Anda di halaman 1dari 6

1.

Pengertian Gender

Secara umum gender dimaknai sebagai perbedaan yang bersifat social budaya yang
merupakan nilai yang mengacu pada sistem hubungan sosial yang membedakan fungsi serta peran
perempuan dan laki-laki dikarenakan perbedaan biologis atau kodrat yang oleh masyarakat
kemudian dibakukan menjadi ‘budaya’ dan seakan tidak lagi bisa ditawar. Apalagi kemudian
dikuatkan oleh nilai ideologi, hukum, politik, ekonomi dsb. Atau dengan kata lain gender adalah
nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat yang telah mengakar dalam bawah sadar kita
seakan mutlak dan tidak bisa diganti lagi.

Gender adalah pandangan atau keyakinan yang yang dibentuk masyarakat tentang
bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkahlaku maupun berpikir.
Misalnya pandangan bahwa seorang perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri,
lemah lembut atau keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk yang sensitif, emosional selalu
memakai perasaan. Sebaliknya seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung,
kepala rumahtangga, rasional dan tegas. Islam telah memberi aturan yang rinci berkenaan dengan
peran dan fungsi masing-masing dalam menjalani kehidupan ini. Terdapat perbedaan dan
persamaan yang tidak bisa dipandang sebagai adanya kesetaraan atau ketidaksetaraan gender.

Pembagian tersebut semata-mata merupakan pembagian tugas yang dipandang sama-sama


pentingnya dalam upaya tercapainya kebahagiaan yang hakiki di bawah keridloan Allah semata.
Islam telah memberikan hak-hak kaum perempuan secara adil, kaum perempuan tidak perlu
meminta apalagi menuntut atau memperjuangkannya, sebagaimana dalam surat Al Ahzab : 35

Artinya : “Sungguh, Laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki
dan perempuan yang dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki yang menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka
ampunan dan pahala yang besar.”1

1 Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Maghfirah Pustaka, Jakarta
Jadi kesetaraan gender adalah suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki sama-sama
menikmati status, kondisi atau kedudukan yang setara sehingga terwujud secara penuh hak-hak
dan potensinya bagi pembangunan di segala aspek kehidupan berkeluarga, berbangsa dan
bernegara. Islam mengamanahkan manusia untuk memperhatikan konsep keseimbangan,
keserasian, keselarasan, keutuhan baik sesama umat manusia maupun dengan lingkungan
alamnya.

2. Teori Gender

Gender dalam pemahaman kekinian bukanlah bagian dari kodrat jika kodrat dipahami sebagai
ketentuan-ketentuan baku dari Allah swt., melainkan modifikasi-modifikasi tertentu dari
konstruksi sosial dimana laki-laki dan perempuan hidup. Ia tidak lain sesungguhnya hanyalah hasil
konstruksi tradisi, budaya dan ideologitertentu. Karna ia hasil karya dan budaya manusia. Maka ia
mengenal batas ruang dan waktu. Oleh karena itu gender memiliki kerergantungan terhadap nila-
nilai yang dianut masyarakat sehingga menentukan apa yang dilakukan perempuan dan laki-laki.

Teori Kesetaraan Gender

Terdapat beberapa aliran teori yang menjelaskan kesetaraan dan keadilan gender, yaitu:
teori nurture, teori nature dan keseimbangan kedua teori tersebut yang dikenal dengan teori
equilibrium. Berikut penjelasan ketiga teori kesetaraan gender tersebut:

a. Teori Nurture

Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi
sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat
perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-
laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai
kelas proletar.

b. Teori Nature

Menurut teori nature adanya pembedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga
harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua
jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat
dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.

c. Teori Equilibrium

Di samping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan


keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam
hubungan antara perempuan dengan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum
perempuan dan laki-laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.2

3. Gender dalam Perspektif Islam

Masih banyak laki-laki Muslim yang memandang posisi perempuan berada di bawah posisi
laki-laki. Hal ini juga didasari oleh penafsiran terhadap teks suci (al-Quran). Di antara ayat al-
Quran yang dijadikan dasar dalam hal ini adalah sebagai berikut: “… Dan kaum perempuan
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi
kaum laki-laki mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari mereka (kaum perempuan). (Q S. al-
Baqarah, (2 ): 228).

Ayat lain yang juga sering digunakan untuk hal ini adalah QS. Al-Nisa’ (4): 34: Kaum laki-
laki bertanggung jawab (sering diterjemahkan: pemimpin) terhadap kaum perempuan, karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka memberi
nafkah (untuk kaum perempuan). Maka perempuan yang baik adalah perempuan yang patuh, yang
memelihara diri sebagaimana Allah telah memeliharanya . Ayat ini sering digunakan oleh kaum
laki-laki untuk “menjajah” kaum perempuan, sehingga dalam berbagai hal kaum perempuan tidak
diberikan keleluasaan untuk menentukan nasibnya sendiri .

Dalam Islam, pemahaman tentang gender memiliki terminologi tersendiri dalam memaknai
peran antara laki-laki dan perempuan. Hal tersebut ditunjukkan melalui beberapa ayat al-Quran
dan hadits yang berbicara mengenai posisi laki-laki dan perempuan. Bahkan ada nama di salah
satu Surat al-Quran yang berbicara khusus mengenai perempuan yaitu surat an-Nisa. Hal ini
membuktikan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kaum perempuan. Namun adakalanya

2 Sasongko, Sundari S. 2009. Konsep dan Teori Gender. Jakarta: BKKBN.


penafsiran terhadap ayat al-Quran yang parsial menyebabkan ketimpangan peran berdasarkan
gender masih terjadi di masyarakat.

Ayat-ayat itu boleh jadi merujuk kepada fungsi dan peran sosial berdasarkan jenis kelamin
(gender roles) ketika itu. Seperti diketahui ayat-ayat mengenai perempuan umumnya mempunyai
riwayat sabab nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Alquran), jadi sifatnya sangat historical. Lagipula
ayat-ayat tersebut berbicara tentang persoalan detail. Umumnya ayat-ayat seperti itu dimaksudkan
untuk mendukung dan mewujudkan tujuan umum (maqasid) ayat-ayat essensial, yang juga
menjadi tema sentral al-Quran.

Islam adalah agama yang memiliki misi profetik mendekonstruksi sistem sosial diskriminatif,
apa pun alasannya, termasuk diskriminasi mengenai persoalan gender. Islam tidak sejalan dengan
faham patriarki mutlak, yang tidak memberikan peluang kepada perempuan untuk berkarya lebih
besar, baik di dalam maupun di luar rumah. Perbedaan anatomi fisik-biologis antara laki-laki dan
perempuan tidak mengharuskan adanya perbedaan status dan kedudukan. Kualitas individu laki-
laki dan perempuan di mata Tuhan tidak ada perbedaan. Amal dan prestasi keduanya sama-sama
diakui Tuhan, keduanya sama-sama berpotensi untuk memperoleh kehidupan duniawi yang layak,
dan keduanya mempunyai potensi yang sama untuk masuk surga.

4. Permasalahan Gender yang Terjadi dalam Perspektif Islam

Gender dan Kepemimpinan


Di Indonesia, perempuan pada dasarnya dapat mengakses semua posisi dan bidang
karier, termasuk jabatan presiden. Namun, secara umum masyarakat masih cenderung
menganggap bahwa perempuan lebih utama berada pada wilayah domestik, sedangkan
wilayah publik dan posisi-posisi kepemimpinan merupakan wilayah laki-laki.
Dalam Alquran secara tegas tidak terdapat ayat yang menggunakan larangan bahwa
perempuan tidak boleh menjadi pemimpim pemerintahan atau negara. Adanya pendapat yang
melarang perempuan menjadi pemimpin tidak mempunyai dasar nas Quran. Bahkan, pada
kepemimpinan ratu Bilqis di Saba, Allah memberikan predikat negeri yang baik yang
analoginya dapat dijadikan percontohan dalam hal kepemimpinan maupun penataan ruangnya.
Hal ini ditegaskan dalam Q.S. Saba (34): 15 yang artinya, “Sesungguhnya bagi kaum Saba' ada
tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan
dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): "Makanlah olehmu dari rezeki yang
(dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri
yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun".
Kepemimpinan ratu Bilqis dapat menjadi model sebuah keberhasilan yang dijadikan acuan
hampir semua negara mayoritas muslim untuk menggambarkan kemakmuran sebuah Negara.
Tampaknya inilah kisah yang dijadikan model kepemimpinan yang digambarkan oleh
Alquran. Hal ini membuktikan bahwa perempuan dapat memimpin suatu negeri dan
membangunnya dengan kesejahteraan dan kemakmuran seperti yang diberitakan dalam Q.S. An-
Naml (27): 22-23 yang artinya, “Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia
berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa
kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini, Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar.”

Larangan perempuan untuk menjadi pemimpin biasanya berdasarkan pada hadis,


“tidak akan mulia sebuah bangsa jika menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang
perempuan”. Hadis ini bersifat kasustik, yakni pada peristiwa pergantian kepemimpinan di
Romawi yang pada waktu dulu pernah dipimpin oleh raja Kisra. Raja Kisra pernah menolak
ajakan Nabi untuk masuk Islam dan merobek- robek surat Nabi sehingga Nabi berkata, “suatu
saat negerimu juga akan dirobek-robek seperti surat yang pernah aku kirimkan”. Setelah raja
Kisra meninggal, kepemimpinannya digantikan oleh putrinya. Namun, karena kapasitasnya
sebagai pemimpin kurang baik, negeri tersebut hancur pada masa pemerintahannya. Hadis ini
sangat populer dijadikan rujukan untuk melarang kaum perempuan menjadi pemimpin tanpa
mempertimbangkan sebab turunnya hadis tersebut.

Di samping perempuan diperbolehkan menjadi pemimpin pemerintahan, perempuan


juga diperkenankan menjadi kepala rumah tangga. Sebenarnya Islam tidak
mempermasalahkan perempuan menjadi kepala rumah tangga, tetapi kontruksi sosial-budaya
terlanjur memosisikan laki-laki menjadi kepala rumah tangga. Perempuan menjadi kepala
rumah tangga bila ia bercerai atau suaminya meninggal dunia. Kasus seperti ini dapat
dikatagorikan bahwa ia sebagai kepala rumah tangga yang wajib bertanggung jawab atas
kehidupan anak- anaknya. Dasar tentang kepemimpinan dalam rumah tangga telah ditegaskan
dalam Q.S. An-Nisa ayat 34 yang artinya sebagai berikut. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin
bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki- laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi.3

3 Susilaningsih dan Agus M. Najib, Kesetaraan Gender di Perguruan Tinggi Islam: Baseline and
Institusional Analysis for Gender mainstreaming in IAIN Sunan Kalijaga (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2004),

Anda mungkin juga menyukai