Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN PROYEK INOVASI

RELAKSASI GENGGAM JARI TERHADAP PENURUNAN TINGKAT


ANSIETAS PADA PASIEN PRE OPERASI DI RUANG INSTALASI BEDAH
SENTRAL RSUD DR ABDUL AZIZ SINGKAWANG

DISUSUN OLEH

RIKA ROHANI 14051191007 AGUNG NUR RASYID 14051191011


MODESTA FERAWATI 14051191008 ZAKIAH AMAR 14051191012
FEBBY HARDIANTI 14051191009 AGUS MULYADI I4052191002
ERICHA RIZKI R 14051191010

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2020

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i


LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... ii
RINGKASAN ........................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Ansietas ..................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi .......................................................................................... 3
2.1.2 TingkatAnsietas............................................................................. 3
2.1.3 Fungsi Adaptif .............................................................................. 4
2.1.4 Tanda dan Gejala .......................................................................... 4
2.2 Relaksasi Genggam Jari ............................................................................ 5
2.2.1 Definisi Relaksasi Genggam Jari .................................................. 5
2.2.2 Manfaat dan Mekanisme Relaksasi Genggam Jari ...................... 6
2.2.3 Cara Melakukan ............................................................................ 7
BAB III METODE ................................................................................................. 8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 9
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 13

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stroke merupakan penyakit yang menjadi penyebab kematian dan kecacatan
diseluruh dunia. Setiap 2 detik, seseorang yang ada di dunia ini mengalami
serangan stroke (Lindsay, 2014). Dibeberapa negara, stroke tidak menjadi
prioritas dibandingkan dengan penyakit lainnya, meskipun memiliki dampak yang
banyak bagi kesehatan masyarakat. Satu diantara masalah ialah kurangnya data
komparatif yang mudah diakses untuk membantu pengembangan strategi
penanganan stroke secara menyeluruh (Thrift, 2013). World Health Organization
(WHO) berkomitmen untuk menurunkan secara signifikan faktor resiko dan
angka kematian yang disebabkan stroke hingga tahun 2025 (Lindsay, 2014).
Prevalensi stroke di dunia pada tahun 2013 berjumlah 25,7 juta orang yang
bertahan terhadap serangan stroke (71% disebabkan stroke iskemik), 6,5 juta
orang meninggal dunia (51% disebabkan stroke iskemik), 113 juta orang
mengalami kecacatan akibat gejala sisa stroke (58% disebabkan stroke iskemik),
dan 10,3 juta orang tercatat sebagai kasus baru penderita stroke dari periode 1990
sampai dengan 2013 (Feigin, 2015). Angka kematian yang disebabakan oleh
stroke di Asia berjumlah 2.403,2/100.000 orang (2,4 %) dan angka kecacatan
yang disebabkan oleh stroke berjumlah 77.392,8/100.000 orang (77,3 %) pada
tahun 2010. Stroke yang terjadi di Asia disebabkan oleh beberapa penyebab,
diantaranya ialah hipertensi di Mongolia dan Pakistan, diabetes mellitus di Papua
Nuigini, Pakistan, dan Mongolia, hypercholesterolemia di Jepang, Singapura, dan
Brunei, kurang aktivitas banyak ditemukan di Malaysia, serta konsumsi rokok di
Indonesia (Venketasubramanian, 2017).
Berdasarkan data dari riset kesehatan dasar prevalensi stroke di Indonesia
meningkat yang awalnya 8,3/1.000 orang pada tahun 2007 menjadi 12,1/1.000
orang pada tahun 2013 (Kemenkes, 2013). Berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan, prevalensi stroke di Indonesia sebanyak 7,0 per mil sedangkan
diagnosis tenaga kesehatan yang menunjukkan gejala stroke berjumlah 12,1 per
mil. Provinsi yang memiliki prevalensi tertinggi stroke berdasarkan diagnosis

3
tenaga kesehatan ialah provinsi Sulawesi Utara dengan jumlah 10,8 per mil,
diikuti oleh provinsi DI Yogyakarta yang berjumlah 10,3 per mil, dan disusul oleh
provinsi Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil.
Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala, yang
tertinggi berada di provinsi Sulawesi Selatan yaitu 17,9 per mil, disusul provinsi
DI Yogyakarta 16,9 per mil, Sulawesi tengah dan Jawa timur masing masing 16,6
per mil dan 16 per mil. Kalimantan barat tercatat 5,8 per mil untuk pasien yang
didiagnosis tenaga kesehatan dan 8,2 per mil yang terdiagnosis dan gejala stroke
oleh tenaga kesehatan pada tahun 2013 (Kemenkes, 2013). Hasil studi
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSUD dr. Abdul Aziz menunjukkan
penderita stroke sepanjang 2017 tercatat 350 kasus, yang terdiri dari 248 (70%)
kasus mengalami serangan stroke tipe iskemik dan 102 (30%) kasus mengalami
stroke tipe hemoragik.
Kondisi seseorang setelah mendapati serangan stroke menyisakan gejala
sisa. Terdapat lesi di otak yang mempengaruhi fungsi tubuh sesuai letak lesi.
Gejala sisa pasca stroke dapat berupa kelemahan ektremitas atas dan ekstremitas
bawah sebesar 77%, gangguan penglihatan berjumlah 60%, kesulitan bicara
sebanyak 50%, kesulitan mengontrol berkemih sebesar 50%, gangguan menelan
sebanyak 45%, aphasia sebanyak 33%, gangguan kognitif sebesar 28%, dan
gangguan mood sebesar 20% ( Muth, 2016; Association, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Bartoli (2013) berupa systematic review
mengumpulkan 13 jurnal penelitian sebelumnya. Berdasarkan keseluruhan sampel
yaitu 59.598 orang penderita stroke, 6.052 orang (10%) mengalami depresi dan
53.546 orang (90%) tidak mengalami depresi pasca stroke. Angka kejadian
depresi pasca stroke yang tinggi sering dikaitkan dengan lokasi terjadinya lesi
diotak. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa seseorang
yang mengalami depresi pasca stroke akan mengalami hambatan dalam proses
pemulihan dapat berimbas kepada kualitas hidup yang rendah (Suwantara, 2004).
Depresi pasca stroke belum diketahui penyebab pasti, namun beberapa
peneliti beranggapan hal ini disebabkan oleh faktor biologi dan faktor psikososial.
Faktor biologi berkaitan dengan lesi di otak dan dapat ditangani dengan berbagai
terapi farmakologi, sedangkan depresi pasca stroke yang disebabkan oleh faktor

4
psikososial dapat ditangani oleh psikiatri, dukungan sosial, dan dukungan religius.
Faktor psikososial diduga berasal dari ketidak berdayaan dan hilangnya fungsi diri
dalam kehidupan sehari-hari yang ditandai dengan gejala sisa seperti aphasia,
hemipharase, penurunan kognitif dan gangguan mood pasca stroke
(Towfighi,
2016).
Penderita stroke yang mengalami gejala sisa berupa gangguan fisik akan
sangat rentan mengalami depresi, rendah diri dan perasaan tidak berguna akibat
keterbatasan fisik yang dialami, akan tetapi hal ini dapat diminimalisir dengan
kemampuan pasien stroke untuk menerima dirinya (Najoan, 2016). Penerimaan
diri pasca stroke merupakan bentuk adaptasi seseorang setelah menerima
serangan stroke. Penelitian yang dilakukan oleh Chiu (2013) menunjukkan
karakteristik seseorang yang memiliki penerimaan diri yang rendah berupa tidak
adanya kepercayaan terhadap agama, episode stroke berulang, rendahnya
kemampuan fisik, lamanya durasi penyakit yang diderita.
Terkait dengan masalah psikososial, maka pasien pasca stroke harus
memiliki penerimaan diri yang baik. Penerimaan diri yang baik dapat
ditumbuhkan dengan dukungan religius koping. Dukungan religius koping ini
mendorong pasien stroke untuk cepat adaptif terhadap stresor yang ada dengan
cara pendekatan agama yang dianut. Aktivitas yang dilakukan dapat berupa
berdoa, berdzikir, sholat, dan wudhu (Mohamed, 2014). Koping yang adaptif
dapat mendukung percepatan dalam proses rehabilitasi baik secara fisik dan
psikologi (Styana, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Styana (2016) menunjukkan seseorang yang
diberikan dukungan religius koping seperti konseling berkaitan dengan agama,
mengajarkan berwudhu, tayamum, dan sholat memiliki penerimaan diri yang baik.
Penerimaan diri yang baik dapat menimbulkan semangat dan kepatuhan pasien
stroke dalam menjalankan proses rehabilitasi dan pengobatan yang dianjurkan
oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Proses rehabilitasi yang dilakukan
setelah memiliki penerimaan diri yang baik memliki efek percepatan dalam proses
penyembuhan.

5
Masalah fisik paling sering terjadi pasien pasca stroke ialah hemipharase
pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Terkait masalah fisik tersebut
terdapat beberapa intervensi untuk mengatasi atau mengembalikan fungsi fisik
pasien pasca stroke. Intervensi yang dapat diberikan untuk mengembalikan fungsi
motorik meliputi neurodevelopmental techniques, bilateral arm training, strength
training, trunk restraint, feedback therapy, dan mirror therapy. Mirror therapy
adalah teknik rehabilitasi yang menggunakan media cermin dengan cara
meletakkan cermin tersebut secara midsagittal terhadap tubuh dengan posisi
esktremitas yang sakit berada dibelakang cermin dan tangan yang sehat berada
didepan cermin. Posisi pasien melihat refleksi bayangan yang ada dicermin dan
tangan yang sehat digerakkan secara fleksi, ekstensi, dan rotasi mencakup
pergelangan tangan dan jari-jari (Kim, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Hung (2015) mirror therapy yang digunakan
dalam penelitian ini menunjukkan efektivitas yang berarti dengan peningkatan
fungsi ekstremitas bagian bawah yang diberikan terapi. Penelitian ini
menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih jauh dikarenakan tidak membagi
kondisi pasien pasca stroke sesuai fase yang dilalui. Peneliti menyarankan untuk
lebih fokus pada fase akut dan subakut dari perjalanan pasca stroke.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stroke
2.1.1. Definisi
Stroke adalah kondisi otak mengalami kekurangan suplai oksigen dan nutrisi
yang disebabkan oleh terputusnya suplai darah akibat dari penyumbatan atau
pecahnya pembuluh darah di otak. Gejala yang umumnya tejadi seperti kelemahan
mendadak atau mati rasa pada wajah, kelemahan satu sisi tubuh yang biasa
dirasakan pada ekstremitas atas dan bawah, kesulitan bicara dan memahami
perkataan orang lain, kehilangan keseimbangan dan tidak sadarkan diri (WHO,
2014). Sedangkan menurut Smeltzer (2009) stroke ialah kondisi hilangnya fungsi
tubuh secara mendadak akibat terganggunya pasokan darah ke bagian otak. Hal ini
terjadi biasanya akibat dari penyakit serebrovaskular yang telah berlangsung lama.

2.1.2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2009) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu tempat
kejadian seperti:
1. Thrombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain
3. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
4. Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan ke
dalam jaringan atau ruang sekitar otak). Akibatnya adalah penghentian suplai
darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen gerakan,
berpikir, memori, bicara, atau sensasi.

2.1.3. Klasifikasi
Sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke menajadi 3 kategori
berdasarkan penyebabnya: trombolitik, embolik, dan hemoragik. Kategori ini
sering didiagnosis berdasarkan riwayat perkembangan dan gejala. Teknik-teknik
pencitraan yang lebih baru seperti CT Scan dan MRI, dapat mendiagnosis

7
perdarahan subaraknoid dan intraserebrum dengan tingkat kepastian yang tinggi.
Perbedaan antara thrombus dan embolus sebagai penyebab suatu stroke iskemik
masih belum tegas sehingga saat ini keduanya digolongkan ke dalam kelompok
yang sama yaitu stroke iskemik. Dengan demikian, dua kategori dasar gangguan
sirkulasi yang menyebabkan stroke adalah iskemik-infrak dan perdarahan
intrakranium yang masing-masing menyebabkan 80% sampai 85% dan 15% sampai
20% dari semua kasus stroke (Price, 2006).

2.1.4. Patofisiologi
Serangan stroke iskemik, terjadi gangguan pada aliran darah serebral akibat
penyumbatan pembuluh darah. Gangguan pada aliran darah ini memulai rangkaian
kejadian metabolik seluler yan kompleks yang disebut kaskade iskemik. Hal ini
bermula dari aliran darah serebral turun menjadi kurang dari 25 ml/100 g/menit.
Pada kondisi seperti ini, neuron tidak bisa lagi mempertahankan respirasi aerobik.
Kemudian mitokondria harus mengkonpensasi hal ini dengan respirasi anaerobik.
Kondisi respirasi anaerobik menghasilkan zat sisa berupa asam laktat dengan
jumlah besar, menyebabkan perubahan tingkat Ph. Peralihan ke respirasi anaerobik
yang kurang efisien ini juga membuat neuron tidak mampu menghasilkan jumlah
adenosin trifosfat (ATP) yang cukup untuk memicu proses depolarisasi, sehingga
pemopa membran yang menjaga keseimbangan elektrolit mulai gagal dan sel
berhenti berfugsi (Smeltzer, 2009).
Aliran darah ke serebral yang rendah mengakibatkan gangguan di otak.
Daerah yang kurang dialiri oleh darah disebut area infark dan disekitar area infark
terdapat area penumbra. Area penumbra ialah jaringan otak iskemik yang dapat
disembuhkan dengan intervensi tepat waktu. Iskemik mengancam sel-sel di
penumbra karena depolarisasi membran dinding sel menyebabkan peningkatan
kalsium intraselular dan pelepasan glutamat. Daerah penumbra dapat direvitalisasi
dengan pemberian aktivator plasminogen jaringan (t-PA), dan peningkatan kalsium
dapat dibatasi dengan penggunaan calcium channel blockers. Apabila pelepasan
calsium dan glutamat dibiarkan dapat mengakibatkan penghancuran selaput sel dan
peningkatan radikal bebas. Proses ini dapat memperbesar area infark menjadi
penumbra (Smeltzer, 2009).

8
2.1.5. Manifestasi Klinis
Secara umum gejala stroke meliputi:
1. Defisit neurologik yang terjadi secara mendadak seperti kelemahan otot wajah,
kelemahan otot lengan dan tungkai terutama pada salah satu sisi tubuh.
Hemiparesis (kelemahan) dan hemiplagia (paralisis) yang terjadi pada salah satu
sisi tubuh lazim terjadi setelah serangan stroke. Kedua gejala ini sering
disebabkan oleh sumbatan arteri serebral anterior dan media yang menimbulkan
infark pada area motorik korteks frontal. Hemiparesis dan hemiplagia terjadi
secara kontralateral. Infark pada area motorik korteks sebelah kanan
menyebabkan hemiplegia sebelah kiri atau sebaliknya. Hal ini terjadi karena
serabut saraf saling menyilang pada traktus pyramidal (Price, 2006)
2. Kehilangan kemampuan bicara atau memahami pembicaraan (Afasia). Afasia
adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia dapat merusak beberapa atau
semua aspek kemampuan komunikasi seperti berbicara, membaca, menulis, dan
memahami bahasa orang lain. Afasia terjadi karena sumbatan arteri serebral
media yang menyebabkan infark pada hemisfer kiri serebral. Afasia umumnya
berhubungan dengan hemiplegia yaitu mencakup hemisfer dominan. Pasien
dengan tangan kanan dominan memiliki pusat bicara pada hemisfer kiri serebral
atau sebaliknya. Sehingga pada pasien dengan tangan kanan dominan yang
mengalami hemiplegia kanan biasanya mengalami afasia infark yang terjadi
pada hemisfer kiri serebral juga menyebabkan rusaknya fungsi bicara (Black,
2009).

2.1.6. Pemeriksaan Penunjang


1. Computedtomography scaning (CT-Scan)
Computed tomography scaning merupakan pemeriksaan yang sangat
bermanfaat untuk menentukan letak lesi serebral, perdarahan dan oedem
serebral. Pemeriksaan ini juga dapat membedakan antara lesi cerebrovaskuler
dan lesi non vaskuler.
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI dapat digunakan untuk membandingka
diagnosa stroke dengan diagnosa lainnya.

9
3. Elektro Kardio Grafi (EKG) Pemeriksaan ini dapat membantu untuk menentukan
adanya masalah kelistrikan jantung seperti atrial fibrilasi dan disritmia yang
dapat menyebabkan terjadinya stroke.
4. Fungsi Lumbal Fungsi lumbal dilakukan untuk mendeteksi adanya perdarahan
pada ruang subarachnoid. Pemeriksaan ini dapat dilakukan jika tekanan intra
cranial dalam kondisi stabil. Adanya darah dalam cairan serebrospinal
menunjukkan adanya hemoragik subarachnoid
5. Pemeriksaan laboratorium Pada dasarnya tidak ada pemeriksaan laboratorium
yang menjamin kepastian diagnose stroke. Pemeriksaan yang lazim dilakukan
adalah pemeriksaan hematokrit dan hemoglobin. Peningkatan hematokrit dan
hemoglobin dapat memperberat oklusi pada arteri serebral. Pemeriksaan lainnya
adalah pemeriksaan protrombin time sebagai dasar untuk memberikan terapi
antikoagulan (Price, 2006).

2.1.7. Rehabilitasi Pasca Stroke


Serangan stroke meninggalkan gejala sisa yang mencakup gangguan kognitif,
gangguan mood, depresi, gangguan bicara, dan disabilitas fisik. Penanganan gejala
sisa tersebut, telah dilakukan berbagai penelitian dan telah menajadi evidance-
based practice seperti restorative and compensatory rehabilitation, falls prevention
training, treadmill training, virtual reality training, bilateral leg training, auditory
and visual feedback, hippotherapy, selfmanagement programs, brain stimulation,
acupunture and chinese herbal medicine digunakan untuk menangani gangguan
mobilitas dan ekstremitas bawah. Ekstremitas atas dapat menggunakan terapi
seperti neurodevelopmental techniques, bilateral arm training, strength training,
trunk restraint, feedback therapy, dan mirror therapy. Rehabilitasi kognitif dapat
menggunakan terapi seperti berikut; remediation of attention deficits post stroke,
remediation of memory deficits post stroke, exercise program post stroke, music
listening therapy post stroke (Teasell, 2015).

10
2.2. Mirror Therapy Exercise
2.2.1 Definisi
Mirror therapy adalah teknik rehabilitasi dengan cara cermin diposisikan
sejajar tubuh. Pasien meletakkan bagian ekstremitas atas/bawah yang mengalami
disabilitas dibelakang cermin dan ekstremitas atas/bawah yang sehat didepan
cermin. Pasien memandang refleksi ekstremitas yang sehat dipantulkan cermin dan
menggerak-gerakkannya (Andreas, 2011)

2.2.2 Tujuan
Pemeberian mirror therapy bertujuan meningkatkan dan mengembalikan
fungsi ektremitas baik atas maupun bawah pasca stroke (Hung, 2015). Terapi ini
pada tujuan akhirnya meningkatkan kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti kemampuan untuk makan, minum, mengenakan pakaian, mandi
dan kebutuhan sehari-hari lainnya (Toh, 2012)

2.2.3 Waktu Pemberian dan Tempat


Waktu yang optimal dalam pemberian terapi ini masih terus diteliti.
Pemberian yang dianjurkan ialah saat fase sub akut dari perjalanan stroke diantara
3 bulan – 12 bulan pasca terserang stroke, namun demikian terdapat beberapa
penelititan yang menunjukkan mirror therapy dapat diberikan pada fase kronik lebih
dari 12 bulan pasca stroke (Toh, 2012). Tempat pemberian terapi dapat dilakukan
di pusat rehabilitasi, di rumah pasien, dan rumah sakit yang memiliki fasilitas
rehabilitasi medis (Radajewska, 2013).

2.2.4 Mekanisme Mirror Therapy


Dalam Meningkatkan Performa Fisik Mekanisme dari mirror therapy
terhadap perbaikan performa fisik terutama ekstremitas atas oleh beberapa ahli
belum diketahui secara pasti mekanismenya. Terdapat dua hipotesis yang
menjelaskan bagaimana mirror therapy dapat digunakan sebagai terapi rehabilitasi
pasca stroke. Hipotesis yang pertama, mirror therapy diperkirakan dapat
meningkatkan normalisasi keseimbangan di dalam hemisfer setelah stroke, hal ini
bagian penting dalam pemulihan fungsi motor. Ditemukan bukti bahwa baik

11
aktivitas motor dan perseptual yang ditemukan pada mirror therapy yang
memodulasi rangsangan korteks motor primer (M1). Selama aktivitas mirror
therapy, rangsangan M1 dimodulasi oleh gerakan anggota badan ipsilateral dan
observasi pasif gerakan anggota badan kontralateral seperti yang tercermin di
cermin. Dengan kata lain, gerakan sebenarnya dari ipsilateral (yaitu, ekstremitas
atas yang terkena) menunjukkan M1 ipsilateral dan pengamatan tindakan di cermin
(yang dilakukan oleh ektremitas atas yang tidak terpengaruh) mengaktifkan M1
kontralateral. Perubahan simultan pada rangsangan M1 ini diperkirakan dapat
memfasilitasi reorganisasi kortikal yang sesuai untuk pemulihan fungsional motor
(Hung, 2015).
Hipotesis kedua melibatkan neuron cermin, yang diperkirakan ditemukan di
daerah frontotemporal dan girus temporal superior. Mereka dianggap sebagai
neuron bimodal yang menyala saat seseorang melakukan atau mengamati
pergerakan motorik. Aktivasi bilateral dari korteks premotor selama pengamatan
lengan/tangan dari aktivitas fungsi motorik yang dipantulkan oleh cermin dan
menemukan peningkatan rangsangan M1 tangan di belakang cermin (tangan yang
mengalami disabilitas). Ilusi cermin dari gerakan tangan yang normal sebagai
pengganti tangan yang menalami disabilitas dampak penurunan fungsi proprioseptif
dan membantu merekrut korteks premotor (Hung, 2015).

2.3. Religius Koping


2.3.1 Definisi
Religius koping merupakan cara individu dalam menghadapi stresor dengan
menggunakan keyakinannya (Wong, 2000). Sedangkan menurut (Ano, 2005)
religius koping didefinisikan sebagai penggunaan keyakinan agama untuk menjadi
media pemecahan masalah yang dihadapi dan menurunkan efek negatif dari
keadaan emosional.
2.3.2 Pemberi Latihan Religius Koping
Latihan religius koping dapat dilakukan oleh petugas bimbingan rohani di
rumah sakit yang memiliki fasilitas bimbingan rohani (Styana, 2016). Seorang
tenaga kesehatan terutama perawat diharapkan juga mampu memberikan pelayanan
secara menyeluruh terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan spiritual.

12
Perawat dapat mengajarkan seseorang untuk melakukan ibadah rutin harian, seperti
halnya umat Islam yang diwajibkan untuk melakukan ibadah sholat lima kali dalam
sehari. Perawat dapat membantu klien dalam memenuhi kewajiban, mendorong,
dan memfasilitasi dalam beribadah (Mohamed, 2014). Keluarga yang merawat juga
dapat dilibatkan dalam latihan religius koping ini, seperti membantu berwudhu,
membantu sholat, berdoa, dan berdzikir (Styana, 2016).
2.3.3 Bentuk religius koping
Menurut (Pargament, 2001) religius koping memiliki dua pola yaitu:
1. Koping religius positif Koping religius positif menggambarkan hubungan yang
baik dengan Tuhan. Keyakinan dimana ada sesuatu yang baik ditemukan dalam
hidup dan berhubungan dengan orang lain didasari oleh sikap spiritual. Koping
religius positif ini memiliki beberapa aspek yaitu:
a. Benevolent religious reappraisal: mendeskripsikan kembali stresor yang
dihadapi dalam pandangan agama secara baik dan memberi manfaat yang
menguntungkan. Seperti adanya pandangan bahwa apa yang terjadi saat ini
merupakan balasan dari Tuhan atas perbuatan baik yang pernah dilakukan
dahulu kala. Seseorang dapat mengambil hikmah yang terjadi bahwasannya
apa yang terjadi atas kehendak Tuhan.
b. Collaborative religious coping: mencari kontrol melalui hubungan kerjasama
dengan Tuhan dalam mengahadapi stresor. Kondisi seseorang dalam
menghadapi masalah ia merasa mendapatkan bimbingan dari Tuhan, selalu
berdoa, dan berusaha mencari jalan keluar.
c. Seeking spiritual support: mencari rasa nyaman dan ketenangan melalui cinta
dan kasih sayang dari Tuhan. Apabila seseorang menghadapi masalah hidup ia
menganggapnya sebagai ujian karena ia disayang Tuhan. Ia akan berusaha
ikhlas dalam menjalani ujian hidup.
d. Religious purification: melakukan pembersihan atas segala dosa yang
dilakukan melalui amalan. Mengakui segala khilaf dan salah kepada Tuhan atas
yang pernah dilakukan dimasa lalu. Mengurangi dosanya ia melakukan amal
kebaikan.
e. Spiritual connection: mencari rasa keterkaitan dengan Yang Maha Kuasa,
misalnya seseorang memiliki anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi

13
sudah ditakdirkan oleh Tuhan dengan melihat ciptaan Tuhan, mereka semakin
yakin apa akan adanya Tuhan dan berharap doanya terkabul.
f. Seeking support form clergy or members: mencari sumber kenyamanan dan
keamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman, misalnya seseorang
mengalami cobaan hidup, seseorang yang memiliki koping religius adaptif
akan mencari seorang yang ahli agama untuk meminta nasehat.
g. Religious helping: usaha untuk meningkatkan dukungan spiritual dan
kenyamanan pada sesama, misalnya mendoakan teman agar mereka dapat
diberi kekuatan Tuhan untuk mengatasi masalahnya.
h. Religious forgiving: mencari pertolongan agama dengan membiarkan pergi
setiap kemarahan, rasa sakit, dan ketakutan yang berkaitan dengan kondisi
tidak mengenakkan. Misalnya meminta bimbingan petunjuk pada Tuhan agar
selalu dimudahkan dalam ikhlas menerima segala kejadian.
2. Koping religius negatif
Koping religius negatif memiliki hubungan yang kurang baik dengan Tuhan, cara
pandang yang salah dan tidak menyenangkan terhadap dunia. Sikap yang kurang baik
dalam berhubungan dengan manusia yang menyangkut sikap religius. Koping religius
negatif juga memiliki aspek seperti berikut:
a. Punishing God reappraisal: menunjukkan kembali stresor sebagai suatu hukuman
dari Tuhan atas segala dosa-dosa yang telah dilakukan dimasa lalu. Misalnya
seseorang merasa diabaikan dan ditinggalkan oleh Tuhan atau menganggap sebagai
sebuah hukuman dari Tuhan.
b. Demonic reappraisal: menunjukkan kembali stresor sebagai suatu tindakan yang
dilakukan oleh kekuatan jahat/setan. Misalnya individu memiliki keyakinan bahwa
kejadian buruk yang pernah dialami karena pengaruh kekuatan negatif.
c. Reappraisal of God’s powers: menunjukkan kekuatan Tuhan untuk mempengaruhi
situasi stres. Misalnya seseorang berdoa kepada Tuhan agar membalas tindakan
yang tidak mengenakkan kepada dirinya.
d. Self-directing religious coping: mencari kontrol melalui inisiatif individu
dibandingkan meminta bantuan pada Tuhan. Misalnya seseorang menghadapi suatu
masalah dalam kehidupan ini, ia beranggapan bahwa dapat mengatasi masalah
tersebut sendiri tanpa perlu bantuan dari Tuhan.

14
e. Spiritual discontent: seseorang menunjukkan sikap tidak puas atas apa yang
menimpa dirinya dengan anggapan bahwa Tuhan tidak memperhatikan dirinya.
f. Interpersonal religious discontent: seseorang menunjukkan sikap cemas dan tidak
puas terhadap orang yang ahli ibadah ataupun seiman. Misalnya individu merasa
tidak puas dengan saran pemuka agama dalam mengahadapi masalah hidup.
Dukungan religius koping ini dapat berupa konseling, mengajarkan untuk berdoa,
berdzikir, berwudhu, dan sholat (Styana, 2016).

2.3.4 Prosedur
Menurut Styana (2016) peningkatan respon religius koping adaptif memiliki
tahapan sebagai berikut:
1. Seseorang yang melakukan dukungan religius koping menjelaskan kepada
pasien mengenai sikap syukur dan sabar atas segala hal yang menimpanya.
Sikap syukur dan sabar ditumbuhkan dengan cara ridho atas sakit yang
menimpanya, dengan begitu Tuhan menilai keikhlasan kita. Memanamkan
pemahaman bahwa sakit yang diderita merupakan ujian dari Tuhan dan bukan
sebuah hukuman merupakan bagian terpenting dalam tahap awal.
2. Menilai respon pasien, jika respon yang ditunjukkan baik maka dilanjutkan
dengan menilai pemahan pasien mengenai tata cara beribadah ketika dalam
keadaan sakit.
3. Mencoba mengingatkan sesuatu yang buruk terjadi karena keburukan yang kita
lakukan. Kejadian yang buruk terjadi dapat menjadi jalan menggugurkan dosa
yang kita lakukan selama ini.
4. Mensugesti pasien untuk melakukan ibadah sesuai dengan kepercayaan yang
dianut. Pasien beragama Islam dapat diajarkan sholat, berdzikir, dan berdoa.
5. Respon pasien adaptif dapat dilanjutkan dengan terapi lainnya untuk menunjang
proses penyembuhan.

15
2.3.5 Kriteria Hasil yang Diharapkan
Religius koping adaptif meningkatkan respon penerimaan diri seseorang atas
stresor, dalam hal ini berupa sakit. Sikap positif yang timbul berupa tabah, sabar,
dan pandai mengambil hikmah. Seseorang yang memiliki respon koping religius
adaptif tidak merespon bahwa sakit yang diderita merupakan hukuman dari Tuhan
atas dirinya melainkan sakit yang diderita merupakan ujian sebagai penggugur dosa.
Respon adaptif memunculkan kekuatan yang luar biasa bagi pasien stroke, dapat
mendorong ketaatan dalam proses pengobatan sebagaimana anjuran tenaga medis
sampai mencapai kondisi sediakala (Styana, 2016).
2.3.6 Mekanisme dukungan religius koping terhadap penerimaan diri pasien pasca
stroke
Mekanisme dukungan religius koping terhadap penerimaan diri pasien pasca
stroke oleh beberapa ahli dideskripsikan sebagai proses religius koping positif.
Religius koping positif dimaknai oleh seseorang yang terkena serangan stroke
sebagai sebuah ujian dari Tuhan, bukan dimaknai sebagai sebuah hukuman dari
Tuhan. Seseorang yang memaknai religius secara positif ia tetap berdoa dan
meminta kepada Tuhan agar diberikan kesembuhan (Kalra, 2007). Perasaan yang
kuat dari seorang pasien stroke bahwa sakit yang ia derita merupakan bentuk cinta
dari Tuhan dengan diberikan cobaan berupa sakit. Pasien stroke menerima keadaan
yang ia alami saat ini dan tetap memiliki rasa bahwa Tuhan tidak meninggalkannya
hal ini menimbulkan harapan yang kuat dan keinginan untuk tetap melanjutkan
hidup ini dengan terus menjalankan proses pengobatan dan program rehabilitasi
(Omu, 2014). Pasien yang melakukan rehabilitasi stroke, keyakinan agama yang
dianut dapat mendorong perasaan dukungan dan harapan, meningkatkan self-
efficacy (Kalra, 2007).
Respon religius koping yang adaptif berdampak pada proses kesehatan pasien
pasca stroke. Kesehatan pasien pasca stroke menjadi meningkat karena adanya
respon penerimaan diri terhadap sakit yang diderita. Respon penerimaan diri
tersebut berupa sikap realistis, pandai mengambil hikmah, dan ketabahan hati.
Respon yang ditunjukkan pada fisik pasien berupa pernafasan yang stabil, terlihat
lebih tenang, dan proses penyembuhan yang lebih cepat dari waktu seharusnya
(Styana, 2016).

16
2.4. Performa Fisik
2.4.1 Definisi
Performa fisik adalah kemampuan fisik dalam melakukan kegiatan tertentu
yang berkaitan dengan stamina, kekuatan otot, dan koordinasi saraf. Setiap individu
memiliki kemampuan dasar yang berbeda-beda dalam melakukan aktivitas tertentu
(Robins, 2008).
2.4.2 Faktor-faktor kekuatan fisik
Performa fisik dipengaruhi oleh beberapa faktor (Robins, 2008) seperti berikut:
a. Kekuatan dinamis: kemampuan untuk mengenakan otot secara berulangulang
atau berkesinambungan sepanjang kurun waktu tertentu.
b. Kekuatan tubuh: kemampuan mengenakan kekuatan otot dengan menggunakan
otot-otot tubuh
c. Kekuatan verbal: kemampuan mengenakan kekuatan terhadap objek luar
d. Kekuatan statis: kemampuan menghabiskan suatu energi eksplosit dalam satu
atau sederetan tindakan eksplosit
e. Keluwesan menggerakan otot tubuh dan merenggang punggung sejauh mungkin
f. Keluwesan dinamis kemampuan melakukan gerakan cepat
g. Koordinasi tubuh kemampuan mengkoordinasi tindakan-tindakan serentak dari
bagian-bagian tubuh yang berlainan
h. Keseimbangan: kemampuan mempertahankan keseimbangan meskipun ada
kekuatan-kekuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut.
i. Stamina: kemampuan melanjutkan upaya maksimum yang menuntut upaya yang
sepanjang kurun waktu.
2.4.3 Indikator Performa fisik Ektremitas Atas
Performa fisik ekstremitas atas dapat diukur dengan kemampuan lengan atas,
lengan bawah, dan jari-jari. Kemampuan lengan atas diukur dengan kemampuan
untuk abduksi dan adduksi. Melakukan sirkumduksi terhadap bahu. Lengan bawah
diukur dengan kemampuan untuk pronasi, supinasi, kemampuan stabilitas dalam
waktu tertentu dan kemampuan siku dalam fleksi. Kekuatan jarijari diukur dengan
kemampuan untuk menggenggam, fleksi, ekstensi, dorsofleksi (Meyer, 2009).

17
BAB III
METODE

Dalam Meningkatkan Performa Fisik Mekanisme dari mirror therapy


terhadap perbaikan performa fisik terutama ekstremitas atas oleh beberapa ahli
belum diketahui secara pasti mekanismenya. Terdapat dua hipotesis yang
menjelaskan bagaimana mirror therapy dapat digunakan sebagai terapi rehabilitasi
pasca stroke. Hipotesis yang pertama, mirror therapy diperkirakan dapat
meningkatkan normalisasi keseimbangan di dalam hemisfer setelah stroke, hal ini
bagian penting dalam pemulihan fungsi motor. Ditemukan bukti bahwa baik
aktivitas motor dan perseptual yang ditemukan pada mirror therapy yang
memodulasi rangsangan korteks motor primer (M1). Selama aktivitas mirror
therapy, rangsangan M1 dimodulasi oleh gerakan anggota badan ipsilateral dan
observasi pasif gerakan anggota badan kontralateral seperti yang tercermin di
cermin. Dengan kata lain, gerakan sebenarnya dari ipsilateral (yaitu, ekstremitas
atas yang terkena) menunjukkan M1 ipsilateral dan pengamatan tindakan di cermin
(yang dilakukan oleh ektremitas atas yang tidak terpengaruh) mengaktifkan M1
kontralateral. Perubahan simultan pada rangsangan M1 ini diperkirakan dapat
memfasilitasi reorganisasi kortikal yang sesuai untuk pemulihan fungsional motor
(Hung, 2015).
Hipotesis kedua melibatkan neuron cermin, yang diperkirakan ditemukan di
daerah frontotemporal dan girus temporal superior. Mereka dianggap sebagai
neuron bimodal yang menyala saat seseorang melakukan atau mengamati
pergerakan motorik. Aktivasi bilateral dari korteks premotor selama pengamatan
lengan/tangan dari aktivitas fungsi motorik yang dipantulkan oleh cermin dan
menemukan peningkatan rangsangan M1 tangan di belakang cermin (tangan yang
mengalami disabilitas). Ilusi cermin dari gerakan tangan yang normal sebagai
pengganti tangan yang menalami disabilitas dampak penurunan fungsi proprioseptif
dan membantu merekrut korteks premotor (Hung, 2015).

18
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Masalah fisik paling sering terjadi pasien pasca stroke ialah hemipharase
pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. Terkait masalah fisik tersebut
terdapat beberapa intervensi untuk mengatasi atau mengembalikan fungsi fisik
pasien pasca stroke. Intervensi yang dapat diberikan untuk mengembalikan fungsi
motorik meliputi neurodevelopmental techniques, bilateral arm training, strength
training, trunk restraint, feedback therapy, dan mirror therapy. Mirror therapy
adalah teknik rehabilitasi yang menggunakan media cermin dengan cara
meletakkan cermin tersebut secara midsagittal terhadap tubuh dengan posisi
esktremitas yang sakit berada dibelakang cermin dan tangan yang sehat berada
didepan cermin. Posisi pasien melihat refleksi bayangan yang ada dicermin dan
tangan yang sehat digerakkan secara fleksi, ekstensi, dan rotasi mencakup
pergelangan tangan dan jari-jari (Kim, 2016).
Keuntungan mirror therapy meliputi penggunaan alat yang sederhana,
murah, mudah dan tidak memiliki efek samping yang dapat merugikan pasien
(Toh, 2012). Mirror therapy dibandingkan dengan jenis terapi rehabilitasi untuk
mengatasi hemipharase memiliki kelebihan dibandingkan jenis terapi yang lain
berupa hasil yang signifikan dalam meningkatkan kemampuan ekstremitas yang
mengalami hemipharase dalam waktu yang relatif lebih singkat (Hung, 2015).
Penelitian yang dilakukan oleh Hung (2015) mirror therapy yang digunakan
dalam penelitian ini menunjukkan efektivitas yang berarti dengan peningkatan
fungsi ekstremitas bagian bawah yang diberikan terapi. Penelitian ini
menyarankan untuk dilakukan penelitian lebih jauh dikarenakan tidak membagi
kondisi pasien pasca stroke sesuai fase yang dilalui. Peneliti menyarankan untuk
lebih fokus pada fase akut dan subakut dari perjalanan pasca stroke.
Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Toh (2012)
menunjukkan efektivitas dari mirror therapy yang diberikan pada pasien pasca
stroke. Penelitian ini tidak mengklasifikasikan secara spesifik kondisi pasien
pasca stroke baik itu akut, subakut, dan kronik. Saran untuk penelitian selanjutnya

19
lebih fokus terhadap salah satu fase pasien pasca stroke untuk melihat sejauh
mana mirror therapy dapat diberikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Saliha (2016) dengan sampel berjumlah 24
orang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama kelompok intervensi dan
kelompok kedua kelompok kontrol. Kelompok intervensi diberikan mirror
therapy dengan durasi latihan selama 30 menit/hari, 5 hari/minggu dan selama 3
minggu. Hasil menunjukkan terdapat efektivitas dari kelompok kontrol. Namun
penelitian ini tidak membedakan fase dari pasien pasca stroke tersebut.

20
BAB V
KESIMPULAN

Stroke adalah . Salah satu cara untuk mengatasi ansietas adalah dengan cara
melakukan relaksasi genggam jari. Relaksasi genggam jari dapat mengendalikan dan
mengembalikan emosi yang akan membuat tubuh menjadi rileks. Ketika tubuh dalam
keadaan rileks, maka ketegangan pada otot berkurang yang kemudian akan mengurangi.
Beberapa manfaat relaksasi dari genggam jari ialah memberikan rasa damai, fokus dan
nyaman, memperbaiki aspek emosi, menurunkan ansietas dan deprasi, serta menurunkan
nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

21

Anda mungkin juga menyukai