Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS RESIKO BUNUH DIRI


PADA Ny. F DI RUANG MAWAR RUMAH SAKIT JIWA
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
SINGKAWANG

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1 STASE KEPERAWATAN JIWA

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KASUS RESIKO BUNUH DIRI
PADA Ny. F DI RUANG MAWAR RUMAH SAKIT JIWA
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
SINGKAWANG

DISUSUN OLEH
Nama Anggota Kelompok 1:

Ummy Athiyah Lubis I4051191001 NurHajilah I4051191006


Nurdella Artalia Utami I4051191002 Rika Rohani I4051191007
Asti Pratiwi I4051191003 Modesta Ferawati I4051191008
Nurul Hidayah I4051191004
Uni Hardika Rahayu I4051191005 PROGRAM PROFESI NERS
FAKULTAS KEDOKTERAN
i UNIVERSITAS TANJUNGPURA
2019
Febby Hardianti I4051191009
Ericha Rizki Ridhowati I4051191010
Agung Nur Rasyid I4051191011
Zakiah Amar I4051191012
Aina Rahayu Dewi I4051191013

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-NYA, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Asuhan Keperawatan pada Kasus Resiko Bunuh Diri pada Ny. F di Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat Singkawang 2019”.
Dalam penyusunan asuhan keperawatan ini, penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Wilson, Sp. KL. M. Kes selaku Direktur Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan
Barat.
2. Ns. Joko Priyono, M. Kep selaku Pembimbing Akademik Profesi Ners Keperawatan
Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura.
3. Ihsan Usman, S.ST dan Ns. Sherly Mardisya, S. Kep selaku Pembimbing Klinik
Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
4. Nanik Susilowati , S.Tr. Kep selaku Kepala Ruangan Mawar.
5. Ny. F selaku narasumber.
6. Rekan-rekan satu kelompok serta teman-teman Profesi Ners yang telah mendukung
dan memotivasi dalam penyusunan laporan asuhan keperawatan ini.

Kami berharap Laporan Kasus ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi
dalam pembelajaran Asuhan Keperawatan khususnya pada Stase Keperawatan Jiwa.
Untuk kesempurnaan dari laporan ini, maka kami mohon segala saran dan kritikan yang
membangun dari pembaca atau peserta seminar sangat kami butuhkan sebagai bahan
masukan untuk perbaikan laporan ini.N

Singkawang, September 2019

Mahasiswa Profesi NERS UNTAN 2019

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 5
C. Tujuan
1. Tujuan Umum .......................................................................... 5
2. Tujuan Khusus ......................................................................... 5
D. Manfaat ......................................................................................... 6

BAB II DASAR TEORI


A. PROSES TERJADINYA MASALAH .......................................... 8
1. Definisi ..................................................................................... 8
2. Etiologi, Faktor Predisposisi, dan Faktor Presipitasi ............... 9
3. Tanda dan Gejala ...................................................................... 11
4. Rentang Respon ....................................................................... 12
5. Patofisiologi ............................................................................. 12
6. Psikopatologi ........................................................................... 12
7. Pathway .................................................................................... 13
8. Intervensi Farmokologi dan Farmokologi ............................... 13
9. Pohon Masalah ......................................................................... 15
10. Diagnosis Keperawatan ........................................................... 15
11. Rencana Tindakan Keperawatan ............................................. 15

BAB III PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN ............................ 19

BAB IV IMPLEMENTASI DAN EVALUASI ......................................... 32

BAB V PEMBAHASAN
A. Pengkajian .................................................................................... 43
B. Diagnosa Keperawatan ................................................................ 46
C. Intervensi Keperawatan ............................................................... 48
D. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan .................................... 49
E. Hambatan yang Ditemukan saat merawat Klien .......................... 52

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan .................................................................................. 57
B. Saran ............................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata
keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Hal ini berarti seseorang
dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak
terganggu baik tubuh, psikis, maupun sosial. Apabila fisiknya sehat, maka mental
(jiwa) dan sosial pun sehat, demikian pula sebaliknya, jika mentalnya terganggu
atau sakit, maka fisik dan sosialnya pun akan sakit. Kesehatan harus dilihat secara
menyeluruh sehingga kesehatan jiwa merupakan bagian dari kesehatan yang tidak
dapat dipisahkan (Stuart & Laraia, 2005). Seseorang dikatakan sehat jiwa apabila
terpenuhi kriteria memiliki perilaku positif, tumbuh kembang dan aktualisasi diri,
memiliki integritas diri, memiliki otonomi, memiliki persepsi sesuai realita yang
ada serta mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga mampu
melaksanakan peran sosial dengan baik (Stuart & Laraia, 2005).
Seseorang yang sehat jiwa mampu mengaktualisasikan dirinya yang
ditunjukkan dengan memiliki konsep diri positif dan memiliki hubungan yang
baik dengan orang lain dan lingkungannya, terbuka dengan orang lain, membuat
keputusan berdasarkan realita yang ada, optimis, menghargai dan menikmati
hidup, mandiri dalam berfikir dan bertindak sesuai dengan standar perilaku dan
nilai-nilai, serta kreatif menggunakan berbagai pendekatan dalam penyelesaian
masalah kesehatan jiwa (Maslow 1970, dalam Shives, 2005).
Berdasarkan data dari WHO terdapat 450 juta orang di seluruh dunia
mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan
jiwa dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia
18-21 tahun (WHO, 2009).
Menurut National institute of mental health gangguan jiwa mencapai 13%
dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25%
di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan dampak meningkatnya
prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai negara. Berdasarkan
hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2 %
penduduk yang berusia 18 – 30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa

1
(NIMH, 2011). Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di
provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta (24,3 %), diikuti Nanggroe Aceh
Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat (17,7 %), NTB (10,9 %), Sumatera Selatan
(9,2 %) dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2007) menunjukkan bahwa
prevalensi gangguan jiwa secara nasional mencapai 5,6% dari jumlah penduduk,
dengan kata lain menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang penduduk terdapat
empat sampai lima orang menderita gangguan jiwa. Menurut WHO pada 2010,
angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Tentu
jika tidak ada upaya bersama pencegahan bunuh diri, angka tersebut bisa tumbuh
dari tahun. WHO meramaikan pada 2020 angka bunuh diri di Indonesia secara
global menjadi 2,4 per 100.000 jiwa (Kemenkes RI, 2019).
Menurut dasar hukum undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
Kesehatan Jiwa ini adalah Pasal 1 kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang
individu dapat berkembang secara fisik dan mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat
bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitas,
orang dengan gangguan jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang
mengalami gangguan dalam pikiran, prilaku, dan perasaan yang termanifestasi
dalam bentuk sekumpulan gejala dan perubahan prilaku yang bermakna, serta
dapat menimbulkan penderita dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang
sebagai manusia. Pasal 2 upaya kesehatan jiwa berdasarkan : keadilan,
perikemanusiaan, manfaat, trasparansi, akuntabilitas, komprehensif, pelindungan,
nondiskriminasi. Pasal 3 menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup
yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan,
tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa, menjamin
setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan, memberikan
perlindungan dan menjamin pelayanan kesehatan jiwa bagi ODMK dan ODGJ
berdasarkan hak asasi manusia, meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berdasarkan definisi diatas fokus pertama pada klien keperawatan jiwa adalah
promotif dan preventif. Hal ini penting mengingat kekambuhan klien gangguan
jiwa tetap tinggi sekitar 15-20%. Perawatan klien yang sudah menderita gangguan

2
jiwa sangat lama antara 1-10 tahun. Hal itu memerlukan biaya yang sangat tinggi
dan sumberdaya yang sangat banyak. Berdasarkan hal tersebut maka promotif dan
manejemen kesehatan jiwa sangat penting. Misalnya dengan cara mengadakan
krisis senter, konsultasi remaja, konsultasi pranikah, padat karya bagi
pengangguran, promosi kesehatan jiwa, gerakan anti NAPZA, dan sebagainya.
Menurut stuart, tiga area praktik keperawatan mental yaitu perawatan langsung,
komunikasi dan manajemen menjadi tugas perawat jiwa (Yosep, 2011).
Akhir-akhir ini semakin sering dijumpai orang-orang yang mengalami stress atau
depresi akibat tekanan hidup yang berkepanjangan, hal ini perlu diwaspadai akan
timbulnya masalah baru yang lebih buruk, yaitu terjadinya anomali jiwa adalah
penyimpangan jiwa kearah yang negatif. Sebagai contoh karena tuntunan hidup
atau profesinya, seperti artis, penyanyi, pejabat, dan sebagainya. Keadaan dengan
pola hidup yang cenderung memaksa karena ingin mengikuti gaya hidup yang tidak
sesuai dengan keyakinan batin seseorang juga berpotensi memperbesar
penyimpangan jiwa seseorang. Kita mengenal penyimpangan jiwa klasik, yang
dikenal luas, khususnya oleh kalangan medis, seperti depresi, stres, skizofrenia, dan
lain sebagainya. Namun ada banyak penyimpangan jiwa lain yang akhir-akhir ini
muncul, sebagai contoh seperti egoisme, jenis kelamin banci, gay, lesbian. Ada juga
kasus seseorang karena pengalaman masa lalunya pernah diperlakukan buruk atau
mempunyai trauma dimasa kehidupannya dapat berdampak pada gangguan
kejiwaan. Akibat perubahan zaman, dewasa ini hilangnya rasa kemanusiaan akan
semakin tinggi dalam kehidupan masyarakat modern. Hal tersebut mungkin
merupakan suatu penyimpangan jiwa akibat egoisme yang semakin tinggi ditengah-
tengah kehidupan setiap individu maupun kelompok (Junaidi, 2012).
Depresi merupakan suatu gangguan keadaan tonus perasaan yang secara
umum ditandai oleh rasa kesedihan, apatis, pesimisme, dan kesepian yang
mengganggu aktivitas sosial dalam sehari-hari. Depresi biasanya terjadi pada saat
stres yang dialami oleh seseorang tidak kunjung reda, sebagian besar diantara kita
pernah merasa sedih atau jengkel, kehidupan yang penuh masalah, kekecewaan,
kehilangan, dan frustasi yang dengan mudah menimbulkan ketidakbahagiaan dn
keputusan. Namun secara umum perasaan demikian cukup normal dan merupakan
reaksi sehat yang berlangsung cukup singkat dan mudah dihalau (Wilkinson, 2005).

3
Depresi dialami oleh 80% mereka yang berupaya atau melakukan bunuh
diri pada penduduk yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa, bunuh diri adalah
suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau
melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup
setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari
hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Orang yang siap membunuh diri adalah orang yang merencanakan
kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai
niat untuk melakukannya. Perilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3 kategori:
(1) Ancaman bunuh diri: Peningkatan verbal/nonverbal bahwa orang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan ambivalensi
seseorang tentang kematian, kurangnya respon positif dapat ditafsirkan seseorang
sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri (2) Upaya bunuh diri:
Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan oleh individu yang dapat
mengarah pada kematian jika tidak dicegah (3) Bunuh diri: Mungkin terjadi setelah
tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan. Orang yang melakukan percobaan
bunuh diri dan yang tidak langsung ingin mati, mungkin mati jika tanda-tanda
tersebut tidak diketahui tepat pada waktunya (Jannah, 2010).
Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa penderita Resiko Bunuh Diri
dalam jumlah yang cukup banyak/besar disebabkan oleh gangguan jiwa, hal ini
penting untuk dilakukan analisa keperawatan, sehingga dapat diketahui
keselarasan antara praktik tindakan keperawatan dengan teori dari tindakan
keperawatan.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka dapat diangkat rumusan masalah mengenai
Bagaimana manajemen praktik tentang asuhan keperawatan pada Ny. F dengan
diagnosa Resiko Bunuh Diri di ruang Mawar di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat ?

4
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran dari manajemen praktik tentang asuhan keperawatan
pada kasus dengan diagnosa Resiko Bunuh Diri di Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat melaksanakan pengkajian pada Ny. F dengan diagnosa Resiko
Bunuh Diri di ruang Mawar, Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
b. Dapat menganalisa dan mempresentasikan data dalam menentukan
diagnosa Resiko Bunuh Diri di ruang Mawar, Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
c. Dapat melaksanakan tindakan segera dan kolaborasi pada kasus Ny. F
dengan diagnosa Resiko Bunuh Diri di ruang Mawar, Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.
d. Dapat melaksanakan rencana tindakan asuhan keperawatan pada kasus Ny.
F dengan diagnosa Resiko Bunuh Diri di ruang Mawar, Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.
e. Dapat melaksanakan implementasi secara langsung dari rencana tindakan
asuhan keperawatan yang telah disusun pada kasus Ny. F dengan diagnosa
Resiko Bunuh Diri di ruang Mawar, Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat.
f. Dapat mengevaluasi tentang efektifitas tindakan yang telah dilakukan pada
kasus Ny. F dengan diagnosa Resiko Bunuh Diri di ruang Mawar, Rumah
Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat.
g. Dapat mendokumentasikan hasil asuhan keperawatan pada kasus Ny. F
dengan diagnosa Resiko Bunuh Diri di ruang Mawar, Rumah Sakit Jiwa
Provinsi Kalimantan Barat.

D. Manfaat
1. Manfaat Bagi Profesi Keperawatan
Laporan seminar kasus ini diharapkan dapat meningkatkan dalam
pemberian asuhan keperawatan pada kasus dengan diagnosa Resiko Bunuh Diri.
Perawat dapat menerapkan pengetahuan berupa konsep atau teori, model dan
ilmu-ilmu lain untuk menguji kebenarannya. Saat melaksanakan keterampilan
profesional dalam situasi nyata. Perawat dapat mengembangkan daya

5
kerativitasnya, karena dapat menggunakan proses keperawatan, perawat selalu
berfikir kritis, sistematis saat menerapkan keterampilan dalam menyelesaikan
masalah keperawatan klien.
2. Manfaat Bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat
Laporan seminar kasus ini dapat memberikan informasi tambahan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan dalam pemberian asuhan keperawatan pada
kasus dengan diagnosa Resiko Bunuh Diri, Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Kalimantan Barat secara professional dan terintregasi yang dapat
dikolaborasikan dengan profesi lain seperti dokter, farmasi, gizi, analisis
laboratorium, dll.
3. Manfaat Bagi Klien
Klien dan keluarga mengerti apa itu resiko bunuh diri. Klien dan keluarga dapat
melakukan cara mengangani agar klien bisa menghilangkan resiko bunuh diri.
Serta sebagai bahan masukan bagi klien dan keluarga dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapinya juga dapat memberikan kepuasan bagi keluarga
atas asuhan keperawatan yang diberikan.
4. Manfaat Bagi Ilmu Pengetahuan
Hasil dari laporan seminar kasus ini diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan terutama untuk mahasiswa keperawatan Universitas Tanjungpura
yang sedang menjalani Profesi Ners pada kasus dengan diagnosa Resiko Bunuh
Diri. Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Baratsecara professional dan
terintregasi khususnya pada profesi perawat.

6
BAB II
DASAR TEORI

A. PROSES TERJADINYA MASALAH


1. Definisi
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif
terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian.
Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri,
niatnya adalah kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang
diinginkan. (Stuart dan Sundeen, 1995).
Bunuh diri yakni suatu upaya yang disadari dan bertujuan untuk mengakhiri
kehidupan individu secara sadar berhasrat dan berupaya melaksanakan hasratnya
untuk mati. Perilaku-perilaku bunuh diri dapat berupa isyarat-isyarat, percobaan
atau ancaman verbal yang mengakibatkan kematian, luka atau menyakiti diri
sendiri. Bunuh diri (dalam bahasa Inggris: suicide; dalam budaya Jepang dikenal
istilah harakiri). Alasan atau motif bunuh diri bermacam-macam namun
biasanya didasari oleh rasa bersalah yang sangat besar karena merasa gagal
untuk mencapai suatu harapan.
Stuart (2007) mengemukakan bunuh diri adalah setiap aktifitas yang jika
tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Isaacs (2004), menyatakan bahwa
bunuh diri adalah pikiran untuk menghilangkan nyawa sendiri. Sedang menurut
Kaplan (1997), bunuh diri adalah ide, isyarat dan usaha bunuh diri yang sering
menyertai depresi dan sering terjadi pada remaja. Terdapat beberapa istilah
dalam bunuh diri seperti:
a) suicide idea yaitu pikiran/ide untuk menghabisi nyawanya sendiri.
b) tentamen suicidium yaitu upaya untuk menghabisi nyawa sendiri tetapi tidak
mengakibatkan kematian,
c) Suicidal behavioral yaitu perilaku yang membahayakan diri sendiri, contoh
mutilasi diri, (4) Masced suice yaitu bunuh diri tidak langsung/terselubung

2. Etiologi, Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

7
1) Faktor predisposisi
Menurut Stuart dan Sundeen (1997), lima faktor predisposisi bunuh diri
antara lain:
 Diagnosis Psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan
cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan
jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat,
dan skizofrenia.
 Sifat Kepribadian
Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan besarnya risiko
bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
 Lingkungan Psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, diantaranya
adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial,
kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan,
atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting
dalam menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih
dahulu mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam
menghadapi masalah tersebut, dan lain-lain.
 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri. Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko
bunuh diri pada keturunannya. Lebih sering terjadi pada kembar
monozygot dari pada kembar dizygot. Disamping itu ada penurunan
serotonin yang dapat menyebabkan depresi yang berkontribusi
terjadinya resiko bunuh diri. Prevalensi bunuh diri berkisar antara
1,5-3 kali lebih besar terjadi pada individu yang menjadi kerabat
tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan mood atau
depresi yang pernah melakukan upaya bunuh diri,
 Faktor Biokimia
Data menunjukkan bahwa pada klien dengan risiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak sepeti
serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat

8
dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo
Graph (EEG).
2) Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan
yang dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian
hidup yang memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah
melihat atau membaca melalui media mengenai orang yang melakukan
bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya
labil, hal tersebut menjadi sangat rentan.
3) Respon Maladaptif
Stuart dan Sundeen (1997) dalam Jannah (2010) mengemukakan
bahwa jenis kepribadian yang paling sering melakukan bunuh diri adalah
tipe agresif, bermusuhan, putus asa, harga diri rendah dan kepribadian
anti sosial. Anak akan lebih besar melakukan upaya bunuh diri bila
berasal dari keluarga yang menerapkan pola asuh otoriter atau keluarga
yang pernah melakukan bunuh diri. Selain itu juga faktor gangguan
emosi dan keluarga dengan alkoholisme, riwayat psikososial seperti
orang tua yang bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan atau
stress multiple seperti pindah rumah, kehilangan dan penyakit kronik
merupakan factor predisposisi yang dapat membentuk koping yang
maladaptif serta dapat mencetuskan bunuh diri

3. Tanda dan Gejala


Diarahkan pada penyebab marah, perasaan marah, tanda-tanda marah yang
dirasakan klien.
1) Mempunyai ide untuk bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4) Impulsif
5) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
6) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan)
8) Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri)

9
9) Kesehatan mental (scara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi, psikosis,
dan menyalahgunakan alkohol)
10) Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyaki kronis atau terminal)
11) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier)
12) Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13) Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14) Pekerjaan.
15) Konflik interpersonal.
16) Latar belakang keluarga.
17) Orientasi seksual.
18) Sumber-sumber personal.
19) Sumber-sumber sosial.
20) Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

4. Rentang Respon

5. Patofisiologi
Patofisiologi depresi dijelaskan dalam beberapa hipotesis. Amina
biogenic merupakan hipotesis yang menyatakan, depresi disebabkan
menurunnya atau berkurangnya jumlah neurotransmiter norefinefrin (NE),
serotonin (5-HT) dan dopamine (DA) di dalam otak (Sukandar dkk., 2008).
Hipotesis sensitifitas reseptor yaitu perubahan patologis pada reseptor yang
dikarenakan terlalu kecilnya stimulasi oleh monoamin yang dapat menyebakan
depresi. Hipotesis desregulasi, tidak beraturannya neurotransmiter sehingga
terjadi gangguan depresi. Dalam teori ini ditekankan pada kegagalan
homeostatik sistem neurotransmiter, bukan pada penurunan atau peningkatan
absolut aktivitas neurotransmitter

10
6. Psikopatologi
Orang yang siap membunuh diri adalah orang yang merencanakan
kematian dengan tindak kekerasan, mempunyai rencana spesifik dan mempunyai
niat untuk melakukannya. Perilaku bunuh diri biasanya dibagi menjadi 3
kategori: (1) Ancaman bunuh diri: Peningkatan verbal/nonverbal bahwa orang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Ancaman menunjukkan
ambivalensi seseorang tentang kematian,kurangnya respon positif dapat
ditafsirkan seseorang sebagai dukungan untuk melakukan tindakan bunuh diri,
(2) Upaya bunuh diri: Semua tindakan yang diarahkan pada diri yang dilakukan
oleh individu yang dapat mengarah pada kematian jika tidak dicegah, (3) Bunuh
diri: Mungkin terjadi setelah tanda peningkatan terlewatkan atau terabaikan.
Orang yang melakukan percobaan bunuh diri dan yang tidak langsung ingin
mati, mungkin mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada
waktunya (Jannah, 2010).

7. Pathway

11
Sumber : Turecki, Gustavo & Brent, David A., 2016

8. INTERVENSI FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI


a. Farmakologi
Penanganan secara medis/obat-obatan tidaklah cukup untuk
membantu proses pemulihan pasien skizofrenia. Hal lain yang dapat
menunjang proses pemulihan adalah terapi secara psikologis. Hal ini dapat
dilaksanakan dengan melibatkan pasien pada kegiatan dalam
lingkungan/komunitas dimana pasien berada. Cara ini dimaksudkan agar
dapat mengembangkan ketrampilan sosial yang lebih baik dan mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. Ranah yang luas dari
komponen perawatan sangat dibutuhkan dalam model perawatan yang
menyeluruh, mencakup elemen-elemen seperti pengobatan antispikotik,
perawatan medis, terapi keluarga, pelatihan ketrampilan sosial, intervensi
kritis, pelayanan rehabilitasi dan perumahan serta pelayanan sosial lainnya
(Pardede, 2017).
b. Terapi Non Farmakologi
1. Electro Convulsive Therapy (ECT)
ECT adalah terapi dengan melewatkan arus listrik ke otak.
Metode terapi semacam ini sering digunakan pada kasus depresif berat
atau mempunyai risiko bunuh diri yang besar dan respon terapi
dengan obat antidepresan kurang baik. Pada penderita dengan risiko
bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena ECT akan
menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di rumah
sakit menjadi lebih pendek. Pada keadaan tertentu tidak dianjurkan
ECT, bahkan pada beberapa kondisi tindakan ECT merupakan kontra
indikasi. ECT tidak dianjurkan pada keadaan usia yang masih terlalu
muda (kurang dari 15 tahun), masih sekolah atau kuliah, mempunyai

12
riwayat kejang, psikosis kronik, kondisi fisik kurang baik, wanita
hamil dan menyusui (Depkes,2007).
Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada pasien yang menderita
epilepsi, TBC milier, tekanan tinggi intra kracial dan kelainan infark
jantung. Depresif berisiko kambuh manakala penderita tidak patuh,
ketidaktahuan, pengaruh tradisi yang tidak percaya dokter, dan tidak
nyaman dengan efek samping obat. Terapi ECT dapat menjadi pilihan
yang paling efektif dan efek samping kecil. Terapi perubahan perilaku
meliputi penghapusan perilaku yang mendorong terjadinya depresi
dan pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat. Berbagai metode
dapat dilakukan seperti CBT (Cognitive Behaviour Therapy) yang
biasanya dilakukan oleh konselor, psikolog dan psikiater (Depkes,
2007).
2. Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan
atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya
gangguan psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi dilakukan
dengan jalan pembentukan hubungan profesional antara terapis
dengan penderita. Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat
diberikan secara individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan
dengan gangguan psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi
dilakukan dengan memberikan kehangatan, empati, pengertian dan
optimisme. (Depkes, 2007).

9. Pohon masalah (gambaran pohon masalah)

Effect bunuh diri

Core problem risiko bunuh diri

Causa isolasi sosial

13
harga diri rendah kronis

10. Diagnosa keperawatan


Risiko bunuh diri

11. Rencana Tindakan Keperawatan


a. Ancaman/percobaan bunuh diri dengan diagnosa keperawat.
a. Tujuan : Pasien tetap aman dan selamat
b. Tindakan : Melindungi pasien
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka
saudara dapat melakukan tindakan berikut :
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ketempat
yang aman.
b. Menjauhi semua benda yang berbahaya (misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang).
c. Memastikan bahwa klien benar-benar telah meminum obatnya, jika klien
mendapat obat.
d. Memeriksa apakah pasien benar-benar bahwa saudara akan melindungi
pasien sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

b. Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan pasien percobaan bunuh


diri
a. Tujuan : Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga
yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
b. Tindakan :
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan
pernah meninggalkan pasien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-
barang berbahaya disekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara
teratur.

c. Tindakan keperawatan untuk pasien isyarat bunuh diri


Tujuan:

14
a. Pasien mendapat perlindungan dari lingkungannya.
b. Pasien dapat mengungkapkan perasaannya.
c. Pasien dapat meningkatkan harga dirinya.
d. Pasien dapat menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
Tindakan keperawatan:
a. Mendiskusikan tentang cara mengatasi keinginan bunuh diri, yaitu
dengan meminta bantuan dari keluarga atau teman.
b. Meningkatkan harga diri pasien, dengan cara:
1) Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
2) Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang posittif.
3) Meyakinkan pasien bahwa dirinya berarti untuk orang lain.
4) Mendiskusikan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh
klien.
5) Merencanakan aktifitas yang dapat pasien lakukan.
c. Meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah, dengan cara:
1) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalahnya.
2) Mendiskusikan dengan pasien efektifitas masing-masing cara
penyelesaian masalah.
3) Mendiskusikan dengan pasien cara menyelesaikan masalah yang
lebih baik.

4) Tindakan keperawatan untuk keluarga dengan anggota keluarga yang


menunjukkan isyarat bunuh diri.
Tujuan : Keluarga mampu merawat klien dengan risiko bunuh diri
Tindakan keperawatan :
a. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri.
1) Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang
pernah muncul pada pasien.
2) Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umunya muncul pada
pasien beresiko bunuh diri.
b. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri.
1) Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila
pasien memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
2) Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain:
 Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien ditempat
yang mudah diawasi, jangan biarkan pasien mengunci diri di
kamarnya atau jangan meninggalkan pasien sendirian dirumah.
 Menjauhkan barang-barang yang bisa untuk bunuh diri. Jauhkan
psien dari barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri,
seperti: tali, bahan bakar minyak/bensin, api, pisau atau benda

15
tajam lainnya zat yang berbahaya seperti obat nyamukatau racun
serangga.
 Selalu mengadakan pengawasan dan meningkatkan pengawasan
apabila tanda dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah
melonggarkan pengawasan, walaupun pasien tidak menunjukan
tanda dan gejala untuk bunuh diri.
 Menganjurkan keluarga untuk mempraktikkan cara tersebut
diatas.
c. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila
pasien melakukan percobaan bunuh diri, antara lain:
1) Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat
untuk menghentikan upaya bunuh diri tersebut.
2) Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas
mendapatkan bantuan medis.
d. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia
bagi pasien.
e. Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan.
f. Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol
secara teratur untuk mengatasi masalah bunuh dirinya.
g. Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai
prinsip 5 benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya,
benar cara penggunaannya, benar waktu penggunaannya dan benar
pencatatannya.

16
BAB III
PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN
PADA KLIEN DENGAN RESIKO BUNUH DIRI

Ruang Rawat : Mawar


Tanggal Dirawat : 14 Juli 2019

I. IDENTITAS KLIEN
Inisial : Ny. F (P) No. RM : xxx72
Umur : 29 Tahun Tanggal Pengkajian : 9-9-2019
Pekerjaan : TKW Pendidikan : Tamat SD
Status : Janda Agama : Katolik
Alamat : Jagoibabang, Suku : Dayak
Bengkayang No. bisa dihubungi: 081256xxxxxx
DX. Medis : Skizofrenia Paranoid

II. ALASAN MASUK


Klien masuk Rumah Sakit diantar oleh keluarga dengan keluhan klien memukul
dada dan pipi sendiri, ingin menabrakkan diri ke mobil truck, ingin lompat dari
gedung, mencekik diri sendiri. Klien mengatakan ingin mati, klien mencoba
bunuh diri dengan tali dikarenakan telah dikecewakan dan ditinggalkan oleh
suaminya.

III. FAKTOR PREDISPOSISI


1. Klien pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu, sudah 2 kali masuk RSJ
Singkawang. Pertama kali masuk RSJ pada bulan Mei 2019 dan keluar pada
bulan Juni 2019, masuk kembali pada bulan Juli 2019 dengan keluhan yang
sama, yaitu resiko bunuh diri.
2. Pengobatan sebelumnya kurang berhasil
Klien mengatakan dirumah tidak minum obat karena persediaan obat habis
dan tidak ada anggota keluarga yang bisa mengambilkan obatnya dikarenakan
jarak yang jauh

17
3. - Aniaya fisik
Klien mengatakan pernah dipukul dan memukul balik suaminya
dikarenakan suaminya selingkuh. Serta Klien mengatakan pernah dipukul
oleh ayahnya dikarenakan ingin mencegah klien bunuh diri
- Aniaya seksual
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penganiayaan seksual.
- Penolakan
Klien mengatakan tidak pernah mengalami penganiayaan penolakan di
keluarga maupun masyarakat.
- Kekerasan dalam keluarga
Klien mengatakan pernah dipukul dan memukul balik suaminya
dikarenakan suaminya selingkuh.
- Tindakan criminal
Klien mengatakan tidak pernah mengalami dan melakukan tindakan
criminal
Masalah Keperawatan: Penatalaksanaan regimen terapeutik tidak
efektif; keluarga dan Resiko Perilaku Kekerasan
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Klien mengatakan tidak ada anggota keluarganya yang mengalami gangguan
jiwa
Masalah Keperawatan: -
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
Klien mengatakan bahwa ia dan anaknya pernah ditinggal oleh suaminya
demi wanita lain
Masalah Keperawatan : Berduka disfungsional dan Respon Pasca
Trauma

IV. FISIK
1. Tanda vital : TD: 100/80 mmHg, N: 80 x/mnt, S: 36,5oC P: 24x/menit
2. Ukur : TB: 155 cm BB: 65 kg
3. Keluhan fisik : Klien mengatakan tidak memiliki keluhan fisik yang

18
dialaminya.
Masalah Keperawatan : -
V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram :

x x x

Ket:
= Laki-Laki

= Perempuan

= Klien

= Tinggal bersama

= Cerai

X = Meninggal
Keterangan: Klien adalah anak ke 2 dari 7 bersaudara. Klien adalah orang tua tunggal
bagi anaknya. Klien mengatakan pengambilan keputusan dalam keluarga adalah
orangtuanya karena klien belum dapat mengambil keputusan sendiri. Pola komunikasi
dalam keluarga terjalin dengan baik, akan tetapi ada konflik pada pola komunikasi
dengan mantan suaminya. Selama ditinggal oleh suaminya klien tidak pernah dihubungi
lagi dan suami tidak pernah memberi nafkah untuk anak maupun isteri. Klien
mengatakan orang yang paling dekat ialah ibunya dan saat ini ibunya yang mengasuh
anaknya.
Masalah Keperawatan : Koping keluarga tidak efektif: kompromi

19
2. Konsep diri
a. Gambaran Diri
Klien mengatakan tidak ada cacat di tubuhnya sehingga klien merasa
baik-baik saja dan menyukai tubuhnya. Bagian tubuh yang paling ia
sukai adalah tangan, dikarenakan bisa digunakan untuk bekerja
b. Identitas diri
Klien mengatakan dirinya puas menjadi seorang wanita walaupun sudah
menjadi seorang janda. Sebelum sakit ia bekerja sebagai TKW di
Malaysia.
c. Peran
Klien mengatakan sebelum sakit klien menjadi tulang punggung untuk
anaknya, akan tetapi selama di RSJ klien mengatakan orangtuanya yang
membiayai anaknya
d. Ideal diri
Klien mengatakan tidak memiliki harapan karena merasa putus asa, tidak
berguna dan ingin mengakhiri hidupnya karena dikhianati dan
ditinggalkan oleh suaminya
e. Harga diri
Klien mengatakan hidupnya sia sia. Mati membuat masalah selesai dan
tidak akan merasakan sakit lagi
Masalah keperawatan : Harga Diri Rendah dan Resiko Bunuh Diri
3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti
Klien mengatakan orang yang paling terdekat adalah ibunya dan yang
paling berarti adalah anaknya karena anaknya adalah satu-satunya yang
paling ia sayangi
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok/masyarakat
Klien mengatakan tidak suka bersosialisasi dengan masyarakat
dikarenakan ia lebih suka bekerja dirumah
c. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain
Klien mengatakan tidak mau terlalu percaya dengan orang lain terutama
laki-laki karena takut tersakiti lagi

20
Masalah Keperawatan: Respon Pasca Trauma
4. Spiritual
a. Nilai dan Keyakinan
Klien mengatakan beragama katolik dan masih mengingat tuhan
b. Kegiatan ibadah
Klien mengatakan sebelum sakit ia sering beribadah ke gereja namun
selama di RSJ klien tidak beribadah hanya berdoa saat sebelum makan
dan tidur
Masalah keperawatan : Distress spiritual

VI. STATUS MENTAL


1. Penampilan
Klien mengatakan sering mandi, 2 x sehari menggunakan sabun, sampo dan
mengosok gigi 1 x sehari. Klien tampak menggunakan baju seragam pasien,
dan terkadang rambutnya tidak rapi namun kuku klien tampak bersih
Masalah Keperawatan : -
2. Pembicaraan
Klien berbicara pelan, lambat dan hanya seperlunya. Klien juga tidak mampu
memulai pembicaraan, kontak matanya kurang serta seringkali
menundukkan kepala.
Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah
3. Aktivitas Motorik
Aktivitas motorik klien implusif dimana klien menyakiti dirinya dengan
memukul diri sendiri ketika timbul rasa ingin bunuh diri.
Masalah Keperawatan : Resiko Bunuh Diri
4. Alam perasaan
Klien tampak lesu dan tidak bersemangat.
Masalah Keperawatan : Resiko Bunuh Diri
5. Afek
Pada saat diawal pengkajian, ekspresi klien datar yaitu tidak ada perubahan
ekpresi muka saat ada stimulus. Akan tetapi setelah 3 hari pengkajian
ekspresi klien menjadi tumpul yaitu hanya bereaksi bila ada stimulus yang

21
kuat seperti ikut tersenyum saat perawat bercerita sesuatu yang lucu
Masalah Keperawatan : Harga Diri Rendah
6. Interaksi Selama Wawancara
Klien tidak kooperatif, kontak mata kurang, sering menundukan kepala dan
hanya berinteraksi seadanya.
Masalah Keperawatan : Kerusakan Interaksi Sosial
7. Persepsi
Klien mengatakan dulu sekitar 4 bulan yang lalu pernah mendengar bisikan
yang menyatakan bahwa dirinya tidak berguna. Bisikan itu muncul pada
malam hari, saat mendengar bisikan klien merasa kesal dan marah. Sampai
saat ini klien sudah tidak pernah mendengar bisikan lagi.
Masalah Keperawatan : Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi
Pendengaran
8. Proses Pikir
Perseverasi yaitu pembicaraan yang diulang-ulang. Klien mengatakan ingin
bunuh diri berulang-ulang kali
Masalah Keperawatan : Resiko Bunuh Diri
9. Isi Pikir
Obsesi yaitu pikiran yang selalu muncul walaupun klien berusaha
menghilangkannya. Klien mengatakan pikiran mau bunuh diri muncul setiap
saat walaupun klien berusaha untuk tidak mengikutinya
Masalah Keperawatan : Resiko Bunuh Diri
10. Tingkat Kesadaran
Kien tidak mengalami disorientasi watu, tempat dan orang. Klien dapat
mengingat alamat lengkap rumahnya
Masalah Keperawatan : -
11. Memori
- Daya ingat jangka panjang: Klien mampu mengingat bahwa ia pernah
bekerja di Serawak Malaysia sebagai TKW illegal
- Daya ingat jangka menengah: Klien mampu mengingat bahwa ia minggu
lalu pergi ke pantai bersama teman-teman di ruang mawar dan orang-
orang dari ruang rehab, mereka bermain, makan bersama dan berenang

22
bersama.
- Daya ingat jangka pendek: klien mampu mengingat bahwa ia tadi siang
makan nasi dengan ayam goreng, sayur jagung, ikan asin dan pisang.
Masalah Keperawatan : -
12. Tingkat Konsentrasi dan Berhitung:
Klien bisa berhitung dalam perhitungan sederhana seperti menghitung 1 -10
dan 10-1, penjumlahan dan pengurangan sederhana. Klien mampu
berkonsentrasi dengan baik saat melakukan perhitungan.
Masalah Keperawatan : -
13. Kemampuan Penilaian
Klien dapat mengambil keputusan sederhana seperti cuci tangan sebelum
makan
Masalah Keperawatan : -
14. Daya Tilik Diri
Klien menyadari bahwa ia sedang sakit dan sedang berobat di RSJ
Singkawang
Masalah Keperawatan : -

VII. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG


1. Makan
Klien tidak mengalami gangguan saat makan dan minum, klien bisa makan dan
minum secara mandiri, mampu membereskan bekas klien makan selama di
rawat.
2. BAB/BAK
Klien tidak mengalami gangguan BAB/ BAK selama di rawat, klien dapat
melakukan BAB/BAK secara mandiri
3. Mandi
Klien tidak mengalami gangguan saat mandi selama di rawat, klien dapat
mandi secara mandiri. Klien mandi 2 kali sehari
4. Berpakaian/berhias
Klien dapat berpakaian secara mandiri dan tidak berhias selama di rawat di RSJ
5. Istirahat dan tidur
Klien biasanya tidur siang tidak teratur selama di rawat. Klien tidur malam

23
selama 8 jam dari pukul 19.30 s/d 04.30 WIB
6. Penggunaan obat
Klien harus di ingatkan dan di awasi untuk minum obat untuk menghindari
kejadian putus obat
7. Pemeliharaan kesehatan
Klien mendapatkan perawatan lanjutan dan perawatan dukungan dari sistem
pendukung dokter, perawat dan anggota keluarga.
8. Kegiatan didalam rumah
Klien dapat mempersiapkan makan sendiri, menjaga kerapian rumah, mencuci
pakaian sendiri dan pengaturan keuangan dibantu oleh keluarga
9. Kegiatan diluar rumah
Klien mengatakan saat belanja klien harus ditemani oleh keluarga, untuk
transportasi klien didampingi
Masalah Keperawatan : -

VIII. MEKANISME KOPING


Klien pernah mencekik dirinya sendiri dan ingin loncat dari atas gedung,
menabrakan diri ke mobil, memukul-mukul dada dan pipi serta menggantung diri
karena klien tidak mampu mengendalikan amarahnya.
Masalah keperawatan : Resiko Bunuh Diri dan Mekanisme Koping
Maladaptif

IX. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN


- Masalah dengan dukungan kelompok
Klien mengatakan mendapat dukungan dan doa dari keluarga
- Masalah berhubungan dengan lingkungan
Klien mengatakan tidak suka bersosialisasi dan lebih suka bekerja di rumah
- Masalah dengan pendidikan
Klien mengatakan hanya tamat SD dan tidak dapat melanjutkan pendidikan
dikarenakan terhambat biaya
- Masalah dengan pekerjaan
Klien mengatakan selama sakit menjadi malas untuk bekerja
- Masalah dengan perumahan
Klien mengatakan tinggal bersama orangtua dan adik-adiknya

24
- Masalah dengan ekonomi
Klien mengatakan ekonomi tidak mencukupi untuk kehidupannya dan di bantu
oleh keluarganya
- Masalah dengan pelayanan kesehatan
Klien mengatakan jarak dari rumahnya ke pelayanan kesehatan lumayan jauh
Masalah Keperawatan : -

X. PENGETAHUAN KURANG TENTANG


Klien mengatakan kurang mengetahui koping yang baik serta obat obatan yang ia
butuhkan pada penyakitnya.
Masalah Keperawatan : Defisiensi Pengetahuan

XI. Terapi Pengobatan


1. Risperidone 2mg 2x1 via oral
- Indikasi : skizoprenia akut dan kronik, psikosis
yang lain dengan gejala positif ( seperti halusinasi,
delusi, gangguan pola fikir, kecurigaan) dan atau
negatif ( seperti afek tumpul, menarik diri secara sosial
dan emosional serta sulit berbicara) yang nyata.
Mengurangi gejala afektif (seperti depresi, perasaan
bersalah dan cemas yang berhubungan dengan
skizoprenia).
- Kontraindikasi : hipersensitif terhadap risperidone
seperti hipotensi, insufisiensi hati dan ginjal
- Efek samping :Insomnia, agitasi, ansietas, sakit
kepala, somnolen, kelelahan

2. Trihexyphenidyl 2mg 2x1 via oral


- Indikasi : sebagai terapi penunjang pada penyakit
parkinson post encephalitik idiopatik.
- Kontraindikasi : tidak boleh digunakan pada
pasien-pasien dengan glaukoma, penyakit

25
gastrointestinal obstruktif atau penyakit saluran kemih
dan pasien lanjut usia dengan kemungkinan hipertropi
prostatik, pasien yang hipersensitif terhadap komponen
ini.
- -Efek samping : mulut kering, penglihatan kabur,
pusing dan mual, bingung, agitasi, mual dan muntah

3. Elizac 10 mg 1x1 via oral


- Indikasi : pengobatan depresi
- Kontraindikasi : Berisiko menyebabkan sindrom
serotonin yang berakibat fatal, jika dikonsumsi dengan
obat serotonin lainnya, seperti sumatriptan, fentanyl,
tramadol, lithium, buspirone, serta antidepresan trisiklik
(misalnya amitriptyline dan doxapin). Dapat
meningkatkan risiko perdarahan, jika dikonsumsi
dengan aspirin, obat antiinflamasi nonsteroid (misalnya
diklofenak), atau warfarin
- Efek samping : hipersensitivitas, diare, mual dan
muntah, mulut, sakit kepala, insomnia

4. Clozapine 25 mg, ½ pagi dan malam 1 via oral


- Indikasi : Clozapine adalah obat yang digunakan
untuk mengobati beberapa jenis gangguan jiwa.
Gangguan psikotik dapat memengaruhi cara
seseorang berpikir, merasa dan berperilaku. Para
penderita gangguan psikotik mungkin menghadapi
kesulitan untuk mengenali apa yang sebenarnya
terjadi dan apa yang sebenarnya tidak terjadi. Salah
satu jenis gangguan psikotik ialah skizofrenia.
- Kontra indikasi : Riwayat granulositopenia &
agranulositosis; ggn fungsi sumsum tulang, epilepsi
tak terkontrol, psikosis alkoholik & toksik lainnya,

26
intoksikasi obat, kondisi koma, kolaps pd sirkulasi
darah, depresi SSP, ggn fungsi hati berat, gagal ginjal,
atau gagal jantung
- Efek samping : Granulositopenia, agranulositosis,
eosinofilia &/atau leukositosis. Lelah, mengantuk,
pusing, sakit kepala, perubahan EEG; hipersalivasi,
mulut kering, penglihatan kabur, ggn berkeringat &
ggn pengaturan suhu tubuh; takikardi, hipotensi
postural, hipertensi, kolaps, aritmia jantung,
perikarditis, miokarditis, kolaps sirkulasi, depresi
pernapasan atau henti napas; mual, muntah,
konstipasi, inkontinensia atau retensi urin, priapismus,
nefritis interstisial akut, hipertermia jinak,
hiperglikemia, peningkatan BB.

(Sumber : Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), 2019 & MIMS, 2019)

27
ANALISA DATA

Nama Pasien : Ny. F Dx Medis : Skizoprenia Paranoid


Usia : 29 tahun Ruang : Mawar
No MASALAH
DATA
KEPERAWATAN
1 Subyektif :
- Klien mengatakan tidak memiliki harapan karena Resiko Bunuh Diri
merasa putus asa, tidak berguna dan ingin mengakhiri
hidupnya karena dikhianati dan ditinggalkan oleh
suaminya
- Klien mengatakan pernah menyakiti dirinya dengan
memukul diri sendiri ketika timbul rasa ingin bunuh
diri.
- Klien mengatakan pernah mencekik dirinya sendiri dan
ingin loncat dari atas gedung, menabrakan diri ke
mobil, memukul-mukul dada dan pipi serta
menggantung diri
- Klien mengatakan pikiran mau bunuh diri muncul
setiap saat walaupun klien berusaha untuk tidak
mengikutinya

Obyektif :
- Klien tampak lesu, putus asa dan tidak bersemangat.
- Klien tampak menundukkan kepala
- Klien tampak mengatakan ingin bunuh diri berulang-
ulang kali

2 Subjektif :
- Klien mengatakan tidak memiliki harapan karena Harga Diri Rendah
merasa putus asa, tidak berguna dan ingin mengakhiri
hidupnya karena dikhianati dan ditinggalkan oleh
suaminya

28
- Klien mengatakan hidupnya sia sia. Mati membuat
masalah selesai dan tidak akan merasakan sakit lagi

Objektif :
- Klien tampak berbicara pelan, lambat dan hanya
seperlunya
- Klien juga tidak mampu memulai pembicaraan
- kontak matanya kurang
- Klien tampak lesu dan tidak bersemangat
- Klien seringkali menundukkan kepala
3 Subjektif :
- Klien mengatakan dulu sekitar 4 bulan yang lalu pernah Halusinasi
mendengar bisikan yang menyatakan bahwa dirinya Pendengaran
tidak berguna.
- Bisikan itu muncul pada malam hari, saat mendengar
bisikan klien merasa kesal dan marah.
- Sampai saat ini klien sudah tidak pernah mendengar
bisikan lagi.

Objektif :
- suara klien pelan
- kontak mata kurang

29
BAB IV
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI TINDAKAN KEPERAWATAN JIWA
PROGRAM PROFESI NERS FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA

Nama : Ny. F Dx Medis : Skizofrenia Paranoid


Usia : 29 tahun Ruang : Mawar

Diagnosa Tanggal / Jam Implementasi Evaluasi Paraf


Keperawatan Mahasiswa
Resiko Bunuh 9 September 2019 SP 1 : Subjektif: Kelompok 1
Diri 13:00 - 13:05 wib 1. Membina hubungan saling SP 1
percaya antara perawat dan klien 2. Klien mengatakan ingin bunuh diri dan
(Orientasi) merasa dirinya tidak berguna karena
2. Mengidentifikasi penyebab klien
13:05 –13:15 wib suaminya selingkuh, meninggalkan
ingin bunuh diri.
3. Mengidentifikasi tanda dan gejala dirinya demi wanita lain
3. Klien menyatakan ada ide bunuh diri,
13:15 – 13:25 wib resiko bunuh diri
4. Mengidentifikasi resiko bunuh memiliki riwayat percobaan bunuh

diri yang dilakukan. diri, dan memiliki status perkawinan


13:25 – 13:35 wib 5. Mengidentifikasi benda-benda yang tidak harmonis
yang berbahaya 4. Klien mengatakan pernah mencoba
6. Mengajarkan cara mengendalikan menabrakan diri ke mobil lewat,
13:35 – 13:40 wib

30
dorong klien untuk bunuh diri. lompat dari atas rumah, menggantung
7. Melatih cara mengendalikan
diri dan mencekek dirinya sendiri.
dorong klien untuk bunuh diri
13:40 – 13:45 wib 8. Memberi kesempatan klien untuk Objektif
SP 1
mengungkapkan perasaan.
1. Klien tampak belum percaya kepada
perawat saat menceritakan masalahnya
13:45 – 14:00 wib 3. Klien tampak impulsif dan sering
merlamun
5. Tidak terdapat benda-benda berbahaya
14:00 – 14:20 wib di sekitar lingkungan klien
6. Klien belum dapat mengatasi
keinginan untuk bunuh diri
7. Klien tidak dapat mengendalikan
dorong dirinya untuk bunuh diri
8. Klien dapat mengungkapkan
kesedihannya dan kekecewaanya
terhadap suaminya.

Analisa

SP 1 resiko bunuh diri teratasi sebagian


yang ditunjukkan klien sudah dapat
melakukan instruksi sesuai yang diajarkan.

Planning

31
1. Membina hubungan saling percaya
antara perawat dan klien (Orientasi)
6. Evaluasi cara mengendalikan dorong
klien untuk bunuh diri.
7. Melatih cara mengendalikan dorong
klien untuk bunuh diri

Lanjutkan SP 2 :

1. Identifikasi aspek positif klien.


2. Dorong klien berpikir positif terhadap
dirinya.
3. Dorong klien menghargai dirinya
sebagai individu.

10 September 2019 SP 1 : Subjektif Kelompok 1


10:00 – 10:20 wib SP 1
1. Membina hubungan saling
6. Klien mengatakan akan meminta
percaya antara perawat dan
11:00 – 11:20 wib bantuan kepada teman atau perawat
klien (Orientasi)
2. Evaluasi cara mengendalikan jika keinginan itu muncul
7. Klien mengatakan akan mengalihkan
11:20 – 11:45 wib dorong klien untuk bunuh diri.
3. Melatih cara mengendalikan perhatian dan pikiran dengan

dorong klien untuk bunuh diri bercakap- cakap


SP 2
SP 2 :

32
4. Mengidentifikasi aspek positif 1. Klien mengatakan tidak membenci
klien. anaknya walaupun telah disakiti
5. Mendorong klien berpikir
suaminya
positif terhadap dirinya. 2. Klien belum dapat berfikir positif
6. Mendorong klien menghargai
terhadap dirinya, klien mengatakan
dirinya sebagai individu.
masih ada keinginan untuk melakukan
percobaan bunuh diri.
3. Klien belum dapat menghargai
dirinya, klien mengatakan dirinya
tidak berguna

Objektif
SP 1
1. Klien tampak nyaman dan terbuka saat
menceritakan masalahnya
SP 2
1. Klien dapat mengungkapkan
perasaanya
2. Klien tampak lesu dan tidak
bersemangat
Analisa

33
SP 2 resiko bunuh diri teratasi sebagian.

Planning.
SP 2
2. Mendorong klien berpikir positif
terhadap dirinya.
3. Mendorong klien menghargai dirinya
sebagai individu
Lanjutkan SP 3

1. Mengdentifikasi pola koping yang


biasa dilakukan klien
2. Menilai pola koping yang biasa
dilakukan
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruksif
4. Mendorong klien untuk memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien untuk
menerapkan pola koping konstruktif
dalam kegiatan harian

11 September 2019 SP 2 : Subjektif Kelompok 1


13:00 - 13:05 wib 2. Mendorong klien untuk SP 2

34
berfikir positif 2. Klien mengatakan akan memikirkan
3. Mendorong klien menghargai
13:05 –13:15 wib hal yang baik saja seperti fokus untuk
dirinya sebagai individu
kesembuhan penyakitnya
3. Klien mengatakan akan lebih
SP 3 :
mencintai dirinya sendiri dan tidak
13:15 – 13:25 wib 1. Mengdentifikasi pola koping
menyakiti dirinya lagi
yang biasa dilakukan klien
2. Menilai pola koping yang SP 3
biasa dilakukan 1. Klien mengatakan tidak dapat
13:25 – 13:35 wib 3. Mengidentifikasi pola koping mengatasi rasa ingin bunuh diri yang
yang konstruksif dialami (Maladatif)
4. Mendorong klien untuk 3. Klien belum dapat menunjukan pola
memilih pola koping yang koping yang konstruktif seperti belum
13:35 – 13:40 wib konstruktif mampu memulai pembicaraan dengan
5. Menganjurkan klien untuk
orang lain
menerapkan pola koping 4. Klien belum dapat memilih pola
konstruktif dalam kegiatan koping yang konstruktif seperti
harian mengambil sikap berdiam diri seharian

Objektif
2. Klien memiliki pola koping yang
maladatif
5. Klien tampak belum bisa berinteraksi
dengan teman

Analisa

35
SP 3 resiko bunuh diri tercapai sebagian

Planning
3. Mengidentifikasi pola koping yang
konstruksif
4. Mendorong klien untuk memilih pola
koping yang konstruktif
5. Menganjurkan klien untuk
menerapkan pola koping konstruktif
dalam kegiatan harian

Lanjutkan SP 4 :

1. Untuk membuat rencana masa depan


yang realistis bersama perawat
2. Mengidentifikasi cara mencapai
rencana masa depan yang realistis
3. Dorong klien untuk melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis
12 September 2019 SP 3 : Subjektif Kelompok 1
10:00 – 10:30 wib 3. Mengidentifikasi pola koping SP 3 :
yang konstruksif 3. Klien mengatakan bahwa bunuh diri
4. Mendorong klien untuk
bukan merupakan pemecahan masalah

36
memilih pola koping yang 4. Klien mengatakan berusaha untuk
11:30 – 11:45 wib konstruktif belajar menyelesaikan masalah tanpa
5. Menganjurkan klien untuk
menyakiti diri sendiri
menerapkan pola koping
SP 4 :
konstruktif dalam kegiatan
1. Klien mengatakan ingin cepat sembuh
harian
dan bisa pulang
11:45 – 12:00 wib SP 4 : 2. Klien mengatakan ingin bekerja lagi
1. Membuat rencana masa depan ke Malaysia untuk membiayai
yang realistis bersama klien anaknya
2. Mengidentifikasi cara
Objektif
mencapai rencana masa depan
SP 4
yang realistis
3. Mendorong klien untuk 3. Klien tampak belum dapat melakukan
melakukan kegiatan dalam kegiatan seperti menyapu, mengepel
rangka meraih masa depan dan membersihkan ruangan. Klien
yang realistis hanya melakukan kegiatan saat
mendapatkan perintah
Analisa
SP 4 resiko bunuh diri teratasi sebagian
Planning
1. Mengevaluasi SP 1, 2 dan 3.
2. Dorong klien untuk tetap minum obat
secara teratur.
3. Dorong klien untuk tetap semangat

37
dan jangan bersedih.
SP 4
3. Mendorong klien untuk melakukan
kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis

38
BAB V
PEMBAHASAN

A. Pengkajian
Pengumpulan data dalam kasus ini menggunakan beberapa metode, yaitu
dengan metode wawancara pada klien, dan observasi langsung terhadap kondisi
klien. Selama proses pengkajian, klien tampak kurang merespon perawat dalam
memberikan informasi yang diperlukan berkaitan dengan keluhan yang dialami.
Sehingga butuh 2-3 hari dalam menjalin hubungan saling percaya kepada klien.
Hasil pengkajian yang dilakukan kepada klien ditemukan masalah yaitu Resiko
Bunuh Diri (RBD).
1. Etiologi
Kasus bunuh diri disebabkan oleh berbagai faktor, WHO (2017)
mengatakan bahwa penyebab bunuh diri 90% dikarenakan depresi dan gangguan
kondisi kejiwaan. Bunuh diri tidak terlepas dari interaksi keempat faktor, yaitu
biologis, psikologis, kognitf dan lingkungan (Educational Psychologi Service
Section, 2017 dalam Sari, 2018).
a. Faktor biologis meliputi penyakit mental, depresi/cemas, genetik, pubertas
dan adanya penyakit fisik/kronik.
b. Faktor psikologis meliputi harga diri rendah, putus asa/tidak berdaya,
perasaan rendah diri, loss identify, tingkat stress tinggi, dan takut penghinaan.
c. Faktor kognitif meliputi kekakuan pikiran,egosentrisme, melihat kematian
sebagai solusi terbaik,tindakan kekerasan, satanisme, pemikiran idealis,
perfeksionisme ekstrim, kurang terampil mengatasi konflik.
d. Faktor lingkungan, meliputi riwayat bunuh diri dikeluarga, tertekan,
perubahan struktur keluarga, status sosial ekonomi rendah, kekerasan,
pelecehan, bullying, obat-obatan dan alkohol, isolasi sosial, kehilangan
hubungan yang signifikan, kehamilan/aborsi.
Stuart dan Sundeen (1997) menyatakan terdapat faktor predisposisi dan
presipitasi yang dapat menyebabkan timbulnya risiko bunuh diri,yaitu:
a. Faktor Predisposisi
 Diagnosis Psikiatrik : Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri
hidupnya dengan cara bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga
gangguan jiwa yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan
tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan
skizofrenia.

39
 Sifat Kepribadian : Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya dengan
besarnya risiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
 Lingkungan Psikososial : Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh
diri, diantaranya adalah pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan
sosial, kejadian-kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan,
atau bahkan perceraian. Kekuatan dukungan sosial sangat penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respons seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lain-lain.
 Riwayat Keluarga : Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri
merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri. Faktor genetik mempengaruhi terjadinya resiko bunuh
diri pada keturunannya. Lebih sering terjadi pada kembar monozygot dari
pada kembar dizygot. Disamping itu ada penurunan serotonin yang dapat
menyebabkan depresi yang berkontribusi terjadinya resiko bunuh diri.
Prevalensi bunuh diri berkisar antara 1,5-3 kali lebih besar terjadi pada
individu yang menjadi kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami
gangguan mood atau depresi yang pernah melakukan upaya bunuh diri.
 Faktor Biokimia : Data menunjukkan bahwa pada klien dengan risiko
bunuh diri terjadi peningkatan zat-zat kimia yang terdapat di dalam otak
sepeti serotonin, adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat
dilihat melalui ekaman gelombang otak Electro Encephalo Graph (EEG).
b. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami
oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri ataupun
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan.
Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil pengkajian langsung pada
Ny.F penyebab terjadinya risiko bunuh diri yang dialaminya yaitu dkarenakan
klien telah telah dikecewakan dan ditinggalkan oleh suaminya. Klien juga
mengatakan tidak memiliki harapan karena merasa putus asa, tidak berguna

40
dan ingin mengakhiri hidupnya karena dikhianati dan ditinggalkan oleh
suaminya.
2. Tanda dan Gejala
Adapun tanda dan gejala yang muncul pada klien dengan gangguan risiko
bunuh diri (Fitria, 2012), yaitu :
1) Mempunyai ide untuk bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
4) Impulsif
5) Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh)
6) Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
7) Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan)
8) Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan
mengasingkan diri)
9) Kesehatan mental (scara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi, psikosis,
dan menyalahgunakan alkohol)
10) Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyaki kronis atau terminal)
11) Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier)
12) Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13) Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14) Pekerjaan.
15) Konflik interpersonal.
16) Latar belakang keluarga.
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan kepada Ny.F ditemukan
masalah yaitu Resiko Bunuh Diri (RBD) di tandai dengan tanda dan gejala yang
tampak yaitu :
 Klien mengatakan mempunyai ide untuk bunuh diri
 Klien mengatakan ingin bunuh diri berulang-ulang kali
 Klien mengatakan ingin mati, klien mencoba bunuh diri dengan tali
 Klien mengatakan hidupnya sia sia. Mati membuat masalah selesai dan tidak
akan merasakan sakit lagi
 Aktivitas motorik klien implusif dimana klien menyakiti dirinya dengan
memukul diri sendiri ketika timbul rasa ingin bunuh diri.
 Klien tampak lesu dan tidak bersemangat.

3. Mekanisme Koping
Stuart dan Sundeen (1997) dalam Jannah (2010) mengemukakan bahwa
jenis kepribadian yang paling sering melakukan bunuh diri adalah tipe agresif,
bermusuhan, putus asa, harga diri rendah dan kepribadian anti sosial. Anak akan

41
lebih besar melakukan upaya bunuh diri bila berasal dari keluarga yang
menerapkan pola asuh otoriter atau keluarga yang pernah melakukan bunuh diri.
Selain itu juga faktor gangguan emosi dan keluarga dengan alkoholisme, riwayat
psikososial seperti orang tua yang bercerai, putus hubungan, kehilangan
pekerjaan atau stress multiple seperti pindah rumah, kehilangan dan penyakit
kronik merupakan factor predisposisi yang dapat membentuk koping yang
maladaptif serta dapat mencetuskan bunuh diri.
Ny.F memiliki mekanisme koping individu yang maladaptif, ditandai
dengan klien mengatakan pernah mencekik dirinya sendiri dan ingin loncat dari
atas gedung, menabrakan diri ke mobil, memukul-mukul dada dan pipi serta
menggantung diri karena klien tidak mampu mengendalikan amarahnya.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Berdasarkan Teori
Berdasarkan teori, diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan
Resiko Bunuh Diri (RBD) adalah : (Fitria, 2014)
a. Harga diri rendah kronis (HDR)
Pada masalah Resiko Bunuh Diri (RBD)memungkinkan penderitanya akan
merasa tidak percaya diri, karena ia akan selalu merasa orang lain akan
memandang rendah dirinya. Sehingga dapat memunculkan masalah Harga
Diri Rendah.
b. Isolasi Sosial
Pada masalah Resiko Bunuh Diri (RBD) memungkinkan penderitanya akan
merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai
kesempatanuntuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia
mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain,
yang di manifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian
dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain.
c. Bunuh diri
Pada masalah Resiko Bunuh Diri (RBD) memungkinkan penderitanya akan
melakukan prilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah
dapat mengarah pada kematian.
2. Berdasarkan pengkajian
Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa data, didapatkan hasil diagnosa
keperawatan yang muncul pada klien dengan Pada masalah Resiko Bunuh Diri
(RBD) :
a. Resiko Bunuh Diri (RBD)

42
Saat dilakukan pengkajian, klien mengatakan bahwa ia tidak berguna dan
ingin mengakhiri hidupnya. Klien mengatakan hidupnya sia sia, mati
membuat masalah selesai dan tidak sakit lagi. Klien mengatakan pikiran mau
bunuh diri muncul setiap saat walaupun klien berusaha untuk
menghilangkannya. Klien mengatakan pernah mencekik dirinya sendiri dan
ingin loncat dari atas gedung, menabrakan diri ke mobil, memukul-mukul
dada dan pipi serta menggantung dirinya.
Dari data objektif didapatkan data klien tampak sedih, klien tampak
menundukkan kepala, klien tampak lesu dan putus asa, klien tampak
mengatakan ingin bunuh diri berulang-ulang kali.

b. Harga Diri Rendah


Saat dilakukan pengkajian klien mengatakan bahwa ia dan anaknya
pernah ditinggal oleh suaminya demi wanita lain. Klien mengatakan
hidupnya sia sia, mati membuat masalah selesai dan tidak akan merasakan
sakit hati lagi. Klien mengatakan takut tersakiti lagi. Klien mengatakan
suasana hatinya sering sedih dan tidak bersemangat menjalani hidup.
Dari data objektif didapatkan data klien tampak berbicara pelan, lambat
dan hanya seperlunya. Klien juga tidak mampu memulai pembicaraan,
kontak matanya kurang. Klien tampak lesu dan sedih, klien seringkali
menundukkan kepala.
c. Halusinasi Pendengaran
Saat dilakukan pengkajian, klien mengatakan pernah mendengar bisikan
yang menyuruhnya untuk bunuh diri. Bisikan itu jarang muncul, biasanya 1
kali dalam seminggu Bisikan tersebut muncul pada malam hari saat klien
sedang sendiri, saat mendengar bisikan klien ingin mengikutinya.
Saat pengkajian, suara klien terdengar pelan, kontak mata kurang,dan
klien tampak melamun.

C. Intervensi Keperawatan
Dalam menyusun rencana tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan
sesuai dengan kriteria hasil, maka dibuat rencana berdasarkan acuan pada tinjauan
teoritis, rencana keperawatan dibuat selama 6 hari perawatan. Dalam menyusun
tindakan yang akan dilakukan ini disesuaikan dengan diagnosa yang ditemukan

43
sehingga mendapatkan tujuan yang diinginkan. Intervensi yang diberikan yaitu
sesuai dengan Strategi Pelaksanaan (SP) pada masalah Resiko Bunuh Diri (RBD)
dengan tindakan keperawatan dapat dilakukan seperti :
Strategi Pelaksanaa 1 (SP 1) untuk klien
 Mengindeftifikasi benda-benda yang dapat membahyakan klien
 Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan klien
 Melakukan contact treatment
 Mengajarkan caramengendalikan doongan bunuh diri
Strategi Pelaksanaa 2 (SP 2) untuk klien
 Mengidentifikasi aspek positif positif
 Mendorong klien untuk berfikir positif terhadap diri
 Mendorong klien untuk menghargai diri sendiri sebagai individu
Strategi Pelaksanaa 3 (SP 3) untuk klien
 Mengidentifikasi pola koping yang biasa dilkukan klien
 Menilai pola koping yang biasa dilakukan
 Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif
 Mendorong klien memilih pola koping yang konstruktif
Strategi Pelaksanaa 4 (SP 4) untuk klien
 Membuat rencana masa depan yang realistis bersama klien
 Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis
 Memberi dorongan klien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa depan
yang realistis

D. Implementasi dan Evaluasi Keperawatan


Tahap implementasi merupakan asuhan keperawatan pada klien yang sesuai
dengan perencanaan yang telah dibuat. Sedangkan pada tahap evaluasi, penulis
membandingkan antara hasil yang telah dicapai oleh klien dengan kriteria hasil yang
telah direncanakan sebelumnya.
Pada kasus Ny. F yang digunakan adalah evaluasi formatif yaitu evaluasi yang
dilakukan pada saat memberikan implementasi dengan respon segera. Implementasi
keperawatan yang dilakukan pada Tn. F dengan masalah resiko bunuh diri yaitu
strategi pelaksanaan untuk mengatasi resiko bunuh diri, perawat dapat mengajarkan

44
cara mengendalikan dorongan klien untuk bunuh diri, melatih cara mengendalikan
dorong klien untuk bunuh diri, mendorong klien berpikir positif terhadap dirinya,
mendorong klien untuk memilih pola koping yang konstruktif, mendorong klien
untuk melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa depan yang realistis.
Evaluasi Strategi Pelaksanaan 1 (SP 1) tindakan keperawtan pada klien yang
sudah dilakukan tanggal 9 September 2019 terdapat hasil data subjektif, klien
mengatakan ingin bunuh diri dan merasa dirinya tidak berguna karena suaminya
selingkuh, meninggalkan dirinya demi wanita lain. Klien menyatakan ada ide bunuh
diri, memiliki riwayat percobaan bunuh diri, dan memiliki status perkawinan yang
tidak harmonis. Klien mengatakan pernah mencoba menabrakan diri ke mobil lewat,
lompat dari atas rumah, menggantung diri dan mencekek dirinya sendiri. Data
objektif yang didapatkan, klien tampak belum percaya kepada perawat saat
menceritakan masalahnya. Klien tampak impulsif dan sering melamun. Tidak
terdapat benda-benda berbahaya di sekitar lingkungan klien. Klien belum dapat
mengatasi keinginan untuk bunuh diri. Klien tidak dapat mengendalikan dorong
dirinya untuk bunuh diri. Klien dapat mengungkapkan kesedihannya dan
kekecewaanya terhadap suaminya. Analisanya adalah SP 1 resiko bunuh diri teratasi
sebagian yang ditunjukkan klien sudah dapat melakukan instruksi sesuai yang
diajarkan. Planning yang akan dilakukan selanjutnya melanjutkan SP 1 yang belum
teratasi, membina hubungan saling percaya antara perawat dan klien, evaluasi cara
mengendalikan dorong klien untuk bunuh diri, melatih cara mengendalikan dorong
klien untuk bunuh diri dan melakukan SP 2 yaitu mengidentifikasi aspek positif
klien, mendorong klien berpikir positif terhadap dirinya, mendorong klien
menghargai dirinya sebagai individu.
Evaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 10
September 2019 terdapat hasil data subjektif, klien mengatakan akan meminta
bantuan kepada teman atau perawat jika keinginan itu muncul. Klien mengatakan
akan mengalihkan perhatian dan pikiran dengan bercakap- cakap. Klien
mengatakan tidak membenci anaknya walaupun telah disakiti suaminya. Klien
belum dapat berfikir positif terhadap dirinya, klien mengatakan masih ada keinginan
untuk melakukan percobaan bunuh diri. Klien belum dapat menghargai dirinya,
klien mengatakan dirinya tidak berguna. Data objektif yang didapatkan, Klien
tampak nyaman dan terbuka saat menceritakan masalahnya. Klien dapat

45
mengungkapkan perasaanya. Klien tampak lesu dan tidak bersemangat. Analisanya
adalah SP 2 resiko bunuh diri teratasi sebagian. Planning selanjutnya lanjutkan SP 2
Mendorong klien berpikir positif terhadap dirinya. Mendorong klien menghargai
dirinya sebagai individu. Melakukan SP 3 yaitu mengdentifikasi pola koping yang
biasa dilakukan klien. Menilai pola koping yang biasa dilakukan. Mengidentifikasi
pola koping yang konstruksif. Mendorong klien untuk memilih pola koping yang
konstruktif. Menganjurkan klien untuk menerapkan pola koping konstruktif dalam
kegiatan harian.
Evaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 11
September 2019 terdapat hasil data subjektif, klien mengatakan akan memikirkan
hal yang baik saja seperti fokus untuk kesembuhan penyakitnya, klien mengatakan
akan lebih mencintai dirinya sendiri dan tidak menyakiti dirinya lagi, klien
mengatakan tidak dapat mengatasi rasa ingin bunuh diri yang dialami (Maladatif),
klien belum dapat menunjukan pola koping yang konstruktif seperti belum mampu
memulai pembicaraan dengan orang lain, klien belum dapat memilih pola koping
yang konstruktif seperti mengambil sikap berdiam diri seharian. Adapun data
objektif yang didapatkan, klien memiliki pola koping yang maladatif, klien tampak
belum bisa berinteraksi dengan teman. Analisanya adalah SP 3 resiko bunuh diri
tercapai sebagian. Planning lanjutkan SP 3, mengidentifikasi pola koping yang
konstruksif, mendorong klien untuk memilih pola koping yang konstruktif,
menganjurkan klien untuk menerapkan pola koping konstruktif dalam kegiatan
harian. Lanjut melakukan SP 4, untuk membuat rencana masa depan yang realistis
bersama perawat, mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang
realistis, dorong klien untuk melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa depan
yang realistis.
Evaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada tanggal 12
September 2019 terdapat hasil data subjektif, klien mengatakan bahwa bunuh diri
bukan merupakan pemecahan masalah, klien mengatakan berusaha untuk belajar
menyelesaikan masalah tanpa menyakiti diri sendiri, klien mengatakan ingin cepat
sembuh dan bisa pulang, klien mengatakan ingin bekerja lagi ke Malaysia untuk
membiayai hidup anaknya. Hasil data objektif, klien tampak belum dapat melakukan
kegiatan seperti menyapu, mengepel dan membersihkan ruangan, klien hanya
melakukan kegiatan saat mendapatkan perintah. Analisanya SP 4 resiko bunuh diri

46
teratasi sebagian. Planning untuk selanjutnya, mengevaluasi SP 1, 2 dan 3, dorong
klien untuk tetap minum obat secara teratur, dorong klien untuk tetap semangat dan
jangan bersedih, mendorong klien untuk melakukan kegiatan dalam rangka meraih
masa depan yang realistis.

E. Hambatan yang Ditemukan Saat Merawat Klien


Menurut penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, dkk (2016), persepsi perawat
RSJ tentang hambatan yang dijumpai selama menerapkan kompetensi dalam
merawat pasien gangguan jiwa, terdapat 5 hambatan yaitu :
1) Dokumentasi Keperawatan
Perawat RSJ dalam membuat dokumentasi keperawatan menemui
beberapa hambatan seperti ketidaklengkapan jenis format SAK yang seharusnya
ada, misalnya format di UGD, PICU, Poli Jiwa Anak dan SPO khusus untuk
ADL pasien.
Format yang digunakan masih dalam proses pengembangan dan evaluasi
sehingga terkadang menimbulkan berbagai persepsi yang beragam dan
berdampak pada hasil pengisian yang juga beranekaragam.
Kondisi tersebut dirasakan menjadi hambatan terutama apabila harus
berkomunikasi dengan disiplin ilmu yang lain seperti dengan pihak medis,
psikolog maupun okupasi terapis. Ketidaklengkapan juga masih dijumpai pada
simbol khusus yang perlu untuk dimodifikasi, misalnya untuk mengkaji masalah
nyeri pada pasien gangguan jiwa belum ditemukan model yang tepat.
Ketidaklengkapan juga termasuk banyak komponen format yang tidak terisi
sesuai SPO dan kosong tidak diisi. Pengisian data dokumentasi yang menjadi
hambatan dan perlu perhatian khusus adalah validitas data yang dituliskan oleh
perawat. Subjektivitas perawat dalam menuliskan evaluasi asuhan keperawatan
masih mendominasi sehingga evaluasi yang ada di catatan perkembangan
kurang menggambarkan kondisi pasien secara rinci.
Pelaksanaan dokumentasi keperawatan menemui hambatan dalam bentuk
ketidaklengkapan format Standar Asuhan Keperawatan (SAK) terutama untuk
ruangan dengan karakteristik khusus dan perbedaan persepsi perawat dalam
proses pendokumentasian. Dokumentasi keperawatan sangat penting (Iyer &

47
Comp, 2005) menurut ANA (2000 dalam Nursalam, 2008) dokumentasi
merupakan pernyataan bahwa perawat bertanggung jawab dalam melakukan
asuhan keperawatan, termasuk dalam mengumpulkan data, mengkaji status
kesehatan klien, menentukan rencana asuhan keperawatan, mengevaluasi
efektivitas asuhan dan mengkaji ulang serta merevisi kembali rencana asuhan
keperawatan. Keberadaan ruangan dengan karakteristik khusus di RSJ seperti
ruang gawat darurat(UGD), ruang intensif (PICU), ruang khusus anak, geriatri
dan ruang khusus NAPZA, menjadikan perlu untuk dikembangkan format
dokumentasi khusus yang menjawab bahwa dokumentasi yang telah dilakukan
merupakan kinerja yang harus diperbaiki. Sehingga kemampuan dokumentasi
asuhan keperawatan di RSJ menjadi aspek yang perlu diperhatikan untuk
menunjang pencapaian kompetensi perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan secara menyeluruh.
2) Fasilitas
Fasilitas yang tersedia di RSJ masih menjadi salah satu hambatan yang
dirasakan saat perawat akan menerapkan tindakan sesuai dengan SPO yang ada.
Seperti SPO untuk menerapkan asuhan keperawatan ADL mandi pada pasien
belum ditunjang dengan kelengkapan alat mandi dan fasilitas kebersihan pribadi
pasien. Sehingga perawat banyak melakukan modifikasi sesuai dengan
ketersediaan yang ada. Perawat dalam melaksanakan SPO untuk merawat pasien
gangguan jiwa membutuhkan dukungan fasilitas rumah sakit. Fasilitas yang
dibutuhkan sebaiknya diidentifikasi dan direncanakan berdasarkan kebutuhan
(Depkes RI, 2008). Dalam upaya tersebut dibutuhkan perencanaan dari kepala
ruangan untuk menyusun sumber daya yang dimiliki dan dibutuhkan,
menentukan strategi sehingga tujuan dapat tercapai (Simamora, 2012).
Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan yang sering terkendala dengan
fasilitas ruangan adalah pemenuhan kebutuhan kebersihan diri yang belum dapat
dilaksanakan sesuai dengan SPO yang ada. Keterbatasan peralatan mandi seperti
sabun, shampo, handuk, sikat dan pasta gigi untuk setiap pasien menstimulasi
perawat untuk melakukan modifikasi sehingga kebutuhan tersebut dapat
terpenuhi. Kondisi pasien gangguan jiwa yang belum dapat menjaga barang
pribadi untuk kebersihan diri menjadi faktor yang harus dipertimbangkan agar
kebutuhan kebersihan diri pasien dapat terpenuhi.

48
3) Manajemen Ruangan
Pelaksanaan manajemen di ruangan terutama aspek perencanaan masih
menjadi hambatan yang mempengaruhi kinerja asuhan keperawatan pada
perawat ruangan. Deskripsi tugas yang tidak jelas terutama dalam pelaksanaan
terapi modalitas seperti TAK dan PKRS menimbulkan ketidaknyamanan di
antara perawat pelaksana sehingga mempengaruhi kineraja perawat. Selain itu
keterbatasan kewenangan perawat untuk melakukan terapi modalitas yang tidak
dipayungi oleh kebijakan rumah sakit dan ruangan membuat jenis terapi
modalitas yang dapat dilaksanakan baru sebatas TAK dan PKRS.
Aspek pengawasan dalam manajemen ruangan juga menjadi hambatan
bagi perawat ruangan dalam menjalankan kompetensi sebagai perawat secara
optimal. Kegiatan TAK di ruang rehabilitasi telah dilakukan evaluasi, namun
tidak tersampaikan kepada perawat pengelola pasien dan masih kurangnya aspek
pengawasan untuk menindaklanjuti hasil evaluasi tersebut membuat kemajuan
kemampuan pasien tidak menjadi bagian dari evaluasi perawat ruangan. Selain
itu sistem reward yang masih belum sesuai dengan kinerja pelaksanaan terapi
modalitas seperti TAK, menjadi salah satu alasan perawat untuk tidak bekerja
secara maksimal.
4) Sumber Daya Manusia
Pelaksanaan kompetensi perawat di RSJ dirasakan menemui hambatan
akibat dari keberagaman kondisi sumber daya manusia yang tersedia. Tingkat
pendidikan yang bervariasi dari tingkat SPK, DIII, S1 Ners, Magister dan
Spesialis mempengaruhi tingkat pengetahuan perawat dalam menerapkan asuhan
keperawatan. Perbedaan persepsi masih sering ditemukan dalam hal menentukan
diagnosa keperawatan dan menuliskan di format dokumentasi keperawatan.
Masa kerja perawat yang juga bervariasi juga menjadi kendala dimana perawat
yang masih baru perlu mempelajari kebiasaan yang telah ada dan seni dalam
mengatasi permasalahan selama berhadapan dengan pasien gangguan jiwa.
Jumlah perawat yang terbatas apabila di bandingkan dengan jumlah pasien,
terutama pada shift sore dan malam hari di ruang akut menyebabkan beban kerja
perawat yang tinggi. Beban kerja perawat selain akibat dari ketidak seimbangan
tersebut juga akibat dari beberapa perawat harus menjabat secara struktural
sehingga waktu banyak tersita untuk kegiatan selain di ruang rawat. Selain itu

49
duplikasi beberapa format dokumentasi keperawatan yang harus dilengkapi
selama merawat pasien masih menjadi hambatan untuk dapat bekerja secara
efisien meskipun beberapa format sudah dimodifikasi dengan bentuk yang lebih
sederhana, menyebabkan semakin terbatasnya jumlah waktu dalam pelayanan
langsung ke pasien. Situasi dan kondisi tersebut dirasakan sebagai beban oleh
perawat dan dapat mempengaruhi kinerja perawat dalam melaksanakan asuhan
keperawatan pada pasien gangguan jiwa.
5) Kondisi Pasien
Perawat RSJ dalam menjalankan kompetensi sebagai perawat ruangan
juga mendapatkan hambatan akibat dari ketidakpatuhan pasien dalam menjalani
program pengobatan di rumah sakit. Kondisi penyakit yang dialami pasien
gangguan jiwa membuat pasien memiliki pola pikir, pengendalian emosi dan
perilaku yang unik, sehingga perawat harus memiliki kemampuan untuk
mengarahkan agar pasien mau mengikuti program terapi yang telah
direncanakan bersama tim kesehatan yang lain. Bagi sebagian perawat
ketidakpatuhan merupakan tantangan tersendiri, namun tetap menjadi faktor
penghambat dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai perawat di tatanan
RSJ. Pasien gangguan jiwa cenderung mengalami ketidakpatuhan terhadap
pengobatan yang telah direncanakan oleh perawat, seperti TAK dan Terapi
Rehabilitasi saat pasien masih menjalani rawat inap di RSJ. Gangguan jiwa yang
bersifat kronis dan membutuhkan pengobatan dalam jangka waktu lama
menumbuhkan ketegangan dan tingkat kejenuhan pasien sehingga menyebabkan
ketidakpatuhan.

1. Strategi Pelaksanaan (SP) untuk klien


Tahap implementasi adalah tahap untuk melakukan tindakan-tindakan
yang telah direncanakan sebelumnya. Implementasi yang telah dilakukan kepada
klien yaitu sebagai berikut :
 Strategi Pelaksanaan 1 (SP1) dilakukan pada tanggal 9 September 2019
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu mengungkapkan
masalah keperawatan yang telah dialaminya yaitu Resiko Bunuh Diri
(RBD) dengan klien dapat mengungkapkan perasaanya.
 Kemudian perawat mengidentifikasi masalah keperawatan yang telah
dialami klien yaitu Resiko Bunuh Diri (RBD) perawat mengajarkan dan

50
melatih tentang cara mengendalikan dorongan bunuh diri dengan
memberikan motivasi serta dukungan terhadap klien.
2. Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2)
 Strategi Pelaksanaan 2 (SP 2) dilakukan pada tanggal 10 September
2019. Setelah dilakukan tindakan keperawatan,klien mampu melakukan
tindakan keperawatan pada SP 1, kemudian klien dapat berfikir positif
dengan dirinya dan menghargai diri sendiri.
 Kemudian perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien dan
mengajarkan cara mengontrol emosi dengan cara fisik II (mumukul
benda yang empuk seperti bantal) dan menganjurkan klien untuk
memasukan ke jadwal harian.

51
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk
menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap
diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku
destruktif diri yang mencakup setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah
kematian dan individu menyadari hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh
diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat
individu berisiko untuk melakukan tindakan bunuh diri adalah gangguan afektif,
penyalahgunaan zat, dan skizofrenia. Tiga tipe kepribadian yang erat hubungannya
dengan besarnya risiko bunuh diri adalah antipati, impulsif, dan depresi.
Depresi dialami oleh 80% mereka yang berupaya atau melakukan bunuh diri
pada penduduk yang didiagnosis mengalami gangguan jiwa, bunuh diri adalah
suatu keadaan dimana individu mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau
melakukan tindakan yang dapat mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan
bahwa bunuh diri sebagai perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak
dicegah dapat mengarah pada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup
setiap bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari
hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan
Beberapa tanda dan gejala yang dialami seseorang yang mengalami resiko
bunuh diri adalah Mempunyai ide untuk bunuh diri, Mengungkapkan keinginan
untuk mati, Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan, Impulsif,
Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh,
Memiliki riwayat percobaan bunuh diri, Verbal terselubung (berbicara tentang
kematian, menanyakan tentang obat dosis mematikan), Status emosional (harapan,
penolakan, cemas meningkat, panik, marah, dan mengasingkan diri), Kesehatan
mental (scara klinis, klien terlihat sebagai orang depresi, psikosis, dan
menyalahgunakan alkohol), Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyaki
kronis atau terminal), Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
mengalami kegagalan dalam karier), Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.,
Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan), Pekerjaan, Konflik

52
interpersonal., Latar belakang keluarga, Orientasi seksual, Sumber-sumber
personal, Sumber-sumber social, Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.
Dari tanda dan gejala diatas ditemukan klien memiliki resiko bunuh diri
dengan masalah utama yang muncul saat pengkajian adalah klien mengatakan
bahwa ia tidak berguna dan ingin mengakhiri hidupnya. Klien mengatakan
hidupnya sia sia, mati membuat masalah selesai dan tidak sakit lagi. Klien
mengatakan pikiran mau bunuh diri muncul setiap saat walaupun klien berusaha
untuk menghilangkannya. Klien mengatakan pernah mencekik dirinya sendiri dan
ingin loncat dari atas gedung, menabrakan diri ke mobil, memukul-mukul dada dan
pipi serta menggantung dirinya. Dari data objektif didapatkan data klien tampak
sedih, klien tampak menundukkan kepala, klien tampak lesu dan putus asa, klien
tampak mengatakan ingin bunuh diri berulang-ulang kali.

B. SARAN
1. Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat digunakan sebagai evidence based
bagi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Kalimantan Barat tentang analisis lebih lanjut
bagi pasien dengan resiko bunuh diri
2. Bagi perawat dapat menjadi acuan intervensi lebih lanjut tentang intervensi
bagi pasien dengan resiko bunuh diri
3. Bagi mahasiswa dapat dijadikan sebagai acuan dalam membuat asuhan
keperawatan dan dalam menangani pasien dengan resiko bunuh diri.
4. Untuk laporan kasus selanjutnya, dapat menjadi acuan dasar dalam
mengembangkan analisa dan implementasi yang maksimal sehingga menjadi
asuhan keperawatan yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Dez’s (2009), Asuhan keperawatan pada klien dengan tindakan bunuh diri/merusak diri.
Diperoleh pada tanggal 12 April 2010, dari: http://dezlicious.blogspot.com/2009/
05/asuhan-keperawatan-pada-kliendengan_ 09.html.

Jannah, S. R. (2010). TINJAUAN PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN


PADA PASIEN DENGAN BUNUH DIRI. Idea Nursing Journal, 32-39.

Keliat, A. B., & Akemat (2006). Model praktik keperawatan professional jiwa. Jakarta:
EGC.

53
Khaidir, M. (2009). Asuhan keluarga remaja dengan percobaan bunuh diri
menggunakan pendekatan lima tugas pokok keluarga dan PES. Diperoleh pada
tanggal 12 April 2010, dari: http://khaidirmuhaj.blogspot.com/2009/06/askep-
bunuhdiri- html.

Mental Health Club FIK UNPAD. (2008).Asuhan keperawatan upaya bunuh diri,
(sumber: Yosep, Iyus (2007), Keperawatan Jiwa, PT Refika aditama :
Bandung ).Diperoleh pada tanggal 12 April 2010, dari:
http://nersjiwa.blogspot.com/2008/0 4/bunuh-diri_708.html.

Pri’e. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan risiko bunuh diri. Diperoleh pada
tanggal 12 April 2010, dari: http://perawatpskiatri.blogspot.com/2008/11/asuhan-
keperawatan-kliendengan- risiko.html.

Rainia. (2009). Laporan pendahuluan asuhan keperawatan pada klien dengan perilaku
percobaan bunuh diri. Diakses pada tanggal 11 April 2010, dari:
http://rastirainia.wordpress.com/2009/11/25/laporanpendahuluan- asuhan-
keperawatanklien-dengan-perilaku-percobaanbunuh-diri.

Turecki, Gustavo and Brent, David A. (2016). Suicide and suicidal behaviour. Lancet,
387(10024): 1227–1239. doi:10.1016/S0140-6736(15)00234-2.

Wikipedia. (2010). Bunuh diri. Diperoleh pada tanggal 12 April 2010, dari:
http://id.wikipedia.org/wiki/Bunuh_diri.

54
D

Anda mungkin juga menyukai