Anda di halaman 1dari 6

PSIKOLOGI KLINIS

TUTUR TINULAR BUDAYA ORGANISASI

Dosen Pengampu:
Binta Mu’tiya Rizki S.Psi., M.A.

Anggota Kelompok 4:
Dluhyatuz Zulfa (1511417052)
Muhammad Khilmi Shihab (1511417083)
Monica Rizqi Fatmawati (1511417092)
Fitriah Gita Maharani H. (1871040012)

Rombel 4

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
Pengantar
Budaya organisasi dapat diartikan sebagai nilai dan norma yang mengatur perilaku
karyawan. Sandwoff dan Widel (2009) mengungkapkan bahwa cara karyawan mengatsi
pekerjaannya bergantung pada derajat kedekatan hubungan atau koherensi antara nilai dirinya
dan nilai organisasi. Behery dan Paton (2008) mengungkapkan bahwa penerimaan dan
keyakinan yang kuat terhadap target dan nilai-nilai organisasi merupakan bentuk komitmen
untuk menjalankan nilai-nilai organisasi. Karenanya, para karyawan diharapkan mampu
menyesuaikan diri dengan tuntutan perilaku dari budaya organisasi yang disepakati.
Penyesuaian diri terhadap budaya organisasi dengan ranah emosi. Karenanya, tidak
efektif bila mengupayakannya dengan model disuruh, diinstruksikan, atau dikomando.
Mengapa demikian? karena penyesuaian diri menuntut komitmen terhadap suatu hal
berhubungan yang bersumber dari dalam diri karyawan. Komitmen terhadap suatu hal
berhubungan dengan ragam rupa emosi yang timbul di organisasi tersebut (Li, Ahlstrom &
Ashkanasy, 2010). Pentingnya peran emosi dalam perilaku organisasi diungkapkan juga oleh
Yoss ii dan barker (2008) dengan mengemukakan siklus spiral Thinking-Feeling-Doing
sebagai alur yang efektif dalam mengembangkan karakter karyawan. Harapannya, karyawan
dapat secara mandiri dan dengan inisiatif sendiri mampu memahami, berkomitmen, dan
menjalankan budaya organisasi. Bila tujuannya sedemikian luhur, tentu saja perusahaan
dituntut untuk mampu merancang bangun program yang efektif dalam rangka sosialisasi dan
internalisasi budaya organisasi.
Bercerita sebagai aktivitas sosialisasi
Aktivitas bercerita dapat dijadikan sebagai salah satu strategi dalam proses sosialisasi
budaya organisasi. Aktivitas ini tergolong sederhana dan relatif mudah untuk dijalankan. Hal
teknis yang perku dilakukan adalah memberi kesempatan seorang narasumber untuk
menceritakan pada karyawan lainnya tentang pengalamannya menerapkan budaya organisasi.
Sementara itu, Wines dan Hamilton III (2009) mengungkapkan bahwa penggunaan bercerita
merupakan cara paling efektif dan sederhana dalam menyebarkan nilai-nilai organisasi
kepada anggota baru dari sebuah organisasi.
Holloway dan Freshwater (2007) mengungkapkan tiga kelebihan dari metode bercerita.
1. Narasumber diakomodasi untuk menyampaikan pengalamannya secara utuh dan
mendalam
2. Narasumber dapat mengekspresikan emosinya
3. Narasumber dan pendengar dapat dilibatkan dengan lebih mendalam, sehingga merasa
diberdayakan.
Sementara itu, rincian batang tubuh sebuah cerita terdiri dari empat bagian (Rasmusesen,
2005)
1. Pesan, apa yang seharusnya disampaikan kepada para pendengar
2. Penekanan, apa yang ingin ditonjolkan dari cerita yang disampaikan
3. Pembagian peran, siapakah pemeran utamanya dan apa saja detail peran yang harus
dimainnkanya
4. Kronologi peristiwa, bagaimana secara runtut seuatu peristiwa diceritakan.
Planalp (1999) menjelaskan bahwa emosi dapat dianggap sebagai sumber berharga yang
dapat membantu proses pengambilan keputusan, memotivasi orang lain untuk bertindak, dan
mempererat kebersamaan sebuah kelompok. Selanjutnya, Planalp membagi kaitan
komunikasi dan emosi ke dalam dua bentuk.
1. Communicate emotionally yaitu emosi tidak menjadi subtansi sebuah pesan, tetapi
lebih sebagai “bungkus” dari pesan tersebut.
2. Comunicating emotion, yaitu emosi dengan sendirinya menjadi subtansi sebuah
pesan, misalnya membiarkan orang lain mengetahui bahwa narasumber sedang
merasa marah, sedih, atau gembira.
Komparasi Dengan Partisipan Di Kelompok Kontrol
Dari hasil analisis statistika dan temuan data hasil wawancara membuktikan bahwa
terdapat perbedaan antara kelompok eksperimen yang sudah mendengar cerita tentang
budaya organisasi dan kelompok kontrol yang tidak mengalami (Prawitasari, 2012).
Perbedaan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Dampak penerapan budaya organisasi pada diri karyawan.
Partisipan kelompok eksperimen mampu memberikan gambaran yang konkret, berupa
kehidupan yang lebih tertata dan meningkatkan kemanfaatan hidup para karyawan. Ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa budaya organisasi tidak hanya diterapkan di
perusahaan, tetapi juga di kehidupan karyawan di luar perusahaan. Karena manfaat yang
dirasakan karyawan sangat signifikan, diusulkan supaya setiap karyawan diberikan
program yang mengubah pemahamannya terhadap budaya organisasi. Salah satunya
adalah penerapan aktivitas bercerita di setiap unit kerja. Sedangkan partisipan dari
kelompok kontrol cenderung tidak memiliki gambaran konkret terhadap dampak yang
akan dirasakan karyawan jika mampu menerapkan budaya organisasi. Hal ini berpengaruh
terhadap umpan balik pada program pengelolaan budaya organisasi. Selain itu tidak ada
gambaran usulan program, insentif berupa uang diharapkan dapat menjadi penghargaan
atas keberhasilan penerapan budaya organisasi.
2. Testing realitas dengan mengonfirmasi bahwa budaya organisasi dan kondisi aktual
keseharian organisasi terbukti memajukan perusahaan
Partisipan dari kelompok eksperimen beranggapan bahwa budaya organisasi dapat
diterapkan dan berdampak positif bagi pelakunya. Pemahaman ini mendasari tingkat
peranan diri karyawan dalam upaya menerapkan budaya organisasi, yakni dengan mulai
merintis dari dan untuk diri sendiri. Selain itu juga perlu ada usaha mengelola potensi diri
supaya lebih maksimal dalam menerapkan budaya organisasi. Sedangkan partisipan dari
kelompok kontrol beranggapan bahwa budaya organisasi belum berkontribusi terhadap
perusahaan dan diri mereka sebagai karyawan. Mereka lebih cenderung mempersoalkan
pihak lain yang tidak menerapkan nilai daripada peran diri sendiri. Pihak yang
dipersoalkan karena tidak menerapkan budaya organisasi adalah pimpinan perusahaan dan
karyawan senior.
Uraian diatas membuktikan bahwa storytelling dapat meningkatkan kesediaan partisipan
di kelompok eksperimen untuk menerapkan budaya organisasi.
Dinamika Bercerita dan Buy In terhadap Budaya Organisası
Derajat keberhasilan karyawan dalam menerapkan budaya organisasi bergantung pada
sejauh mana karyawan buy in terhadap budaya organisasi itu sendin Artinya, karyawan
mampu dan berkomitmen untuk menerapkan budaya organisasi. Kemampuan penerapan
budaya organisasi berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilan yang mendukung
keberhasilan penerapan budava organisası yang ditempuh melalui promosi. sosialisasi dan
pelatihan tentang budaya organisasi. Sedangkan komitmen berada pada ranah emosi. Individu
dengan buy in rendah terhadap budaya organisasi akan menempatkan budaya organisası
bukan sebagai prioritas utama untuk dilaksanakan Ini dikarenakan pula dampak positif dari
penerapan budaya organisasi tidak sesuai dengan penghargaan vang diharapkan karyawan.
Dalam penelitian in ditemukan bahwa wujud penghargaan yang diharapkan oleh karyawan
adalah berwujud insentif finansial. Komunikasi menjadi media utama dalam proses
internalisasi budaya organisasi. Keberhasilan komunikasi menjadi tolok ukur derajat buy in
karyawan terhadap budaya organisasi. Media yang digunakan antara lain rapat koordinası
briefing, safety talk, value in practise, dan beragam program pelatihan. Menurut Levin dan
Gottlieb (2009), komunikasi dalam internalisasi budaya organisa diarahkan untuk
memengaruhi pemahaman dan sikap karyawan tentang budaya organis Pesan yang
disampaikan berisi gambaran vang jelas tentang detail perilaku yang diharapkan Selain itu,
juga diperielas bagaimana karvawan dapat berkontribusi secara nyata dalam usaha
menerapkan budaya organisasi. Selain melalui media komunikasi formal hasil penelitian
McLellan (2006) menyebut bercerita sebagai aktivitas merangkai informasi sehingga lebih
mudah dipahami dimaknai, dan diingat. Penelitian Levin (2000) menegaskan bahwa bercerita
menjadi media yang memiliki mantaat untuk mengajar memengaruhi sikap dan perilaku dan
mempromosikan pemahaman baru.
Kesimpulan
Budaya organisasi bersifat wajib untuk dipatuhi dan diterapkan oleh seluruh
karyawan. Tantangan terbesar adalah bagaimana menjadikan para karyawan tertarik,
berkomitmen dan menyesuaikan diri dengan budaya organisasi. Di satu sisi, mereka
membawa keunikan nilai diri saat bergabung dengan sebuah organisasi Di sisi lain
menjadikan budaya organisasi sebagai hal yang bersifat wajib bukan berarti memposisikan
karyawan sebagai objek yang menerima segala macam bentuk perlakuan, hingga mereka mau
dan mampu menerapkan budaya organisasi. Peran psikologi sebagai ilmu manusia (human
science) adalah memberikan perubahan paradigma bahwa karyawan perusahan merupakan
subjek dari penerapan budaya organisasi. Aktivitas bercerita lebih menyuguhkan cita rasa
meminta secara halus atau bahkan merayu, daripada menyuruh atau memerintah karyawan
untuk menerapkan budaya organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Prawitasari, J. E. (2012). Psikologi Terapan (Melintas Batas Disiplin Ilmu). Surabaya:
Penerbit Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai