Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PROYEK INOVASI

PENGARUH PEMBERIAN MIRROR THERAPY TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT


PASIEN STROKE YANG MENGALAMI HEMIPHARASE RUMAH SAKIT UMUM DAERAH (RSUD) dr.
ABDUL AZIZ KOTA SINGKAWANG

Disusun Oleh:

RIKA ROHANI 14051191007 AGUNG NUR RASYID 14051191011


MODESTA FERAWATI 14051191008 ZAKIAH AMAR 14051191012
FEBBY HARDIANTI 14051191009 AGUS MULYADI I4052191002
ERICHA RIZKI R 14051191010

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019-2020
PELAKSANAAN PROYEK INOVASI BERBASIS BUKTI SEBAGAI APLIKASI
PROJECT BASED LEARNING

1. Referensi jurnal/ artikel :


a. Nama Penulis :

- Jin-Young Park

- Moonyoung Chang

- Kyeong-Mi Kim

- Hee-Jung Kim
b. Judul Penelitian/Judul Artikel Ilmiah :
The effect of Mirror therapy on upper-extremity function and activities of daily living in
stroke patients
c. Nama jurnal, edisi tahun-volume-halaman) :
J.Phys.Ther.Sci. 27: 1681-1683, 2015

2. Jenis program inovasi : pre-experimental dengan rencana One-Group Design

3. Latar belakang program :


Seiring dengan kemajuan iptek maka akan mempengaruhi gaya hidup dan
menimbulkan berbagai penyakit pada usia produktif. Penyakit stroke semakin menggejala
pada kaum di usia produktif. Akibat pola makan yang tidak sehat dengan seringnya
mengkonsumsi makanan siap saji yang sarat dengan lemak dan kolesterol tapi rendah serat.
Kolesterol dapat menyumbat pembuluh darah yang pada akhirnya menyebabkan tekanan
darah meninggi dan terjadi pecah pembuluh darah yang disebut stroke (Dourman, 2013).
Stroke menyerang siapapun tua atau muda, lelaki maupun perempuan, kalangan atas atau
bawah, kulit putih maupun berwarna. Tetapi umumnya stroke menyerang mereka yang berusia
di atas 40 tahun. Memang makin tinggi usia, makin rentan kena serangan stroke. US
National Stroke Association menyatakan bahwa pada usia 55 tahun makin rentan kena
serangan stroke (Waluyo, 2009).
Di Amerika Serikat, stroke merupakan salah satu dari tiga besar (selain jantung dan
kanker) penyebab kematian. Demikian menurut Richard Lee, M. D. Ahli bedah dan Direktur
Center for Atrial Fibrillation di Northwest School of Medicine, Chicago. Dan setiap tahun
stroke membunuh lebih dari 160.000 penduduk Amerika. Menurut WHO (organisasi
kesehatan dunia) stroke merupakan pembunuh nomor 3 setelah penyakit jantung dan kanker.
Sebanyak
75% pasien stroke di Amerika menderita kelumpuhan dan kehilangan pekerjaan. Di
Eropa ditemukan sekitar 650.000 kasus baru stroke setiap tahunnya. Di Inggris stroke
menduduki urutan ke-3 sebagai pembunuh setelah penyakit jantung dan kanker (Waluyo,
2009: 10). Sumber terbaru tahun 2006 menyatakan penderita stroke mencapai lebih dari
700.000 orang pertahun dengan 550.000 di antaranya adalah kasus stroke baru. Beberapa
sumber lain memperkirakan terdapat 750.000 kasus stroke setiap tahun, dengan angka
kematian mencapai 150.000 orang per tahun. Sementara data di Indonesia mortalitas stroke
dari survei rumah tangga adalah 37,3 per 100.000 penduduk (Dourman, 2013).
Stroke adalah serangan otak yang timbul secara mendadak dimana terjadi gangguan
fungsi otak sebagian atau menyeluruh sebagai akibat dari gangguan aliran darah oleh karena
sumbatan atau pecahnya pembuluh darah tertentu diotak, sehingga menyebabkan sel-sel otak
kekurangan darah, oksigen atau zat- zat makanan dan akhirnya dapat terjadi kematian sel-sel
tersebut dalam waktu relatif singkat. Stroke merupakan penyakit sistem persyarafan yang
paling sering dijumpai. Stroke bisa terjadi pada setiap tingkat umur. Sroke klinis merujuk pada
perkembangan neurologis defisit yang mendadak dan dramatis. Stroke dapat didahului oleh
banyak faktor pencetus dan seringkali yang berhubungan dengan penyakit kronis yang
menyebabkan masalah biasanya penyakit vascular yang berhubungan dengan peredaran darah
(Dourman, 2013).
Data yang dirilis oleh Yayasan Stroke Indonesia sungguh membuat kita khawatir.
Dinyatakan bahwa kasus stroke di Indonesia menunjukkan kecenderungan terus meningkat
dari tahun ke tahun. Setelah tahun 2000 kasus stroke yang terdeteksi terus melonjak. Pada
tahun 2004, beberapa penelitian di sejumlah rumah sakit menemukan pasien rawat inap yang
disebabkan stroke berjumlah 23.636 orang. Sedangkan yang rawat jalan atau yang tidak
dibawa ke dokter/rumah sakit tidak diketahui jumlahnya. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007 berhasil mendata kasus stroke di wilayah perkotaan di 33 provinsi dan 440
kabupaten. Riskesdas tahun 2007 ini berhasil mengumpulkan sebanyak 258.366 sampel
rumah tangga perkotaan dan 987.205 sampel anggota rumah tangga untuk pengukuran
berbagai variabel kesehatan masyarakat. Hasilnya, stroke merupakan pembunuh utama
diantara penyakit-penyakit non-infeksi di kalangan penduduk perkotaan (Waluyo, 2009).
Diperkirakan sebanyak 28,5 % penderita stroke meninggal dunia selebihnya menderita
lumpuh sebagian atau total. Hanya 15% yang dapat sembuh total. Sejumlah 15%
meninggal secara langsung atau dalam perawatan di rumah sakit, sedangkan yang bertahan
hidup umumnya tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari maupun mencari nafkah
(Waluyo, 2009).
Kelumpuhan adalah cacat paling umum dialami oleh penderita stroke. Stroke
umumnya ditandai dengan cacat pada salah satu sisi tubuh (hemipharase), jika dampaknya
tidak terlalu parah hanya menyebababkan anggota tubuh tersebut menjadi tidak bertenaga atau
dalam bahasa medis disebut hemiparesis. Kelumpuhan dapat terjadi diberbagai bagian tubuh,
mulai dari wajah, tangan, kaki, lidah, dan tenggorokan (Lingga, 2013). Bagian tubuh tertentu
pada pasien stroke sering kali mengecil, misalnya tungkai atau lengan yang lumpuh menjadi
lebih kecil dibanding yang tidak lumpuh. Hal ini dapat pula terjadi pada bagian tubuh yang
tidak mengalami kelumpuhan jika kurang digerakkan. Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh
menyebabkan pasien malas menggerakkan tubuhnya yang sehat sehingga persendian akhirnya
menjadi kaku. Inilah penyebab nyeri sendi yang umumnya mereka rasakan. Malas bergerak
bukan saja menyulitkan proses pemulihan anggota gerak namun juga menyebabkan sisi tubuh
yang normal akhirnya ikut cacat. Untuk mencegah hal tersebut, pasien perlu melakukan
latihan fisik secara rutin (Lingga, 2013). Menurut Perry & Potter, 2006 dalam Cahyati 2011.
Masalah fisik paling sering terjadi pasien pasca stroke ialah hemipharase pada
ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Terkait masalah fisik tersebut terdapat beberapa
intervensi untuk mengatasi atau mengembalikan fungsi fisik pasien pasca stroke. Intervensi
yang dapat diberikan untuk mengembalikan fungsi motorik meliputi neurodevelopmental
techniques, bilateral arm training, strength training, trunk restraint, feedback therapy, dan
mirror therapy. Mirror therapy adalah teknik rehabilitasi yang menggunakan media cermin
dengan cara meletakkan cermin tersebut secara midsagittal terhadap tubuh dengan posisi
esktremitas yang sakit berada dibelakang cermin dan tangan yang sehat berada didepan
cermin. Posisi pasien melihat refleksi bayangan yang ada dicermin dan tangan yang sehat
digerakkan secara fleksi, ekstensi, dan rotasi mencakup pergelangan tangan dan jari-jari (Kim,
2016).
Keuntungan mirror therapy meliputi penggunaan alat yang sederhana, murah, mudah
dan tidak memiliki efek samping yang dapat merugikan pasien (Toh, 2012). Mirror therapy
dibandingkan dengan jenis terapi rehabilitasi untuk mengatasi hemipharase memiliki
kelebihan dibandingkan jenis terapi yang lain berupa hasil yang signifikan dalam
meningkatkan kemampuan ekstremitas yang mengalami hemipharase dalam waktu yang
relatif lebih singkat (Hung, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Hung (2015) mirror therapy yang digunakan dalam
penelitian ini menunjukkan efektivitas yang berarti dengan peningkatan fungsi ekstremitas
bagian bawah yang diberikan terapi. Penelitian ini menyarankan untuk dilakukan penelitian
lebih jauh dikarenakan tidak membagi kondisi pasien pasca stroke sesuai fase yang dilalui.
Peneliti menyarankan untuk lebih fokus pada fase akut dan subakut dari perjalanan pasca
stroke.
Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Toh (2012) menunjukkan
efektivitas dari mirror therapy yang diberikan pada pasien pasca stroke. Penelitian ini tidak
mengklasifikasikan secara spesifik kondisi pasien pasca stroke baik itu akut, subakut, dan
kronik. Saran untuk penelitian selanjutnya lebih fokus terhadap salah satu fase pasien pasca
stroke untuk melihat sejauh mana mirror therapy dapat diberikan. Penelitian yang dilakukan
oleh Saliha (2016) dengan sampel berjumlah 24 orang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok
pertama kelompok intervensi dan kelompok kedua kelompok kontrol. Kelompok intervensi
diberikan mirror therapy dengan durasi latihan selama 30 menit/hari, 5 hari/minggu dan
selama 3 minggu. Hasil menunjukkan terdapat efektivitas dari kelompok kontrol. Namun
penelitian ini tidak membedakan fase dari pasien pasca stroke tersebut.
Mekanisme dari mirror therapy terhadap perbaikan performa fisik terutama
ekstremitas atas oleh beberapa ahli belum diketahui secara pasti mekanismenya. Terdapat dua
hipotesis yang menjelaskan bagaimana mirror therapy dapat digunakan sebagai terapi
rehabilitasi pasca stroke. Hipotesis yang pertama, mirror therapy diperkirakan dapat
meningkatkan normalisasi keseimbangan di dalam hemisfer setelah stroke, hal ini bagian
penting dalam pemulihan fungsi motor. Ditemukan bukti bahwa baik aktivitas motor dan
perseptual yang ditemukan pada mirror therapy yang memodulasi rangsangan korteks motor
primer (M1). Selama aktivitas mirror therapy, rangsangan M1 dimodulasi oleh gerakan
anggota badan ipsilateral dan observasi pasif gerakan anggota badan kontralateral seperti
yang tercermin di cermin. Dengan kata lain, gerakan sebenarnya dari ipsilateral (yaitu,
ekstremitas atas yang terkena) menunjukkan M1 ipsilateral dan pengamatan tindakan di
cermin (yang dilakukan oleh ektremitas atas yang tidak terpengaruh) mengaktifkan M1
kontralateral. Perubahan simultan pada rangsangan M1 ini diperkirakan dapat memfasilitasi
reorganisasi kortikal yang sesuai untuk pemulihan fungsional motor (Hung, 2015).
Hipotesis kedua melibatkan neuron cermin, yang diperkirakan ditemukan di daerah
frontotemporal dan girus temporal superior. Mereka dianggap sebagai neuron bimodal yang
menyala saat seseorang melakukan atau mengamati pergerakan motorik. Aktivasi bilateral
dari korteks premotor selama pengamatan lengan/tangan dari aktivitas fungsi motorik yang
dipantulkan oleh cermin dan menemukan peningkatan rangsangan M1 tangan di belakang
cermin (tangan yang mengalami disabilitas). Ilusi cermin dari gerakan tangan yang normal
sebagai pengganti tangan yang menalami disabilitas dampak penurunan fungsi proprioseptif
dan membantu merekrut korteks premotor (Hung, 2015).

4. Tujuan program :
Mengetahui pengaruh pemberian mirror therapy terhadap peningkatan kekuatan otot

5. Sasaran pencapaian program tersebut :


2-3 orang pasien yang mengalami hemiparesis

6. Parameter/ tolak ukur :


Klien dan dan keluarga dapat pemahaman tentang Mirror Therapy dan dapat
mendemonstrasikan secara mandiri

7. Pelaksana (PJ, koordinator, anggota) :


Penanggungjawab :
- Agung Nur Rasyid
- Ericha Rizki R.
Anggota :
- Febby Hardianti
- Modesta Ferawati
- Agus Mulyadi
- Zakiah Amar
- Rika Rohani

8. Prosedur pelaksanaan program :


Persiapan
 Alat dan bahan : Cermin 40x30 cm, pulpen, kertas
 Memilih target sasaran, yaitu pasien yang setelah mengalami kelemahan ekstremitas

9. Pelaksanaan
 Rencana pelaksanaan dilakukan tanggal : 27 Desember 2018
 Kegiatan: pelaksanan di lakukan di bangsal penyakit saraf RSUD dr. Abdul Aziz
pukul 11.00-11.30 WIB
 Meminta persetujuan pasien dan keluarga
 Terlebih dahulu mengetahui tekanan darah klien tidak boleh dilakukan jika tekanan
darah lebih dari 150/80 mmHg dan mengalami cedera pada ekstremitas
 Kemudian perawat menjelaskan tujuan dan manfaat pemberian terapi
 Meletakkan cermin secara sejajar dengan tubuh klien secara midsagital. Tangan yang

sehat berada didepan cermin dan tangan yang sakit berada dibelakang cermin.

 Pandangan klien menatap cermin dengan tidak melihat tangan yang sakit.

 Tangan yang sehat melakukan gerakan dimulai dengan menggerakkan ibu jari secara

fleksi dan ekstensi dengan pengulangan sebanyak 8 kali

 Greakkan pergelangan tangan fleksi, ekstensi, dan rotasi dengan pengulangan sebanyak

8 kali

 Siku digerakkan secara fleksikan dan ekstensi dengan pengulangan sebanyak 8 kali

10. Evaluasi :
Pasien stroke hemoragik:
 Klien tampak tenang
 Klien dan keluarga mengetahui fungsi dari mirror therapy
 Keluarga dapat mengikuti arahan perawat tatacara mirror therapy
 Klien dan keluarga sangat kooperatif
 Klien dapat melakukan mirror therapy

11. Hambatan :
Proyek inovasi dilakukan pada bangsal saraf. Pada tanggal 11 januari 2020 pasien yang mengalami
stroke dan meninggalkan gejala sisa hemipharase sangat sedikit. Pasien yang mengalami stroke
berjumlah 3 orang. Hal ini sangat menyulitkan kelompok untuk mengajarkan mirror therapy sesuai
target pelaksanaan.

12. Respons perawat dan tim kesehatan lain :


Respon perawat ruangan untuk pelaksanaan proyek inovasi ini yaitu sangat mendukung mirror
therapy terhadap penyembuhan penyakit stroke dikarenakan pada terapi ini tidak memerlukan
biaya yang mahal dan mudah dilakukan keluarga. Saran dari perawat ruangan selalu
memperhatikan tanda vital klien saat melakukan teknik ini. Inovasi yang telah dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswi program ners dapat menjadi masukan sebagai aplikasi mobilisasi dengan
teknik mirror therapy di ruangan perawatan.

Singkawang, 11 Januari 2020


Pembimbing Klinik

( )

Anda mungkin juga menyukai