Anda di halaman 1dari 26

BAB 6

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

1. Diskripsi karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden adalah berjenis

kelamin perempuan dengan persentase 57,14% dari total populasi.

Responden mayoritas berjenis kelamin perempuan juga terdapat pada kedua

jenis pemberian anestesi, baik pada pemberian SA (60,53%) maupun

pemberian GA (54,35%). Sedangkan untuk responden laki-laki maupun

perempuan paling banyak menjalani operasi dengan pemberian GA

(58,33% dan 52,08%).

Dari hasil penelitian menunjukan perempuan lebih banyak daripada

laki-laki (57,14%) sejalan dengan penilitian sebelumnya yang dilakukan

oleh Wenny Safitri (2016) dimana distribusi frekuensi karakter responden

praoperasi berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah perempuan

(Safitri, dkk., 2016). Hal ini disebabkan karena salah satu tempat yang

dijadikan penelitian adalah ruang mawar dimana Ruang Mawar pada RSI

Jemursari merupakan ruangan untuk pasien praoperasi dan postoperasi

pasien sectio caesar dan pasien dengan gangguan pada sistem reproduksi.

Jadi bisa disimpulkan bahwa semua pasien yang berada di Ruang Mawar

RSI Jemursari Surabaya adalah perempuan. Jumlah pasien perempuan

tersebut belum lagi ditambah dengan pasien perempuan yang ada di Ruang

Azzahra 2, hal tersebutlah yang menjadi alasan pasien perempuan lebih

67
68

banyak daripada laki-laki. Sedangkan responden berjenis kelamin laki-laki

hanya didapatkan pada ruang Azzahra 2 saja.

Pada responden laki-laki didapatkan pasien dengan GA lebih banyak

daripada dengan pemberian SA karena pembedahan yang paling banyak

dilakukan pada laki-laki adalah penyakit urogenital dimana sebagian besar

mengharuskan pasien untuk dilakukan operasi dengan pemberian GA.

Sedangkan responden perempuan didapatkan pasien dengan pemberian

GA lebih banyak daripada dengan pemberian SA dikarenakan karena pasien

perempuan dengan GA didapat dari 2 ruangan yaitu ruang azzahra 2 dan

ruang mawar dan dari berbagai variasi penyakit. Sedangkan pasien

perempuan dengan SA rata-rata datang karena sectio caesar jadi hanya

didapatkan dari ruang mawar saja.

2. Analisis tingkat kecemasan pada pasien praoperasi dengan pemberian

SA.

Berdasarkan hasil penelitian tingkat kecemasan pada pasien praoperasi

dengan pemberian SA sebagian besar adalah tidak ada kecemasan (68,4%)

dan yang mengalami kecemasan ringan sebesar (15,8%), kecemasan sedang

(7,9%), kecemasan berat (5,3%), dan kecemasan berat sekali (2,6%). Besar

kecilnya kecemasan yang terjadi pada pasien praoperasi dipengaruhi oleh

banyak faktor salah satunya adalah riwayat operasi sebelumya, sudah atau

belum pasien menjalani operasi sebelumnya (Trismiati, 2006). Untuk pasien

dengan pemberian SA mayoritas sudah pernah menjalani operasi


69

sebelumnya dengan presentase 86,84% dan yang belum pernah operasi

sebelumnya memiliki presentase 13,16%.

Berdasarkan hasil penelitian rata-rata tingkat kecemasan pada pasien

praoperasi dengan pemberian SA adalah tidak mengalami kecemasan

(68,4%) dan dapat disimpulkan dengan menggabungkan dari kecemasan

hasil penelitian total kecemasan ringan (15,8%), kecemasan sedang (7,9%),

kecemasan berat (5,3%), dan kecemasan berat sekali (2,6%) dengan hasil

penelitian pasien yang tidak mengalami kecemasan (68,4%), maka dapat

disimpulkan pasien praoperasi dengan pemberian SA tidak mengalami

kecemasan. Hasil penelitian menunjukkan hasil yang berbanding terbalik

dengan penelitian yang dilakukan oleh Arwani, dkk. (2013) tentang

pengaruh aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi

dengan SA di RS Tugu Semarang yang menyatakan bahwa sebagian besar

pasien praoperasi dengan pemberian SA mengalami kecemasan tingkat

berat (Arwani, dkk., 2013). Hal ini disebabkan karena pada penelitian

Arwani, dkk. (2013) yang menjadi responden adalah mereka yang belum

pernah mengalami operasi sebelumnya. Sedangkan pada penelitian kali ini,

yang menjadi responden adalah mereka yang belum maupun sudah pernah

memiliki riwayat operasi sebelumnya. Dan dari hasil yang didapat sebenyak

86,84% pasien menyatakan sudah pernah menjalani operasi sebelumnya.

Hal ini dapat menjadi penyebab perbedaan hasil antara penelitian

sebelumnya dan penelitian yang dilakukan peneliti kali ini. Karena tingkat

kecemasan pasien praoperasi akan lebih tinggi pada pasien yang belum

pernah mengalami operasi sebelumnya, seperti yang dijelaskan pada


70

penelitian Siti Arifah dan Ida Nuriala Triase (2012) salah satu faktor

tingginya tingkat kecemasan praoperasi adalah belum mengertinya pasien

tentang operasi yang akan dijalani dan pada penelitian yang sama dijelaskan

tingkat kecemasan akan menurun setelah pasien menjalani operasi (Arifah

& Triase, 2012).

Pada hasil penelitian, munculnya kecemasan berat dapat disebabkan

karena tindakan operasi yang merupakan pengalaman yang pertama. Karena

yang menjadi responden pada penelitian ini diambil secara acak antara

pasien yang baru pertama kali menjalani operasi dan yang sudah pernah

menjalani operasi. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Palese, Cecconi, Moreale, dan Skrap (2012) bahwa mereka yang mengalami

pengalaman pertama operasi terlebih operasi pada bagian tubuh yang vital,

akan mengalami kecemasan yang lebih tinggi bahkan dapat mengalami

depresi (Palase Palese, Cecconi, Moreale, dan Skrap, 2012). Hal tersebut

juga sesuai dengan penelitian oleh Roomrungwong, dkk. (2012) bahwa

klien yang akan mengalami operasi untuk pertama kalinya memiliki tingkat

operasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang telah mengalami

operasi sebelumnya (Roomrungwong, dkk., 2012). Karena Menurut Horney

dalam Trismiati (2006) penyebab kecemasan berasal dari kejadian yang

dialami oleh seseorang. Misalnya seseorang memiliki pengalaman terhadap

proses yang menyebabkan kecemasan tersebut maka dirinya akan mampu

mengontrol kecemasan yang ditimbulnya (Trismiati, 2006).


71

3. Analisis tingkat kecemasan pada pasien praoperasi dengan pemberian

GA.

Berdasarkan hasil penelitian tingkat kecemasan pada pasien praoperasi

dengan pemberian GA sebagian besar adalah mengalami kecemasan ringan

(39,13%). Dan untuk riwayat operasi sebelumnya, pasien dengan pemberian

GA yang menyatakan belum pernah pernah operasi sebelumnya (56,52%)

lebih tinggi daripada yang sudah pernah operasi sebelumnya (43,48%).

Berdasarkan hasil penelitian rata-rata tingkat kecemasan pada pasien

praoperasi dengan pemberian GA adalah kecemasan ringan (39,13%) dan

dapat disimpulkan dengan menggabungkan dari gambaran kecemasan hasil

penelitian total kecemasan ringan (39,13%), kecemasan sedang (23,91%),

kecemasan berat (4,35%), dan kecemasan berat sekali (4,35%) dengan hasil

penelitian pasien yang tidak mengalami kecemasan (28,26%), maka dapat

disimpulkan pasien praoperasi dengan pemberian GA mengalami

kecemasan (71,74%). Kesimpulan tersebut sesuai dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Uskenat, dkk. (2012) tentang tingkat

kecemasan praoperasi dengan pemberian GA di RS Panti Wilasa Citarum

Semarang paling banyak mengalami kecemasan ringan dan diikuti

kecemasan sedang dan kecemasan berat, yang kemudian dapat disimpulkan

juga pada hasil penelitian tersebut pasien praoperasi dengan pemberian SA

mengalami kecemasan (Uskenat, dkk., 2012).

Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan seperti usia yang

akan berhubungan dengan pengalaman, pengalaman yang akan berkorelasi

dengan pengetahuan, pemahaman dan pandangan terhadap suatu penyakit


72

atau kejadian sehingga akan membentuk persepi atau sikap. Kematangan

dalam proses berpikir pada individu yang berumur dewasa lebih

memungkinkan menggunakan mekanisme koping yang baik daripada anak-

anak (Lukman, 2009). Pada penelitian ini, umur yang diperbolehkan untuk

menjadi responden adalah 17 tahun keatas yang dianggap sudah cukup

dewasa. Tetapi pengalaman dan pemahaman masing-masing individu

berbeda, mungkin inilah penyebab perbedaan tingkat kecemasan pasien

praoperasi pada pasien GA. Hal ini juga dijelaskan pada Robby (2009)

pengalaman masa lalu terhadap suatu penyakit baik yang positif maupun

yang negatif dapat mempengaruhi perkembangan keterampilan

menggunakan koping (Robby, 2009).

Operasi menjadi salah satu keadaan pemicu kecemasan dan stres,

bahkan jika prosedur yang dilakukan masih tergolong kategori operasi

minor. Reaksi psikologi dan fisiologi pada prosedur operasi dan proses

anestesi yang memungkinkan adanya respon kecemasan ditandai dengan

naiknya tekanan darah, dan detak jantung (Lewis et al., 2011). Banyak teori

yang mengemukakan tentang terjadinya kecemasan. Namun secara

fisiologis pada saat pasien merasa cemas maka pasien akan cenderung lebih

stres daripada normalnya. Situasi stres akan mengaktifkan hipotalamus,

yang selanjutnya akan mengaktifkan dua jalur utama stres, yaitu sistem

endokrin (korteks adrenal) dan sistem saraf otonom (simpatis dan

parasimpatis) (Guyton, 2006).

Untuk mengaktifkan sistem endokrin, setelah hipotalamus menerima

stimulus stres atau kecemasan, hipotalamus anterior akan melepaskan


73

Corticotrophin Releasing Hormone (CRH), yang akan menginstruksikan

kelenjar hipofisis anterior untuk mensekresikan Adrenocorticotropin

Hormone (ACTH). Setelah hormon ACTH diekstkresikan ke dalam darah

maka hormon ini akan mengaktifkan zona fasikulata korteks adrenal untuk

mensekresikan hormon kortisol. Hormon kortisol juga memberikan umpan

balik negatif ke hipotalamus dan diteruskan ke amigdala untuk memperkuat

pengaruh stres terhadap emosi seseorang (Guyton, 2006).

Selain itu, umpan balik negatif ini akan merangsang hipotalamus

anterior untuk melepaskan Thirotropic Releasing Hormone (TRH) dan akan

menginstruksikan kelenjar hipofisis anterior untuk melepaskan Thirotropic

Hormone (TTH). Dan TTH ini akan menstimulasi kelenjar tiroid untuk

mensekresikan hormon tiroksin yang mengakibatkan perubahan tekanan

darah, frekuensi nadi, peningkatan Basal Metabolic Rate (BMR),

peningkatan asam lemak bebas, dan juga peningkatan ansietas (Guyton,

2006).

Mekanisme yang kedua adalah melalui jalur sistem saraf otonom.

Setelah stimulus diterima oleh hipotalamus, maka hipotalamus langsung

mengaktifkan sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Aktivasi sistem saraf

simpatis akan mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi jantung,

dilatasi ateri koronaria, dilatasi pupil, dilatasi bronkus, meningkatkan

kekuatan otot rangka, melepaskan glukosa melalui hati dan meningkatkan

aktivasi mental. Perangsangan saraf simpatis juga mengakibatkan aktivasi

dari medula adrenalis sehingga menyebabkan pelepasan sejumlah besar

epineprin dan norepinefrin ke dalam darah, untuk kemudian kedua hormon


74

ini dibawa oleh darah ke semua jaringan tubuh. Epinefrin dan norepinefrin

akan berikatan dengan reseptor β1 dan α1 adrenergik dan memperkuat

respon simpatis untuk meningkatkan tekanan darah dan frekuensi nadi

(Guyton, 2006).

Aktivasi saraf parasimpatis akan mengakibatkan terlepasnya asetilkolin

dari postganglion nervus vagus, untuk selanjutnya asetilkolin ini akan

berikatan dengan reseptor muskarinik (M3) pada otot polos bronkus dan

mengakibatkan peningkatan frekuensi nafas. Ketika bahaya telah berakhir,

serabut saraf parasimpatis membalik proses ini dan mengembalikan tubuh

pada kondisi normal sampai tanda ancaman berikutnya dan mengaktifkan

kembali respons simpatis (Guyton, 2006).

Campbell (2010) menjelaskan menganai timbulnya emosi dari setiap

individu yang dipengaruhi oleh sistem limbik yang memiliki beberapa

fungsi termasuk emosi, motivasi, olfaksi, perilaku, dan memori terlebih di

luar sistem limbik juga berpartisipasi dalam pembangkitan dan pengalaman

emosi (Campbell, 2010). Lebih lanjut Adyana (2009) menjelaskan

mengenai sistem limbik berperan dalam terjadinya emosi, motivasi, dan

tingkahlaku seseorang sehingga disebut sebagai emosi dari otak (Adyana,

2009).

Kecemasan dapat ditimbulkan akibat adanya sebuah pengalaman yang

kurang baik pada setiap individu yang pada permasalahan penelitian ini

adalah praoperasi. Pada bagian otak yang bekerja dalam mengontrol

kecemasan salah satunya adalah amiglada. Menurut Campbell (2010)

amiglada terletak di lobus temporal fungsi dari amiglada adalah


75

menanggapi suatu pengalaman yang telah di alami sebelumnya baik

pengalaman buruk ataupun pengalaman baik dengan kata lain amiglada

berperan dalam mengingat kembali suatu emosi (Campbell, 2010). Itulah

mengapa orang yang sudah pernah operasi sebelumnya dan mempunyai

pengalaman baik terhadap operasi sebelumnya mempunyai tingkat

kecemasan yang lebih rendah daripada pasien yang belum pernah operasi

sebelumnya.

Kecemasan juga berhubungan dengan pengambilan keputusan individu

terhadap sesuatu. Jika individu tidak dapat mengambil sebuah keputusan

secara benar maka ada yang salah dalam dirinya, kesalahan ini diakibatkan

oleh lobus frontal yaitu salah satu bagian dari korteks prafrontral. Pada

lobus frontal mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh berbagai macam

sebab maka akan terjadi perubahan sikap dari individu dalam pengambilan

yang berkurang. (Campbell, 2010)

Tubuh yang mengalami kecemasan ataupun stress akan merespon untuk

menghadapinya agara tidak semakin parah, dalam prosesnya hypothalamus

mengantisipasinya dan memulai melakukan suatu reaksi yang disebut

dengan sindrom adaptasi umum/ mekanisme koping (Adyana, 2009).

Sedangkan koping adalah tindakan/ upaya perilaku dan kognitif

seseorang dalam menghadapi ancaman fisik dan psikososial (Stuart dan

Laraia, 2005). Mekanisme koping adalah suatu keadaan dimana seseorang

harus menyesuaikan diri terhadap masalah yang dihadapinya (Stuart &

Laraia:2005).
76

Jadi dari definisi diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

mekanisme koping yang berhasil dapat membuat individu tersebut

beradaptasi terhadap perubahan atau beban yang dalam masalah ini adalah

kecemasan praoperasi, sebaliknya kegagalan dalam mekanisme koping

dapat menyebabkan seseorang menggunakan koping yang maladaptif

seperti apatis, dan perasaan tidak berminat pada sesuatu (Suryani dan

Widyasih, 2008).

Maheswari dan Ismail (2015) juga mengemukakan pada penelitiannya

menemukan hubungan kecemasan yang signifikan ditemukan pada pasien

yang menjalani operasi sebelumnya dengan GA, yang mengalami GA lagi.

Skor kecemasan yang tinggi ditemukan pada pasien dengan pengalaman

negatif sebelumnya. Kecemasan berat juga dapat disebabkan karena

tindakan operasi yang merupakan pengalaman yang pertama (Maheswari

dan Ismail, 2015). Karena yang menjadi responden pada pasien praoperasi

dengan GA adalah lebih banyak pasien yang menyatakan belum pernah

operasi sebelumnya (56,52%) daripada pasien yang sudah pernah operasi

sebelumnya (43,42%). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Palese, Cecconi, Moreale, dan Skrap (2012) bahwa mereka yang mengalami

pengalaman pertama operasi terlebih operasi pada bagian tubuh yang vital,

akan mengalami kecemasan yang lebih tinggi bahkan dapat mengalami

depresi (Palase, dkk., 2012). Hal tersebut juga sesuai dengan penelitian oleh

Roomrungwong, dkk. (2012) bahwa klien yang akan mengalami operasi

untuk pertama kalinya memiliki tingkat operasi yang lebih tinggi


77

dibandingkan dengan klien yang telah mengalami operasi sebelumnya

(Roomrungwong, 2015).

Hal lain juga yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pasien

praoperasi adalah dukungan psikis (Yulianti, 2009), tingkat pendidikan

(Maheswari dan Ismail, 2015 dan Lumkan, 2009) dan jenis kelamin.

Maheswari dan Ismail (2015) menjelaskan bahwa pasien memiliki tingkat

kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki (Maheswari dan

Ismail, 2015). Videbeck (2008) juga mengemukakan laki-laki dan

perempuan mempunyai perbedaan tingkat kecemasan, dimana perempuan

lebih mudah tersinggung, sangat peka dan menonjolkan perasaannya.

Sedangkan laki-laki, memiliki kecenderungan dominan, aktif, lebih rasional

dan tidak menonjolkan perasaan (Videbeck, 2008). Pendapat diatas

dibuktikan juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Heriani Bahsoan

(2013) tentang hubungan mekanisme koping dengan kecemasan pada

pasien pre operasi di ruang perawatan bedah RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo bahwa pasien praoperasi berjenis kelamin perempuan

memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien laki-

laki (Bahsoan, 2013). Dari pendapat diatas dan penelitian sebelumnya dapat

dijadikan salah satu faktor penyebab tingginya tingkat kecemasan pasien

praoperasi dengan pemberian GA karena responden pasien praoperasi

dengan GA mayoritas adalah berjenis kelamin perempuan (54,35%)

dibandingkan dengan laki-laki (45,65%).


78

4. Analisis kategori tingkat kecemasan pada pasien praoperasi dengan

pemberian SA dan GA.

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, rata-rata nilai tertinggi setiap

kategori tingkat kecemasan pasien praoperasi dengan pemberian SA dan

GA di RSI Jemursari Surabaya adalah pertanyaan item nomer satu yaitu

gejala kecemasan perasaan ansietas dengan rincian rata-rata nilai pada SA

adalah 1,8 dan pada GA adalah 2,067. Kategori ini didapatkan dari

kuesioner HARS yang terdiri atas 14 item pertanyaan utama mengenai gejala

kecemasan dengan setiap item mempunyai sub pertanyaan dan setiap

pertanyaannya maksimal bernilai 4. Dan rata-rata nilai paling kecil pada SA

terdapat pertanyaan nomer tujuh yaitu gejala somatik dengan nilai rata-rata

0,132. Pada GA rata-rata nilai paling kecil terdapat pada pertanyaan nomer

8 dan nomer 11 yaitu gejala sensorik dan gejala gastrointestinal dengan nilai

0,132.

Dari penjelasan paragraf diatas didapatkan dari kedua jenis pemberian

anestesi, GA dan SA didapatkan nilai rata-rata tertinggi ada pada pertanyaan

nomer satu yaitu gejala kecemasan dengan sub pertanyaan firasat buruk,

takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung, dan khawatir. Gejala

kecemasan perasaan ansietas (cemas) menunjukkan atau ditandai dengan

ketakutan yang luar biasa terhadap masa depan, merasa khawatir, merasa

tidak aman, takut akan pikiran sendiri dan mudah tersinggung (Hamilton,

1959 & Hidayat, 2007).

Namora Lumongga Lubis (2009) menjelaskan bahwa individu

mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang


79

(Lubis, 2009). Kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak

menyenangkan yang akan terjadi. Sedangkan Sri Rumini dan Siti Sundari

(2004) memahami kecemasan sebagai suatu keadaan yang

menggoncangkan karena adanya ancaman terhadap kesehatan (Rumini &

Sundari, 2004). Dan Singgih D. Gunarsa menjelaskan kecemasan adalah

rasa khawatir, dan takut yang tidak jelas sebabnya atau takut atas pikiran

sendiri (Singgih D. Gunarsa, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian bahwa

rata-rata pasien praoperasi dengan pemberian GA dan SA di RSI Jemursari

Surabaya mengalami gelaja kecemasan perasaan ansietas. Karena dari

gejala kecemasan yang dialami pasien sesuai dengan gejala kecemasan yang

dikemukakan oleh para ahli. Hasil penelitian diatas juga dibuktikan dengan

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arwani dkk. (2013) tentang

pengaruh aromaterapi terhadap tingkat kecemasan pasien sebelum operasi

dengan SA menyatakan bahwa kategori gejala kecemasan perasaan cemas

memperoleh hasil yang tertinggi dari kategori yang lain (Arwani dkk.,

2013). Di lain hal, kecemasan timbul akibat tindakan operasi yang akan

berdampak pada keutuhan anggota tubuh pasien. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebesar 0,378 responden mengalami depresi yang

ditandai dengan kehilangan minat untuk melakukan aktivitas (Arwani dkk.,

2013). Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Arwani dkk.,

(2013) tersebut sedikit berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan,

karena pada hasil penelitian yang telah dilakukan rata-rata nilai untuk

kategori pertanyaan HARS nomer 6 perasaan depresi" pada SA adalah

sebesar 0,658 dan pada GA rata-rata nilainya adalah 0,756. Hal ini
80

dikarenakan pada penelitian sebelumnya, peneliti menghitung rata-rata nilai

untuk setiap sub-pertanyaan, sedangkan pada penelitian ini dihitung

berdasarkan pertanyaan utama, sehingga tanda kehilangan minat untuk

melakukan aktivitas dimasukkan dalam pertanyaan utama HARS nomer 6

yaitu perasaan depresi.

Dari hasil penelitian didapatkan paling sedikit gejala kecemasan yang

dialami oleh pasien praoperasi dengan pemberian SA adalah gejala somatik

yaitu sebesar 0,132. Gejala somatik ditandai dengan nyeri-nyeri pada otot,

capek dan terasa kaku pada otot, gigi gemeretak dan bicara yang kadang

dengan nada yang pelan dan kadang dengan nada yang tinggi (Hamilton,

1959 & Hidayat, 2007). Dan dari hasil juga didapatkan paling sedikit gejala

kecemasan pasien praoperasi dengan pemberian GA adalah gejala sensorik

dan gejala gastrointestinal dengan rata-rata nilai yang sama yaitu 0,156.

Gejala sensorik ditandai dengan perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur,

muka merah dan pucat serta merasa lemah. Dan gejala gastrointestinal

ditandai dengan sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan

muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di

perut (Hamilton, 1959 & Hidayat, 2007).

Hasil rata-rata nilai gejala somatik pada pasien SA, gejala sensorik dan

gejala gastrointestinal pada pasien GA yang sedikit mungkin saja

disebabkan karena gejala tersebut muncul hanya pada beberapa pasien

responden seperti yang dikemukakan oleh Fitri Fauziah & Julianti Widury

(2007) bahwa gejala-gejala kecemasan yang muncul dapat berbeda pada

masing-masing individu (Fauziah & Widury, 2007).


81

5. Perbedaan tingkat kecemasan pasien dengan pemberian SA dan pasien

dengan pemberian GA.

Pendekatan bagaimana perbedaan tingkat kecemasan pasien praoperasi

dengan pemberian SA dan pasien praoperasi dengan pemberian GA dilihat

dengan menggunakan uji komparasi Man-Whitney. Hasil statistik mengenai

perbedaan tingkat kecemasan pasien antara pemberian SA dengan

pemberian GA, didapatkan informasi bahwa nilai signifikansi yang

diperoleh adalah sebesar 0,001 yang menandakan bahwa hipotesis diterima.

Hal ini berarti terdapat perbedaan yang signifikan antara pasien praoperasi

dengan pemberian SA dengan pasien praoperasi dengan pemberian GA.

Pada penelitian dengan pemberian SA pasien paling mayoritas tidak

mengalami kecemasan (68,4%). Sedangkan sisanya termasuk dalam

kategori kecemasan ringan (15,8%), kecemasan sedang (7,9%), kecemasan

berat (5,3%), dan kecemasan berat sekali (2,6%). Kecemasan ringan,

sedang, berat dan berat sekali disimpulkan menjadi satu menjadi kategori

kecemasan (31,6%). Hal ini menunjukkan sebagian besar pasien praoperasi

dengan pemberian SA tidak mengalami kecemasan. Pada penelitian dengan

pemberian GA pasien paling mayoritas memiliki kecemasan ringan

(39,13%). Sedangkan sisanya termasuk dalam kategori tidak ada kecemasan

(28,26%), kecemasan sedang (23,91%), kecemasan berat (4,35%), dan

kecemasan berat sekali (4,35%). Kecemasan ringan, sedang, berat dan berat

sekali disimpulkan menjadi satu menjadi kategori kecemasan (71,74%). Hal

ini menunjukkan sebagian besar pasien praoperasi dengan pemberian GA


82

mengalami kecemasan. Penggabungan 4 tingkat kecemasan menjadi satu

dan penarikan kesimpulan sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Uskenat dkk (2012) (uskenat, 2012). Dan dari hasil

penelitian pada pasien dengan pemberian SA dan GA dapat ditarik

kesimpulan pasien praoperasi dengan pemberian GA (71,74%) mempunyai

tingkat kecemasan yang lebih tinggi daripada pasien dengan pemberian SA

(31,6%). Hasil penelitian sesuai dengan penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Jawaid, et al. (2007) tentang Preoperative Anxiety Before

Surgery menyatakan bahwa pasien praoperasi dengan GA memiliki

kecemasan yang lebih tinggi daripada pasien praoperasi dengan SA (Jawaid,

et al., 2007).

Operasi merupakan salah satu faktor penyebab kecemasan dan stress.

Sistem endokrin (korteks adrenal) dan sistem saraf otonom (simpatis dan

parasimpatis) yang berasal dari hipotalamus akan aktif akibat dari adanya

situasi stress tersebut (Guyton, 2006). Reaksi psikologi dan fisiologi pada

praoperasi proses anestesi yang merupakan tanda-tanda respon kecemasan

adalah naiknya tekanan darah, dan detak jantung (Lewis et al., 2011).

Mekanisme yang pertama adalah sistem endokrin, setelah hipotalamus

menerima stimulus stress atau kecemasan, maka ACTH akan mensekresikan

hormon kortisol yang akan memperkuat pengaruh stress dan memberikan

umpan negatif yang mengakibatkan tersekresinya hormon tiroksin

menyebabkan perubahan tekanan darah, frekuensi nadi, peningkatan Basal

Metabolic Rate (BMR), peningkatan asam lemak bebas, dan juga

peningkatan ansietas (Guyton, 2006).


83

Yang kedua adalah melalui sistem saraf otonom. sistem saraf simpatis

dan parasimpatis akan aktif sesaat setelah stimulus cemas aktif. Aktivasi

sistem saraf simpatis akan mengakibatkan terjadinya peningkatan frekuensi

jantung, dilatasi ateri koronaria, dilatasi pupil, dilatasi bronkus,

meningkatkan kekuatan otot rangka, melepaskan glukosa melalui hati dan

meningkatkan aktivasi mental. Perangsangan saraf simpatis juga

mengakibatkan aktivasi dari medula adrenalis sehingga menyebabkan

pelepasan sejumlah besar epineprin dan norepinefrin yang akan berikatan

dengan reseptor β1 dan α1 adrenergik dan memperkuat respon simpatis

untuk meningkatkan tekanan darah dan frekuensi nadi (Guyton, 2006).

Kecemasan praoperasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia,

jenis kelamin, riwayat operasi, dukungan keluarga, dukungan petugas

kesehatan, tingkat pengetahuan, persepsi praoperasi, dan prosedur operasi

(Maheswari dan Ismail, 2015; Gruendemann dan Frensebner, 2006). Tetapi

dari hasil penelitian, beberapa faktor yang mungkin bisa mendukung hasil

antara lain:

Yang pertama adalah jenis kelamin. Dari hasil didapatkan pasien dengan

pemberian SA, terdapat 14 pasien laki-laki yang tidak cemas (93,33%), 1

pasien laki-laki dengan kecemasan ringan (6,67%). Sedangkan untuk pasien

berjenis kelamin perempuan terdapat 12 pasien tidak mengalami kecemasan

(52,17%) dan 11 pasien mengalami kecemasan (47,83%) yang terbagi

menjadi 5 pasien mengalami kecemasan ringan, 3 pasien mengalami

kecemasan sedang, 2 pasien mengalami kecemasan berat dan 1 pasien

mengalami kecemasan berat sekali. Secara jumlah memang pasien dengan


84

jenis kelamin perempuan yang mengalami kecemasan (11 pasien) lebih

sedikit daripada yang tidak mengalami kecemasan (12 pasien), namun

secara persentase wanita yang mengalami kecemasan (47,83%) lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien laki-laki yang mengalami kecemasan (6,67%)

dan persentase pasien laki-laki yang tidak mengalami kecemasan (93,33%)

lebih tinggi dibandingkan dengan pasien perempuan yang mengalami

kecemasan (52,17%). Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat

perempuan memiliki tingkat kecemasan daripada laki-laki. Pada hasil

penelitian dengan pemberian GA, terdapat 5 pasien berjenis kelamin laki-

laki yang tidak mengalami kecemasan (23,81%), dan 16 pasien laki-laki

mengalami kecemasan (76,19%) yang terdiri atas 6 pasien mengalami

kecemasan ringan, 9 pasien mengalami kecemasan sedang dan 1 pasien

mengalami kecemasan berat sekali. Sedangkan pada pasien dengan jenis

kelamin perempuan terdapat 8 orang tidak mengalami kecemasan (32%),

dan 17 orang mengalami kecemasan (68%) yang terbagi dari 12 pasien

mengalami kecemasan ringan, 2 pasien mengalami kecemasan sedang, 2

pasien mengalami kecemasan berat, dan 1 pasien mengalami kecemasan

berat sekali. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa pada

pasien praoperasi dengan GA, pasien dengan jenis kelamin laki-laki

memiliki tingkat kecemasan lebih tinggi dibandingkan dengan pasien

perempuan dikarenakan pasien laki-laki yang tidak mengalami kecemasan

(23,81%) memiliki persentase lebih sedikit dibandingkan perempuan yang

tidak mengalami kecemasan (32%). Sebaliknya persentase pasien laki-laki

yang mengalami kecemasan (76,19%) lebih tinggi dibandingkan dengan


85

pasien perempuan yang mengalami kecemasan (68%). Tingkat kecemasan

sangatlah berpengaruh dari jenis kelaminnya, wanita memiliki tingkat

kecemasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan laki-laki. Teori yang

dikemukakan Videbeck (2008) bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai

perbedaan tingkat kecemasan, dimana perempuan lebih mudah tersinggung,

sangat peka dan menonjolkan perasaanyan. Sedangkan laki-laki memiliki

karakteristik maskulin yang cenderung dominan, aktif, lebih rasional dan

tidak menunjukkan perasaan (Videbeck, 2008). Secara psikologis menurut

Sukmadinata (2003) menyatakan perempuan lebih emosional daripada laki-

laki karena perempuan sangat peka dan meluapkan perasaan. Sementara

laki-laki bersifat obyektif dengan rasionalitasnya sehingga mampu berfikir

dan tidak mengedepankan emosional (Sukmadinata, 2003). Hal serupa

diungkapkan Myers (1983) dalam Kurasein (2009) mengatakan bahwa

perempuan lebih cemas akan ketidakmampuannya dibanding dengan laki-

laki, karena laki laki lebih aktif, eksploratif, sedangkan perempuan lebih

sensitif (Kurasein, 2009). Hal tersebut didukung oleh penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Saputri (2016) tentang hubungan jenis kelamin dengan

tingkat kecemasan yang pada pasien preoperasi di ruang bedah RS.

Baladhika Husada Jember sebanyak 52,2% pasien perempuan mengalami

kecemasan berat sedangkan pasien laki-laki 91,3% tidak mengalami

kecemasan (Saputri, 2016). Penelitian tersebut menggunakan jumlah

responden yang sama antara jumlah laki-laki dan perempuan. Penelitian

yang telah dilakukan juga sesuai dengan hasil pengamatan psikologis

independen program kajian psikologis Universitas Indonesia mendapatkan


86

56,41% individu perempuan cenderung lebih berespon cemas terhadap

kejadian fraktur dibandingkan individu laki-laki (Lukman, 2009). Jadi

berdasarkan hasil penelitian, tingkat kecemasan dengan pemberian SA

sesuai dengan teori dan penelitian diatas bahwa perempuan memiliki tingkat

kecemasan lebih tinggi daripada laki-laki. Sedangkan pada hasil penelitian

tingkat kecemasan dengan pemberian GA berbanding terbalik dengan teori

yang ada. Hal ini mungkin disebabkan karena adanya faktor lain yang

mempengaruhi individu seperti ketakutan akan persepsi yang akan datang

contohnya tidak bisa bangun lagi setelah diberikan anestesi dan faktor

koping masing-masing individu yang berbeda. Hal tersebut sesuai dengan

penelitian yang dilakukan oleh Uskenat dkk. (2012) tentang perbedaan

tingkat kecemasan pada pasien preoperasi dengan pemberian GA sebelum

dan sesudah diberikan relaksasi otot progresif di RS Panti Wilasa Citarum

Semarang yang menyatakan bahwa responden laki-laki memiliki

kecemasan yang lebih tinggi daripada perempuan sebanyak 53,3% (Uskenat

dkk., 2012). Dan dari hasil penelitian distribusi frekuensi jenis kelamin

responden perempuan lebih banyak ditemukan pada pemberian GA

(52,08%) dibandingkan dengan pemberian SA (47,92%). Itulah

kemungkinan salah satu penyebab faktor tingkat kecemasan pada pasien

dengan pemberian GA lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kecemasan

pasien dengan pemberian SA karena jenis kelamin perempuan memiliki

tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

Yang kedua adalah umur. Hasil penelitian tingkat kecemasan dengan

SA menunjukkan bahwa distribusi responden paling banyak ada range umur


87

B (27-36 tahun) dengan jumlah 15 pasien yang terbagi atas 14 perempuan

dan 15 laki-laki. 15 pasien tersebut juga terbagi atas 8 pasien tidak

mengalami kecemasan, 2 pasien mengalami kecemasan ringan, 3 pasien

memiliki kecemasan sedang, 1 pasien mengalami kecemasan berat dan 1

pasien lagi mengalami kecemasan berat sekali. Sedangkan pada range A

(17-16 tahun) terdapat 6 pasien yang terdiri dari 5 perempuan dan 1 laki-

laki. Yang juga terbagi menjadi 3 pasien tidak mengalami kecemasan, 2

pasien mengalami kecemasan ringan, dan 1 pasien mengalami kecemasan

berat. Range C (37-46 tahun) terdapat 5 pasien yang terdiri atas 2 laki-laki

dan 3 perempuan, dan terbagi atas 4 pasien tidak mengalami cemas, dan 1

pasien mengalami kecemasan ringan. Range D (47-56 tahun) terdapat 3

pasien dengan 2 pasien pasien laki-laki dan 1 pasien perempuan dan semua

pasien tidak mengalami kecemasan. Range E (57-66 tahun) dan Range F

(67-76 tahun) yang masing-masing terdapat 4 pasien yang semuanya

perempuan dan tidak mengalami kecemasan Range F (77-86 tahun) terdapat

1 pasien yang berjenis kelamin perempuan dan mengalami kecemasan

ringan. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpukan bahwa pasien

praoperasi dengan pemberian SA, umur mempengaruhi tingkat kecemasan.

Semakin muda usia pasien maka semakin tinggi tingkat kecemasannya.

Menurut Haryanto (2002) dalam Kuraesin (2009) umur menunjukkan

ukuran waktu pertumbuhan dan perkembangan seorang individu. Umur

berkorelasi dengan pengalaman, pengalaman berkorelasi dengan

pengetahuan, Range C (37-46 tahun) terdapat 7 pasien yang terdiri atas 3

laki-laki dan 4 perempuan, dan terbagi atas 1 pasien tidak mengalami


88

cemas, 2 pasien mengalami kecemasan ringan, 3 pasien mengalami

kecemasan sedang, 1 pasien dengan kecemasan berat. Range D (47-56

tahun) terdapat 9 pasien dengan 3 pasien pasien laki-laki dan 6 pasien

perempuan, dan terbagi menjadi 2 pasien tidak mengalami kecemasan, 4

pasien mengalami kecemasan ringan, 1 pasien mengalami kecemasan

sedang, 1 pasien mengalami kecemasan berat dan 1 pasien mengalami

kecemasan berat sekali. Range F (67-76 tahun) terdapat 2 pasien; 1 pasien

laki-laki dan 1 pasien perempuan dan Range G (77-86 tahun) terdapat 1

pasien berjenis kelamin perempuan dan semuanya tidak mengalami

kecemasan. Pada hasil penelitian pasien dengan pemberian GA berdasarkan

umur, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecemasan lebih tinggi dan lebih

merata di setiap masing-masing range umur A-E (17-66 tahun) dan untuk

range umur F-G (67-86) tidak menunjukkan adanya kecemasan. Hasil

tersebut sesuai dengan pendapat ahli diatas yang menyatakan bahwa

semakin muda usia pasien maka semakin tinggi tingkat kecemasan yang

diderita pasien karena semakin bertambah umur semakin baik mekanisme

kopingnya. Dalam suatu penelitian yang dilakukan Woodrow et al. (2007)

ditemukan bahwa toleransi terhadap nyeri meningkat sesuai dengan

pertambahan umur, misalnya semakin bertambah usia seseorang maka

semakin bertambah pula pemahaman terhadap nyeri dan usaha

mengatasinya (Woodrow et al., 2007). Persebaran umur berusia muda yang

lebih banyak pada hasil penelitian praoperasi dengan pemberian GA

daripada dengan pemberian SA dan jenis kelamin perempuan yang lebih

banyak ditemukan pada usia muda dapat menjadi penyebab pada hasil
89

penelitian tingkat kecemasan pasien praoperasi dengan GA lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien praoperasi dengan pemberian SA.

Yang ketiga adalah riwayat operasi. Dari hasil penelitian didapatkan

untuk pasien dengan pemberian SA mayoritas sudah pernah menjalani

operasi sebelumnya dengan presentase 86,84% dan yang belum pernah

operasi sebelumnya memiliki presentase 13,16%. Dan untuk riwayat

operasi sebelumnya, pasien dengan pemberian GA yang menyatakan belum

pernah pernah operasi sebelumnya (56,52%) lebih tinggi daripada yang

sudah pernah operasi sebelumnya (43,48%). Pada Campbell (2010)

menjelaskan sistem limbic mempengaruhi timbulnya emosi pada setiap

individu dengan beberapa fungsi seperti emosi, motivasi, olfaksi, perilaku,

dan memori terlebih di luar sistem limbik juga berpartisipasi dalam

pembangkitan dan pengalaman emosi (Campbell, 2010).

Kecemasan timbul salah satunya karena adanya sebuah pengalaman

yang kurang baik pada setiap individu. Dan permasalahan pada penelitian

ini adalah praoperasi. Bagian otak yang bekerja dalam mengontrol

kecemasan salah satunya adalah amiglada. Fungsi dari amiglada adalah

menanggapi suatu pengalaman yang telah di alami sebelumnya baik

pengalaman buruk ataupun pengalaman baik dengan kata lain amiglada

berperan dalam mengingat kembali suatu emosi (Campbell, 2010). Itulah

mengapa orang yang telah berpengalaman operasi sebelumnya dan

mempunyai pengalaman baik terhadap operasi sebelumnya mempunyai

tingkat kecemasan yang lebih rendah daripada pasien yang belum pernah

operasi sebelumnya. Begitu juga pasien yg memiliki pengalaman buruk


90

terhadap operasi sebelumnya memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pasien yang memiliki pengalaman yang baik.

Kecemasan juga berhubungan dengan pengambilan keputusan individu

terhadap sesuatu. Tubuh yang mengalami kecemasan ataupun stress yang

prosesnya dilakukan oleh hipotalams akan merespon untuk menghadapinya

agar tidak semakin cemas. Hal tersebut juga terbukti dari penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Maheswari dan Ismail (2015) bahwa

terdapat hubungan kecemasan yang signifikan pada pasien yang menjalani

operasi sebelumnya dengan GA, yang mengalami GA lagi. Skor kecemasan

yang tinggi ditemukan pada pasien dengan pengalaman negatif sebelumnya.

Kecemasan berat juga dapat disebabkan karena tindakan operasi yang

merupakan pengalaman yang pertama (Maheswari dan Ismail, 2015).

Karena yang menjadi responden pada pasien praoperasi dengan GA adalah

lebih banyak pasien yang menyatakan belum pernah operasi sebelumnya

(56,52%) daripada pasien yang sudah pernah operasi yoga sebelumnya

(43,42%). Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Palese,

Cecconi, Moreale, dan Skrap (2012) bahwa mereka yang mengalami

pengalaman pertama operasi terlebih operasi, akan mengalami kecemasan

yang lebih tinggi bahkan dapat mengalami lain juga depresi (Palase, dkk.,

2012). Penelitian lain yang dilakukan oleh Roomrungwong, dkk. (2012)

yang menyebutkan bahwa klien yang akan mengalami operasi untuk

pertama kalinya memiliki tingkat operasi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan klien yang telah mengalami operasi sebelumnya (Maheswari dan

Ismail, 2015). Mekanisme koping adalah suatu mekanisme/ sistem dimana


91

seseorang tersebut beradaptasi terhadap masalah yang dihadapinya (Stuart

& Laraia:2005). Jadi dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

suatu mekanisme koping dalam individu dapat dikatakan berhasil jika

individu tersebut mampu beradaptasi terhadap perubahan atau beban yang

dalam masalah ini adalah kecemasan praoperasi (Suryani dan Widyasih,

2008).

Dan dari hasil penelitian yang menyebutkan bahwa pasien praoperasi

dengan GA mayoritas adalah pasien belum pernah memiliki riwayat operasi

sebelumnya, dan pasien praoperasi dengan SA mayoritas sudah memiliki

riwayat operasi sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa riwayat

operasi pada penelitian ini mempengaruhi tingkat kecemasan dan dapat

menjadi aasan pasien praoperasi dengan pemberian GA mempunyai tingkat

kecemasan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien praoperasi

dengan SA.

B. Keterbatasan Penelitian

1. Adanya pembaruan sistem BPJS yang menyebabkan jumlah pasien sampel

di RSI Jemursari Surabaya menurun.

2. Pengambilan sampel dilakukan tidak dilakukan pada semua ruangan

melainkan hanya di Ruang Mawar dan Ruang Azzahra 2.

3. Pasien VVIP, VIP dan Non-BPJS tidak menjadi sampel penelitian.

4. Adanya jadwal pengambilan sampel yang bertabrakan dengan jadwal

kuliah.

5. Bertabrakan dengan jadwal pasien yang terlebih dahulu ke ruang operasi.


92

6. Responden yang belum datang ke RSI Jemursari Surabaya pada saat peneliti

melakukan pengambilan data.

7. Perawat yang tidak memperbolehkan untuk mengambil sampel.

8. Pada hari sabtu tidak dapat dilakukan pengambilan sampel.

Anda mungkin juga menyukai