Anda di halaman 1dari 16

Integrasi Sosial Golongan Miskin di Perkotaan:

Kajian Kasus di Jakarta

Achmad Fedyani Saifuddin

(Universitas Indonesia)

Abstract

This study looks into the internal process of the urban poverty of Jakarta in terms of the
flowering phenomena of building and maintaining specific social relations among the poor
to fulfill their basic economic needs. These complex social relations and exchanges among
the poor and non-poor—called social integration of the poor—make the boundaries
between the two social categories blurred and flexible. The paradox of social and
economic statuses of the people involved has made this integration possible. This
phenomenon will make poverty reduction programs in Indonesia face more complicated
problems.

Key words: Urban poverty; specific social relations; poverty as process; poverty paradox;
social integration.

Pendahuluan memandang kemiskinan sebagai gejala absolut;


Masalah kemiskinan tak habis-habisnya dan, kedua, cara berpikir yang memandang
dibicarakan orang karena—khususnya di In- kemiskinan sebagai gejala relatif. Cara
donesia—fenomena kemiskinan semakin pandang relativistik ini terdiri atas dua cara
meluas dalam satu dekade terakhir. Semenjak pandang, yakni cara pandang (model)
krisis moneter pada tahun 1997, Indonesia kebudayaan, dan cara pandang (model)
belum mampu keluar dari kemelut ekonomi struktural. Kemudian, bermula pada tahun
tersebut, dibandingkan misalnya negara- 1990an, terjadi perkem- bangan baru dalam
negara lain yang juga mengalami krisis yang pendekatan terhadap kemiskinan, yakni
sama seperti Malaysia, Thailand, dan Korea memandang kemiskinan sebagai proses.
Selatan. Tiga negara tersebut terakhir telah Cara pandang yang terakhir ini semakin
berhasil pulih, dan bahkan mengalami menguat dalam dua dekade terakhir, meski di
kemajuan yang signifikan dalam tahun-tahun Indonesia baru saja dikenal. Secara singkat,
terakhir. penulis uraikan cara pandang di atas satu per
Masalah kemiskinan juga sudah sangat satu di bawah ini.
banyak dibicarakan orang, khususnya oleh Cara berfikir (model) mengenai
para ahli ilmu sosial. Hingga tahun 1980an, kemiskinan sebagai gejala absolut
tulisan ilmiah ilmu sosial diwarnai oleh dua memandang kemiskinan sebagai kondisi
cara berpikir dominan, yakni: pertama, cara serba berkekurangan materi, hanya memiliki
berpikir yang sedikit atau bahkan tidak
Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di 309
Jakarta
memiliki sarana untuk mendukung kehidupan
kehidupan orang miskin, maraknya gejala
sendiri. Para ahli sependapat bahwa setiap or-
hidup bersama tanpa menikah, maraknya gejala
ang yang berkekurangan materi dan sarana
tindak kriminal, banyaknya anak-anak yang
untuk tetap hidup termasuk dalam kategori
ditinggal- kan orang tua. Selanjutnya, orang
miskin, meskipun batas yang disebut
miskin semakin jauh dari partisipasi dan
“kekurangan” itu bisa bergeser sesuai
integrasi ke dalam masyarakat yang lebih
dengan ukuran kesepakatan pada ahli dan
luas. Orang miskin dipandang sebagai satuan
pembuat kebijakan mengenai “kebutuhan
sosial yang diskret, yang menyandang
minimum” bagi mempertahankan efisiensi
suatu kebudayaan yang disebut
fisik”, atau yang kerap kali disebut juga
kebudayaan kemiskinan yang khas
sebagai “garis kemiskinan” pada tingkat
distinktif, yang berbeda dari masyarakat lain
subsistensi pada masa tertentu.
di luarnya (Lewis 1961; 1966)
Memandang kemiskinan sebagai gejala
Cara pandang struktural berpendapat
relatif adalah kriteria yang berasas arbitrer
bahwa struktur sosial memantapkan
sehingga kemiskinan mungkin justru berada
kemiskinan. Tekanan-tekanan struktural
dalam fraksi tertentu orang-orang yang ber-
seperti politik dan ekonomi mengakibatkan
penghasilan rata-rata atau di bawahnya.
sejumlah orang dalam populasi terdorong
Dengan menggunakan model kemiskinan
ke posisi yang tidak menguntungkan.
absolut, lebih sedikit orang yang termasuk
Sebagai bagian dari struktur, mereka tidak
dalam kategori miskin daripada kalau meng-
atau kurang mampu menghadapi struktur
gunakan model kemiskinan relatif. Model
yang demikian kuat, sehingga secara relatif
kemiskinan relatif, meskipun lebih
tetap lemah dalam posisi itu (Valentine 1968).
menggambar- kan realita empirik yang
Meskipun kedua model ini memiliki
penting bagi tujuan penelitian ilmiah sosial
penekanan yang berbeda—kebudayaan dan
namun batas-batasnya seringkali kabur
struktur sosial dalam tulisan ini adalah dua
bagi tujuan pembuatan kebijakan. Batas-
dimensi analisis yang berbeda—keduanya
batas yang kabur ini meng- gambarkan
berada dalam ruang paradigma struktural-
relativitas dinamik dari golongan miskin
fungsionalisme yang sangat berpengaruh
sebagaimana ditemukan dalam realitas
dalam ilmu-ilmu sosial, paling tidak hingga
empirik. Ada pun model yang
akhir 1970an di negara-negara maju, dan
menggambarkan batas-batas tersebut adalah
hingga kini di Indonesia. Kedua model ini
yang memandang kemiskinan sebagai
memandang masyarakat (miskin) sebagai
kebudayaan dan struktur sosial.
suatu kesatuan sosial yang secara budaya
Cara pandang kebudayaan berpendapat
khas, tunggal, dan memiliki batas-batas
bahwa kebudayaan dapat memantapkan
yang tegas (culturally distinctive).
kemiskinan. Kemiskinan adalah cara hidup
Sebagai konsekuensi dari cara
yang dikembangkan dan ditransmisikan dari
memandang kemiskinan dan orang miskin di
generasi ke generasi. Sebagai cara hidup
atas, kebijakan- kebijakan yang disusun
maka kemiskinan berfungsi
untuk menanggulangi kemiskinan
mengembangkan seperangkat coping
mencerminkan cara berpikir atau paradigma
mechanism yang dapat menimbulkan
tersebut, yakni: pertama, menempat- kan orang
konsekuensi-konsekuensi negatif
miskin sebagai obyek yang menjadi sasaran
seperti kehidupan yang kacau, hilangnya
penanggulangan kemiskinan, dan pihak
masa kanak-kanak dalam siklus
yang menanggulangi (pemerintah dan

310 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005


badan-badan lain yang terkait), menyusun
Masalah penelitian
rencana-rencana menurut apa yang mereka
fikirkan tanpa melibatkan orang miskin yang Kemiskinan sebagai proses
menjadi sasaran; kedua, orang miskin di- Pendekatan proses mengenai kemiskinan
pandang sebagai orang yang tidak berdaya, baru saja dikenal di Indonesia. Untuk
lemah, dan apatis karena mereka memiliki sebagian besar, pendekatan yang digunakan
kebudayaan kemiskinan (Lewis 1961; 1966) di ruang ilmiah maupun praktis masih
sehingga mereka perlu dibantu sepenuhnya didominasi pendekatan kebudayaan dan
melalui program-program yang dibangun struktural sebagaimana dibicarakan di atas.
dari “atas” (pemerintah); ketiga, orang Kedudukan dan otoritas peneliti—dan
miskin dipandang sebagai tidak berdaya, pemerintah dalam konteks praktis—dominan
lemah, dan apatis karena mereka dalam pendekatan kebudayaan (lihat Lewis
terkungkung dan terkurung oleh kendala- 1961; 1966) dan struktural (lihat Valentine
kendala struktural yang datang dari luar diri 1968) mengenai kemiskinan. Dengan kata
mereka. Oleh karena itu, pemerintah perlu lain, “orang miskin” dalam kedua model
membantu mereka dengan menghilangkan kemiskinan ini dilihat sebagai obyek, baik
atau mengurangi kendala- kendala sebagai sasaran penelitian maupun sebagai
struktural tersebut. sasaran program kebijakan.
Dapat kita cermati bahwa program- Dalam pendekatan proses, peneliti ber-
program penanggulangan kemiskinan oleh upaya mengungkapkan kemiskinan menurut
pemerintah Indonesia selama ini kuat apa yang sesungguhnya terjadi dalam realitas
dipengaruhi oleh pemikiran di atas. Sebagai empirik. Orang miskin diposisikan sebagai
contoh belakangan ini adalah kebijakan subyek yang berpikir dan bertindak,
Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang mengembangkan strategi-strategi dan kiat-
membagikan bantuan urang sebesar Rp. kiat agar bertahan hidup. Mengikuti cara
100.000,- per kepala keluarga bagi orang berfikir proses tersebut, maka masalah
miskin untuk mengurangi beban akibat penelitian ini adalah bahwa orang miskin—
kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). sebagaimana halnya orang yang tidak miskin
Dalam pemberian bantuan ini jelas sekali —mengembang- kan hubungan-hubungan
kriteria siapa miskin dan tidak miskin berasal sosial khusus di antara sesama orang
dari model yang dibawa pihak luar orang miskin maupun orang- orang yang tidak
miskin, yakni pemerintah dan aparatusnya, miskin berdasarkan kompleks kepentingan
sebagaimana terkandung dalam paradigma satu sama lain, yakni mempertahan- kan hidup
di atas. (dalam hal ini berarti memenuhi kebutuhan
Mencermati model-model pemikiran ekonomi yang mendasar). Penulis berasumsi
mengenai kemiskinan di Indonesia, maka bahwa: pertama, kompleks keter- jalinan
tulisan ini membahas kemiskinan dari hubungan-hubungan sosial yang khas ini
perspektif yang berbeda—suatu hal yang membangun suatu integrasi sosial orang-
relatif baru di Indo- nesia—yakni orang miskin dan tidak miskin sedemikian,
kemiskinan sebagai proses. Dalam sehingga batas-batas golongan miskin yang
pendekatan ini realita empiris adalah diasumsikan dalam pendekatan kebudayaan
terpenting, yang dari realita ini model-model dan struktural di atas menjadi baur. Kedua,
kebijakan baru dalam menanggulangi sebagai konsekuensi dari hubungan-
kemiskinan dapat dibangun, sehingga hubungan sosial yang khas tersebut, maka
penanggulangan kemiskinan itu sesuai akumulasi totalitas hubungan sosial dan
dengan realitas empirik yang sesungguhnya. tindakan sosial

Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di Jakarta 311


Jakarta tidak memiliki karakteristik distinktif
yang terwujud berimplikasi mundurnya dan diskret sebagaimana diasumsikan
kondisi kehidupan perkotaan, karena dalam pendekatan kebudayaan maupun
hubungan- hubungan sosial yang tidak struktural yang memandang orang
formal semakin penting, dan bahkan miskin sebagai kelompok yang memiliki
kadang-kadang lebih penting daripada ciri-ciri khas tertentu. Pendekatan kemiskinan
aturan-aturan formal dalam menentukan arah sebagai proses tidak memandang orang
tindakan. miskin dan yang tidak miskin memiliki batas-
batas yang tegas satu sama lain, melainkan
Sumber data dan metode ada hubungan interaksi yang intensif satu
Penelitian ini memiliki sejarah yang sama lain. Ada konteks-konteks tertentu di
panjang, yakni semenjak tahun 1983, ketika mana kepentingan-kepentingan khusus
suatu survei dilakukan untuk mengetahui mengikat kedua belah pihak, membangun
kehidupan ma- syarakat miskin di suatu kerjasama, mewujudkan integrasi sosial di
lokasi di Jakarta Timur. Penelitian ini antara keduanya.
kemudian berlanjut pada tahun 1985 yang
Hubungan sosial sebagai adaptasi
memusatkan perhatian pada struktur dan
kehidupan rumah tangga miskin di lokasi Kajian-kajian kemiskinan di perkotaan di
yang sama. Pengamatan pada tahun 1991 me- Indonesia—dan khususnya, Jakarta—
nemukan tema-tema penting seperti fleksibilitas sebelumnya terutama menekankan tiga
struktur rumah tangga miskin yang secara strategi penting: pertama, mengalami
kualitatif dapat dipandang sebagai petunjuk bersama keadaan miskin dan memiliki
adaptasi terhadap kondisi kemiskinan. Ke- bersama sumberdaya; kedua, melakukan
anggotaan rumah tangga yang meningkat aneka pekerjaan; dan, ketiga, kombinasi dari
merupakan indikasi kemiskinan yang beberapa pekerjaan. Kebanyakan kajian
semakin berat, sehingga struktur rumah tersebut berorientasi pada statistik
tangga harus selalu disesuaikan atau ekonomi dan demografi kombinasi pekerjaan
dimodifikasi agar mampu merespon kondisi dan hasil berupa uang yang diperoleh (lihat
tersebut. Akhirnya, penelitian yang misalnya, Evers 1982; 1989).
dilaksanakan pada tahun 2002 dan 2004 Berbeda dari strategi-strategi di atas,
mengembangkan tesis integrasi golongan artikel ini mengulas kemiskinan di perkotaan
miskin di perkotaan yang merupakan dalam konteks jalinan hubungan-hubungan
implikasi dari fleksibilitas struktur, sosial yang khas—sebagian ahli
hubungan- hubungan sosial yang khas, menyebutnya hubungan sosial informal
dan proses adaptasi internal terhadap yang dikontraskan dari hubungan sosial
kondisi kemiskinan yang semakin berat. formal—yang berpusat pada pemenuhan
Penelitian kualitatif ini menggunakan teknik kebutuhan ekonomi. Hubungan-hubungan
pengamatan dan wa- wancara mendalam. sosial tersebut bersifat adaptif dalam
menghadapi tekanan ekonomi yang semakin
Data dan analisis meningkat baik lokal mapun nasional.
Ekonomi golongan miskin di Jakarta Proses adaptasi berjangka panjang ini
paling tepat dipahami dalam konteks yang mengakibatkan terwujudnya golongan
luas sistem ekonomi Jakarta dan nasional. miskin di kota yang secara dominan bersifat
Dengan kata lain, kehidupan ekonomi massal, konservatif, dan berorientasi ke dalam
golongan miskin di kota Jakarta dipengaruhi — bukan mengembangkan reaksi keluar,
dan diberi corak oleh kehidupan sosial- misalnya, secara masif menentang kebijakan
ekonomi masyarakat yang lebih luas. Hal ini ekonomi
karena golongan miskin di
312 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
pemerintah. Kompleksitas dan kerumitan
Hubungan-hubungan sosial khas yang
hubungan sosial yang khas ini mendorong
dipresentasikan di sini adalah dari rumah
proses perkotaan yang involutif, suatu proses
tangga pak Bs, berasal dari Tegal, Jawa
yang analog dengan involusi pertanian yang
Tengah. Pak Bs pindah ke Jakarta pada tahun
dikemukakan C.Geertz (1963).
1972. Pada mulanya ia menyewa satu kamar,
Berikut ini penulis mengemukakan dua
berdekatan dengan rumah keluarga lain yang
kasus hubungan sosial yang khas yang
juga berasal dari Tegal. Dengan bantuan
merefleksikan fenomena integrasi golongan
sesama orang Tegal yang cukup banyak
miskin yang diasumsikan dalam penelitian
tinggal di sekitar daerah itu ia bekerja di
ini. Dari banyak kasus yang menunjukkan
tempat pembuatan tempe dan tahu. Bs
pola-pola hubungan sosial di kalangan orang
merasa cukup aman tinggal di situ karena
miskin di perkotaan peneliti memilih
pergaulan sehari-hari dengan para
menampilkan dua pola yakni pola horisontal
tetangga yang sama-sama berasal dari Tegal
kerabat dan bukan- kerabat, dan pola vertikal
tak ubahnya seperti di kampung halaman.
bukan kerabat, yang keduanya berkaitan
Dua tahun kemudian ia membawa kedua
satu sama lain. Alasan pemilihan pola
orang tuanya, yang juga petani tak
tersebut adalah sebagai berikut: pertama,
bertanah, ikut bergabung tinggal di Jakarta,
kedua pola ini mengindikasikan ciri- ciri
dan ikut bekerja membuat tahu dan tempe.
paradoks kemiskinan di perkotaan Indone-
Dua adik laki-lakinya yang belum menikah
sia, yang di atas ciri paradoks tersebut
kemudian juga pindah ke Jakarta. Hanya
hubungan integrasi golongan miskin dan
dalam waktu tiga tahun, rumah tangga Bs
tidak miskin dibangun dan dipelihara; kedua,
sudah berkembang menjadi lima orang. Bs
kedua pola ini mengindikasikan bahwa orang
menikah dengan anak tetangganya sendiri
miskin di perkotaan tidaklah terisolir dari
yang juga berasal dari Tegal. Dua keluarga
lingkungan mereka yang lebih luas, yakni
yang tadinya bertetangga kini menjadi
suatu jaringan sosial yang berusaha
kerabat karena perkawinan. Apabila anggota
memenuhi kepentingan- kepentingan
rumah tangga sibuk, anak pak Bs yang masih
ekonomi yang mendasar, bukan kelompok
kecil dititipkan pada kerabat yang tinggal
sosial yang memiliki ciri distinktif.
bersebelahan itu.
Hubungan horisontal kerabat dan Beberapa tahun kemudian dua saudara
bukan- kerabat laki- lakinya yang sudah menikah juga
Hubungan sosial ini bersifat horizontal memutuskan pindah ke Jakarta. Pada
dan simetris yang dicirikan oleh kesamaan mulanya mereka tinggal bersama pak Bs;
status sosial-ekonomi yang rendah dari seperti yang lain, keduanya diperkenalkan
anggota- anggota rumah tangganya. dengan urusan membuat tempe dan tahu.
Kompleks hu- bungan sosial ini Bedanya adalah bahwa pak Bs sudah
dikembangkan oleh dua atau lebih rumah memiliki tempat pembuatan tahu dan tempe
tangga yang memiliki atribut- atribut yang sendiri. Tempat pembuatan makanan tradisional
kurang lebih sama, yakni status pekerjaan Jawa ini kini menjadi perusahaan keluarga.
(orang-orang yang terlibat mengakui status Anggota keluarga yang pendatang baru
pekerjaan mereka yang rendah), latar diajari cara membuat tempe dan tahu,
belakang etnik (termasuk dalam hal ini ke- meningkatkan mutu, menjualnya di
kerabatan, pertemanan, dan ketetanggaan), warung-warung, dan mencari dan
dan tingkat pendidikan yang rendah (sekolah mempertahan-kan pelanggan. Untuk
dasar hingga sekolah lanjutan pertama). diketahui, dalam komunitas tersebut cukup
banyak rumah tangga yang memproduksi dan
menjual tempe dan tahu.
Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di Jakarta 313

bukan-kerabat, dan ketetanggaan. Situasi


Saudara laki-laki Bs, yakni Hn dan Ms, umum adalah cair karena anggota rumah
masing-masing membawa istri-istri mereka tangga datang dan pergi tergantung pada
yang membawa konsekuensi hubungan kejadian- kejadian dan kesulitan ekonomi
kekerabatan yang penting. Anggota keluarga yang dihadapi di desa asal. Hubungan
istri Hn dan Ms yang kini tinggal di wilayah kerjasama pun bisa berkurang apabila salah
pemukiman yang sama terdiri dari seorang yang terlibat mengalami perbaikan
seorang saudara perempuan yang belum ekonomi secara indi- vidual. Hubungan ibu
menikah, seorang keponakan perempuan Ks dengan yang lain pernah merenggang
yang sudah menikah dan membentuk lantaran suaminya pada suatu ketika
keluarga inti sendiri, serta seorang memperoleh uang (biasanya disebut
keponakan perempuan yang belum “rejeki”) yang cukup banyak, sehingga
menikah. Kedua perempuan yang belum memungkinkan ibu Ks membeli beberapa
menikah ini bekerja sebagai pembantu rumah peralatan rumah tangga. Pada saat itu ibu Ks
tangga di luar lingkungan pemukiman mengurangi partisipasinya dalam hubungan
mereka. Keduanya tinggal di rumah majikan resiprositas. Hal ini pernah menimbulkan
mereka, dan hanya kadang kala pulang ke gosip tentang keluarga Ks, yang dianggap
rumah, khususnya ketika hari libur atau “sudah kaya, sudah sombong dan pelit”.
lebaran.
Hubungan vertikal kerabat dan
Dari rumah tangga Pak Bs, baiklah kita
bukan- kerabat
perhatikan rumah tangga lain yang meng-
gambarkan corak hubungan yang sama, yakni Berbeda dari hubungan horizontal
rumah tangga Ibu Km. Ketika penelitian simetris yang telah diuraikan di atas suatu
dilakukan pada tahun 1991, peneliti hubungan vertikal yang tidak simetris
menemukan situasi berikut: Suatu hubungan merupakan pola kedua yang ditemukan
resiprositas berkembang antara kedua dalam penelitian lapangan. Pihak-pihak
saudara perempuan (Ibu Km dan ibu Ks), dan yang terlibat dalam hubungan ini tidak
keponakan perempuan yang sudah menikah setara dalam pengertian akses kepada uang,
(Ibu Su), dua anak perempuan yang belum barang, dan jasa yang merupakan dasar
menikah yang bekerja sebagai pembantu pertukaran ini. Meminjam istilah Claude
rumah tangga, dan dua laki- laki yang belum Fischer (1992 [1987]) bahwa kata kunci
menikah yang ketika itu sedang bekerja dalam suatu hubungan tukar-menukar adalah
musiman. Ruang kamar yang dahulu akses kepada komoditi. Komoditi yang
ditempati, kini diisi oleh seorang teman baik dimaksud diasumsikan langka, dan
yang ketika itu belum menjadi anggota terakumulasi secara “terorganisir” pada lokus-
keluarga. Namun, tak lama setelah itu, teman lokus tertentu dalam masyarakat. “Patron
baik ini menikah dengan salah seorang yang potensil tidak harus memiliki sendiri
anggota keluarga Ibu Km sehingga jalinan komoditi tersebut, namun melalui
hubungan pertemanan berubah menjadi perantaraannya, komoditi tersebut dapat
kerabat pula. Seperti halnya rumah tangga diraih oleh orang-orang luar tertentu secara
pak B, rumah tangga Ibu Km juga terbentuk ’terseleksi’ ….. dan membuka akses bagi
dan berkembang atas dasar kepentingan klien kepada komoditi tersebut dengan
ekonomi pada anggotanya. imbalan tertentu bagi patron” (Fischer
Dari dua contoh di atas, kita mempunyai 1992[1987]: 129;
gambaran yang jelas bagaimana hubungan- lihat juga, Greenfield 1983 [1978]).
hubungan sosial resiprositas yang kompleks Kasus pak Bs dalam hubungan horizontal
terjadi, baik dalam kaitan kerabat maupun kerabat dan bukan kerabat di atas bukanlah
314 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
kasus yang terisolir. Rumah tangga luas Bs
kerjaan Dj sedemikian fleksibel agar dia bisa
tidak mengembangkan kebudayaan
mencari penghasilan tambahan. Ia
distinktif sebagaimana diasumsikan para
memperkenal- kan pak Dj kepada pak Mu,
ahli yang kulturalis—sebagaimana
yang dulu pernah sekelas dengan pak S di
tercermin dalam konsep kebudayaan
suatu sekolah menengah atas di Jawa
kemiskinan—maupun yang strukturalis—
Tengah. Pak Mu bekerja sebagai kepala
sebagaimana tercermin dalam konsep
bagian ticketing di bandara tersebut, dan
kemiskinan struktural, melainkan meluas ke
dianggap sebagai “orang kuat” oleh
pola hubungan yang lain, yakni hubungan
bawahannya karena hubungan baiknya
vertikal kerabat dan bukan-kerabat. Oleh
dengan polisi dan aparat bandara lainnya.
karena itu strategi mempertahankan
Sebenarnya pak Mu hanya pegawai
kehidupan di perkotaan sebenarnya
golongan menengah-bawah dengan
melibatkan spektrum hubungan social yang
penghasilan pokoknya tak lebih baik dari
lebih luas daripada yang diasumsikan
pak Dj, tetapi tak seorang pun menyangkal
oleh kedua pendekatan di atas.
bahwa keadaan ekonomi pak Mu jauh lebih
Hubungan vertikal dapat dilihat sebagai
baik dari rekan- rekannya yang lain. Ia
mekanisme patronase yang komplementer
mempunyai mobil dan rumah yang bagus,
bagi institusi formal dalam masyarakat, yang
suatu hal yang mustahil dimiliki oleh
meski pun dipandang menyimpang dari
seorang pegawai dengan jenjang penggajian
hukum for- mal justru mendorong sistem
yang sama. Pak Mu beruntung karena
fungsional. Fungsi tersebut mendorong
bekerja di tempat “basah”.
gerakan barang dan jasa dari satu orang ke
Dengan sepengetahuan pak Mu, pak Dj
orang lain baik horsontal maupun vertikal
menjadi “perantara tak resmi” bagi orang-
(Eisenstadt dan Roniger 1984). Melalui
orang yang membutuhkan tiket segera. Ia
bekerjanya kedua pola ini maka sistem
menghabiskan waktu berjam-jam berdiri tak
masyarakat secara total dapat bekerja
jauh dari loket penjualan tiket pesawat.
bersama-sama. Kasus hubungan vertikal
Sebenarnya ia sudah “bekerja sama” dengan
di bawah ini mengilustrasikan dinamika
petugas loket untuk mengatakan kehabisan
internal struktur sosial golongan miskin
tiket apabila ada calon pembeli langsung
tersebut.
datang ke loket. Pelayanan shuttle flight
Pak Dj, saudara sepupu pak Bs, adalah
adalah yang paling banyak karena
seorang pegawai negeri pada salah satu
pembeli biasanya harus langsung
divisi di Bandara Sukarno Hatta, Jakarta.
membeli di bandara, dan pelayanan ini tidak
Sebagai pegawai menengah-bawah, gaji pak
tersedia di agen-agen perjalanan. Akan tetapi
Dj hanya Rp. 950.000.-, per bulan, suatu
bagi pak Mu dan rekan-rekannya, pe-
jumlah yang jauh di bawah kebutuhan dasar
layanan ini merupakan peluang untuk
keluarganya, yakni Rp. 1.800.000,- per
mencari penghasilan tambahan. Pak Mu
bulan. Penghasilan sebesar itu hanya cukup
sudah melaku- kan praktik tersebut selama
untuk seminggu bagi keluarganya dengan
bertahun-tahun, tetapi kini ia lebih banyak
tanggungan istri dan tiga anak yang masih
berada di belakang layar. “Anak buah”nya
kecil. Pak Dj beruntung punya atasan, pak
yang melakukan langsung di lapangan,
Sn, yang kebetulan saudara sepupu istrinya.
dan dia hanya me- nunggu “setoran” tanpa
Dengan koneksi pak Sn, pak Dj
harus tampil langsung seperti dahulu.
memperoleh pekerjaannya sekarang. Pak Sn
Para calon penumpang yang sedang
memahami masalah keuangan pak Dj, dan
kebingungan adalah sasaran empuk. Biasanya
secara diam-diam dia mengatur jadwal pe-
mereka tidak akan menawar-menawar lagi
harga
Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di Jakarta 315

bahan. Ada aturan-aturan yang mereka


tiket dan bersedia membayar lebih tinggi kembangkan dalam berhubungan satu sama
karena sedang sangat membutuhkan. Agar lain agar jaringan ini terpelihara. Itulah
permainan harga ini nampak bersih, pak Dj sebabnya peristiwa penangkapan pak D,
menjelaskan kepada calon penumpang meski pun kejadian ini merupakan
bahwa selisih harga tiket itu adalah uang pemandangan sehari-hari di mana pun di
lelah mencarikan tiket. Sebagian penumpang Jakarta, tetap sangat penting karena
tidak terlalu mempersoal- kan selisih harga menyangkut masa depan kerjasama.
itu karena mereka dalam kondisi darurat. Setiap ada penghasilan tambahan, di sana
Namun tak jarang penumpang adalah pembagian berdasarkan aturan
menjadikan hal ini persoalan serius. Mereka kesepakatan bersama yang harus ditaati
merasa ditipu orang-orang di Bandara. Mereka secara ketat. Pembagian hasil tidak hanya
melapor ke Pos Polisi Bandara. Komandan sebatas mereka berempat, karena rekan-
Pos Polisi, AKP Wd, menginstruksikan anak rekan lain yang melihat, mengetahui, atau
buahnya untuk me- nangkap para perantara mendengar juga mendapat bagian
itu dan menggiringnya ke pos polisi. Satu berdasarkan aturan. Oleh karena itu dikenal
hal yang patut diketahui adalah bahwa pak beberapa istilah seperti “uang dengar”, “uang
Wd adalah teman baik pak Mu, yang bermain diam”, dan sebagainya. “Uang dengar”
di belakang layar. Pak Mu mengunjungi pak adalah uang yang diberikan kepada seorang
Wd di rumahnya untuk menyelesaikan rekan yang mengetahui langsung rejeki
persoalan ditangkapnya pak Dj. Persoalan itu tambahan itu tanpa terlibat, dan “uang diam”
cepat beres, pak Dj hanya ditahan beberapa diberikan kepada seorang rekan yang
jam dan kemudian dibebaskan. mengetahui pak Dj keluar kantor pada jam
Pak Sn, atasan yang sekaligus kerabat kerja, tetapi diam saja. Menurut pak Dj, rekan
pak Dj, sangat marah. Dia mengancam tidak ini harus mendapat bagian karena kalau
akan memberi peluang lagi kepada pak Dj tidak, ia bisa saja “buka mulut” setiap saat
untuk bebas keluar kantor kalau terjadi lagi sehingga dapat membahayakan konditenya
peristiwa yang memalukan itu. Peluang di kantor.
kebebasan itu diberikannya agar pak Dj dapat
memperoleh penghasilan tambahan untuk
Implikasi penelitian
keluarganya. Apalagi nama pak Sn dibawa- Meski tulisan ini hanya mengangkat dua
bawa sebagai atasan ketika pak Dj kasus, namun dikembangkannya hubungan-
diinterogasi polisi. Pak Sn menyuruh pak Dj hubungan sosial seperti di atas adalah
minta maaf kepada pak Mu atas kejadian itu, fenomena umum di Jakarta. Sesuai dengan
dan memberikan sejumlah uang sebagai paradigma kualitatif yang bekerja dalam
tanda dilanjutkannya kerjasama. Dalam kajian ini, kedua kasus ini merefleksikan
pertemuan itu pak Dj mengakui bahwa semua fenomena yang lebih luas tersebut. Suatu
kejadian itu adalah kesalahannya, dan refleksi teoretis yang penulis sebut integrasi
berjanji akan lebih santun dan halus kepada sosial golongan miskin dan akibat praktisnya
calon penumpang agar mereka merasa tak yang dikemukakan di bawah ini.
tertipu.
Integrasi sosial golongan miskin
Isu kunci dalam kasus di atas bukan
tentang pak Dj, pak Sn, pak Mu, atau pak Kemiskinan di perkotaan sudah banyak
Wd. Akar persoalannya adalah pada dibicarakan para ahli, namun pendekatan
hubungan- hubungan sosial yang khas yang dominan digunakan adalah pendekatan
terjalin di antara mereka demi memperoleh survei dalam tradisi kuantitatif. Hipotesa
penghasilan tam- kota-kota
316 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
primat di Asia Tenggara yang dikembangkan
Strategi orang miskin dalam menanggulangi
T.G.McGee (1968) misalnya, cukup dekat
kebutuhan hidup memperoleh perhatian dari
dengan situasi perkotaan di Indonesia.
para antropolog pada tahun 1970an hingga
Hipotesa ini dikembangkan lebih lanjut oleh
1980an. Dapat dicatat beberapa kajian antara
H.D.Evers (1982[1972]; 1989) untuk
lain dari W.F.Whyte (1972), C. Stack (1974),
menjelas- kan gejala kemunduran
U.Hannerz (1976), dan M.Williams (1980)
perkotaan di Asia Tenggara, dan khususnya
yang memusatkan perhatian pada proses
Jakarta. Akan tetapi, perlu kita catat bahwa
internal orang berkulit hitam Amerika
pendekatan para ahli ini tetap berakar pada
Serikat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi
paradigma kuantitatif yang memandang
mereka, namun kajian-kajian ini sangat
kemiskinan sebagai agregat dan frekuensi
kurang memperhatikan hubungan-
dari atribut kemiskinan tertentu.
hubungan sosial orang miskin tersebut
Pendekatan kualitatif terhadap
dengan masyarakat yang tidak miskin di luar
kemiskinan di perkotaan diwarnai oleh cara
mereka. Orang berkulit hitam Amerika
pandang mikro yang menanggapi orang-
Serikat dilihat sebagai kelompok minoritas,
orang miskin sebagai kelompok yang
memiliki latarbelakang sejarah perbudakan
memiliki suatu kebudayaan yang distinktif,
yang panjang, dan latarbelakang tersebut
yang berbeda dari masyarakat yang lebih
turut membentuk stereotip dan prasangka
luas. Cara pandang ini sangat dipengaruhi
terhadap golongan miskin ini.
oleh tradisi struktur dan fungsi dalam
Arus pemikiran baru dalam memandang
antropologi yang pada masa lampau lebih
kemiskinan mungkin dimulai secara
banyak memperhatikan masyarakat
bermakna melalui tulisan N.S. Hughes
sederhana atau masyarakat pedesaan
(1992) yang berpendapat bahwa orang
yang secara metodologi memenuhi
miskin maupun orang yang tidak miskin
persyaratan idiosinkratik tersebut. Oleh karena
memiliki kapasitas dan potensi untuk
orang miskin dipandang memiliki
mengembangkan strategi- strategi kreatif
kebudayaan yang khas, maka sebagai
maupun manipulatif dalam menghadapi
konsekuensi dari memandang kebudayaan
lingkungannya. Dengan meng- gunakan
sebagai pedoman hidup, maka kemiskinan
kasus kemiskinan di perkotaan Brasil,
mewujudkan suatu kebudayaan kemiskinan
Hughes menunjukkan bahwa sukar membuat
yang khas pula (lihat Lewis 1966; lihat juga
garis tegas batas-batas antara kedua
Valentine 1968).
golongan tersebut, terlebih populasi orang
Konsekuensi lain dari melihat suatu
miskin di perkotaan Brasil sangat besar.
kelompok miskin sebagai penyandang suatu
Gambaran ini nampaknya mirip dengan
kebudayaan kemiskinan, maka kelompok ini
yang terjadi di perkotaan Indonesia,
dipandang minoritas dan terisolasi dan perlu
khususnya Jakarta.
dikembangkan program-program khusus
untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Di Paradok kemiskinan
Amerika Serikat, misalnya, dikenal program- Kedua pola hubungan sosial di atas—
program seperti Women and Infant Care hori- zontal kerabat dan bukan-kerabat dan
(WIC), Food Stamp Program (FSP), dan lain- vertikal kerabat dan bukan kerabat—tidaklah
lain. Di satu sisi program-program ini terpisah satu sama lain. Setiap jaringan
meningkatkan kesejahtera- an kelompok hubungan dapat dimulai dari pak Bs, atau
miskin, tetapi di sisi lain justru memperkuat dapat juga dimulai dari pak Dj, karena
label orang miskin yang inferior karena keduanya juga dipertautkan oleh faktor
mereka yang mendapat dan tidak kerabat dengan jenis kepentingan yang
mendapat bantuan program jelas terlihat. berbeda atau berubah sesuai konteks.
Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di Jakarta 317

orang miskin sebagai kelompok yang khas


Keterjalinan hubungan yang kompleks dengan batas-batas yang tegas. Penelitian
seperti ini mengakibatkan kaburnya ini jelas menunjukkan bahwa istilah golongan
batas-batas kemiskinan itu sendiri. Variasi lebih sesuai diterapkan daripada istilah
individual dalam konteks ekonomi rumah kelompok, untuk menunjukkan bahwa
tangga juga menonjol, sehingga secara batas-batas tersebut longgar, kabur, dan
individual setiap anggota rumah tangga dinamik.
tidak dapat dikatakan miskin. Kedua, program-program
Status sosial berdasarkan definisi ke- penanggulangan kemiskinan di seluruh
budayaan secara umum sejalan dengan dunia, dan juga di Indonesia, mungkin
status ekonomi yang biasanya diukur sama usianya dengan kemiskinan itu
menurut tingkat penghasilan. Di negara- sendiri. Penanggulangan kemiskinan di
negara maju seperti Amerika Serikat, perkotaan Indonesia banyak meminjam
jenjang pendidikan dan pengalaman pendekatan terhadap kemiskinan yang
bekerja menentukan besar gaji yang berlaku di negara-negara maju seperti
diperoleh. Semakin tinggi pendidikan, Amerika Serikat di mana orang miskin adalah
semakin besar gaji yang diterima. Dalam minoritas, khas secara ras atau etnik, dan
kasus Indonesia, jenjang pendidikan tidak memiliki sejarah perbudakan di masa silam.
selalu menentukan besar penghasilan. Meski Model-model penanggulangan kemiskinan
pun pak Wd menyandang status sosial yang tersebut biasanya memandang orang miskin
lebih tinggi sebagai perwira pertama polisi sebagai kelompok-kelompok yang hidup
dibandingkan pak Dj, pak Sn, atau pak Mu, sebagai kantung-kantung masyarakat di
yang pegawai menengah-bawah, penghasilan perkotaan. Indonesia dalam banyak hal
total sebulan lebih rendah dari ketiga sangat dipengaruhi oleh pendekatan
rekannya itu. Dalam banyak kasus, seperti itu. Sebagai contoh, model-model
penghasilan pedagang makanan di kaki lima yang diusulkan oleh Mukerjee (1999), World
Jakarta—yang menyandang status sosial Bank (2001), dan Mukerjee, Harjono,
yang lebih rendah—jauh lebih besar Carriere (2002), yang menanggapi orang
daripada penghasilan pegawai negeri miskin sebagai kelompok- kelompok sosial
golongan III yang menyandang gelar yang perlu diberdayakan dan difasilitasi.
sarjana—yang menyandang status sosial Bantuan bagi orang miskin yang paling
yang lebih tinggi. Namun, kesenjangan menonjol belakangan ini adalah uang tunai,
tingkat penghasilan itu dikurangi melalui yang ternyata juga penuh muatan
kompleks atas hubungan- hubungan manipulatif.
kerjasama yang khas dan saling Ketiga, integrasi sosial golongan miskin
menguntungkan, suatu fenomena yang yang terwujud akibat paradok-paradok
penulis sebut integrasi sosial golongan status sosial dan ekonomi sebagaimana
miskin. ditemukan dalam penelitian ini
mengakibatkan semakin sukarnya
Akibat praktis membangun program-program khusus
Dua kasus yang diangkat dalam tulisan ini penanggulangan kemiskinan di
hanya contoh dari banyaknya kasus serupa perkotaan di Indonesia. Selain batas-batas
di perkotaan Indonesia, khususnya Jakarta. yang kabur antara golongan miskin dan yang
Oleh karena itu sangat penting kita cermati tidak miskin, populasi orang miskin di
akibat praktis dari maraknya gejala tersebut. perkotaan juga sangat besar dan banyak
Pertama, kemiskinan perkotaan di variasi di dalamnya.
Indonesia— khususnya Jakarta—tidak
dapat ditanggapi semata-mata dengan
konsep masyarakat dan kebudayaan
distinktif, yakni memandang
318 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005
Referensi
Eisenstadt, S.N. dan L.Roniger
1984 Patrons, Clients, and Friends: Interpersonal Relations and the Strctures of Trust in
Society. Cambridge: Cambridge University Press.
Evers, H.D.
1982 Urban Involution: The Social Development of Southeast Asian Town. Kuala
Lumpur: Southeast Asian Studies.
1989 “Urban Poverty and Labor Supply Strategies in Jakarta”, dalam G. Rodgers (peny.)
Urban Poverty and the Labour Market Access to Jobs and Incomes in Asian and
Latin American Cities. Geneva: ILO Publications. Hlm. 145–172.
Fischer, C.L.
1992 To Dwell among Friends. Berkeley: University of California Press.
Geertz, C.
1963 Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia. Berkeley:
University of California Press.
Greenfield, S.
1978 Patronage Networks, Factions, Political Parties, and National Integration in Con-
temporary Brazilian Society. Berkeley: University of California Press.
Hannerz, U.
1976 Soulside: Inquiries into Ghetto Culture and Community. New York: Columbia Uni-
versity Press.
Hughes, N.S.
1992 Death without Weeping: Violence of Everyday Life in Brasil. Berkeley: University of
California.
Lewis, O.
1961 The Children of Sanchez. New York: Random House.
1966 “The Culture of Poverty”, Scientific American 25(4):19–25.
McGee, T.G.
1968 The Southeast Asian City. A Social Geography of the Primate Cities of Southeast
Asia. London: G.Bell.
Mukerjee, N.
1999 Consultation with the Poor in Indonesia: Country Synthesis Report. Jakarta: The
World Bank.
Mukerjee, N., J. Harjono, dan E. Carriere
2002 People, Poverty, and Livelihood: Links for Sustainable Poverty Reduction in
Indo- nesia. Jakarta: The World Bank & DFID.
Stack, C.
1974 All Our Kin: Strategies for Survival in a Black Community. New York: Harper & Row.

Saifuddin, Integrasi Sosial Golongan Miskin di Jakarta 319


Valentine, C.
1968 Culture and Poverty: Critique and Counter Proposal. Chicago: University of
Chi- cago Press.
Whyte, W.F.
1972 Street Corner Society: The Social Structure of an Italian Slum. Chicago:
University of Chicago Press.
Williams, M.
1980 On the Street Where I Lived. New York: Prentice-Hall Publ.
World Bank
2001 Poverty Reduction in Indonesia: Constructing a New Strategy. Jakarta: The
World Bank.

320 ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29, No.3, 2005

Anda mungkin juga menyukai