Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem perkemihan merupakan salah satu sistem yang tidak kalah
pentingnya dalam tubuh manusia. Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter,
vesica urinaria, dan urethra yang menyelenggarakan serangkaian proses untuk
tujuan mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, mempertahankan
keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan sisa-sisa metabolisme seperti urea,
kreatinin, asam urat, dan urine. Apabila terjadi gangguan pada sistem perkemihan
maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang sangat serius dan kompleks.
Gangguan yang terjadi pada sistem perkemihan dapat bermacam-macam, seperti
batu saluran kemih, ca prostat, dan gagal ginjal kronik. Batu saluran kemih (BSK)
atau urolithiasis merupakan keadaan patologis yang sering dipermasalahkan baik
dari segi kejadian (insidens), etiologi, patogenesis maupun dari segi pengobatan.
Kanker prostat merupakan kanker yang terdapat pada sistem reproduksi laki- laki.
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatu gangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitas struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan.
Di Amerika Serikat, sekitar 250.000 sampai 750.000 penduduknya
menderita BSK setiap tahun, di seluruh dunia rata-rata terdapat 1 sampai 12%.
Kejadian pada pria empat kali lebih tinggi daripada wanita, kecuali untuk batu
amonium magnesium fosfat (struvit), lebih sering terdapat di wanita. Usia rata-rata
BSK terjadi pada usia 30 sampai 50 tahun. Di Indonesia, penderita BSK masih
banyak, tetapi data lengkap kejadian penyakit ini masih belum banyak dilaporkan.
Hardjoeno dkk1 di Makassar (1977–1979) menemukan 297, Rahardjo dkk7 (1979–
1980) 245 penderita BSK, Puji Rahardjo dari RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo
menyatakan penyakit BSK yang diderita penduduk Indonesia sekitar 0,5%, bahkan
di RS PGI Cikini menemukan sekitar 530 orang penderita BSK pertahun. Pada
tahun 1999 lebih dari 179.000 kasus baru dari kanker prostat terdiagnosa di
Amerika Serikat. Ini merupakan 29% dari seluruh kanker pada pria. Penyebab
spesifik kanker prostat masih belum diketahui dengan pasti. Pria yang mempunyai

ii
risiko untuk terjadinya kanker prostat adalah usia, genetik, ras, dan lain – lain.
Faktor utama adalah usia.4 Kanker prostat berkembang lebih sering pada usia diatas
50 tahun dan menjadi lebih sering seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi
gagal ginjal kronik (sekarang disebut PGK) di Indonesia pada pasien usia lima
belas tahun keatas di Indonesia yang didata berdasarkan jumlah kasus yang
didiagnosis dokter adalah sebesar 0,2%. Prevalensi gagal ginjal kronik meningkat
seiring bertambahnya usia, didapatkan meningkat tajam pada kelompok umur 25-44
tahun (0,3%), diikuti umur 45-54 tahun (0,4%), umur 55-74 tahun (0,5%), dan
tertinggi pada kelompok umur ≥ 75 tahun (0,6%). Prevalensi pada laki-laki (0,3%)
lebih tinggi dari perempuan (0,2%).
Penyebab pasti yang membentuk BSK belum diketahui, oleh karena banyak
faktor yang dilibatkannya. Diduga dua proses yang terlibat dalam BSK yakni
supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang menyusun batu
terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika volume urin dan kimia urin
yang menekan pembentukan batu menurun. Pada proses nukleasi, natrium hidrogen
urat, asam urat dan kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion kalsium dan oksalat
kemudian merekat (adhesi) di inti untuk membentuk campuran batu. Proses ini di
namakan nukleasi heterogen. Analisis batu yang memadai akan membantu
memahami mekanisme patogenesis BSK dan merupakan tahap awal dalam
penilaian dan awal terapi pada penderita BSK. Perkembangan kelenjar prostat pada
ca prostat dipengaruhi oleh hormon androgen, termasuk testosteron yang diproduksi
oleh testis yaitu dehidroepiandrosteron. Aksi dari androgen diperantarai oleh
produksi growth factor lokal. Androgen dan Growth Factor mempengaruhi
proliferasi, differensiasi dan fungsi dari sel – sel kelenjar prostat. Faktor – faktor
tersebut memelihara keseimbangan perkembangan kelenjar prostat dan fungsi
melalui interaksi epitel – stroma. Prostat Spesific Antigen merupakan glikoprotein
yang hanya terdapat dalam sel epitel saluran kelenjar prostat dan tidak terdapat
dalam jaringan atau sel lain. Kelenjar prostat maupun cairan semen banyak
mengadung PSA. Fungsi kelenjar prostat mensekresi cairan encer, seperti susu yang
mengandung ion sitrat, kalsium, ion fosfat, enzim pembeku, dan profibrinolisin.
Kanker prostat terjadi bila sel – sel prostat mengalami mutasi dan mulai
memperbanyak diri di luar kontrol. Sel kanker mempunyai mekanisme untuk

ii
menghindarkan diri dari imunitas non spesifik dan spesifik. Modifikasi faktor
resiko PGK dilakukan pada hipertensi, obesitas morbid, sindroma metabolik,
hiperkolesterolemia, anemia, dan rokok. Menurut KDIGO, PGK dengan tanda-
tanda kegagalan ginjal (serositis, gangguan keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
pruritus), kegagalan pengontrolan volume dan tekanan darah, gangguan status gizi
yang refrakter, dan gangguan kognitif membutuhkan terapi hemodialisis. Pada
penderita yang sudah mencapai PGK derajat IV (eGFR <30mL/menit/1,73m2) juga
harus dimulai terapi hemodialisis.
Para tenaga ahli kesehatan profesional mencoba membantu menyelesaikan
permasalahan penyakit ini. Berdasarkan hal tersebut, mendorong para penulis untuk
mengetahui bagaimana profil BSK di Laboratorium Patologi Klinik.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari dari sistem perkemihan?
2. Bagaimana anatomi sistem perkemihan?
3. Bagaimana fisiologi sistem perkemihan?
4. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita batu saluran kemih?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita ca prostat?
6. Bagaimana asuhan keperawatan pada penderita gagal ginjal kronik?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II
diharapkan mahasiswa semester 4 dapat mengerti dan memahami asuhan
keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan: infeksi saluran
kemih, batu ginjal, dan cystitsmenggunakan pendekatan proses keperawatan.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami definisi sistem perkemihan
b. Mahasiswa mampu memahami anatomi sistem perkemihan
c. Mahasiswa mampu memahami fisiologi sistem perkemihan
d. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada penderita batu
saluran kemih

ii
e. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada penderita ca
prostat
f. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatan pada penderita gagal
ginjal kronik

ii
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERKEMIHAN

Sistem perkemihan merupakan sistem yang penting untuk membuang sisa-sisa


metabolism makanan yang dihasilkan oleh tubuh terutama senyawaan nitrogen seperti
urea dan kreatinin, bahan asing dan produk sisanya Sampah metabolism ini dikeluarkan
(disekresikan) oleh ginjal dalam bentuk urin Urin kemudian akan turun melewati ureter
menuju kandung kemih untuk disimpan sementara dan akhirnya secara periodic akan
dikeluarkan melalui uretra.

2.1 Anatomi Sistem Perkemihan

1. Ginjal
Ginjal berbentuk seperti kacang merah dengan panjang 10-12 cm dan tebal 3,5-5
cm, terletak di ruang belakang selaput perut tubuh (retroperitonium) sebelah atas.
Ginjal kanan terletak lebih ke bawah dibandingkan ginjal kiri.
Ginjal dibungkus oleh simpai jaringan fibrosa yang tipis. Pada sisi medial
terdapat cekungan, dikenal sebagai hilus, yang merupakan tempat keluar masuk
pembuluh darah dan keluarnya ureter. Bagian ureter atas melebar dan mengisi hilus
ginjal, dikenal sebagai piala ginjal (pelvis renalis). Pelvis renalis akan terbagi lagi
menjadi mangkuk besar dan kecil yang disebut kaliks mayor (2 buah) dan kaliks
minor (8-12 buah). Setiap kaliks minor meliputi tonjolan jaringan ginjal berbentuk
ii
kerucut yang disebut papila ginjal. Pada potongan vertikal ginjal tampak bahwa tiap
papila merupakan puncak daerah piramid yang meluas dari hilus menuju ke kapsula.
Pada papila ini bermuara 10-25 buah duktus koligens. Satu piramid dengan bagian
korteks yang melingkupinya dianggap sebagai satu lobus ginjal.

1) Korpus Malphigi

Korpus Malphigi terdiri atas 2 macam bangunan yaitu kapsul Bowman dan
glomerulus. Kapsul Bowman sebenarnya merupakan pelebaran ujung proksimal
saluran keluar ginjal (nefron) yang dibatasi epitel. Bagian ini diinvaginasi oleh jumbai
kapiler (glomerulus) sampai mendapatkan bentuk seperti cangkir yang berdinding
ganda. Dinding sebelah luar disebut lapis parietal (pars parietal) sedangkan dinding
dalam disebut lapis viseral (pars viseralis) yang melekat erat pada jumbai
glomerulus (Gb-4 dan 5). Ruang diantara ke dua lapisan ini sebut ruang Bowman
yang berisi cairan ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan ultra filtrasi akan masuk ke dalam
tubulus kontortus proksimal.

2) Apartus Yuksta-Glomerular

Sel-sel otot polos dinding vasa aferent di dekat glomerulus berubah sifatnya
menjadi sel epiteloid. Sel-sel ini tampak terang dan di dalam sitoplasmanya terdapat
granula yang mengandung ensim renin, suatu ensim yang diperlukan dalam
mengontrol tekanan darah. Sel-sel ini dikenal sebagai sel yuksta glomerular.

ii
3) Tubulus Ginjal (Nefron)

a) Tubulus Kontortus Proksimal

Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-


kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus di
medula ginjal (pars desendens Ansa Henle)..

Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah


mengurangi isi filtrat glomerulus 80-85 persen dengan
cara reabsorpsi via transport dan pompa natrium.
Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.

b) Ansa Henle

Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars asendens),
bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars asendens). Segmen tebal
turun mempunyai gambaran mirip dengan tubulus kontortus proksimal, sedangkan
segmen tebal naik mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis
ansa henle mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya
sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng, sedikit lebih tebal sehingga
sitoplasmanya lebih jelas terlihat. Selain itu lumennya tampak kosong. Ansa henle
terletak di medula ginjal. Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan atau
mengencerkan urin.

c) Tubulus kontortus distal

Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun oleh


selapis sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas dibandingkan tubulus
kontortus proksimal. Inti sel bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan.
Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan) dan permukaan sel yang mengahadap
lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi
bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin.

d) Duktus koligen

ii
Saluran ini terletak di dalam medula dan mempunyai gambaran mirip tubulus
kontortus distal tetapi dinding sel epitelnya jauh lebih jelas, selnya lebih tinggi dan
lebih pucat. Duktus koligen tidak termasuk ke dalam nefron. Di bagian medula yang
lebih ke tengah beberapa duktus koligen akan bersatu membentuk duktus yang lebih
besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini).

4) Sawar Ginjal

Sawar ginjal adalah bangunan-bangunan yang memisahkan darah kapiler


glomerulus dari filtrat dalam rongga Bowman. Sawar ini terdiri atas endotel kapiler
bertingkap glomerulus, lamina basal dan pedikel podosit yang dihubungkan dengan
membran celah (slit membran).

Guna sawar ginjal ini adalah untuk menyaring molekul-molekul yang boleh
melewati lapisan filtrasi tersebut dan molekul-molekul yang harus dicegah agar tidak
keluar dari tubuh. Molekul-molekul yang dikeluarkan dari tubuh adalah molekul-
molekul yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh, sisa-sisa metabolisma atau zat-zat
yang toksik bagi tubuh. Molekul-molekul ini selanjutnya akan dibuang dalam bentuk
urin (air kemih). Proses filtrasi ini tergantung kepada tekanan hidrostatik darah dalam
kapiler glomerulus.

Fungsi ginjal yaitu

1) Membuang bahan sisa terutama senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin
yang dihasilkan dari metabolisme makanan oleh tubuh, bahan asing dan
produk sisa.

2) Mengatur keseimbangan air dan elektrolit

3) Mengatur keseimbangan asam dan basa.

4) Menghasilkan renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah.

5) Menghasilkan eritropoietin yang mempunyai peran dalam proses pembentukan


eritrosit di sumsum tulang.

6) Produksi dan ekskresi urin

ii
2. Ureter

Secara histologik ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan adventisia.
Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang disokong oleh lamina propria.
Epitel transisional ini terdiri atas 4-5 lapis sel. Sel permukaan bervariasi dalam hal
bentuk mulai dari kuboid (bila kandung kemih kosong atau tidak teregang) sampai
gepeng (bila kandung kemih dalam keadaan penuh/teregang).

Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh ginjal ke dalam
kandung kemih. Bila ada batu disaluran ini akan menggesek lapisan mukosa dan
merangsang reseptor saraf sensoris sehingga akan timbul rasa nyeri yang amat sangat
dan menyebabkan penderita batu ureter akan berguling-gulung, keadaan ini dikenal
sebagai kolik ureter.

3. Kandung kemih

Kandung kemih terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan serosa/adventisia.


Mukosanya dilapisi oleh epitel transisional yang lebih tebal dibandingkan ureter
(terdiri atas 6-8 lapis sel) dengan jaringan ikat longgar yang membentuk lamina
propria dibawahnya. Tunika muskularisnya terdiri atas berkas-berkas serat otot polos
yang tersusun berlapis-lapis yang arahnya tampak tak membentuk aturan tertentu. Di
antara berkas-berkas ini terdapat jaringan ikat longgar. Tunika adventisianya terdiri
atas jaringan fibroelastik. Fungsi kandung kemih adalah menampung urin yang akan
dikeluarkan kedunia luar melalui uretra.

4. Uretra

Panjang uretra pria antara 15-20 cm dan untuk keperluan deskriptif terbagi atas 3
bagian yaitu:

1) Pars Prostatika, yaitu bagian uretra mulai dari muara uretra pada kandung kemih
hingga bagian yang menembus kelenjar prostat. Pada bagian ini bermuara 2
saluran yaitu duktus ejakulatorius dan saluran keluar kelenjar prostat.

ii
2) Pars membranasea yaitu bagian yang berjalan dari puncak prostat di antara otot
rangka pelvis menembus membran perineal dan berakhir pada bulbus korpus
kavernosus uretra.

3) Pars kavernosa atau spongiosa yaitu bagian uretra yang menembus korpus
kavernosum dan bermuara pada glands penis.

Pada wanita uretra jauh lebih pendek karena hanya 4 cm panjangnya Epitelnya
bervariasi dari transisional di dekat muara kandung kemih, lalu berlapis silindris atau
bertingka thingga berlapis gepeng di bagian ujungnya Muskularisnya terdiri atas 2
lapisan otot polos tersusun serupa dengan ureter.

2.2 Fisiologi Sistem Perkemihan

Proses pembentukan urin


1. Proses filtrasi, di glomerulus
Terjadi penyerapan darah yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali
protein. Cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri
dari glukosa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat, dll, diteruskan ke
tubulus ginjal. Cairan yang disaring disebut filtrat glomerulus.
2. Proses reabsorbsi

ii
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa,
sodium, klorida fosfat dan beberapa ion bikarbonat. Prosesnya terjadi secara
pasif (obligator reabsorbsi) di tubulus proximal Sedangkan pada tubulus
distal terjadi kembali penyerapan sodium dan ion bikarbonat bila diperlukan
tubuh. Penyerapan terjadi secara aktif (reabsorbsi fakultatif) dan sisanya
dialirkan pada papilla renalis.
3. Proses sekresi
Sisa dari penyerapan kembali yang terjadi di tubulus distal dialirkan ke
papilla renalis selanjutnya diteruskan keluar

ii
BATU SALURAN
KEMIH

ii
BAB I
TINJAUAN TEORI
1.1 DEFINISI
Batu saluran kemih (kalkulus uriner) adalah massa keras seperti batu yang
terbentuk di sepanjang saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan,
penyumbatan aliran kemih atau infeksi (Sja’bani, 2006). Batu ini bisa terbentuk di
dalam ginjal (batu ginjal) maupun di dalam kandung kemih (batu kandung kemih).
Proses pembentukan batu ini disebut urolitiasis.
Batu saluran kemih (urolithiasis), sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan
Mesir kuno dengan diketemukannya batu pada kandung kemih mummi (Muslim,
2007). Batu saluran kemih dapat diketemukan sepanjang saluran kemih mulai dari
system kaliks ginjal, pielum, ureter, buli-buli dan ureter. Batu ini mungkin terbentuk
di di ginjal kemudian turun ke saluran kemih bagian bawah atau memang terbentuk
di saluran kemih bagian bawah karena adanya stasis urine seperti pada batu buli-buli
karena hiperplasia prostat atau batu uretra yang terbentu di dalam divertikel uretra.
Batu ginjal adalah batu yang terbentuk di tubuli ginjal kemudian berada di kaliks,
infundibulum, pelvis ginjal dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks
ginjal dan merupakan batu saluran kemih yang paling sering terjadi (Brunner dan
Suddarth, 2003).

1.2 ETIOLOGI
Penyebab terbentuknya batu saluran kemih bisa terjadi karena air kemih jenuh
dengan garam-garam yang dapat membentuk batu atau karena air kemih kekurangan
penghambat pembentuka batu yang normal (Sja’bani, 2006). Sekitar 80% batu
terdiri dari kalsium, sisanya mengandung berbagai bahan, termasuk asam urat, sistin
dan mineral struvit (Sja’bani, 2006). Batu struvit (campuran dari magnesium,
amonium dan fosfat) juga disebut batu infeksi karena batu ini hanya terbentuk di
dalam air kemih yang terinfeksi (Muslim, 2007). Ukuran batu bervariasi, mulai dari
yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang sampai yang sebesar 2,5 sentimeter
atau lebih. Batuyang besar disebut kalkulus staghorn. Batu ini bisa mengisi hampir
keseluruhan pelvis renalis dan kalises renalis
a. Faktor Endogen

ii
Brunner dan Sudarth (2003) dan Nurlina (2008) menyebutkan beberapa faktor
yang mempengaruhi pembentukan batu saluran kemih, yaitu:
Faktor genetik, familial, pada hypersistinuria, hiperkalsiuria dan hiperoksalouria.
b. Faktor Eksogen
Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air
minum.
Muslim (2007) menyebutkan beberapa hal yang mempengaruhi pembentukan
saluran kemih antara lain:
c. Infeksi
Infeksi Saluran Kencing (ISK) dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan
akan menjadi inti pembentuk batu saluran kemih. Infeksi bakteri akan memecah
ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH Urine menjadi alkali.
d. Stasis dan Obstruksi Urine
e. Adanya obstruksi dan stasis urine pada sistem perkemihan akan mempermudah
Infeksi Saluran Kencing (ISK).
f. Jenis Kelamin
Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 3:1
g. Ras
Batu saluran kemih lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia.
h. Keturunan
Orang dengan anggota keluarga yang memiliki penyakit batu saluran kemih
memiliki resiko untuk menderita batu saluran kemih dibanding dengan yang
tidak memiliki anggota keluarga dengan batu saluran kemih.
i. Air Minum
Faktor utama pemenuhan urine adalah hidrasi adekuat yang didapat dari minum
air. Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akanB mengurangi
kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar
semua substansi dalam urine meningkat.
j. Pekerjaan
Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya
batu dari pada pekerja yang lebih banyak duduk.
k. Suhu

ii
Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan panas sehingga
pengeluaran cairan menjadi meningkat, apabila tidak didukung oleh hidrasi yang
adekuat akan meningkatkan resiko batu saluran kemih.
l. Makanan
Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani, kalsium, natrium
klorida, vitamin C, makanan tinggi garam akan meningkatkan resiko
pembentukan batu karena mempengaruhi saturasi urine. (INDRAWATI B,
2013)

1.3 PATOFISIOLOGI
Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan supersaturasi dalam
pembentukan batu. Inhibitor pembentuk batu dijumpai dalam air kemih normal.
Batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein. Beberapa promotor
(reaktan) dapat memacu pembentukan batu seperti asam urat, memacu pembentukan
batu kalsium oksalat. Aksi inhibitor dan reaktan belum diketahui sepenuhnya. Ada
dugaan proses ini berperan pada pembentukan awal atau nukleasi kristal, progresi
kristal atau agregasi kristal. Penambahan sitrat dalam kompleks kalsium dapat
mencegah agregasi kristal kalsium oksalat dan mungkin dapat mengurangi risiko
agregasi kristal dalam saluran kemih(Lina, 2008)
a. Teori Intimatriks
Sja’bani (2006) meyebutkan terbentuknya batu saluran kencing memerlukan
adanya substansi organik sebagai inti. Substansi ini terdiri dari
mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan
agregasi substansi pembentukan batu.
b. Teori Supersaturasi
Sja’bani (2006) menyebutkan erjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam
urine seperti sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah
terbentuknya batu.
c. Teori Presipitasi-Kristalisasi
Sja’bani (2006) menyebutkan perubahan pH urine akan mempengaruhi
solubilitas substansi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan mengendap
sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat.

ii
d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat
(Muslim, 2007)Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat,
pirofosfat, polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan
mempermudah terbentuknya batu saluran kemih.

1.4 MANIFESTASI KLINIS


Batu, terutama yang kecil, bisa tidak menimbulkan gejala. Batu di dalam
kandung kemih bisa menyebabkan nyeri di perut bagian bawah. Batu yang
menyumbat ureter, pelvis renalis maupun tubulus renalis bisa menyebabkan nyeri
punggung atau kolik renalis (nyeri kolik yang hebat). Kolik renalis ditandai dengan
nyeri hebat yang hilang-timbul, biasanya di daerah antara tulang rusuk dan tulang
pinggang, yang menjalar ke perut, daerah kemaluan dan paha sebelah dalam
(Brunner dan Suddarth, 2003).
Gejala-gejala BSK antara lain:
1. BSK bagian atas seringkali menyebabkan nyeri karena turunnya BSK ke ureter
yang sempit. Kolik ginjal dan nyeri ginjal adalah dua tipe nyeri yang berasal
dari ginjal. BSK pada kaliks dapat menyebabkan obstruksi, sehingga
memberikan gejala kolik ginjal, sedangkan BSK non obstruktif hanya
memberikan gejala nyeri periodik. Batu pada pelvis renalis dengan diameter
lebih dari 1 cmumumnya menyebabkan obstruksi pada uretropelvic juction
sehingga menyebabkan nyeri pada tulang belakang. Nyeri tersebut akan
dijalarkan sepanjang perjalanan ureter dan testis. Pada BSK ureter bagian
tengah akan dijalarkan di daerah perut bagian bawah, sedangkan pada BSK
distal, nyeri dijalarkan ke suprapubis vulva (pada wanita) dan skrotum pada
(pria).
2. Hematuria
Pada penderita BSK seringkali terjadi hematuria (air kemih berwarna seperti air
teh) terutama pada obstruksi ureter.
3. Infeksi
BSK jenis apapun seringkali berhubungan dengan infeksi sekunder akibat
obstruksi dan stasis di proksimal dari sumbatan. Keadaan yang cukup berat
terjadi apabila terjadi pus yang berlanjut menjadi fistula renokutan.

ii
4. Demam
Adanya demam yang berhubungan dengan BSK merupakan kasus darurat
karena dapat menyebabkan urosepsis.
5. Mual dan muntah
Obstruksi saluran kemih bagian atas seringkali menyebabkan mual dan muntah,
dapat juga disebabkan oleh uremia sekunder(Lina, 2008)

WOC

Faktor Endogen : Faktor Eksogen:


Genetik, familial, Lingkungan, pekerjaan,
hipersistinuria, hiperkalsiuria, diet, infeksi
hiperoksalouria

Pengendapan partikel jenuh


(Kristal & matriks) dalam
nukleus

Kelainan kristaluria

Batu Saluran Kemih

Obstruksi

Nyeri Pancaran Kurang


hidronefrosis
saat miksi kecil mengetahui
kencing penyakit

Atopi ginjal
Defisit
Pengetahuan Gg.Urin
Retensi Urin

Kerusakan fungsi ginjal


permanen

Gagal ginjal kronik


ii
1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada klien batu saluran kemih
adalah (American Urological Association, 2005) :
1. Urinalisa
Warna kuning, coklat atau gelap. : warna : normal kekuning-kuningan,
abnormal merah menunjukkan hematuri (kemungkinan obstruksi urine, kalkulus
renalis, tumor,kegagalan ginjal). pH : normal 4,6 – 6,8 (rata-rata 6,0), asam
(meningkatkan sistin dan batu asam urat), alkali (meningkatkan magnesium,
fosfat amonium, atau batu kalsium fosfat), Urine 24 jam : Kreatinin, asam urat,
kalsium, fosfat, oksalat, atau sistin mungkin meningkat), kultur urine
menunjukkan Infeksi Saluran Kencing , BUN hasil normal 5 – 20 mg/dl tujuan
untuk memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang
bemitrogen. BUN menjelaskan secara kasar perkiraan Glomerular Filtration
Rate. BUN dapat dipengaruhi oleh diet tinggi protein, darah dalam saluran
pencernaan status katabolik (cedera, infeksi). Kreatinin serum hasil normal laki-
laki 0,85 sampai 15mg/dl perempuan 0,70 sampai 1,25 mg/dl tujuannya untuk
memperlihatkan kemampuan ginjal untuk mengekskresi sisa yang bemitrogen.
Abnormal (tinggi pada serum/rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya
batu obstruktif pada ginjal menyebabkan iskemia/nekrosis.
2. Laboratorium
a. Darah lengkap : Hb, Ht, abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia.
b. Hormon Paratyroid mungkin meningkat bila ada gagal ginjal (PTH
merangsang reabsorbsi kalsium dari tulang, meningkatkan sirkulasi serum dan
kalsium urine.
3. Foto KUB (Kidney Ureter Bladder)
Menunjukkan ukuran ginjal, ureter dan bladder serta menunjukan adanya batu di
sekitar saluran kemih.
4. Endoskopi ginjal
Menentukan pelvis ginjal, dan untuk mengeluarkan batu yang kecil.
5. USG Ginjal
Untuk menentukan perubahan obstruksi dan lokasi batu.
6. EKG (Elektrokardiografi)

ii
Menunjukan ketidak seimbangan cairan, asam basa dan elektrolit.
7. Foto Rontgen
Menunjukan adanya batu didalam kandung kemih yang abnormal, menunjukkan
adanya calculi atau perubahan anatomik pada area ginjal dan sepanjang ureter.
8. IVP (Intra Venous Pyelografi )
Menunjukan perlambatan pengosongan kandung kemih, membedakan derajat
obstruksi kandung kemih divertikuli kandung kemih dan penebalan abnormal
otot kandung kemih dan memberikan konfirmasi cepat urolithiasis seperti
penyebab nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abnormalitas pada
struktur anatomik (distensi ureter).
9. Pielogram retrograd
Menunjukan abnormalitas pelvis saluran ureter dan kandung kemih. Diagnosis
ditegakan dengan studi ginjal, ureter, kandung kemih, urografi intravena atau
pielografi retrograde. Uji kimia darah dengan urine dalam 24 jam untuk
mengukur kalsium, asam urat, kreatinin, natrium, dan volume total merupakan
upaya dari diagnostik. Riwayat diet dan medikasi serta adanya riwayat batu
ginjal, ureter, dan kandung kemih dalam keluarga di dapatkan untuk
mengidentifikasi faktor yang mencetuskan terbentuknya batu kandung kemih
pada klien.

1.6 Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan
jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengidentifikasi infeksi, serta mengurangi
obstruksi akibat batu (Sja’bani, 2006). Cara yang biasanya digunakan untuk
mengatasi batu kandung kemih adalah terapi konservatif, medikamentosa,
pemecahan batu, dan operasi terbuka.
a. Terapi konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter kurang dari 5 mm. Batu ureter
yang besarnya kurang dari 5 mm bisa keluar spontan (Fillingham dan Douglass,
2000). Untuk mengeluarkan batu kecil tersebut terdapat pilihan terapi konservatif
berupa (American Urological Association, 2005):
1. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari bila tidak ada komplikasi hidronefrosis

ii
2. α – blocker (jelaskan)Farmakologi membantu kerja jantung agar adequat
3. Diet
3. NSAID+obat spesifik  farmakologi, ilangin ga ya?
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu
syarat lain un
Untuk terapi konservatif adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya
infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan konservatif
bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada
pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan
fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus
segera dilakukan intervensi (American UrologicalAssociation, 2005).
b. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy ( ESWL )
ESWL banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kemih. Badlani (2002)
menyebutkan prinsip dari ESWL adalah memecah batu saluran kemihdengan
menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin dari luar tubuh.
Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin di luar tubuh dapat difokuskan ke
arah batu dengan berbagai cara. Sesampainya di batu, gelombang kejut tadi akan
melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu kali gelombang kejut untuk
memecah batu hingga menjadi pecahan-pecahan kecil, selanjutnya keluar
bersama kencing tanpa menimbulkan sakit. Al-Ansari (2005) menyebutkan
komplikasi ESWL untuk terapi batu ureterhampir tidak ada. Keterbatasan ESWL
antara lain sulit memecah batu keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat),
perlu beberapa kali tindakan, dan sulit pada orang bertubuh gemuk. Penggunaan
ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus
dipertimbangkan dengan serius karena ada kemungkinan terjadi kerusakan pada
ovarium.
c. Ureterorenoskopic (URS)
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis
terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound,
EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter. Keterbatasan
URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga
diperlukan alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk

ii
menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-
masing operator dan ketersediaan alat tersebut.
d. Percutaneous Nefro Litotripsy (PCNL)
PCNL yang berkembang sejak dekade 1980 secara teoritis dapat
digunakansebagai terapi semua batu ureter. Namun, URS dan ESWL menjadi
pilihanpertama sebelum melakukan PCNL. Meskipun demikian untuk batu ureter
proksimal yang besar dan melekat memiliki peluang untuk dipecahkan dengan
PCNL (Al-Kohlany, 2005).
Menurut Al-Kohlany (2005), prinsip dari PCNL adalah membuat akses ke kalik
atau pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut dimasukkan
nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnyabatu ureter
diambil secara utuh atau dipecah. Keuntungan dari PCNL adalah apabila letak
batu jelas terlihat, batu pasti dapat diambil atau dihancurkan dan fragmen dapat
diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas. Proses PCNL berlangsung
cepat dan dapat diketahui keberhasilannya dengan segera. Kelemahan PCNL
adalah PCNL perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi.
e. Operasi Terbuka
Fillingham dan Douglass (2000) menyebutkan bahwa beberapa variasi operasi
terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Hal tersebut tergantung pada
anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank,
dorsal atau anterior. Saat ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal
1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau
ukuran batu ureter yang besar.

ii
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian Umum Pada Penyakit Batu Saluran Kemih
1. Identitas
Secara otomatis ,tidak factor jenis kelamin dan usia yang signifikan dalam
proses pembentukan batu. Namun, angka kejadian urolgitiasis dilapangan sering
kali terjadi pada laki-laki dan pada masa usia dewasa. Hal ini dimungkinkan
karena pola hidup, aktifitas, dan geografis, pekerjaan yang memicu, iklim,
alamat. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 121)
2. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang sering terjadi pada klien batu saluran kemih ialah nyeri pada
saluran kemih yang menjalar di area ureter dan kolik abdomen, berat ringannya
tergantung pada lokasi dan besarnya batu, dapat terjadi nyeri/kolik renal klien
dapat juga mengalami gangguan gastrointestinal dan perubahan. (Dinda, 2011:
hal 2)
3. Pola psikososial
Hambatan dalam interaksi social dikarenakan adanya ketidaknyamanan (nyeri
hebat) pada pasien, sehingga focus perhatiannya hanya pada sakitnya. Isolasi
social tidak terjadi karena bukan merupakan penyakit menular.Peran ayah atau
suami, setelah terkena penyakit (tambahin) (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal
121)
4. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari
a. Penurunan aktifitas selama sakit terjadi bukan karena kelemahan otot, tetapi
dikarenakan gangguan rasa nyaman (nyeri). Kegiatan aktifitas relative
dibantu oleh keluarga,misalnya berpakaian, mandi makan,minum dan lain
sebagainya,terlebih jika kolik mendadak terjadi. (Prabowo E, dan Pranata,
2014: hal 121)
b. Terjadi mual mutah karena peningkatan tingkat stres pasien akibat nyeri
hebat. Anoreksia sering kali terjadi karena kondisi ph pencernaan yang asam
akibat sekresi HCL berlebihan. Pemenuhan kebutuhan cairan sbenarnya
tidak ada masalah. Namun, klien sering kali membatasi minum karena takut

ii
urinenya semakin banyak dan memperparah nyeri yang dialami. (Prabowo E,
dan Pranata, 2014: hal 121)
c. Eliminasi alvi tidak mengalami perubahan fungsi maupun pola, kecuali
diikuti oleh penyakit penyerta lainnya. Klien mengalami nyeri saat kencing
(disuria, pada diagnosis uretrolithiasis). Hematuria (gross/flek), kencing
sedikit (oliguaria), disertai vesika (vesikolithiasis). (Prabowo E, dan Pranata,
2014: hal 121)
5. Pemeriksaan fisik
Anamnese tentang pola eliminasi urine akan memberikan data yang kuat.
Oliguria, disuria, gross hematuria menjadi ciri khas dari urolithiasis. Kaji TTV,
biasanya tidak perubahan yang mencolok pada urolithiasis. Takikardi akibat
nyeri yang hebat, nyeri pada pinggang, distensi vesika pada palpasi vesika
(vesikolithiasis/uretrolithiasis), teraba massa keras/batu (uretrolthiasis).
(Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 122)
a. Keadaan umum
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK dapat bervariasi mulai tanpa
kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada letak batu
dan penyulit yang ditimbulkan. Terjadi nyeri/kolik renal klien dapat juga
mengalami gangguan gastrointestinal dan perubahan. (Dian, 2011: hal 2 )
b. Tanda-tanda vital
Kesadaran compos mentis, penampilan tampak obesitas, tekanan darah
110/80 mmHg, frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit,
suhu 36,2 C, dan Indeks Massa Tubuh (IMT) 29,3 kg/m2. Pada
pemeriksaan palpasi regio flank sinistra didapatkan tanda ballotement (+)
dan pada perkusi nyeri ketok costovertebrae angle sinistra (+). (Nahdi Tf,
2013: hal 48)
c. Pemeriksaan fisik persistem
1. Sistem persyarafan, tingkat kesadaran, GCS, reflex bicara, compos
mentis. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
2. Sistem penglihatan, termasuk penglihatan pupil isokor, dengan reflex
cahaya (+) . (Nahdi Tf, 2013: hal 50)

ii
3. Sistem pernafasan, nilai frekuensi nafas, kualitas, suara dan jalan
nafas. Atau tidak mengeluh batuk atau sesak. Tidak ada riwayat
bronchitis, TB, asma, empisema, pneumonia. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
4. Sistem pendengaran, tidak ditemukan gangguan pada sistem
pendengaran. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
5. Sistem pencernaan, Mulut dan tenggorokan: Fungsi mengunyah dan
menelan baik, Bising usus normal. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
6. Sistem abdomen, adanya nyeri tekan abdomen, teraba massa keras atau
batu, nyeri ketok pada pinggang. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal
122)
7. Sistem reproduksi tidak ada masalah/gangguan pada sistem reproduksi.
(Nahdi Tf, 2013: hal 50)
8. Sistem kardiovaskuler, tidak ditemukan gangguan pada sistem
kardiovaskular. (Nahdi Tf, 2013: hal 50)
9. Sistem integumen, hangat, kemerahan, pucat. (Dian, 2011 : hal 20)
10. Sistem muskuluskletal, mengalami intoleransi aktivitas karena nyeri
yang dirasakan yang melakukan mobilitas fisik tertentu. (Nahdi Tf,
2013: hal 50)
11. Sistem perkemihan, adanya oliguria, disuria, gross hematuria, menjadi
ciri khas dari urolithiasis, nyeri yang hebat, nyeri ketok pada pinggang,
distensi vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis/ urolithiasis, nyeri
yang hebat, nyeri ketok pada pinggang, distensi vesika pada palpasi
vesika (vesikolithiasis/uretrolithiasis), teraba massa keras/batu
(uretrolithiasis). nilai frekuensi buang air kecil dan jumlahnya,
Gangguan pola berkemih. (Prabowo E, dan Pranata, 2014: hal 122)
6. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, kimia
darah (ureum, kreatinin, asam urat), dan urin lengkap. Hasilnya
ditemukan peningkatan kadar leukosit 11.700/μl (normalnya: 5000-
10.000/μl); kimia darah tidak ditemukan peningkatan kadar ureum,
kreatinin, maupun asam urat; urin lengkap ditemukan warna keruh, epitel

ii
(+), sedimen (+), peningkatan kadar eritrosit 5-7/LPB (normalnya: 0-
1/LPB), leukosit 10-11/LPB (0-5/LPB). (Nahdi Tf, 2013: hal 48)
b. Radiologis
Pada pemeriksaan radiologi dilakukan rontgen Blass Nier Overzicht
(BNO) dan ultrasonografi (USG) abdomen. Hasilnya pada rontgen BNO
didapatkan tampak bayangan radioopaque pada pielum ginjal setinggi
linea paravertebrae sinistra setinggi lumbal III Ukuran 1,5 x 2 cm; USG
didapatkan tampak batu pada ginjal kiri di pole atas-tengah-bawah
berukuran 1 cm x 1,2 cm x 1,8 cm; tampak pelebaran sistem
pelvicokaliseal. (Nahdi Tf, 2013: hal 48)
1. Foto Polos Abdomen
Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat
kemungkinan adanya batu radiopak di saluran kemih. Batu-batu jenis
kalsium oksalat dan kalsium fosfat bersifat radiopak dan paling
sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan batu asama urat
bersifat non-opak (radiolusen)
2. Pielografi Intra Vena (PIV)
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan anatomi dan fungsi
ginjal. Selain itu PIV dapat mendeteksi adanya batuk semi-opak
ataupun batu non-opak yang tidak dapat terlihat oleh foto polos perut.
Jika PIV belum dapat menjelaskan keadaan sistem saluran kemih
akibat adanya penurunan fungis ginjal sebagai gantinya adalah
pemeriksaan pielografi retrograde.
3. Ultrasonografi
USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin menjalani pemeriksaan
PIV, yaitu pada keadaan-keadaan : alergi terhadap kontras, faal ginjal
yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil. Pemeriksaan
USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli,
hidronefrosis, pionefrosis.(Dinda, 2011:hal 3)
7. Penatalaksanaan
Batu yang sudah menimbulkan masalah pada saluran kemih secepatnya harus
dikeluarkan agar tidak menimbulkan penyulit yang lebih berat. Indikasi untuk

ii
melakukan tindakan/terapi pada batu saluran kemih adalah jika batu telah
menimbulkan : obstruksi, infeksi, atau harus diambil karena sesuatu indikasi
sosial. Obstruksi karena batu saluran kemih yang telah menimbulkan
hidroureter atau hidronefrosis dan batu yang sudah menyebabkan infeksi
saluran kemih, harus segera dikeluarkan. Kadang kala batu saluran kemih
tidak menimbulkan penyulit seperti di atas tetapi diderita oleh seorang yang
karena pekerjaannya mempunyai resiko tinggi dapat menimbulkan sumbatan
saluran kemih pada saat yang bersangkutan sedang menjalakankan profesinya,
dalam hal ini batu harus dikeluarkan dari saluran kemih. (Dinda, 2011:hal 3)

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada BSK bagian apaa gitu adalah ;
1) Nyeri akut b/d peningkatan frekuensi/dorongan kontraksi uroteral,trauma jaringan,
pembentukan oedema, iskemia seluler.
2) Perubahan eliminasi urine b/d stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal
atau ureteral, inflamsi atau obstruksi mekanik.
3) Resiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b/d mual muntal, diuresis paska
obstruksi.
4) Kurang pengetahuan tentang diet, kebutuhan pengobatan b/d tidak mengenal
sumber informasi.

Diagnosa Tujuan-Kriteria yang


NO. Intervensi
Keperawatan diharapkan
1. Nyeri akut b.d agen NOC : NIC :
pencedera fisiologis Kontrol Nyeri Pemberian Analgesik +
(biokimia, fisik) Setelah dilakukan tindakan Antispasmodik
PQRS keperawatan selama 1x24 1. Tentukan lokasi,
jam, pasien tidak mengalami karakteristik, kualitas dan
nyeri, dengan kriteria hasil : keparahan nyeri sebelum
- Mampu mengontrol nyeri mengobati pasien
(mengetahui penyebab 2. Cek perintah pengobatan
nyeri, mampu meliputi : obat, dosis, dan

ii
menggunakan teknik frekuensi obat analgesik
nonfarmakologi untuk yang diresepkan
mengurangi nyeri, 3. Cek adanya riwayat alergi
mencari bantuan) obat
- Melaporkan bahwa nyeri 4. Tentukan pilihan obat
berkurang dengan analgesik
menggunakan manajemen Monitor TTV sebelum dan
nyeri sesudah pemberian obat
- Mampu mengenali nyeri
(skala, intesitas, frekuensi
dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
- Tanda vital dalam rentang
normal
2. Gangguan NOC: NIC:
eliminasi urin b.d Eliminasi Urin NT
iritasi kandung Setelah dilakukan tindakan Evaluasi Urin yang keluar
kemih keperawatan selama 1x24 Monitor urin luaran urin
D.O jam, pasien tidak mengalami yang spontan keluar dari
Kencing sedikit, gangguan eliminasi urin, bawah
hematuri, dengan kriteria hasil :
1. Distensi Kandung Kriteria : Irigasi Kandung Kemih
Kemih - Pola eliminasi tidak 1. Tentukan apakah akan
2. Berkemih tidak terganggu. melakukan irigasi terus-
tuntas - Mengenali keinginan menerus atau berkala
D.S untuk berkemih 2. Obeservasi tindakan-
1. Desakan berkemih - Tidak ada darah dalam tindakan pencegahan
2. Urin menetes urin. umum
3. Sering buang air - Warna urin jernih 3. Jelaskan tindakan yang
kecil akan dilakukan kepada
pasien

ii
4. Siapkan perlatan irigasi
yang seteril dan
pertahankan teknik steril
pada setiap tindakan
5. Bersihkan sambungan
kateter
6. Monitar dan pertahankan
kecepatan aliran yang
tetap
7. Catat jumlah cairan yang
digunakan, karakteristik
cairan, jumlah cairan yang
keluar, dan respon pasien
yang sesuai dengan
prosedur tetap yang ada.
3. Resiko Kelebihan NOC : NIC :
volume cairan d.d Keseimbangan cairan Monitor cairan
hidronefrosis Setelah dilakukan tindakan 1. Tentukan jumlah dan jenis
(HAPUS) keperawatan selama 1x24 asupan cairan serta
jam, cairan tubuh pasien kebiasaan eliminasi
seimbang dengan kriteria 2. Tentukan faktor resiko
hasil yang menyebabkan
Kriteria : ketidakseimbangan cairan
- Tanda vital stabil (TD 3. Monitor asupan dan
120/80 mmHg. Nadi 60- pengeluaran
100, RR16-20, suhu 4. Monitor tanda dan gejala
36.5°-37°C) acites
- Membran mukosa lembab Manajemen hipovolemi
- Turgor kulit baik. 1. Timbang berat badan
- Intake dan output diwaktu yang sama
seimbang 2. Monitor asupan
pengeluaran

ii
3. Dukung asupan cairan oral
4. Hitung kebutuhan cairan
didasarkan pada area
permukaan tubuh dan
ukuran.
4. Defisit NOC : NIC :
pengetahuan Pengetahuan : Manajemen Peningkatan kesadaran
tentang diet, dan penyakit ginjal kesehatan
kebutuhan Setelah dilakukan tindakan 1. Ciptakan lingkungan
pengobatan b.d keperawatan selama ...x24 perawatan kesehatan
kurang terpapar jam, pasien dapat mengetahui dimana pasien dengan
informasi manajemen penyakit ginjal, permasalahan memahami
dengan kriteria aksara, dapat mencari
D.O Kriteria : bantuan tanpa merasa
- menunjukkan - Klien mengetahui faktor malu/merasa dicela
perilaku tidak sesuai penyebab dan faktor 2. Gunakan komunikasi yang
anjuran kontribusi sesuai dan jelas
- menunjukkan - Klien mengetahui faktor 3. Berikan informasi penting
persepsi yang keliru resiko komplikasi secara tertulis/lisan sesuai
terhadap masalah - Klien mengetahui tanda bahasa yang dipahami
D.S dan gejala komplikasi 4. Gunakan strategi
- menjalani - Klien mengetahui strategi peningkatan pemahan.
pemeriksaan yang mencegah komplikasi
tidak tepat - Klien mengetahui strategi
- menunjukkan untuk meminimalkan
perilaku berlebihan perkembangan penyakit

ii
KANKER PROSTAT

ii
BAB I
TINJAUN TEORI
1.1.Definisi
Prostat merupakan kelenjar seukuran buah kenari yang terdapat di dalam
sistem reproduksi pria, yang terletak di antara leher kandung kemih dan saluran kemih
(uretra). Prostat mengeluarkan cairan berwarna putih yang memberi nutrisi dan
mengangkut sperma, yang disebut sebagai semen. Hormon pria yang disekresi oleh
testis secara langsung memengaruhi pertumbuhan dan fungsi prostat.
Kasus prostat yang bengkak umum terjadi di kalangan pria paruh baya dan
lanjut usia, namun sebagian besar kasus yang terjadi merupakan hiperplasia jinak
(peningkatan jumlah sel yang tidak normal). Ketika ada mutasi genetik yang bersifat
tidak normal, tumor ganas bisa berkembang di dalam prostat dan menyebabkan
kanker prostat. Kanker prostat bisa menyebar ke bagian tubuh lainnya, khususnya
tulang dan kelenjar getah bening di panggul.(Umbas et al., 2011)
Bentuk keganasan prostat yang tersering adalah Adenokarsinoma prostat,
bentuk lain yang jarang adalah: sarkoma (0,1-0,2%), karsinoma urotelial (1-4%),
limfoma dan leukemia. Oleh karena itu, terminologi Kanker prostat mengacu pada
Adenokarsinoma prostat (Komite penanggulangan kanker nasional, 2015).

1.2.Etiologi
Etiologi kanker prostat tidak diketahui secara pasti, namun beberapa faktor resiko
yang diduga sebagai penyebab timbulnya kanker prostat adalah sebagai berikut:
a. Predisposisi genetik
Kemungkinan untuk menderita kanker prostat menjadi dua kali jika saudara laki-
lakinya menderita penyakit ini. Kemungkinannya naik menjadi lima kali jika ayah dan
saudaranya juga menderita. Kesemuanya itu menunjukkan adanya faktor genetika
yang melandasi terjadinya kanker prostat.
b. Pengaruh hormonal
Faktor hormonal Testosteron adalah hormon pada pria yang dihasilkan oleh sel
Leydig pada testis yang akan ditukar menjadi bentuk metabolit, berupa
dihidrotestosteron (DHT) di organ prostat oleh enzim 5 - a reduktase. Beberapa teori
menyimpulkan bahwa kanker prostat terjadi karena adanya peningkatan kadar
testosteron pada pria, tetapi hal ini belum dapat dibuktikan secara ilmiah. Beberapa
penelitian menemukan terjadinya penurunan kadar testosteron pada penderita kanker

ii
prostat. Selain itu, juga ditemukan peningkatan kadar DHT pada penderita prostat,
tanpa diikuti dengan meningkatnya kadar testosteron.
c. Diet
Diet yang banyak mengandung lemak, susu yang berasal dari binatang, daging merah
dan hati diduga dapat meningkatkan kejadian kanker prostat. Dan ini mungkin bahan
bakar bagi pertumbuhan sel kanker.
d. Pengaruh lingkungan
Penderita prostat tertinggi ditemukan pada pria dengan ras Afrika – Amerika. Pria
kulit hitam memiliki resiko 1,6 kali lebih besar untuk menderita kanker prostat
dibandingkan dengan pria kulit putih. (“Karsinoma_prostas,” n.d.)
e. RASSSSS

1.3.Patofisiologis
Menurut (Kolesar, n.d.) disebutkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan dari
prostat adalah di bawah pengontrolan androgen, dan ini dikenal baik bahwa pria- pria
yang mengalami kastrasi sebelum masa puber tidak mengembangkan kanker prostat.
Mayoritas dari faktor-faktor risiko untuk kanker prostat adalah faktor-faktor yang
menaikkan atau menurunkan terdapatnya testosteron. Meski demikian, serum
testosteron atau tingkat DHT yang diperoleh pada diagnosa tidak terkait secara
langsung dengan risiko kanker prostat, yang menunjukkan banyak-faktor penyebab
kanker prostat.
Prostat normal terdiri dari sel-sel acinar secretory yang tersusun dalam bentuk
radial dan dikelilingi oleh suatu dasar jaringan yang menopang. Ukuran, bentuk, atau
adanya acini hampir selalu diubah dalam kelenjar yang telah diserang oleh karsinoma
prostat. Adenokarsinoma, jenis sel patologi utama, berperan lebih dari 95% kasus
kanker prostat. Tumor yang jauh lebih jarang termasuk kanker sel kecil
neuroendokrin, sarkomas, dan sel transisi karsinomas.
Kanker prostat dapat dipilah-pilah kelasnya secara sistematik sesuai dengan
kemunculan histologi dari sel malignant dan kemudian dikelompokkan ke dalam kelas
yang dibedakan secara baik, sedang, atau buruk. Arsitektur kelenjar diperiksa dan
kemudian dinilai pada skala 1 (dibedakan dengan baik) sampai 5 (dibedakan secara
buruk). Dua contoh yang berbeda diperiksa, dan nilai untuk tiap contoh ditambahkan.
Pengelompokan tumor-tumor untuk nilai total Gleason adalah 2 sampai 4 untuk yang
dibedakan- dengan-baik, 5 atau 6 untuk yang dibedakan dengan sedang, dan 7 sampai

ii
10 untuk yang dibedakan dengan buruk. Tumor-tumor yang dibedakan dengan buruk
tumbuh secara cepat (prognosis buruk), sedangkan tumor-tumor yang dibedakan
dengan-baik tumbuh secara pelan (prognosis yang lebih baik).
Penyebaran metastatik dapat terjadi dengan perluasan lokal, pengurasan kelenjar
getah-bening, atau penyebaran hematogenous. Metastase node getah- bening lebih
umum pada pasien dengan tumor yang besar, tak-dibedakan yang menyerang seminal
vesicles. Kelompok node getah-bening abdominal-tulang-pinggul (pelvic) dan perut
merupakan tempat-tempat yang paling umum dari keterlibatan node kelenjar-getah-
bening (Gb. 89–1).

Gambar 89-1. Kelenjar prostat. (Dari Kolesar JM. Prostate cancer. Dalam: DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, et al (eds.)
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2005: 2423.)

Metastase susunan kerangka badan dari penyebaran hematogenous


merupakan tempat-tempat yang paling umum dari penyebaran jauh. Secara khas,
luka tulang adalah osteoblastik atau gabungan osteoblastik dan osteolitik. Tempat
yang paling umum dari keterlibatan tulang adalah tulang-belakang lumbar.
Tempat-tempat lain dari keterlibatan tulang termasuk proximal femurs, pelvis,
thoracic spine, iga, tulang-dada, tengkorak, dan tulang bagian atas lengan atau
kaki. Paru-paru, hati, otak, dan kelenjar adrenal merupakan tempat-tempat yang
umum dari keterlibatan yang mendalam, meskipun, organ-organ ini semua
biasanya tidak terlibat secara awal. Sekitar 25% sampai 35% pasien akan
mempunyai bukti dari inflitrasi lymphangitic atau nodular pulmonary saat
diautopsi. Prostat merupakan tempat yang jarang untuk keterlibatan metastatik
dari tumor-tumor yang padat lainnya.

Kelenjar prostat adalah suatu organ yang padat, bulat, berbentuk jantung yang
terletak di antara leher kantong kemih dan diafragma pengeluaran air kencing

ii
(lihat Gb. 89–1). Pertumbuhan yang normal dan pembedaan dari prostat
tergantung pada adanya androgen, khususnya DHT. Testis dan kelenjar adrenal
merupakan merupakan sumber-sumber utama dari androgen yang bersirkulasi.
Pengaturan hormon dari sintesa androgen dimediasikan melalui serangkaian
interaksi
biokimia
antara

hipotalamus, pituitari, kelenjar adrenal, dan testis (Gb. 89–2).

ii
Gambar 89-2. Regulasi hormonal dari kelenjar prostat. ACTH, hormon adrenokortikotropik; DHT, dihydrotestos-terone;
FSH, follicle-stimulating hormone; GH, hormon pertumbuhan; LH, hormon luteinizing; LHRH, luteinizinghormone-
releasing hormone; Prol, prolaktin; R, reseptor. (Dari Kolesar JM Kanker prostat Dalam DiPiro JT, Talbert RL, Yee GC, et
al, (eds) Farmakoterapi: Pendekatan patofisiologi 6 ed New York: Mc Graw-Hill; 2005:2424)

Hormon pelepasan-hormon luteinizing (luteinizing hormone–releasing


hormone / LHRH) yang dikeluarkan dari hipotalamus menstimulir pengeluaran
Hormone luteinizing (Luteinizing Hormone / LH) dan hormon follicle-stimulating
hormon (Follicle-Stimulating Hormone / FSH) dari kelenjar anterior pituitari.
Kerumitan LH dengan reseptor pada membran sel testikular Leydig dan
menstimulasi produksi testosteron serta sejumlah kecil estrogen. FSH bekerja pada
sel-sel Sertoli di dalam testis untuk mengembangkan pendewasaan dari reseptor-
reseptor LH dan untuk memproduksi protein yang terikat androgen-binding.
Sirkulasi testosteron dan estradiol mempengaruhi sintesa dari LHRH, LH, dan FSH
dengan pengoperasian hipotalamik dan pituitari. Prolaktin, hormon pertumbuhan,
dan estradiol tampak merupakan pengatur aksesori yang penting untuk
permeabilitas jaringan prostatik, ikatan reseptor, dan sintesa testosteron.

Testosteron, hormon androgenic utama, berperan untuk 95% dari konsentrasi


androgen. Sumber utama dari testosterone adalah testis; tetapi, 3% sampai 5% dari
konsentrasi testosteron diturunkan dari sekresi adrenal cortical langsung dari
testosteron atau steroid C-19 seperti androstenedione.

Manipulasi hormone untuk memotong atau mengurangi sirkulasi androgen


dapat terjadi melalui beberapa mekanisme (Table 89–2). Organ-organ yang
bertanggung-jawab untuk produksi androgen dapat dihilangkan dengan operasi
(misalnya, orkiektomi, hipofisektomi, atau adrenalektomi). Lintasan hormon yang
memodulasi pertumbuhan prostat dapat diinterupsi pada beberapa langkah (lihat
Gb. 89–2). Interferensi dengan LHRH atau LH dapat mengurangi sekresi
testosterone oleh testis (misalnya, estrogen, LHRH, progestogen, dan siproteron
asetat). Pengaturan estrogen mengurangi androgen dengan secara langsung
menghambat pelepasan LH, dengan bekerja secara langsung pada sel prostat, atau
dengan mengurangi androgen bebas dengan menambah kadar globulin yang
terikat- steroid

ii
Isolasi dari hipotalamik dekapeptida hormone LHRH yang terjadi secara alami
telah menyediakan kelompok lain dari zat-zat yang efektif untuk pengobatan
kanker prostat lanjut. Tanggapan fisiologi pada LHRH tergantung pada dosis
maupun pengaturannya. Pengaturan LHRH yang intermiten menirukan pola
pelepasan endogenous, menyebabkan pelepasan yang berlanjut dari LH maupun
FSH, mengingat pengaturan dosis-tinggi atau intravena yang berlanjut dari LHRH
menghambat pelepasan gonadotropin yang dimiliki down regulation reseptor.
Modifikasi struktural dari LHRH yang terjadi secara alami dan pengiriman yang
inovatif telah menghasilkan serangkaian LHRH yang menyebabkan down-
regulation yang serupa dari reseptor kelenjar-bawah-otak (pituitari) dan
pengurangan dalam produksi testosteron.

Sintesa androgen dapat dihambat dalam testis atau kelenjar adrenal.


Aminoglutethimide menghambat kompleks desmolase-enzyme dalam kelenjar
adrenal, dengan demikian mencegah pengubahan kolesterol menjadi pregnenolon.
Pregnenolone merupakan substrat pendahulu untuk semua steroid turunan adrenal,
termasuk androgen, glukokortikoid, dan mineralokortikoid. Ketoconazole, suatu zat

ii
anti-jamur imidazole, menyebabkan pengurangan yang dapat reversible terkait
dosis dalam serum kortisol serta konsentrasi testosterone dengan menghambat baik
adrenal maupun testikular steroidogenesis. Sebagai suatu mekanisme sekunder
pada bekerjanya antiandrogen, megestrol asetat menghambat sintesa dari androgen.
Hambatan tampak terjadi pada level adrenal, tetapi level sirkulasi dari testosteron
juga berkurang, menandakan bahwa hambatan pada level testikular juga dapat
terjadi.

Antiandrogen menghambat pembentukan kompleks reseptor-DHT dan


karenanya mengganggu bekerjanya mediasi-androgen pada tingkat sel. Megestrol
acetate, suatu zat progestasional, juga tersedia dan mempunyai aktivitas
antiandrogen.21 Akhirnya, pengubahan dari testosteron menjadi DHT dapat
dihambat oleh penghambat 5-α-reductase.

1.4.Manifestasi Klinis
Gejala klinis hanya terjadi sekitar 10% pada laki-laki yang mengidap kelainan
ini. Hal ini dikarenakan kanker prostat mengenai bagian dalam prostat,
manifestasinya yang tersering adalah gejala obstruksi saluran kemih bawah
(Татаркин, 2012). Gejala Kanker prostat stadium dini dan lanjut menurut
(“Karsinoma_prostas,” n.d.) mungkin asimptomatik pada saat diagnosis, dan lebih
dari 80 persen pasien menderita penyakit stadium C dan D pada saat diagnosis.
Pada orang yang simptomatis, keluhan yang sering ditemui adalah disuria,
kesulitan berkemih, mengedan jika ingin berkemih, peningkatan frekuensi
berkemih, retensi urin total, nyeri punggung atau pinggang dan hematuria. Setiap
laki-laki berusia diatas 40 tahun yang mengeluh disuria, sering berkemih atau
kesulitan berkemih tanpa obstruksi uretra mekanis harus dicurigai menderita
kanker prostat. Gejala lainnya berupa:
 segera setelah berkemih, biasanya air kemih masih menetes-netes
 perasaan tidak puas setelah berkemih
 nyeri baik ketika berkemih maupun ejakulasi
 inkontinensia uri
 hematuria
 penurunan berat badan

ii
1.5.Web Of Caution

Gejala Obstruktif+gejala iritatif  Gangguan Eliminasi Urin

Kekurangan nutrisi  BB menurun  Defisit nutrisi

Obstruksi di prostat  prostatektomi  nyeri akut

Radikal ……. terakhir

1.6.Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan utama dalam menegakkan Kanker prostat adalah anamnesis


perjalanan penyakit, pemeriksaan colok dubur, PSA serum serta ultrasonografi
transrektal/ transabdominal. Diagnosa pasti didapatkan dari hasil biopsi prostat
atau spesimen operasi berupa adenokarsinoma. Selain itu pemeriksaan
histopatologis akan menentukan derajat dan penyebaran tumor (Umbas et al.,
2011).

1. Pemeriksaan colok dubur

Kebanyakan Kanker prostat terletak di zona perifer prostat dan dapat


dideteksi dengan colok dubur jika volumenya sudah > 0.2 ml. Jika terdapat
kecurigaan dari colok dubur berupa: nodul keras, asimetrik, berbenjol-benjol,
maka kecurigaan tersebut dapat menjadi indikasi biopsi prostat. Delapan
belas persen dari seluruh penderita Kanker prostat terdeteksi hanya dari colok
dubur saja, dibandingkan dengan kadar PSA. Penderita dengan kecurigaan
pada colok dubur dengan disertai kadar PSA > 2ng/ml mempunyai nilai
prediksi 5-30%.

2. Prostate-specific antigen (PSA)

Pemeriksaan kadar PSA telah mengubah kriteria diagnosis dari Kanker


prostat. PSA adalah serine-kalikrein protease yang hampir seluruhnya
diproduksi oleh sel epitel prostat. Pada prakteknya PSA adalah organ spesifik

ii
namun bukan kanker spesifik. Maka itu peningkatan kadar PSA juga
dijumpai pada BPH, prostatitis, dan keadaan non-maligna lainnya. Kadar
PSA secara tunggal adalah variabel yang paling bermakna dibandingkan
colok dubur atau TRUS. Sampai saat ini belum ada persetujuan mengenai
nilai standar secara internasional. Kadar PSA adalah parameter berkelanjutan
semakin tinggi kadarnya, semakin tinggi pula kecurigaan adanya Kanker
prostat. Nilai baku PSA di Indonesia saat ini yang dipakai adalah 4ng/ml.

3. Transrectal ultrasonography (TRUS) dan biopi prostat

Gambaran klasik hipoekhoik adanya zona peripheral prostat tidak akan selalu
terlihat. Gray- scale dari TRUS tidak dapat mendeteksi area Kanker prostat
secara adekuat. Maka itu biopsi sistematis tidak perlu digantikan dengan
biopsi area yang dicurigai. Namun biopsi daerah yang dicurigai sebagai
tambahan dapat menjadi informasi yang berguna.

1) Indikasi biopsy

Tindakan biopsi prostat sebaiknya ditentukan berdasarkan kadar PSA,


kecurigaan pada pemeriksaan colok dubur atau temuan metastasis yang
diduga dari Kanker prostat. Sangat dianjurkan bila biopsi prostat dengan
guided TRUS, bila tidak mempunyai TRUS dapat dilakukan biopsi
transrektal menggunakan jarum trucut dengan bimbingan jari.

Untuk melakukan biopsi, lokasi untuk mengambil sampel harus diarahkan


ke lateral.Jumlah Core dianjurkan sebanyak 10-12. Core tambahan dapat
diambil dari daerah yang dicurigai pada colok dubur atau TRUS.

Tingkat komplikasi biopsi prostat rendah. Komplikasi minor termasuk


makrohematuria dan hematospermia. Infeksi berat setelah prosedur
dilaporkan <1 % kasus.

2) Biopsi Ulang

Indikasi Biopsi Ulang :

• PSA yang meningkat dan atau menetap pada pemeriksaan ulang


setelah 6 bulan

ii
• Kecurigaan dari colok dubur

• Proliferasi sel asinar kecil yang atipik (ASAP)

• High Grade Prostatic intraepithelial (PIN) lebih dari satu core13


Penentuan waktu yang optimal untuk biopsi ulang adalah 3-6 bulan.

3) TURP Diagnostik

Penggunaan TURP diagnostik untuk biopsi adalah tidak dianjurkan.


Tingkat deteksinya tidak lebih baik dari 8% dan merupakan prosedur yang
tidak adekuat untuk mendeteksi kanker.

4) Antibiotik

Penggunaan antibiotik oral atau intravena pra-biopsi merupakan keharusan


dengan menggunakkan golongan Kuinolon atau Sefalosporin.

5) Anestesi

Pemberian anestesi sangat dianjurkan. Pemilihan jenis anestesi berupa obat


oral, supposutoria, anestesi umum ataupun anestesi blok peri-prostatik dengan
guided TRUS tergantung dari pilihan operator, fasilitas dan pilihan/kondisi
penderita. Pemberian gel Lidokain 2% sebelum dimasukkannya probe akan
menurunkan rasa nyeri di daerah sfingter ani penderita.

1.7.Komplikasi

Jika kanker prostat tidak dikendalikan dengan baik, kondisinya bisa bertambah
parah dan mengakibatkan kondisi kesehatan berikut ini:

 Menyebar ke organ lain: kanker prostat bisa menyebar di sepanjang


pembuluh limfatik ke kelenjar getah bening di sekitarnya, hingga
mencapai tulang atau organ jauh lainnya.

 Rasa nyeri: jika sel-sel kanker menyerang tulang, pasien mungkin akan
mengalami rasa sakit yang teramat parah.

ii
Pasien kanker prostat juga bisa menderita komplikasi berikut yang diakibatkan
oleh tindakan pengobatan :

 Inkontinensia urin

 Impotensi (ketidakmampuan ereksi dan mempertahankan ereksi untuk


melakukan hubungan seksual yang memuaskan): kanker tersebut, tindakan
pembedahan, radioterapi atau terapi hormonal bisa menyebabkan
impotensi pada beberapa pasien

 Perdarahan rektum atau ulkus: biasanya disebabkan oleh radioterapi

 Anastomosi striktur pada perineal prostatectomy

 Urocutaneus fistula (perineal prostatctomy)

 Hernia perineal (Perineal prostatctomy)

1.8.Penatalaksanaan

Pengobatan Kanker prostat ditentukan berdasarkan beberapa faktor yaitu grading


tumor, staging, ko-morbiditas, preferensi penderita, usia harapan hidup saat
diagnosis. Mengingat data untuk menentukkan usia harapan hidup saat diagnosis
belum ada di Indonesia, maka digunakan batasan usia sebagai salah satu
parameter untuk menentukan pilihan terapi.

Penatalaksanaan kanker terlokalisir atau locally advanced

ii
Keterangan :

 Monitoring aktif dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki gejala. Juga


tidak direkomendasikan pada pasien dengan risiko sedang dan tinggi dengan
usia ≤ 70 tahun.

 Diseksi KGB pelvis tidak dilakukan bila probabilitas adanya keterlibatan


kelenjar (staging nomogram) < 3%.

 Terdapat perubahan untuk rekomendasi radikal prostatektomi untuk pasien


risiko tinggi dan sangat tinggi sebagai bagian program terapi multimodalitas
termasuk terapi hormonal, radioterapi pasca operasi dan bila memungkinkan
kemoterapi

Penatalaksanaan kanker yang telah metastasis

Androgen Deprivation Therapy(ADT) merupakan baku emas terapi Kanker


prostat lanjut setelah penemuan Huggins dan Hodges di tahun 1941.Terapi ini

ii
dapat berupa kastrasi dengan obat atau pembedahan (orkhidektomi). Tingkat
kastrasi yang diinginkan adalah kadar testosteron < 20ng/dL. Pemberian
Lutenising Hormone Releasing-Hormone(LHRH) agonis seharusnya disertai
pemberian anti-androgen untuk mencegah flare-up sedikitnya 14 hari.

Bermacam-macam strategi yang digunakan dalam penggunaan ADT ini,


menurut jenis blokadenya dapat komplit (Complete Androgen Blokade/CAB)
LHRH agonis ditambah anti-androgen ataupun tunggal (hanya LHRH agonis
saja). Menurut lama waktu pemberian terbagi atas: kontinyu dan intermiten.
Menurut awal waktu pemberian: segera (immediate) atau ditunda (deferred).

Berdasarkan hasil studi review maupun meta-analisis keuntungan blokade


komplit (CAB) terhadap terapi tunggal hanya < 5%. Pemberian CAB jangka
panjang akan menginduksi terjadinya sel independen androgen, dalam jangka
waktu rata-rata 2 tahun. Oleh karena itu disarankan penghentian pemberian obat
secara berkala (intermiten) yang dibuktikan dari beberapa penelitian penting
bahwa hasilnya tidak berbeda. Pemberian ADT segera akan menurunkan progresi
penyakit dan komplikasi secara bermakna dibandingkan ditunda. Tetapi hal ini
tidak meningkatkan cancer-specific survival.

Kanker Prostat dengan Kastrasi dan Hormon Refrakter (Castration and Hormone
Refractory Prostate Cancer / CRPC-HRPC)

Timbulnya resistensi terhadap terapi hormonal merupakan isu yang penting


pada pemberian terapi hormonal. Mekanisme resistensi terhadap terapi hormonal
masih belum diketahui secara pasti. Kanker prostat saat ini memiliki sel-sel yang
bersifat heterogen (androgen dependen dan androgen independen).

Berbagai istilah yang berbeda telah digunakan untuk menggambarkan Kanker


prostat yang kambuh setelah terapi ablasi hormonal awal, termasuk HRPC,
androgen-independen kanker dan hormon-independen kanker.18 Adalah penting
untuk membedakan CRPC dari HRPC. CRPC masih responsif terhadap terapi
hormon lini kedua, termasuk penghentian anti-androgen, estrogen dan
kortikosteroid. Sedangkan HRPC adalah resisten terhadap semua tindakan
hormonal.

ii
Untuk menegakkan diagnosis kanker prostat refrakter hormon, harus
memenuhi kriteria di bawah ini:

Peningkatan PSA atau peningkatan lesi tulang atau jaringan lunak walaupun
sudah diberikan terapi hormonal sekunder dan Antiandrogen withdrawal minimal
4 minggu dimana kadar testosteron serum telah mencapai ambang kastrasi (<
20ng/dL).

Penatalaksanaan Kemoterapi (Cytotoxic Therapy)

1. Pada penderita yang hanya mengalami peningkatan PSA, maka 2 kali


peningkatan PSA berturut-turut di atas batas kadar nadir yang sebelumnya
harus diketahui.

2. Sebelum pengobatan, kadar PSA serum harus di atas > 5 ng/mL untuk
memastikan interpretasi efek pengobatan secara pasti.

3. Keuntungan dan efek samping pengobatan sitotoksik harus didiskusikan


dengan setiap individu penderita.

4. Pada penderita dengen metastasis HRPC, dan kandidat untuk terapi


sitotoksik, docetaxel 75 mg/m2 + Prednison 3x 10mg/hari dengan interval 3
minggu sampai 6 siklus. Terapi ini memberikan keuntungan survival yang
bermakna.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian
Anamnesa
1. Identitas klien (DILENGKAPI)
a. Nama
b. Jenis Kelamin
c. Umur
d. Agama / Kepercayaan

ii
e. Status Perkawinan
f. Pendidikan
g. Pekerjaan
h. Suku/ Bangsa
i. Alamat
j. No. Register
k. Diagnosa Medis.

2. Riwayat penyakit sekarang

3. Riwayat penyakit dahulu .

4. Riwayat penyakit keluarga .

5. Riwayat psikososial
a. Intra personal
Kebanyakan klien yang akan menjalani operasi akan muncul kecemasan.
Kecemasan ini muncul karena ketidaktahuan tentang prosedur pembedahan.
Tingkat kecemasan dapat dilihat dari perilaku klien, tanggapan klien tentang
sakitnya.

b. Inter personal
Meliputi peran klien dalam keluarga dan peran klien dalam masyarakat.

6. Pola fungsi kesehatan


a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Tentang kebiasaan merokok, penggunaan tembakau, penggunaan obat-obatan,
penggunaan alkhohol dan upaya yang biasa dilakukan dalam mempertahankan
kesehatan diri (pemeriksaan kesehatan berkala, gizi makanan yang adekuat
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Frekuensi makan, jenis makanan, makanan pantangan, jumlah minum tiap hari,
jenis minuman, kesulitan menelan atau keadaan yang mengganggu nutrisi seperti
nause, stomatitis, anoreksia dan vomiting. Pada pola ini umumnya tidak
mengalami gangguan atau masalah.

ii
c. Pola eliminasi
Tentang pola berkemih, termasuk frekuensinya, ragu ragu, menetes – netes,
jumlah klien harus bangun pada malam hari untuk berkemih, kekuatan system
perkemihan.
d. Pola tidur dan istirahat .
Lamanya tidur, adanya waktu tidur yang berkurang karena frekuensi miksi yang
sering pada malam hari ( nokturia ). Kebiasaan tidur memekai bantal atau situasi
lingkungan waktu tidur juga perlu ditanyakan. Upaya mengatasi kesulitan tidur.
e. Pola aktifitas .
Aktifitasnya sehari – hari, aktifitas penggunaan waktu senggang, kebiasaan
berolah raga. Apakah ada perubahan sebelum sakit dan selama sakit. Pada
umumnya aktifitas sebelum operasi tidak mengalami gangguan, dimana klien
masih mampu memenuhi kebutuhan sehari – hari sendiri.
f. Pola hubungan dan peran
Bagaimana hubungannya dengan anggota keluarga, pasien lain, perawat atau
dokter. Bagaimana peran klien dalam keluarga. Apakah klien dapat berperan
sebagai mana seharusnya.
g. Pola persepsi dan konsep diri
Meliputi informasi tentang perasaan atau emosi yang dialami atau dirasakan klien
sebelum pembedahan . Biasanya muncul kecemasan dalam menunggu acara
operasinya. Tanggapan klien tentang sakitnya dan dampaknya pada dirinya.
Koping klien dalam menghadapi sakitnya, apakah ada perasaan malu dan merasa
tidak berdaya.
h. Pola sensori dan kognitif
Pola sensori meliputi daya penciuman, rasa, raba, lihat dan pendengaran dari
klien. Pola kognitif berisi tentang proses berpikir, isi pikiran, daya ingat dan
waham. Pada klien biasanya tidak terdapat gangguan atau masalah pada pola ini.
i. Pola reproduksi seksual
Jumlah anak, hubungannya dengan pasangannya, pengetahuannya tantangsek
sualitas. Perlu dikaji pula keadaan seksual yang terjadi sekarang, masalah seksual
yang dialami sekarang ( masalah kepuasan, ejakulasi dan ereksi ) dan pola
perilaku seksual.
j. Pola penanggulangan stress

ii
Apakah merasakan stress, apa penyebab stress, mekanisme penanggulangan
terhadap stress yang dialami. Pemecahan masalah biasanya dilakukan klien
bersama siapa. Apakah mekanisme penanggulangan stressor positif atau negatif.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Menganut agama apa, bagaimana dengan aktifitas keagamaannya. Kebiasaan klien
dalam menjalankan ibadah.

Pemeriksaan fisik
1. Status kesehatan umum
Keadaan penyakit, kesadaran, suara bicara, status/ habitus, pernafasan, tekanan darah,
suhu tubuh, nadi.
2. Kulit
Apakah tampak pucat, bagaimana permukaannya, adakah kelainan pigmentasi,
bagaimana keadaan rambut dan kuku klien
3. Kepala
Bentuk bagaimana, simetris atau tidak, adakah penonjolan, nyeri kepala atau trauma
pada kepala.
4. Muka
Bentuk simetris atau tidak adakah odema, otot rahang bagaimana keadaannya, begitu
pula bagaimana otot mukanya.
5. Mata
Bagainama keadaan alis mata, kelopak mata odema atau tidak. Pada konjungtiva
terdapat atau tidak hiperemi dan perdarahan. Slera tampak ikterus atau tidak.
6. Telinga
Ada atau tidak keluar secret, serumen atau benda asing. Bagaimana bentuknya, apa
ada gangguan pendengaran.
7. Hidung
Bentuknya bagaimana, adakah pengeluaran secret, apa ada obstruksi atau polip,
apakah hidung berbau dan adakah pernafasan cuping hidung.
8. Mulut dan faring
Adakah caries gigi, bagaimana keadaan gusi apakah ada perdarahan atau ulkus. Lidah
tremor ,parese atau tidak. Adakah pembesaran tonsil.
9. Leher
Bentuknya bagaimana, adakah kaku kuduk, pembesaran kelenjar limphe.

ii
10. Thoraks
Betuknya bagaimana, adakah gynecomasti.
11. Paru
Bentuk bagaimana, apakah ada pencembungan atau penarikan. Pergerakan
bagaimana, suara nafasnya. Apakah ada suara nafas tambahan seperti ronchi ,
wheezing atau egofoni.
12. Jantung
Bagaimana pulsasi jantung (tampak atau tidak).Bagaimana dengan iktus atau
getarannya.
13. Abdomen
Bagaimana bentuk abdomen. Pada klien dengan keluhan retensi umumnya ada
penonjolan kandung kemih pada supra pubik. Apakah ada nyeri tekan, turgornya
bagaimana. Pada klien biasanya terdapat hernia atau hemoroid. Hepar, lien, ginjal
teraba atau tidak. Peristaklit usus menurun atau meningkat.
14. Genitalia dan anus
Pada klien biasanya terdapat hernia. Pembesaran prostat dapat teraba pada saat rectal
touché. Pada klien yang terjadi retensi urine, apakah trpasang kateter, Bagaimana
bentuk scrotum dan testisnya. Pada anus biasanya ada haemorhoid.
15. Ekstrimitas dan tulang belakang
Apakah ada pembengkakan pada sendi. Jari – jari tremor apa tidak. Apakah ada infus
pada tangan. Pada sekitar pemasangan infus ada tanda – tanda infeksi seperti merah
atau bengkak atau nyeri tekan. Bentuk tulang belakang bagaimana.

Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan eliminasi urine
2. Nyeri berhubungan dengan penyumbatan saluran kencing sekunder terhadap
pelebaran prostat
3. Gangguan tidur dan istirahat berhubungan dengan sering terbangun sekunder
terhadap kerusakan eliminasi
4. Nyeri berhubungan dengan spasme kandung kemih dan insisi sekunder pada
prostatektomi
5. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan obstruksi sekunder dari prostatektomi
bekuan darah odema .
6. Potensial infeksi berhubungan dengan prosedur invasif

ii
7. Kurang pengetahuan: tentang prostatektomi sehubungan dengan kurang informasi .
8. Gangguan tidur dan istirahat berhubungan dengan nyeri.

Intervensi

NO DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI RASIONAL

1. Perubahan Tujuan: Pola1. Jelaskan pada klien 1. Meningkatkan


eliminasi eliminasi normal . tentang perubahan pengetahuan klien
urine: Kriteria hasil : dari pola eliminasi sehingga klien
frekuensi, Pra Tindakan : . kooperatif dalam
urgensi, -Sistostomi Tube 1. Perkusi / palpasi tindakan
hesistancy, – Klien dapat area supra pubik keperawatan.
inkontinensi, berkemih dalam1. Observasi aliran 2 . Meminimalkan
retensi, jumlah normal, tidak dan kekuatan urine, retensi urine, distensi
nokturia atau teraba distensi ukur residu urine yang berlebihan pada
perasaan kandung kemih pasca berkemih. kandung kemih
tidak puas – Residu pasca Jika volume residu 3 . Peningkatan aliran
setelah miksi berkemih kurang urine lebih besar cairan,
berhubungan dari 50 ml dari 100 cc maka mempertahankan
dengan – Klien dapat jadwalkan program perfusi ginjal dan
obstruksi berkemih volunter kateterisasi membersihkan ginjal
mekanik : – Urinalisa dan intermiten. dan kandung kemih
pembesaran kultur hasilnya dari pertumbuhan
prostat. negatif bakteri.
– Hasil 4. Distensi kandung
laboratorium fungsi kemih dapat
ginjal normal dirasakan di area
supra pubik.
5. Observasi aliran
dan kekuatan urine
untuk
mengevaluasi
adanya obstruksi

ii
2. prostat. Tujuan : Klien1. Kaji nyeri, 1. Memberi informasi
Nyeri menunjukan bebas perhatikan lokasi, untuk membantu
berhubungan dari intensitas ( skala 1- dalam menentukan
dengan ketidaknyamanan 10 ), dan lamanya. pilihan Intervensi
penyumbatan Kriteria hasil : 2. Beri tindakan 2. Meningkatkan
saluran – Klien melaporkan kenyamanan, relaksasi,
kencing nyeri hilang / contoh: membantu memfokuskan
sekunder terkontrol klien melakukan kembali perhatian dan
terhadap – Ekspresi wajah posisi yang dapat meningkatkan
pelebaran klien rileks nyaman, kemampuan koping.
– Klien mampu mendorong 3. Retensi urine
untuk istirahat penggunaan menyebabkan infeksi
dengan cukup relaksasi / latihan saluran kemih, hidro
– Tanda-tanda vital nafas dalam. ureter dan hidro
dalam batas normal 3. Beri kateter jika nefrosis
diinstruksikan 4. Mengetahui
untuk retensi urine perkembangan lebih
yang akut : lanjut
mengeluh ingin 5. Untuk
kencing tapi tidak menghilangkan nyeri
bisa. hebat / berat,
4. Observasi tanda – memberikan relaksasi
tanda vital. mental dan fisik.
5. Kolaborasi dengan
dokter untuk
memberi obat
sesuai indikasi,
contoh: eperidin (
Dumerol )

3. Gangguan Tujuan: Kebutuhan1. Jelaskan pada klien1. Meningkatkan


tidur dan tidur dan istirahat dan keluarga pengetahuan klien
istirahat terpenuhi. penyebab gangguan sehingga klien mau
berhubungan Kriteria hasil: tidur / istirahat dan kooperatif terhadap

ii
dengan – Klien mampu kemungkinan cara tindakan
sering istirahat / tidur untuk keperawatan.
terbangun dengan waktu yang menghindarinya. 1. Suasana yang tenang
sekunder cukup. 2. Ciptakan suasana akan mendukung
terhadap – Klien yang mendukung istirahat klien.
kerusakan mengungkapkan dengan mengurangi1. Menentukan rencana
eliminasi: sudah bisa tidur. kebisingan. untuk mengatasi
retensi – Klien mampu3. Batasi masukan gangguan.
disuria, menjelaskan faktor minuman yang
frekuensi, penghambat tidur. mengandung
nokturia. kafein.

4. Nyeri Tujuan: Nyeri 1. Jelaskan pada1. Kien dapat


berhubungan berkurang atau klien tentang gejala mendeteksi gajala
dengan hilang. dini spasmus dini spasmus kandung
spasme Kriteria hasil : kandung kemih. kemih.
kandung – Klien 2. Pemantauan1. sehingga obat –
kemih dan mengatakan nyeri klien pada interval obatan bisa diberikan.
insisi berkurang / hilang. yang teratur selama1. klien bahwa
sekunder – Ekspresi wajah 48 jam, untuk ketidaknyamanan
pada klien tenang. mengenal gejala – hanya temporer
prostatektom – Klien akan gejala dini dari1. Mengurang
i menunjukkan spasmus kandung kemungkinan
ketrampilan kemih. spasmus.
relaksasi. 3. Jelaskan pada1. Mengurangi tekanan
– Klien akan tidur / klien bahwa pada luka insisi
istirahat dengan intensitas dan1. Menurunkan tegangan
tepat. frekuensi akan otot, memfokuskan
– Tanda – tanda berkurang dalam 24 kembali perhatian dan
vital dalam batas sampai 48 jam. dapat meningkatkan
normal. 4. Beri penyuluhan kemampuan koping.
– Keluarnya urine pada klien agar2. Sumbatan pada selang
melalui sekitar tidak berkemih ke kateter oleh bekuan
kateter sedikit. seputar kateter. darah dapat

ii
5. Anjurkan pada menyebabkan distensi
klien untuk tidak kandung kemih
duduk dalam waktu dengan peningkatan
yang lama sesudah spasme.
tindakan TUR-P. 1. Mengetahui
6. Ajarkan perkembangan lebih
penggunaan teknik lanjut
relaksasi, termasuk2. nyeri dan mencegah
latihan nafas dalam, spasmus kandung
visualisasi. kemih.
7. Jagalah selang
drainase urine tetap
aman dipaha untuk
mencegah
peningkatan
tekanan pada
kandung kemih.
Irigasi kateter jika
terlihat bekuan
pada selang.
8. Observasi tanda
– tanda vital
9. Kolaborasi
dengan dokter
untuk memberi obat
– obatan ( analgesik
atau anti spasmodik
)

5. Perubahan Tujuan: Eliminasi1. Pertahankan irigasi1. Mencegah retensi


eliminasi urine normal dan kandung kemih pada saat dini.
urine tidak terjadi retensi yang konstan1. dapat menghambat
berhubungan urine. selama 24 jam aliran urine.
dengan Kriteria hasil: pertama 1. Mencegah bekuan

ii
obstruksi – Klien akan2. Pertahankan posisi darah menyumbat
sekunder dari berkemih dalam dower kateter dan aliran urine.
prostatektom jumlah normal tanpa irigasi kateter. 1. Melancarkan aliran
i bekuan retensi. 3. Anjurkan intake urine.
darah odema – Klien akan cairan 2500-3000
. menunjukan ml sesuai toleransi.
perilaku yang4. Setalah kateter
meningkatkan diangkat, pantau
kontrol kandung waktu, jumlah urine
kemih. dan ukuran aliran.
– Tidak terdapat Perhatikan keluhan
bekuan darah rasa penuh kandung
sehingga urine kemih,
lancar lewat kateter. ketidakmampuan
berkemih, urgensi
atau gejala – gejala
retensi.

6. Potensial Tujuan: Klien tidak1. Pertahankan sistem1. Mencegah pemasukan


infeksi menunjukkan tanda kateter steril, bakteri dan infeksi .
berhubungan – tanda infeksi . berikan perawatan1. . Meningkatkan
dengan Kriteria hasil: kateter dengan output urine sehingga
prosedur – Klien tidak steril. resiko terjadi ISK
invasif : alat mengalami infeksi. 2. Anjurkan intake dikurangi dan
selama – Dapat mencapai cairan yang cukup ( mempertahankan
pembedahan, waktu 2500 – 3000 ) fungsi ginjal.
kateter, penyembuhan. sehingga dapat 3. Menghindari
irigasi – Tanda – tanda menurunkan refleks balik urine
kandung vital dalam batas potensial infeksi. yang dapat
kemih sering. normal dan tidak ada3. Pertahankan posisi memasukkan bakteri
tanda – tanda shock. urobag dibawah. ke kandung kemih.
4. Observasi tanda –1. Mencegah sebelum
tanda vital, terjadi shock.
laporkan tanda –1. Mengidentifikasi

ii
tanda shock dan adanya infeksi.
demam. 1. Untuk mencegah
5. Observasi urine: infeksi dan membantu
warna, jumlah, bau. proses penyembuhan
6. Kolaborasi dengan
dokter untuk
memberi obat
antibiotik.

7. Kurang Tujuan: Klien dapat1. Beri penjelasan1. Dapat menimbulkan


pengetahuan: menguraikan untuk mencegah perdarahan .
tentang pantangan kegiatan aktifitas berat1. Mengedan bisa
prostatektom serta kebutuhan selama 3-4 minggu menimbulkan
i sehubungan berobat lanjutan . . perdarahan, pelunak
dengan Kriteria hasil: 2. Pemasukan cairan tinja bisa mengurangi
kurang – Klien akan sekurang– kebutuhan mengedan
informasi . melakukan kurangnya 2500- pada waktu BAB .
perubahan perilaku. 3000 ml/hari. 2. Mengurangi potensial
– Klien3. . Kosongkan infeksi dan gumpalan
berpartisipasi dalam kandung kemih darah .
program apabila kandung
pengobatan. kemih sudah penuh
– Klien akan .
mengatakan
pemahaman pada
pantangan kegiatan
dan kebutuhan
berobat lanjutan .

8. Gangguan Tujuan: Kebutuhan1. Jelaskan pada klien1. meningkatkan


tidur dan tidur dan istirahat dan keluarga pengetahuan klien
istirahat terpenuhi. penyebab gangguan sehingga mau
berhubungan Kriteria hasil: tidur dan kooperatif dalam
dengan nyeri. – Klien mampu kemungkinan cara tindakan perawatan .

ii
beristirahat / tidur untuk menghindari.1. Suasana tenang akan
dalam waktu yang2. Ciptakan suasana mendukung istirahat .
cukup. yang mendukung,1. Menentukan rencana
– Klien suasana tenang mengatasi gangguan .
mengungkapan dengan mengurangi2. Mengurangi nyeri
sudah bisa tidur . kebisingan . sehingga klien bisa
– Klien mampu3. Beri kesempatan istirahat dengan
menjelaskan faktor klien untuk cukup .
penghambat tidur . mengungkapkan
penyebab gangguan
tidur.
4. Kolaborasi dengan
dokter untuk
pemberian obat
yang dapat
mengurangi nyeri (
analgesik ).

ii
GAGAL GINJAL
KRONIK

ii
BAB I
TINJAUAN TEORI
1.1 DEFINISI
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah suatugangguan pada ginjal ditandai dengan
abnormalitasstruktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung lebihdari 3 bulan (Aisara, S.,
Azmi & M, 2018). PGK ditandai dengan satu atau lebihtanda kerusakan ginjal yaitu
albuminuria, abnormalitassedimen urin, elektrolit, histologi, struktur ginjal,ataupun
adanya riwayat transplantasi ginjal, jugadisertai penurunan laju filtrasi glomerulus.
Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan salah satu penyakit yang menjadi
masalah besar di dunia. Gagal ginjal kronik merupakan suatu penyakit yang
menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga akhirnya tidak mampu
melakukan fungsinya dengan baik (Cahyaningsih, 2009). Gangguan fungsi ginjal ini
terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan
dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah.
Kerusakan ginjal ini mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang
menyebabkan aktivitas kerja terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas sehingga
kualitas hidup pasien menurun (Bruner& Suddarth,2001).
Menurut National Kidney Foundationkriteria penyakit ginjal kronik adalah:2
1. Kerusakan ginjal ≥3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional dari ginjal,
dengan atau tanpa berkurangnya laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi
berupa kelainan patologi atau kelainan laboratorik pada darah, urin, atau kelainan
pada pemeriksaan radiologi.
2. LGF <60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama >3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
1.2 ETIOLOGI
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi
penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya adalah :
1. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif dan difus yang
sering berakhir dengan gagal ginjal kronik, disebabkan oleh respon imunologik dan
hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis
besar dua mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan
terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Kerusakan glomerulus tidak
langsung disebabkan oleh kompleks imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi,

ii
sel inflamasi, mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan
glomerulus.
Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal
dan perubahan eksresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan
hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan sindrom klinik yang terdiri dari
kelainan urin asimptomatik, sindrom nefrotik dan GN kronik. Di Indonesia GN
masih menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal tahap
akhir.
2. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal,
syaraf, jantung dan pembuluh darah.Masalah yang akan dihadapi oleh penderita DM
cukup komplek sehubungan dengan terjadinya komplikasi kronis baik mikro maupun
makroangiopati. Salah satu komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang
bersifat kronik progresif.
Perhimpunan Nefrologi Indonesia pada tahun 2000 menyebutkan diabetes
mellitus sebagai penyebab nomor 2 terbanyak penyakit ginjal kronik dengan
insidensi 18,65%
3. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal disamping faktor lain
seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemi dan faktor lain. Penyakit ginjal
hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insideni hipertensi
esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik <10 %.
Selain Glomerulonephritis, diabetes mellitus dan hipertensi, terdapat penyebab
lain penyakit ginjal kronik seperti kista dan penyakit bawaan lain, penyakit sistemik
(lupus, vaskulitis), neoplasma, serta berbagai penyakit lainya.
4. Penyakit bawaan seperti penyakit ginjal polikistik, yang mana dapat menyebabkan
pembentukan kista pada ginjal dan merusak jaringan di sekitarnya.
5. Lupus dan penyakit lain yang dapat mempengaruh sistem kekebalan tubuh
6. Obstruksi yang disebabkan karena batu ginjal, tumor atau pembesaran kelenjar prostat
pada pria serta,

ii
7. Infeksi saluran kencing yang berulang

1.3 PATOFISIOLOGI
Dalam (Ii & Pustaka, n.d.) dijelaskan, patofisiologi penyakit ginjal kronik pada
awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan
selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Ginjal mempunyai kemampuan untuk
beradaptasi, pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional
nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang di
perantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini
mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti peningkatan tekanan kapiler dan
aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, kemudian terjadi proses
maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti
dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak
aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut
memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas
tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian
diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF-β) Beberapa
hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik
adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat variabilitas
interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulo
intersitial.
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, gejala klinis yang serius belum
muncul, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana basal
LGF masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan
terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar
urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan
keluhan, tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG
sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada penderita antara lain penderita merasakan letih
dan tidak bertenaga, susah berkonsentrasi, nafsu makan menurun dan penurunan berat
badan, susah tidur, kram otot pada malam hari, bengkak pada kaki dan pergelangan kaki
pada malam hari, kulit gatal dan kering, sering kencing terutama pada malam hari. Pada
LFG di bawah 30% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti,
anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Selain itu pasien juga mudah terkena infeksi seperti

ii
infeksi saluran kemih, infeksi saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Sampai pada
LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal.

1.4 MANIFESTASI KLINIS


Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius,
batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus eritomatous sistemik (LES),
dan lain sebagainya
b. sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia,
kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost,
perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah
jantung asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium,
khlorida).

1.5 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai penyakit yang mendasarinya
b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault.
Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi
ginjal
c. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadarhemoglobin, peningkatan
kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
d. Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuri, leukosituria, cast, isostenuria.
2. Pemeriksan Radiologi
Pemeriksaan radiologis Penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak

ii
b. Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, dan dikhawatirkan toksik terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
c. Pieografi antegrad atau retrograd sesuai indikasi
d. Ultrasonografi ginjal
e. Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi bila ada indikasi
3. Biopsi atu Pemeriksaan Histopatologi Ginjal
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan
ukuran ginjal yang masih mendekati normal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui etiologi, menerapkan terapi, prognosis dan mengevaluasi hasil terapi yang
diberikan. Pada keadaan ukuran ginjal yang mengecil (contracted kidney), ginjal
polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan
darah, gagal napas, dan obesitas tidak boleh dilakukan pemeriksaan biopsi.

1.6 KOMPLIKASI
1. Hipertensi
2. Hiperfosfatemia
3. Hipokalsemia
4. Anemia
5. Hiperparatiroid
6. Hiperhomosisteinemia
7. Malnutrisi
8. Asidosis metabolik
9. Dislipidemia
10. Gagal jantung
11. uremia

ii
BAB II

TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi dan dokumentasi data
(informasi) yang sistematis dan berkesinambungan yang dilakukan pada semua fase
proses keperawatan bergantung pada pengumpulan data yang lengkap dan akurat.
(Barbara Kozier,dkk, 2010)
Pengkajian pada pasien gagal ginjal kronis sebenarnya hampir sama dengan
pasien gagal ginjal akut, namun disini pengkajian lebih menekankan support system
untuk mempertahankan kondisi keseimbangan dalam tubuh. Dengan tidak optimalnya
gagalnya fungsi ginjal maka tubuh akan melakukan upaya kompensasi selagi dalam batas
ambang kewajaran. Tetapi jika kondisi ini berlanjut kronis, maka akan menimbulkan
berbagai manifestasi klinis yang menandakan gangguan sistem tersebut (Prabowo, 2014).
Berikut ini adalah pengkajian keperawatan pada pasien gagal ginjal kronis:
a. Identitas
Identitas meliputi inisial pasien, umur pasien, jenis kelamin pasien, agama,
pekerjaan, pendidikan, status perkawinan, tanggal dan waktu MRS. Tidak ada
spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun Laki laki sering memiliki
resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup sehat. Gagal ginjal kronis
merupakan periode lanjut dari insidensi gagal ginjal akut sehingga tidak berdiri
sendiri.
b. Keluhan Utama
Pada pasien gagal ginjal kronis mengalami keluhan utama biasanya didapat
bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai
penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksia), mual, muntah, mulut terasa
kering, rasa lelah, napas berbau(ureum), dan gatal pada kulit. (Muttaqin, 2011)
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada pasien gagal ginjal kronis biasanya terjadi penurunan urine output,
edema (edema ekstremitas, periorbital, pitting edema), penurunan kesadaran,
perubahan pola nafas karena komplikasi dari gangguan ventilasi, fatigue, perubahan
fisiologis kulit, bau urea pada nafas. Selain itu karena berdampak pada proses
metabolisme, maka akan terjadi anoreksia, aneusea dan vomit sehingga beresiko
terjadinya gangguan nutrisi. (Prabowo, 2014)

ii
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat adanya penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah
jantung, penggunaan obat obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasyan , dan
prostatektomi. Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem
perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus, dan penyakit hipertensi, pada
masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab.Penting untuk dikaji mengenai
riwayat pemakaian obat obatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis
obat kemudian dokumentasikan. (Muttaqin, 2011)
e. Riwayat Kesehatan Keluarga
Gagal ginjal kronik bukan penyakit menular dan menurun tetapi penyakit
keturunan pencetus sekunder DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian
penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut bersifat herediter.Kaji pola
kesehatan keluarga yang diterapkan jika ada anggota keluarga yang sakit, misalnya
minum jamu saat sakit (Prabowo, 2014).
f. Riwayat Psikososial
Pada pasien gagal ginjal kronik mengalami perubahan psikososial, fungsi
struktur tubuh dan adanya tindakan dialisis akan menyebabkan penderita mengalami
gangguan pada gambaran diri. Lamanya perawatan, banyaknya biayaperawatan dan
pengobatan, menyebabkan pasien mengalami kecemasan, gangguan konsep diri
(gambaran dri) dan gangguan peran pada keluarga (self esteem). (Muttaqin, 2011)
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan (Aspiani, 2015):
1) Pola persepsi dan tatalaksana kesehatan
Pada pasien gagal ginjal kronik terjadi perubahan persepsi dan tatalaksana
hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gagal ginjal kronik
sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan kecenderungan
untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang lama, oleh
karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti pasien.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Pada pasien gagal ginjal kronis akan terjadi adanya peningkatan berat
badan (edema), anoreksia, mual dan muntah, dan rasa pahit pada rongga mulut,
intake minum yang kurang dan mudah lelah. Keadaan tersebut dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan metabolisme yang dapat
mempengaruhi status kesehatan pasien.
3) Pola tidur dan aktivitas

ii
Pada pasien gagal ginjal kronis mengalami kecemasan dan gelisah yang
akan mempengaruhi pola tidur terganggu dan aktivitas pasien juga terganggu.
4) Pola aktifitas dan latihan
Pada pasien gagal ginjal kronis akan mudah mengalami kelelahan
ekstremitas, penurunan retang gerak dan malaise yang menyebabkan pasien tidak
mampu melaksanakan aktivitas sehari hari secara maksimal.
5) Pola eleminasi
Pasien gagal ginjal kronis pada pola eliminasi mengalami penurunan
frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut).Pada urine pasien gagal
ginjal kronis terjadi perubahan warna urine (seperti pekat, merah, coklat,
berawan).
6) Pola sensori dan pengetahuan
Perubahan kondisi kesehatan dan gaya hidup akan mempengaruhi
pengetahuan. Pasien dengan gagal ginjal kronik cenderung
mengalamineuropati/mati rasa pada luka sehingga tidak trauma terhadap adanya
trauma.Pasien mampu melihat dan mendengar dengan baik/tidak, pasien
mengalami disorientasi/tidak.
7) Pola hubungan interpersonal dan peran
Pada pasien gagal ginjal kronis mengalami adanya gangguan kondisi
kesehatan kesulitan menentukan kondisi ( tidak mampu bekerja, memeprtahankan
fungsi peran). Serta mengalami tambahan dalam menjalankan perannya selama
sakit.
8) Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh yang menyebabkan penderita
gagal ginjal kronis mengalami gangguan pada gambaran diri.Lamanya perawatan,
banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem).
9) Pola reproduksi dan seksual
Adanya pola reproduksi dan seksual yang terganggu pada pasien gagal
ginjal kronis, angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ
reproduksi sehingga menyebabkan gangguan potensi seksual (impotensi),
gangguan kualitas maupun ereksi, serta memberi dampak pada proses ejakulasi
serta orgasme.
10) Pola penanggulangan stress

ii
Pada pasien gagal ginjal kronis mengalami gangguan penanggulangan
stress yaitu seperti lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik,
perasaan tidak berdaya, tidak ada harapan dan kekuatan, karena ketergantungan
menyebabkan reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan dan
sebagainya dapat menyebabkan pasien tidak mampu menggunakan mekanisme
koping yang konstruktif/adaptif.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Pada pasien gagal ginjal kronis mengalami perubahan status kesehatan
dan penurunan fungsi tubuh serta dapat menghambat pasien dalam melaksanakan
ibadah maupun mempengaruhi pola ibadah pasien.
h. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Pada pasien gagal ginjal kronis keadaan umum pasien biasanya
mengalami lemah, tingkat kesadaran bergantung pada toksisitas, dan terdapat
bengkak di daerah seperti tangan, kaki, dan wajah.
2) Tanda-Tanda Vital
Pada pasien gagal ginjal kronis pada pemeriksaan tanda-tanda vital
didapatkan adanya perubahan RR meningkat (nafas cepat dan dalam (kussmaul),
tekanan darah mengalami perubahan dari hipertensi ringan sampai berat sesuai
dengan kondisi fluktuatif. (Prabowo, 2014)
3) Pemeriksaan Head To Toe
a) Kepala: Melakukan pemeriksaan kepala yaitu posisi kepala yang sejajar pada
tubuh, adakah lesi, kulit kepala bersih atau tidak, terdapat bengkak atau tidak dan
bentuk kepala proposional dengan tubuh atau tidak.
b) Rambut: Melakukan pemeriksaan rambut yaitu lihat adakah kutu atau tidak,
warna rambut, dan rambut rontok atau tidak.
c) Wajah: Melakukan pemeriksaan pada wajah yaitu adakah nyeri tekan, adanya
lesi atau tidak, gerakan wajah simetris atau tidak, dan lihat adannya edema
biasanya pada pasien gagal ginjal kronis terdapat edema pada daerah wajah.
d) Mata: Melakukan pemeriksaan pada mata yaitu melihat mata simetris atau
tidak, konjungtiva anemis atau tidak, sklera icterus atau tidak, cornea
transparasan atau tidak, mengalami pembengkakan atau tidak, dan lihat refle
cahaya pada mata.

ii
e) Hidung: Melakukan pemeriksaan pada hidung lihat lubang hidung simetris
atau tidak, adakah penderahan pada hidung atau tidak, adakah sekret,lesi dan
nyeri tekan pada hidung.
f) Telinga: Melakukan pemeriksaan pada telinga yaitu adanya nyeri tekan atau
tidak, adakah lesi, peradangan, kemerahan pada telinga.
g) Mulut dan Faring: Pada pasien gagal ginjal kronis melakukan pemeriksaan
mulut dan faring yaitudengan adanya bau mulut (amonia), stomatitis, mukosa
bibir kering, keadaan gigi dan gusi, dan sianosis.
h) Leher: Melakukan pemeriksaan adanya kaku kuduk, teraba benjolan pada
leher atau tidak, adanya lesi, terdapat edema, JVP terdapat peningkatan atau
tidak.
i) Integumen: Melakukan pemeriksaan pada integumen pasien dengan gagal
ginjal kronis biasanya mengalami gsngguan integumen yaitu kulit pucat,
kekuning kuningan, kecoklatan, kering dan ada sclap, penurunan turgor kulit.
Selain itu biasanya juga menunjukan purpura, ekimosis, dan timbunan urea dalam
kulit.
j) Pemeriksaan paru: Melakukan pemeriksaan paru yaitu dengan cara inspeksi,
palpasi, perkusi, auskultasi. Pada pasien gagal ginjal kronis melakukan
pemeriksaan apakah ada nyeri dada, sesak napas, dan periksa terjadi edema
pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura,sputum yang kental, uremic
pleuritis dan uremic lung, dan sesak nafas.
k) Pemeriksaan Jantung: Melakukan pemeriksaan jantung yaitu dengan cara
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pada pasien gagal ginjal kronis
dilakukan pemeriksaan jantung biasanya mengalami hipertensi, aritmia,
kardiomyopati, uremic percarditis, effusi perikardinal, gagal jantung, edema
periorbital, dan edema perifer.
l) Pemeriksaan Abdomen: Melakukan pemeriksaan abdomen yaitu dengan cara
inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi. Pada pasien gagal ginjal kronis periksa
adanya mual muntah, anoreksia pada pasien.
m) Pemeriksaan Muskuloskeletal: Melakukan pemeriksaan muskuloskeletal yaitu
dengan adanya pitting edema, nyeri pada sendi dan tulang, dimineralisasi tulang,
dan klasifikasi otak (otak, mata, sendi, gusi, miokard).
n) Pemeriksaan Neurologi: Pada pasien dengan gagal ginjal kronis dilakukan
pemeriksaan neurologi ditunjukan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri, gatal

ii
pada lengan kaki. Selain itu juga adanya kram otot dan refleks kedutan, daya
memori turun, rasa kantuk berat, pusing, koma, dan kejang.
i. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada gagal ginjal kronik menurut Doenges(2000) adalah :
1) Urine
a) Volume, biasnya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada
(anuria).
b) Warna, secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri,
lemak, pertikel koloid, fosfat atau urat.
c) Berat jenis urine, kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan
kerusakan ginjal berat)
d) Klirens kreatinin, mungkin menurun
e) Natrium, lebih besar dari 40 meq/L karena ginjal tidak mampu mereabsobsi
natrium.
f)Protein, derajat tinggi proteinuria (3-4 +) secara kuat menunjukkan kerusakan
glomerulus.
2) Darah
a) Hitung darah lengkap, Hb menurun pada adaya anemia, Hb biasanya kurang
dari 7-8 gr
b) Sel darah merah, menurun pada defesien eritropoetin seperti azotemia.
c) GDA, pH menurun, asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena
kehilangan kemampuan ginjal untukmengeksresi hydrogen dan amonia atau
hasil akhir katabolisme prtein, bikarbonat menurun, PaCO2 menurun.
d) Kalium, peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan)
e) Magnesium fosfat meningkat
f) Kalsium menurun
g) Protein (khusus albumin), kadar serum menurun dapat menunjukkan
kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan
atau sintesa karena kurang asam amino esensial.
h) Osmolaritas serum: lebih beasr dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urin.
3) Pemeriksaan radiologik

ii
a) Foto ginjal, ureter dan kandung kemih (kidney, ureter dan bladder/KUB):
menunjukkan ukuran ginjal, ureter, kandung kemih, dan adanya obstruksi
(batu).
b) Pielogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi
ekstravaskuler, masa
c) Sistouretrogram berkemih; menunjukkan ukuran kandung kemih, refluks
kedalam ureter dan retensi.
d) Ultrasonografi ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista,
obstruksi pada saluran perkemuhan bagian atas.
e) Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopik, untuk menentukan
seljaringan untuk diagnosis hostologis.
f)Endoskopi ginjal dan nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelis ginjal
(keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif).
g) Elektrokardiografi (EKG): mungkin abnormal menunjukkan
ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa.
h) Fotokaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan, dapat menunjukkan
demineralisasi, kalsifikasi.
i) Pielogram intravena (IVP), menunjukkan keberadaan dan posisi ginjal,
ukuran dan bentuk ginjal.
j) CT scan untuk mendeteksi massa retroperitoneal (seperti penyebararn tumor).
k) Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk mendeteksi struktur ginjal,
luasnya lesi invasif ginjal

2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik menurut Doeges
(2000), dan Smeltzer dan Bare (2002) adalah:
a) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat,
mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane mukosa mulut.
c) Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal kronik
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan kurangnya
informasi.

ii
2.3 Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan pada penyakit gagal ginjal kronik Doenges 2000), dan Smeltzer dan
Bare (2002) adalah:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran urine, diet
berlebihan dan retensi cairan dan natrium.
Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan. Kriteria hasil:
a. Menunjukkan perubahan-perubahan berat badan yang lambat.
b. Mempertahankan pembatasan diet dan cairan.
c. Menunjukkan turgor kulit normal tanpa edema.
d. Menunjukkan tanda-tanda vital normal.
e. Menunjukkan tidak adanya distensi vena leher.
f. Melaporkan adanya kemudahan dalam bernafas atau tidak terjadi nafas pendek.
g. Melakukan hygiene oral dengan sering.
h. Melaporkan penurunan rasa haus.
i. Melaporkan berkurangnya kekeringan pada membrane mukosa mulut.
Intervensi:
a) kaji status cairan
1) Timbang berat badan harian
2) Keseimbangan masukan dan haluaran
3) Turgor kulit dan adanya edema
4) Distensi vena leher
5) Tekanan darah, denyut dan irama nadi.
Rasional: Pengkajian merupakan dasar berkelanjutan untuk memantau
perubahan dan mengevaluasi intervensi.
b) Batasi masukan cairan
Rasional: Pembatasan cairan akan menentukan berat tubuh ideal, haluaran urine
dan respons terhadap terapi.
c) Identifikasi sumber potensial cairan
1) Medikasi dan cairan yang digunakan untuk pengobatan, oral dan intravena
2) Makanan
Rasional: Sumber kelebihan cairan yang tidak diketahui dapat diidentifikasi
d) Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan.
Rasional: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluargadalam
pembatasan cairan.

ii
e) Bantu pasien dalam menghadapi ketidaknyamanan akibat pembatasan cairan.
Rasional: Kenyamanan pasien meningkatkan kepatuhan terhadap pembatasan diet.
f) Tingkatkan dan dorong hygiene oral dengan sering.
Rasional: Hygiene oral mengurangi kekeringan membran mukosa mulut.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat,
mual, muntah, anoreksia, pembatasan diet dan penurunan membrane mukosa mulut.
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat Kriteria hasil:
a. Mengkonsumsi protein yang mengandung nilai biologis tinggi
b. Memilih makanan yang menimbulkan nafsu makan dalam pembatasan diet
c. Mematuhi medikasi sesuai jadwal untuk mengatasi anoreksia dan tidak
menimbulkan rasa kenyang
d. Menjelaskan dengan kata-kata sendiri rasional pembatsan diet dan hubungannya
dengan kadar kreatinin dan urea
e. Mengkonsulkan daftar makanan yang dapat diterima
f. Melaporkan peningkatan nafsu makan
g. Menunjukkan tidak adanya perlambatan atau penurunan berat badan yang cepat
h. Menunjukkan turgor kulit yang normal tanpa edema, kadar albumin plasma dapat
diterima
Intervensi:
a. Kaji status nutrisi
1) perubahan berat badan
2) pengukuran antropometrik
3) nilai laboratorium (elektrolit serum, BUN, kreatinin, protein, transferin
dan kadar besi).
Rasional: Menyediakan data dasar untuk memantau perubahan dan
mengevaluasi intervensi.
b. Kaji pola diet dan nutrisi pasien
1) riwayat diet
2) makanan kesukaan
3) hitung kalori.
Rasional: Pola diet sekarang dan dahulu dapat dipertimbangkan dalam
menyusun menu.
c. Kaji faktor-faktor yang dapat merubah masukan nutrisi:
1) Anoreksia, mual dan muntah

ii
2) Diet yang tidak menyenangkan bagi pasien
3) Depresi
4) Kurang memahami diet
Rasional: Menyediakan informasi mengenai faktor lain yang dapat diubah
atau dihilangkan untuk meningkatkan masukan diet.
d. Menyediakan makanan kesukaan pasien dalam batas-batas diet.
Rasional: Mendorong peningkatan masukan diet.
e. Tingkatkan masukan protein yang mengandung nilai biologis tinggi: telur,
produk susu, daging.
Rasional: Protein lengkap diberikan untuk mencapai keseimbangan nitrogen
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan.
f. Anjurkan camilan tinggi kalori, rendah protein, rendah natrium, diantara waktu
makan.
Rasional: Mengurangi makanan dan protein yang dibatasi dan menyediakan
kalori untuk energi, membagi protein untuk pertumbuhan dan penyembuhan
jaringan.
g. Ubah jadwal medikasi sehingga medikasi ini tidak segera diberikan sebelum
makan.
Rasional: Ingesti medikasi sebelum makan menyebabkan anoreksia dan rasa
kenyang.
h. Jelaskan rasional pembatasan diet dan hubungannya dengan penyakit ginjal
dan peningkatan urea dan kadar kreatinin.
Rasional: Meningkatkan pemahaman pasien tentang hubungan antara diet,
urea, kadar kreatinin dengan penyakit renal.
i. Sediakan jadwal makanan yang dianjurkan secara tertulis dan anjurkan untuk
memperbaiki rasa tanpa menggunakan natrium atau kalium.
Rasional: Daftar yang dibuat menyediakan pendekatan positif
terhadappembatasan diet dan merupakan referensi untuk pasien dan keluarga
yang dapat digunakan dirumah.
j. Ciptakan lingkungan yang menyenangkan selama waktu makan.
Rasional: Faktor yang tidak menyenangkan yang berperan dalammenimbulkan
anoreksia
k. Timbang berat badan harian.
Rasional: Untuk memantau status cairan dan nutrisi.

ii
l. Kaji bukti adanya masukan protein yang tidak adekuat :
1) Pembentukan edema
2) Penyembuhan yang lambat
3) Penurunan kadar albumin
Rasional: Masukan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan
penurunan albumin dan protein lain, pembentukan edema dan perlambatan
penyembuhan.
3. Kurang pengetahuan tentang pencegahan dan perawatan penyakit gagal ginjal kronik
berhubungan dengan keterbatasan kognitif, salah interpretasi informasi dan kurangnya
informasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien menyatakan pemahaman
tentang kondisi atau proses penyakit dan pengobatan.
Kriteria Hasil:
a. Menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu.
b. Berpartisipasi dalam program pengobatan.
c. Menunjukkan ekspresi rileks dan tidak cemas.
Intervensi :
1) Diskusikan tentang manifestasi klinik yang mungkin muncul pada klien dan cara
perawatannya.
Rasional: Mengurangi kecemasan klien dan membeikan pemahaman dalam
perawatannya
2) Kaji ulang tentang tindakan untuk mencegah perdarahan dan informasikan pada klien
misalnya penggunaan sikat gigi yang halus, memakai alas kaki atau sandal jika berjalan-
jalan, menghindari konstipasi, olah raga atau aktivitas yang berlebihan.
Rasional: Menurunkan resiko cedera sehubungan dengan perubahan faktor pembekuan
atau penurunan jumlah trombosit.
3) Kaji ulang pembatasan diet, termasuk fosfat (contoh: produk susu, unggas, jagung,
kacang) dan magnesium (contoh : produk gandum, polong-polongan).
Rasional: Pembatasan fosfat merangsang kelenjar paratiroid untuk pergeseran kalsium
dari tulang (osteodistrofi ginjal) dan akumulasi magnesium dapat mengganggu fungsi
neurologis dan mental.
4) Diskusikan tentang terapi pengobatan yang diberikan.
Rasional: Memberikan pemahaman tentang fungsi obat dan memotivasi klien untuk
menggunakannya

ii
5) Identifikasi keadaan yang memerlukan evaluasi medik segera.
Rasional: Memberi penanganan segera tentang kondisi-kondisi yang memerlukan
penanganan medik.

ii
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn.A berusia 60 tahun bekerja sebagai pensiunan PNS dan sudah menikah. Tn.A dibawa
ke Rumah Sakit Sejahtera pada tanggal 10 Agustus 2017 dengan keluhan BAK tidak lancar
dan terasa nyeri. Mulai 1 minggu pasien mengatakan BAK anyang-anyangan seperti ada yang
tersisa, tidak puas, terasa nyeri/panas, pancaran tidak jauh dan pasien merasa ada benjolan di
perut bagian bawahnya. Urin pasien berwarna kemarahan disertai darah. Pasien ada riwayat
kencing tidak lancar 3 tahun yang lalu. Keluarga pasien tidak ada yang menderita penyakit
seperti yang diderita oleh pasien sekarang ini. Pasien juga mengeluh kesulitan dalam BAB
dan konsistensi yang keras. Pasien mengatakan tubuhnya lemah, selera makan berkurang,
mual dan muntah. Pasien mengalami penurunan berat badan yang semula 70 kg menjadi 60
kg. Dilakukan pemeriksaan fisik suhu 37ºC, nadi 80x/menit, TD 120/80 mmHg, RR
20x/menit, BB 60 kg, TB 167 cm.

A. Pengkajian

1. Identitas Klien
Nama : Tn.A
Umur : 60 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Agama : Islam
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Jl. Gotong Royong, Surabaya.
Ruang dirawat : Anggrek (Bedah) Rumah Sakit Sejahtera.
Tanggal Masuk RS : 10 Agustus 2017
Tanggal Pengkajian : 11 Agustus 2017
No. Register : 94 02 36
Diagnosa Medis : Kanker Prostat
Sumber Informasi : Klien, keluarga, status klien, dan tim kesehatan lain

2. Identitas Penanggung Jawab

ii
Nama : Ny.C
Umur : 57 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Jl. Gotong Royong, Surabaya
Hub dengan Klien : Istri klien

3. Keluhan utama
Klien mengeluh BAK tidak lancar dan terasa nyeri, disertai darah merah sejak 1 minggu
yang lalu. Mulai 1 minggu yang lalu kencing hanya bisa menetes, tidak dapat tuntas,
terasa ada sisa, pancaran tidak jauh, terasa nyer/panas, serta disertai darah merah.

4. Riwayat Kesehatan Sebelumnya


Klien ada riwayat kencing tidak lancar 3 tahun yang lalu.

5. Riwayat Kesehatan Sekarang


BAK tidak lancar, terasa nyeri dan panas, terasa ada sisa, sifatnya terus menerus sejak 1
minggu yang lalu. Klien juga merasa kesulitan dalam BAB, konsistensi keras dan lama
baru keluar.

6. Riwayat Kesehatan Keluarga


Dalam keluarganya tidak ada yang menderita penyakit seperti yang diderita oleh klien
sekarang ini.

7. Observasi dan Pemeriksaan Fisik


a. Keadaan Umum
Klien pucat (-), melakukan aktivitas seperlunya. Sering terbangun tengah malam.
b. Tanda-tanda vital
Suhu 37ºC, nadi kuat dan teratur 80x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg,
pernafasan normal 20x/menit.
c. Sistem tubuh (body systems)
1) Pernafasan (b1: breathing)

ii
Hidung : tidak ada kelainan.
Trachea : letaknya normal.
Bentuk dada : kanan dan kiri simetris.
2) Cardiovascular (b2: blood)
Nyeri dada : tidak ada.
Suara jantung : normal.
Edema : tidak ada.
3) Persyarafan (b3: brain)
Kesadaran : compos mentis (sadar sepenuhnya)
Glasgow Coma Scale (GCS) : E= 4 V=5 M= 6. Total nilai: 15
Eye (E): memuka mata secara spontan (4)
Verbal (V): orientasi baik (5)
Motor (M): mematuhi perintah (6)
Kepala dan wajah : tidak ada kelainan.
Mata : (Sklera: tak icterus, Conjunctiva: tak anemis,
Pupil: isokor.).
Leher : tekanan vena jugularis normal.
Persepsi sensori : (Pendengaran: tidak ada kelainan, Penciuman:
tidak ada kelainan, Pengecapan: tidak ada kelainan, Penglihatan: ada kelainan,
mata kanan mengalami penurunan lapangan pandang dan menggunakan kaca
mata, Perabaan: tidak ada kelainan).
4) Perkemihan - eliminasi urin (b4: bladder)
Produksi urine : dalam 24 jam 600 – 700 ml, keluar sedikit-
sedikit, menetes, sering dan terasa nyeri. Kadang ada retensi urine.
Warna : merah.
Bau : agak amis.
Lainnya : teraba massa pada rectal toucher.
5) Pencernaan – eliminasi alvi (b5: bowel)
Rectum : tidak ada kelainan.
BAB : 1x/hari, kadang-kadang 2 – 3 hari baru BAB.
Konsistensi : keras. Ada konstipasi.
Berat Badan (BB) : 60 kg, TB 159.
Klien tidak memiliki kebiasaan minum kopi sejak muda, makan hanya habis ½
porsi.

ii
6) Tulang – otot – integumen (b6: bone)
Kemampuan pergerakan sendi : bebas.
Tidak ada parese, paralise maupun hemiparese.
Extremitas : (atas: tidak ada kelainan, bawah: tidak ada
kelainan, tulang Belakang: tidak ada kelainan).
Kulit : (warna kulit: tidak anemis, akral: hangat,
turgor: baik.)

8. Psikososial
a. Konsep diri
1) Identitas
Status klien dalam keluarga: suami.
Kepuasan klien terhadap status dan posisinya dalam keluarga: puas.
2) Peran
Tanggapan klien terhadap perannya: senang.
Kemampuan/kesanggupan klien melaksanakan perannya: sanggup.
Kepuasan klien melaksanakan perannya: puas.
3) Ideal diri/Harapan
Tugas/pekerjaan: dapat pulang dengan cepat agar dapat ketemu pada
anak/cucunya.
Tempat/lingkungan kerja: dapat kembali dilingkungan keluarga seperti semula.
Harapan klien terhadap penyakit yang sedang dideritanya: Klien berharap agar
segera cepat sembuh.
Lainnya: klien menganggap apabila tumornya diangkat dengan operasi maka ia
akan sembuh total.
4) Harga diri
Tanggapan klien terhadap harga dirinya: sedang.
5) Sosial/Interaksi
Hubungan dengan klien lain: baik.
Dukungan keluarga: aktif.
Dukungan kelompok/teman/masyarakat: sangat mendukung.

b. Spiritual
Konsep tentang penguasa kehidupan: Allah.

ii
Ritual agama yang bermakna/berarti/diharapkan saat ini: sholat.
Sarana/peralatan/orang yang diperlukan untuk melaksanakan ritual agama yang
diharapkan saat ini: lewat ibadah.
Upaya kesehatan yang bertentangan dengan keyakinan agama: tidak ada.
Keyakinan/kepercayaan bahwa penyakit dapat disembuhkan: klien mempercayainya.
Persepsi terhadap penyebab penyakit: sebagai cobaan/peringatan.

B. Analisa Data
NO Data Etiologi Masalah Keperawatan
1. DS: Agens cedera
 Klien mengatakan nyeri/panas, biologis
seperti ada yang tersisa, tidak
puas, pancaran tidak jauh saat
BAK dan pasien merasa ada Nyeri akut
benjolan di perut bagian
bawahnya.
DO:
 Klien pucat
 Melakukan aktivitas seperlunya
2. DS: Kurang minat pada
 Klien mengatakan tubuhnya makanan
lemah dan selera makan
berkurang.
DO:
 Berat badan turun semula 78 kg Ketidakseimbangan
menjadi 60 kg. nutrisi: kurang dari
 Porsi makan hanya habis ½ kebutuhan tubuh
porsi.

C. Diagnosa Keperawatan

ii
1. Nyeri akut b.d agens cedera biologis [Domain 12. Kenyamanan; Kelas 1.
Kenyamanan Fisik; Kode 00132].
2. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan diet kurang
[Domain 2. Nutrisi; Kelas 1. Makan; Kode 00002].

D. Intervensi
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Nyeri akut b.d agens cedera Setelah dilakukan intervensi Manajemen Nyeri:
biologis. [Domain 12. keperawatan selama 1 x 24 1. Lakukan pengkajian
Kenyamanan; Kelas 1. jam diharapkan klien tidak nyeri komperhensif yang
Kenyamanan Fisik; Kode mengeluhkan nyeri, dengan meliputi, lokasi,
00132]. kriteria hasil: karakteristik, onset atau
Kontrol Nyeri: durasi, frekuensi,
1. Mengenali kapan nyeri kualitas, intensitas atau
terjadi secara konsisten. beratnya nyeri dan faktor
2. Menggambarkan faktor pencetus.
penyebab nyeri secara 2. Gali bersama klien faktor
konsisten. yang dapat menurunkan
3. Menggunakan tindakan atau memperberat nyeri
pencegahan nyeri secara 3. Tentukan akibat dari
konsisten. pengalaman nyeri
Tingkat Nyeri: terhadap kualitas hidup
1. Tidak ada nyeri yang pasien.
dilaporkan. 4. Kendalikan faktor
2. Tidak ada ekspresi nyeri lingkungan yang dapat
wajah. mempengaruhi respon
3. Tidak kehilangan nafsu pasien terhadap
makan. ketidaknyamanan.
4. Tidak ada mual. (Misalnya, suhu,
pencahayaan, dan suara
bising).
5. Ajarkan prinsip –
prinsip manajemen

ii
nyeri.
Ketidakseimbangan nutrisi: Setelah dilakukan intervensi Manajemen Gangguan
kurang dari kebutuhan tubuh selama 1 x 24 jam Makan:
b.d asupan diet kurang diharapkan kebutuhan 1. Tentukan pencapaian
[Domain 2. Nutrisi; Kelas 1. nutrisi klien terpenuhi berat badan harian
Makan; Kode 00002]. kembali, dengan kriteria sesuai keinginan.
hasil: 2. Monitor asupan kalori
Status Nutrisi: makanan harian.
1. Asupan gizi tidak 3. Monitor perilaku klien
menyimpang dari yang berhubungan
rentang normal dengan pola makan,
2. Asupan makanan tidak penambahan, dan
menyimpang dari kehilangan berat badan.
rentang normal. Manajemen Nutrisi:
3. Asupan cairan tidak 1. Tentukan status gizi
menyimpang dari pasien dan kemampuan
rentang normal. pasien untuk memenuhi
4. Rasio berat badan tidak kebutuhan gizi.
menyimpang dari 2. Identifikasi adanya
rentang normal. alergi atau intoleransi
Status Nutrisi: Asupan makanan yang dimiliki
Makanan dan Cairan: pasien.
1. Asupan makanan secara 3. Tentukan apa yang
oral sepenuhnya menjadi preferensi
adekuat. makanan bagi pasien.
2. Asupan cairan secara 4. Tentukan jumlah kalori
oral sepenuhnya dan jenis nutrisi yang
adekuat. dibutuhkan untuk
memenuhi persyaratan
gizi.

Bantuan Peningkatan
Berat Badan:

ii
3.1.Jika diperlukan lakukan
pemeriksaan diagnostik
untuk mengetahui
penyebab penerunan
berat badan.
3.2.Monitor mual muntah.
3.3.Monitor asupan kalori
setiap hari.
3.4.Dukung peningkatan
asupan kalori.

E. Evaluasi
1. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam nyeri dapat teratasi.
2. Setelah dilakukan intervensi selama 1 x 24 jam kebutuhan nutrisi klien dapat
terpenuhi.

ii
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistem perkemihan terdiri dari ginjal, ureter, vesica urinaria, dan urethra yang
menyelenggarakan serangkaian proses untuk tujuan mempertahankan keseimbangan
cairan dan elektrolit, mempertahankan keseimbangan asam basa tubuh, mengeluarkan
sisa-sisa metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, dan urine. Apabila terjadi
gangguan pada sistem perkemihan maka dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang
sangat serius dan kompleks. Gangguan yang terjadi pada sistem perkemihan dapat
bermacam-macam, seperti batu saluran kemih, ca prostat, dan gagal ginjal kronik.

4.2 Saran

Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi perawat,
sehingga dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan sistem
perkemihan, dapat dilakukan dengan baik, secara maksimal sesuai dengan hal yang
dibutuhkan pasien.

ii
DAFTAR PUSTAKA

INDRAWATI B, N. (2013). Universitas Indonesia Asuhan Keperawatan Pada Tn . I Dengan


Batu Saluran Kemih Di Lantai 5 Bedah.
Lina, N. (2008). Faktor-faktor risiko kejadian batu saluran kemih pada laki-laki.
Prabowo dan Pranata, 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Sistem Perkemihan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Nahdi TF. Jurnal Medula, Volume. 1 Nomor. 4 / Oktober 2013
Purnomo, B.B. 2010.Pedoman diagnosis & terapi smf urologi LAB ilmu bedah.Malang:
Universitas Kedokteran Brawijaya.
Judith.M.Wilkison dan Nancy.R.2013.Buku Saku Diagnosis Keperawatan Ed 9.Jakarta: EGC
Sandy Wahap, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober 2012
Karsinoma_prostas. (n.d.). Retrieved from
https://www.academia.edu/25840057/Karsinoma_prostas

Kolesar, J. M. (n.d.). 89 KANKER PROSTAT.

Komite penanggulangan kanker nasional. (2015). Kanker Prostat. Panduan Penatalaksanaan


Kanker Prostat, 47.

Umbas, R., Hardjowijoto, S., Mochtar, C. A., Safriadi, F., Djatisoesanto, W., Soedarso, M.
A., … Sihombing. (2011). Panduan Penatalaksanaan kanker prostat 2011. Ikatan Ahli
Urologi Indonesia. https://doi.org/10.1016/j.lwt.2013.10.030

Татаркин, А. И. (2012). No TitleФормирование парадигмальной теории региональной


экономики. Экономика Региона. Retrieved from
http://digilib.unila.ac.id/6532/115/BAB II.pdf

Aisara, S., Azmi, S., & M, Y. (2018). Gambaran Klinis Penderita Penyakit Ginjal Kronik
yang. Jurnal Kesehatan Andallas, 7(1), 42–50.

Ii, B. A. B., & Pustaka, T. (n.d.). No Title, 6–39.

ii

Anda mungkin juga menyukai