

dihirup telah terbukti menimbulkan perubahan fungsi pernapasan akut


63

termasuk perubahan resistensi aliran udara, batuk, dan iritasi pada saluran

udara.
Asap rokok yang menumpuk di paru-paru jika terlalu lama terpapar

paparan asap rokok maka dapat menyebabkan peradangan di saluran

pernapasan sehingga pasien akan sering merasa sesak karena adanya

penyempitan saluran napas hal inilah yang dapat menyebabkan penurunan

kualitas hidup dan nilai peak expiratory flow rate pada pasien PPOK.

5.2 Identifikasi Kualitas Hidup Pasien PPOK Sebelum dan Sesudah

Diberikan Breathing Exercises


Hasil penelitian menunjukkan breathing exercises mampu mempengaruhi

kualitas hidup pasien PPOK. Pada responden kelompok intervensi secara

umum menunjukkan adanya peningkatan menjadi lebih baik. Tingkat kualitas

hidup berdasarkan analisis diketahui bahwa responden penelitian pada

kelompok intervensi sebelum diberikan breathing exercises mempunyai

tingkat kualitas hidup yang hampir seluruhnya buruk dan satu responden baik,

setelah dilakukan breathing exercises terjadi peningkatan kualitas hidup pada

seluruh responden ditunjukkan dengan skor kualitas hidup yang menurun.

Tingkat kualitas hidup sebelum dilakukan intervensi diperoleh nilai tertinggi

pada pertanyaan perasaan sesak ketika jalan mendaki atau naik tangga

dibandingkan pertanyaan lainnya, sama halnya pre test pada kelompok kontrol

pertanyaan yang menunjukkan nilai tertinggi juga pada pertanyaan perasaan

sesak ketika jalan mendaki atau naik tangga.

Sesak biasanya merupakan gejala utama yang membatasi kapasitas

olahraga pada pasien dengan PPOK. Sesak saat aktivitas telah dikaitkan
64

dengan hiperinflasi, karena itu pola pernapasan pasien menjadi cepat dan

dangkal (European Respiratory Society, 2016). Terjadinya peradangan pada

saluran udara kecil yang menyebabkan obstruksi dan terperangkapnya udara

dapat menyebabkan hiperinflasi dinamis. Hiperinflasi dinamis juga dapat

terjadi, di mana jumlah sisa-sisa udara di paru-paru meningkat. Hiperinflasi

dinamis menghasilkan kerusakan pada otot diafragma yang menyebabkan

peningkatan pernapasan (Brashier & Kodgule, 2012; Lumb & Biercamp,

2013).

Komponen kualitas hidup pada kelompok intervensi setelah diberikan

breathing exercises terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,000) dengan nilai

post test. Pada hasil post test kelompok intervensi skor kualitas hidup

mengalami penurunan nilai. Sedangkan pada kelompok kontrol hasil post test

tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p=0,058).


Hal ini sejalan dengan pernyataan Pinto et al (2014) tes penilaian kualitas

hidup PPOK (CAT) adalah kuesioner pendek dan sederhana untuk menilai dan

memantau pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), skor CAT yang

lebih rendah menandakan status kesehatan yang lebih baik dan konsisten

dengan apa yang diharapkan.


Kualitas hidup memburuk sangat mungkin terjadi pada pasien dengan

PPOK. Hal ini karena PPOK menyebabkan penyempitan saluran napas dan

terjadi inflamasi saluran napas sehingga terjadi penumpukan sekret didalam

saluran napas yang menimbulkan gejala sesak pada pasien PPOK sehingga

membuat pasien dengan PPOK mengalami keterbatasan dalam aktivitas

sehari-hari.
65

5.3 Identifikasi Peak Expiratory Flow Rate Pasien PPOK Sebelum dan

Sesudah Diberikan Breathing Exercises


Berdasarkan hasil penelitian nilai rerata pre test PEFR kelompok

intervensi menunjukkan nilai yang lebih baik daripada kelompok kontrol. Hal

ini juga didukung dengan data demografi bahwa usia kelompok intervensi

hampir setengahnya dalam rentang usia dewasa akhir (36-45 tahun)

dibandingkan kelompok kontrol yang sebagian besar dalam rentang usia

lansia awal (46-55 tahun) dengan masing-masing kelompok memiliki riwayat

merokok.
Hasil penelitian Firdausi (2014) menunjukkan bahwa faktor resiko

terjadinya PPOK meningkat karena seiring bertambahnya usia. Usia di atas

50 tahun akan mengalami penurunan daya tahan sistem kardiorespirasi hal ini

terjadi karena pada organ paru, jantung dan pembuluh darah mulai menurun

fungsinya. Penelitian yang dilakukan Irianti et al (2018) menyatakan bahwa

berdasarkan karakteristik kelompok usia, sebagian besar memiliki kualitas

hidup yang buruk yaitu pada kelompok usia 50-59 tahun dan bertambahnya

usia pasien dapat menurunkan tingkat kualitas hidup. Beberapa faktor yang

mempengaruhi nilai peak expiratory flow rate (PEFR) menurut Suprayitno et

al (2017) salah satunya adalah usia.


Hasil penelitian pada nilai post test setelah dilakukan intervensi selama

empat minggu dan dilakukan post test pada minggu ke empat terjadi

peningkatan peak expiratory flow rate kelompok intervensi menunjukkan

hasil perbedaan yang signifikan daripada kelompok kontrol. Sedangkan pada

kelompok kontrol hasil post test tidak menunjukkan perbedaan yang


66

signifikan, terdapat beberapa responden yang mengalami penurunan nilai

PEFR.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Jones et al dalam Seo et al

(2013) menyampaikan bahwa latihan pernapasan diafragma meningkatkan

volume tidal pada pasien penyakit paru obstruktif kronik, dan latihan

pernapasan dengan bibir (PLB) meningkatkan volume ventilasi dan volume

inspirasi. Peningkatan nilai PEFR merupakan indikator pasien untuk kontrol

pernapasan, dalam penelitian ini didapatkan peningkatan nilai mean PEFR

terjadi pada kelompok intervensi, yaitu dengan nilai post test PEFR lebih baik

daripada kelompok kontrol.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka peneliti berpendapat latihan

napas dapat memberikan solusi dalam mengatasai masalah dan dapat

dilakukan oleh pasien. Breathing exercises mampu meningkatkan kinerja otot

pernapasan dan mengurangi perangkap udara yang berdampak pada pola

pernapasan, keadaan ini dapat disebabkan oleh adanya penyempitan saluran

napas. Dengan penilaian kemampuan fungsi paru salah satunya dapat

dilakukan dengan pemeriksaan peak expiratory flow rate. Jika pemeriksaan

dilakukan secara rutin dan menunjukkan peningkatan nilai maka semakin

baik kondisi pasien PPOK.

5.4 Analisis Pengaruh Breathing Exercises Terhadap Kualitas Hidup dan

Peak Expiratory Flow Rate Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik


Hasil analisis pengaruh breathing exercises terhadap kualitas hidup

mampu meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK terutama pada tanda-tanda

kualitas hidup yang menurun pada responden seperti batuk berdahak yang
67

terus menerus, sesak dan terlihat seperti sangat kelelahan. Penurunan kualitas

hidup yang dialami didominasi oleh perasaan sesak yang dialami responden.

Sehingga dengan breathing exercises kualitas hidup pasien membaik.


Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cecily & Alotaibi (2013),

menyebutkan bahwa setelah melakukan latihan napas pada kelompok

intervensi tingkat dispnea berkurang secara signifikan (P <0,001) dan ada

peningkatan yang signifikan dalam kualitas hidup. Penelitian lainnya

dilakukan oleh Elfa (2017) juga menyebutkan hal yang sama bahwa adanya

pengaruh dan perbedaan yang signifikan untuk meningkatkan kualitas hidup

dalam latihan pernapasan.


Pada penelitian Hoffman et al (2018), dengan diaphragma breathing dan

pursed lip breathing dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien PPOK,

dengan desain penelitian kuasi eksprimen. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan pengaruh yang signifikan pada pemberian diaphragma

breathing dan pursed lip breathing dengan p=0,01. Kesimpulan dari

penelitian ini adanya peningkatan yang signifikan di volume dinding dada

dan kompartemennya serta pengurangan frekuensi pernapasan dan

meningkatnya derajat kualitas hidup.

Proses latihan napas terdiri dari pernapasan diafragma dan pursed lip

breathing terhadap pasien PPOK dengan memberikan solusi dalam

mengatasai masalah dan dapat dilakukan oleh pasien. Breathing exercises

mampu meningkatkan kinerja otot pernapasan dan mengurangi perangkap

udara yang berdampak pada pola pernapasan, keadaan ini dapat disebabkan

oleh adanya penyempitan saluran napas. Sehingga adanya breathing exercises


68

yang diberikan kepada responden penelitian lebih diyakini untuk mengontrol

pola napas responden ditunjukkan dengan sesak yang berkurang dan melatih

responden dapat melakukan aktifitas sehari-hari.

Dari hasil penelitian ini secara keseluruhan menunjukkan bahwa terjadi

perubahan nilai mean PEFR. Peningkatan nilai PEFR merupakan indikator

pasien untuk kontrol pernapasan, dalam penelitian ini didapatkan peningkatan

nilai mean PEFR terjadi pada kelompok intervensi, yaitu dengan nilai post

test PEFR lebih baik daripada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil analisis

diketahui adanya pengaruh yang signifikan breathing exercises pada terhadap

peak expiratory flow rate pasien PPOK.

Penelitian ini sependapat dengan hasil penelitian Grigin & Lis (2015)

menyatakan bahwa latihan pernapasan mampu meningkatkan PEFR dan

mampu menurunkan sesak pada pasien. Selain itu sejalan dengan penelitian

Cecily & Alotaibi (2013) hasil penelitian menyatakan setelah menjalani

latihan pernapasan tingkat dispnea berkurang secara signifikan dan ada

peningkatan parameter fungsional paru seperti FEV1 (Volume Ekspirasi

Paksa), FVC (Kapasitas Vital Paksa), rasio FEV1 / FVC, dan PEFR (Peak

Expiratory Flow Rate).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti berpendapat perbedaan nilai

peak expiratory flow rate pada kelompok intervensi karena adanya breathing

exercises dengan mengajarkan responden bagaimana pernapasan diafragma

dan pursed lip breathing bagi pasien PPOK yang dilaksanakan dengan

sembilan kali pertemuan selama empat minggu. Pelaksanaan dilakukan


69

dirumah pasien sehingga antara peneliti dan responden penelitian bisa

berdiskusi terhadap masalah yang dialami masing-masing pasien dengan

masalah pernapasannya. Berbagi pengalaman yang mampu membangkitkan

keyakinan pasien bahwa terapi yang diajarkan bisa mengatasi masalah pasien

atau mencegah pasien jatuh pada keadaan yang lebih buruk, karena latihan

pernapasan diafragma dan pursed lip breathing bertujuan membantu

meningkatkan gerakan diafragma dan mendorong ekspirasi untuk mengurangi

perangkap udara sehingga sesak dapat berkurang.

5.5 Keterbatasan Penelitian


Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu saat jadwal kunjungan responden

tiba-tiba membatalkan pertemuan disebabkan responden ada kegiatan lain

sehingga peneliti mengatur kembali jadwal kunjungan. Kendala lain yang

ditemukan peneliti yaitu saat kunjungan ada beberapa responden kadang-

kadang timbul sesak sehingga peneliti tidak bisa melakukan breathing

exercises kepada responden dan mengatur kembali jadwal kunjungan jika

pasien tidak merasa sesak.

5.6 Implikasi Keperawatan

Implikasi keperawatan dari penelitian ini ada intervensi keperawatan

yang dapat diberikan dengan breathing exercises untuk meningkatkan fungsi

paru sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Penelitian ini

juga dapat diaplikasikan oleh perawat sebagai pemberi perawatan dalam

memberikan asuhan keperawatan secara langsung kepada pasien PPOK

dengan menerapkan dan mengajarkan breathing exercises sebagai rehabilitasi

paru yang mudah untuk dilakukan pasien secara mandiri.

Anda mungkin juga menyukai