Anda di halaman 1dari 76

2.

FLOW CHART DETEKSI DINI KETULIAN

1. PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir dan dapat
terjadi saat kehamilan dan saat persalinan. Penyebabnya adalah genetik dan non genetik.
Dimana jenis ketulian dapat sebagian dan total ( sama sekali tidak dapat mendengar ).
Bayi Tuli dapat tidak mendengar pada ambang dengar normal, dan dapat mendengar
pada ambang di atas 30-40 dB / lebih. Tuli kongenital merupakan masalah anak yang serius
karena akan menyebabkan gangguan perkembangan bicara dan berbahasa. Dampaknya tidak
hanya gangguan komunikasi tetapi bisa lebih luas yaitu pada kemampuan kognitif, perilaku,
social, akademik, dan kesempatan kerja.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Rumusan masalah dalam tinjauan pustaka ini adalah mendeteksi dini tuli kongenital,
serta penanganan dan pencegahannya.

1.3 TUJUAN
Tujuan penyusunan makalah ini untuk mengetahui flow chart deteksi dini tuli
kongenital, dampaknya serta penanganan dan pencegahannya.

1.4 MANFAAT
Manfaat penyusunan makalah ini agar kita bisa mendeteksi dini tuli kongenital dan
mengetahui cara penanganannya agar tidak menyebabkan dampak yang lebih parah.

1
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 BUNYI
Bunyi dihasilkan oleh suatu tenaga getaran dengan frekuensi dan amplitudo tertentu.
Frekuensi menentukan tinggi nada, satuannya Hertz ( Hz ), amplitudo menentukan kerasnya
suara, satuannya deci Bell ( dB ). Getaran energi dari sumber bunyi akan menggetarkan partikel
zat penghantar, memindahkan partikel secara bolak-balik menurut frekuensi dan amplitudo
tertentu, sehingga ada komponen perapatan dan ada komponen peregangan partikel-partikel yang
bergerak. Jadi, perpindahan partikel itu mempunyai komponen pergerakan dan komponen
penekanan. Oleh karena lebih mudah mengukur tekanan dari pada mengukur perpindahan
partikel penghantar, maka tekanan suara dipakai sebagai ukuran tenaga suara. Suatu tekanan
adalah tenaga per area. Unit internasional untuk tekanan adalah pascal ( Pa ).
Sistem auditori manusia sensitif terhadap skala variasi tekanan yang luas. Tekanan yang
dihasilkan oleh suara percakapan adalah 100 sampai 500 kali tekanan suara ambang pendengaran.
Musik dapat menimbulkan tekanan suara 10.000 kali ambang pendengaran, sedangkan tembakan
dan mesin jet menghasilkan tekanan suara lebih dari satu juta kali tekanan untuk ambang
pendengaran. Karena sensitivitas telinga manusia terhadap tekanan dapat bervariasi sampai lebih
dari 1 juta kali dan dapat membedakan perubahan tekanan suara sampai secara sebagian-
sebagian, maka gradasi tekanan suara diukur secara logaritmik.
Telinga manusia dapat mendengar suara dengan frekuensi 20 sampai 20.000 Hz.
Ambang pendengaran terhadap masing-masing frekuensi berbeda, paling sensitif terhadap
frekuensi 500 sampai 8000 Hz. Berdasarkan ambang pendengaran menurut American National
Standard ( ANSI ), ambang pendengaran yang terukur pada audiometri nada murni pada setiap
frekuensi diplotkan sehingga tergambar sebagai grafik ambang pendengaran pada audiogram.
Pada audiogram, tertulis bahwa ambang pendengaran sebuah telinga tertera 10 dB untuk
frekuensi tertentu, itu berarti bahwa ambang pendengaran telinga tersebut adalah terhadap suara
yang 10 dB lebih nyaring dibandingkan ambang pendengaran menurut standard ANSI.

2
2.2 PENGHANTARAN ENERGI SUARA PADA TELINGA NORMAL
2.2.1 Peran Telinga Luar pada Penghantaran Bunyi
Semua bagian tubuh kita ikut bergetar apabila terpapar energi dari sumber bunyi.
Turut bergetarnya bagian-bagian tubuh tersebut ikut menguatkan energi suara yang berasal dari
sumber bunyi sesampainya di membrana timpani. Fungsi tersebut disebut fungsi akustik
bagian-bagian tubuh, yaitu fungsi penguatan tenaga suara karena bagian tubuh ikut begetar.
Penguatan tersebut bervariasi menurut bagian tubuh yang ikut bergetar dan menurut frekuansi
bunyi. Fungsi akustik telinga luar dapat menguatkan suara paling tinggi untuk nada 250 Hz,
yaitu sekitar 20 dB untuk bunyi yang datang dari sebelah telinga yang diukur. Untuk suara yang
datang dari sebelah yang berlawanan akan terjadi pengurangan energi suara. Selain menguatkan
energi suara, daun telinga juga berfungsi untuk energi perasaan kesan ruang dari
datangnya suara.

2.2.2 Fungsi Telinga Tengah dalam Penghantaran Bunyi


Telinga tengah mengkopling ( meneruskan sambil menguatkan atau melemahkan )
energi akustik dari medium udara ke medium cairan. Hal tersebut memerlukan sistem
penyesuaian impedans. Teori klasik mengemukakan bahwa penyesuaian itu terjadi melalui
catenary lever, ossicular lever dan hydraulic lever.
Catenary lever menerangkan bahwa perlekatan membran timpani pada anulus
timpanikus menyebabkan tenaga suara yang diterima diteruskan ke bagian tengah yang lentur
untuk kemudian diterima oleh prosesus longus maleus. Catenary lever menguatkan energi suara
menjadi dua kali sesampainya di maleus.
Ossicular lever beranjak dari konsep bahwa maleus dan inkus beraksi sebagai satu
kesatuan sebagai pengungkit. Maleus dan inkus berotasi dengan sumbu yang berjalan antara
ligamentum maleus anterior dengan ligamentum inkus posterior. Ossicular lever adalah panjang
manubrium maleus dibagi panjang prosesus longus inkus, kira-kira 1 : 1,3. Karena adanya
tahanan maka pembesaran tenaga tidak 1,3 melainkan menjadi kira-kira 1,15 kali.
Hydraulic lever, kadang-kadang disebut sebagai areal ratio, terjadi karena perbedaan
ukuran membran timpani dengan kaki stapes. Energi suara yang diterima di membran timpani
dan diteruskan ke kaki stapes akan mengalami konsentrasi tenaga sehingga tenaga yang diterima
per satuan luas akan meningkat secara proporsional sesuai dengan perbandingan luas ke-2 luas
permukaan tersebut. Perbedaan luas tersebut adalah sekitar 17 : 1.
Dengan demikian maka catenary lever dan ossicular lever bersama-sama mengeraskan
tenaga suara menjadi 2,3 kali, sedangkan hydraulic lever sebanyak 17 kali, tetapi karena adanya
tenaga yang hilang akibat tahanan penghantaran akan terjadi total penguatan energi akibat
catenary lever, ossicular lever dan hydraulic lever sekitar 20.8 kali.
Perhitungan yang lebih klasik lagi mengatakan bahwa penguatan energi tersebut adalah
sebesar 22 kali yang didapat dari rasio hidraulic sebesar 17 kali dikali rasio osikular
sebesar 1,3 kali.
Penelitian yang lebih mutakhir oleh Marchan et al pada tahun 1997 menyimpulkan bahwa
teori transformasi akustik di telinga tengah harus dimodifikasi. Dikemukakannya bahwa transmisi
suara di telinga tengah merupakan hasil kopling osikular, kopling akustik dan input impedansi
stapes-koklea. Selain itu aerasi telinga tengah ( kavum timpani dan mastoid ) juga perlu sekali
untuk sistem konduksi suara di telinga tengah.

3
Kopling Osikuler ( Ossicular coupling )
Kopling osikuler adalah pembesaran energi suara yang disampaikan ke telinga dalam
melalui membran timpani dan rantai osikel. Penambahan pendengaran adalah sekitar 20 dB pada
nada 250-500 Hz, mencapai penambahan maksimum sebesar 25 dB pada nada 1000 Hz,
kemudian turun sekitar 6 dB per oktaf pada frekuensi di atas 1000 Hz.
Pada nada rendah, seluruh membran timpani bergerak dalam satu fase, sedangkan pada
nada di atas 1000 Hz gerakan membran timpani terbagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang
bergerak dengan fase berbeda. Hal ini yang juga menyebabkan berkurangnya penguatan suara
pada nada tinggi adalah terpelesetnya gerakan rantai tulang pendengaran akibat rotasi aksis osikel
dan fleksi sendi tulang-tulang pendengaran. Sebagian tenaga juga hilang untuk mengatasi
ketegangan dan massa membran timpani serta tulang pendengaran.

Kopling Akustik ( Acoustic Coupling )


Kopling akustik adalah perbedaan tekanan suara yang beraksi langsung pada tingkap
lonjong dan tingkap bulat. Gerakan membran timpani menyebabkan tekanan suara di telinga
tengah yang dihantarkan langsung ( selain yang melalui osikel ) ke tingkap lonjong dan
tingkap bulat. Tekanan ke tiap foramen tersebut berbeda karena perbedaan orientasi letaknya
terhadap membran timpani. Pada telinga yang normal dengan membran timpani yang utuh
perbedaan itu dapat diabaikan. Ditutupnya tingkat bulat pada keadaan perforasi membran
timpani, seperti pada timpanoplastitipe IV Wulstein misalnya, akan menjuruskan seluruh
tekanan suara ke tingkap lonjong, sehingga akan terjadi penguatan persepsi suara.

Impedansi input Stapes - kokhlear ( Stapes-Cochlear Input Impedance )


Impedansi input stapes - kokhlear adalah gerakan kaki stapes yang tertahan oleh beberapa
struktur anatomi antara lain ligamen anulare, cairan koklea, partisi-partisi di dalam koklea, dan
membran tingkap bulat. Impedansi tingkat bulat dapat diabaikan pada telinga normal, tetapi
apabila round window nice terisi oleh cairan ataupun jaringan patologik lain, akan terjadi
peningkatan impedansi tingkat bulat, berakibat meningkatnya impedansi input stapes-koklear
sehingga akan menyebabkan tuli konduktif.

Aerasi Telinga Tengah


Adanya rongga udara dengan volume yang cukup dengan tekanan yang sama dengan
tekanan udara luar perlu sekali untuk dapat bergeraknya membran timpani. Tahanan telinga
tengah berbanding terbalik dengan volumenya. Bila rongga telinga tengah mengecil misalnya
pada inflamasi kronis dan pada timpanoplasti dinding runtuh maka impedansi dan tekanan telinga
tengah akan meningkat sehingga terjadi perbedaan dengan telinga luar. Pada batas tertentu
pengecilan volume tersebut mengganggu kopling osikuler. Diperkirakan bahwa volume minimal
yang diperlukan untuk kopling osikuler dalam 10 dB telinga normal adalah 0,5 ml.
2.3 PENGARUH KELAINAN TELINGA TENGAH TERHADAP PENDENGARAN
Kelainan telinga tengah yang mempengaruhi kurve audiogram dapat berupa penambahan
massa, kekakuan dan friksi / diskontinuitas sistem penghantaran suara. Tiap jenis kelainan
tersebut bila terjadi secara sendiri-sendiri akan mempunyai kurve audiogram yang berbeda.
Johansen mengemukakan rumus tahanan akustik yang dapat membantu pemahaman
terjadinya perbedaan kurve audiogram pada berbagai kelainan tersebut. Rumus tersebut adalah:
Impedance = √ (friction2 + mass x frequency – stiffess2 / fequency)

4
Dengan demikian kurva kesenjangan hantaran udara dengan hantaran tulang
( ABG=Air Bone Gap ) audiogram akan naik ( ketulian terutama nada rendah ) pada kekakuan,
hampir datar pada diskontinuitas, dan menurun ( ketulian terutama nada tinggi ) pada
pertambahan masa. Harus diingat bahwa pada keadaan klinis biasanya kelainan tersebut tidak
terjadi sendiri-sendiri, melainkan seringkali terjadi bersama-sama, sehingga yang tergambar pada
audiogram merupakan resultante beberapa kelainan
Kurang pendengaran yang terjadi pada berbagai kelainan telinga tengah akan lebih mudah
diterangkan dengan memperhitungkan penghantaran energi suara melalui kopling osikel dan
kopling akustik dari telinga luar melalui telinga tengah ke telinga dalam.
2.4 TULI KONGENITAL
2.4.1 Definisi
Tuli kongenital adalah gangguan pendengaran yang terjadi sejak lahir, dapat terjadi saat
kehamilan dan saat persalinan.

2.4.2 Epidemiologi Tuli Kongenital


Angka kekerapan tuli kengenital di negara maju ( Sininger, USA, 2002 ) menyebutkan
0,1% - 0,3% kelahiran hidup dengan 50% tanpa factor resiko terhadap ketulian. Umumnya baru
diketahui pada usia 18-24 bulan. Di Indonesia berdasarkan survai Depkes 7 provinsi
( 1994-1996 ) , angka kekerapan di Indonesia 0,1% dengan angka kelahiran 0,22% dari
jumlah penduduk 252.370.792. Diperkirakan kurang lebih 5.000 bayi lahir tuli / tahun.

2.4.3 Dampak Tuli Kongenital


Dampak tuli kongenital, paling gawat jika tidak ditolong. Terjadi gangguan
perkembangan kognitif, psikologi, social dengan akibat:
- Gangguan proses bicara
- Gangguan perkembangan kemampuan berbahasa
- Gangguan komunikasi
- Gangguan proses belajar dan perkembangan kepandaian
- Menjadi SDM rendah yang kurang mandiri, tidak mampu bersosialisasi,
menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara.

2.4.4 Yang Perlu Diperhatikan Dalam Gangguan Pendengaran Dan Ketulian Pada Anak
Gangguan pendengaran pada anak dapat berdampak :
- Gangguan bicara
- Gangguan emosional
- Gangguan perkembangan lainnya
Gangguan pendengaran seringkali diketahui karena adanya keterlambatan bicara
( delayed speech ). Kondisi ini dapat ditolong jika diketahui sejak dini yaitu :
 Sebelum anak berusia 3 bulan ( pada usia ini harus sudah diketahui adanya
gangguan pendengaran ).
 Habilitas pendengaran sudah dapat dimulai pada usia 6 bulan.
 Sehingga anak tidak terlambat bicara, dan akhirnya anak dapat bicara normal.
 Uji pendengaran setiap bayi baru lahir ( UNHS = Universal Neonatal Hearing
Screening ).

5
2.4.5 Perlunya Alat OAE Dalam Deteksi Tuli Kongenital
Alat OAE dapat memeriksa pendengaran bayi secara obyektif ( bisa sejak berusia baru
lahir ). Caranya : ujung ( probe ) alat OAE ditempelkan ke liang telinga bayi, aman, tidak
menyakiti, mudah singkat ( 2-5 menit ), akurat dan relative murah. Bayi dalam keadaan tidur /
tenang setelah menyusui. Tanpa pemeriksaan OAE, anak tuli kongenital umumnya baru diketahui
setelah 2-3 tahun dengan dampak kemampuan bicara kurang optimal.
2.4.6 Perlunya Habilitasi Sejak Dini / Usia 6 bulan
Saraf dan sentral pendengaran di otak perlu dirangsang dengan suara / bunyi-bunyi sejak
dini yaitu yang didengar dan dikenal sejak lahir, bayi mendengar dan mengenali setiap bunyi agar
terjadi perkembangan dan kematangan proses mendengar di otak. Anak dengan tuli kongenital
dipasang ABD setelah besar sehingga dia bisa mendengar tetapi tidak mengenali itu bunyi apa
akibat tidak adanya proses perkembangan dan kematangan tersebut. Tanpa rangsangan, terjadi
atrofi syaraf dan sentra pendengaran sehingga upaya pemulihan pendengaran terganggu.
Sehingga akhirnya terjadi delayed speech / perkembangan bahasanya lambat.
Pengenalan bunyi sejak dini diperlukan untuk proses kognitif untuk kematangan sentral
pendengaran di otak. Sejak dini bayi / anak harus mendengar dan mengenali bunyi :
- Mengenali suara ibu
- Gelas pecah
- Klakson
- Suara anggota keluarga
- Suara binatang
Agar bisa mengenal bunyi sejak dini, identifikasi tuli kongenital sangat penting kemudian
dilanjutkan dengan habilitas dini dan tepat sehingga upaya ini menyelamatkan anak, sehingga
anak dapat:
- Mendengar, mengenali bunyi
- Bicara, belajar, dan punya masa depan sama seperti anak normal
2.4.7 Cara Habilitasi Dini Dan Cepat
Diawali dengan evaluasi audiologist dan klinis yang lengkap, dilaksanakan sampai anak
umur 3 bulan yaitu pemeriksaan AABR. Dilanjutkan intervensi ( pakai ABD ) sebelum anak
umur 6 bulan agar proses kognitif dan bicara bisa berkembang seperti anak normal yaitu
bayi pakai ABD dan pakai implant kohlea.
2.4.8 Anjuran WHO Dan Sound Hearing 2030 Terhadap Tuli Kongenital
Anjuran WHO adalah Negara Asia Tenggara harus melaksanakan skrining semua bayi
lahir atau UNHS ( Universal Neonatal Hearing Screening ). Caranya dengan alat OAE
( Oto-Acoustic Emission ) untuk memeriksa semua bayi lahir, caranya mudah, tidak invasive,
oleh perawat yang dilatih. Jika ada kelainan, dilanjutkan dengan evaluasi lebih lengkap dengan
pemeriksaan audiologist dan klinis lengkap. Mengingat dampak tuli kongenital yang berat dan
luas maka kejadian tuli kongenital harus diturunkan melalui kerjasama berbagai disiplin umum.
2.4.9 Flow Chart Deteksi Dini Tuli Kongenital
a. Skrining pendengaran
1. Hospital Based
Untuk RS yang benar-benar sudah siap melaksanakan paket :
o Deteksi dini :
Alat : OAE ( Otoacoustic emission )
Sasaran : di tiap RSU / klinik melahirkan; biaya pemeriksaan OAE harus masuk
paket partus

6
 Bayi 2 hari setelah lahir, sebelum pulang, periksa OAE
 Selambat-lambatnya 2 bulan bagi yang lahir di fasilitas kesehatan tanpa OAE
o Diagnose pasti ( selambat-lambatnya usia 3 bulan ) :
Alat : AABR
Sasaran : di tiap RS propinsi
 Pemeriksaan audiologik komprehensif
 OAE lagi + timpanometri, BERA click + Tone Burst atau ASSR ( Auditory
Steady State Response )
o Habilitasi pendengaran dan wicara ( usia 6 bulan )
Alat : ABD ( alat bantu dengar ), implant koklea dan PAUD
Sasaran : masuk asuransi pemerintah; masuk alat kesehatan sehingga pajak murah
 Pasang ABD dst
 Implant koklea dst
2. Community Based
Perlu disiapkan alur rujukan dari Komunitas ke RS kabupaten ke RS propinsi yang siap
melaksanakan paket penatalaksanaan tuli kongenital
- Pencegahan
Alat : vaksinasi Rubella
Sasaran : ibu hamil
- Pelatihan tenaga medis
Alat : pelatihan bidan cara diagnosis dini
Sasaran : di seluruh Indonesia
- Sosialisasi
Alat : Leaflet, poster, billboard,media elektronik
Sasaran : anjuran memeriksa pendengaran bayi baru lahir

7
b. Deteksi dini
Cara sederhana deteksi kemungkinan tuli kongenital
- Observasi respon bayi terhadap suara :
o Memperhatikan tingkah laku bayi / anak saat diberi stimulus bunyi.
o Usia 0-4 bulan : respon bayi terhadap bunyi masih berbatas sebagai refleks.
o Bayi umur 0-1 bulan: refleks Moro ( bayi kaget ), Auropalpebra
( mengejapkan mata ), Grimacing ( mengerutkan wajah ), berhenti
menyusu / mengisap lebih cepat, bernapas lebih cepat, dan ritme jantung
bertambah cepat.
- Stimulus bunyi dengan frekuensi bunyi benda-benda disekitar kita, sesuai
gambar berikut ini :

- Kita perlu curiga jika:


Usia Kepandaian bicara

12 bulan Belum dapat mengoceh ( babbling ) atau meniru bunyi

18 bulan Tidak dapat menyebut 1 kata yang mempunyai arti

24 bulan Perbendaharaan kata > 10 kata

30 bulan Belum dapat merangkai kata

8
9
- Perhatikan evaluasi perkembangan pendengaran dan bicara bayi anda

10
c. Habilitasi
- Fitting ABD ( Alat Bantu Dengar / ABD = Alat Bantu Dengar /
Hearing Aid ) dilakukan sedini mungkin :
o Dibawah usia 6 bulan.
o Agar anak segera belajar mendengar dan mengenali bunyi.
- Implan kohlea.
- ABD eksternal dan IK ( implant koklea ) merangsang anak belajar
mendengar dan mengenali bunyi, anak dapat belajar bicara dan
berbahasa, mampu belajar dengan baik dan mencapai jenjang akademik
tinggi dan jadi SDM berkualitas, mendiri dan sejahtera.
- Sekolah khusus.
- Segera diberi pelatihan mendengar.
- Dilanjutkan terapi bicara / komunikasi.
Kendala habilitasi :
- ABD berkualitas dan IK ( implant koklea ) sangat mahal.
- Penggantiaan dari pemerintah sangat minimal / mendapat ABD kualitas
rendah, tidak nyaman dipakai, akhirnya dilepas.
- Sarana dan prasarana operasi belum memadai.

2.4.10 Faktor Penyebab Tuli Kongenital


 Faktor Kehamilan
- Genetik
- Non genetik
o Infeksi : TORCHS ( Toxoplasmosis, Rubella, Cytomegali, Herpes,
Sifilis ), Campak, Parotitis. WHO menganjurkan negara-negara
Asia Tenggara membentuk program pencegahan dalam sistem
pelayanan kesehatan primer, termasuk :
 Vaksinasi anak terhadap penyakit campak, rubella, meningitis
dan gondongan.
 Skrining dan pengobatan sifilis pada wanita hamil.
 Deteksi dini dan penatalaksanaan gangguan pendengaran pada
bayi.

o Obat Ototoksik ( salisilat, kina, neomisin, streptomisin, gentamisin,


thalidomit, barbiturate ) sebabkan tuli sensorineural bilateral.
Dampak ototoksik yaitu :

 Mengganggu proses pembentukan organ, terjadi : atresia liang


telinga dan aplasia kohlea.

 Merusak sel rambut kohlea.


 Faktor Kelahiran
Sebabkan tuli sensorineural bilateral
- Lahir premature
- BBLR ( >1500 gram )
- Tindakan dengan alat

11
- Hiperbiliruninemia ( >20gm / 100ml )
- Asfiksia ( lahir tidak menangis )
- Anoksia otak ( APGAR SCORE > 5 )
 Resiko Tinggi Tuli Kongenital :
Menurut Joint Committee on Infant Hearing ( JCIH ) tahun 1990 :
1. Ada riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran bawaan.
2. Riwayat infeksi prenatal ( TORCHS ).
3. Kelainan anatomi telinga dapat disertai kelainan kraniofasial.
4. Premature ( > 37 minggu ) / BB Lahir Rendah ( > 1500 gram ).
5. Hiperbilirubinemia yang memerlukan tranfusi tukar darah.
6. Obat ototoksik.
7. Meningitis bacteria.
8. Apgar Score 0-4 pada menit pertama; 0-6 pada 5 menit.
9. Bayi di NICU dengan ventilasi mekanik 5 hari.
10. Sindroma yang berhubungan dengan tuli sensorineural / konduktif.

2.4.11 Jenis Tuli Kongenital


1. Sensorineural / saraf
- Diagnosis dini sulit karena kelainan di sebelah dalam telinga sehingga
tidak tampak dari luar.
- Derajat : berat / sangat berat.
- Mengenai 2 sisi telinga ( bilateral ).
- Orang tua terlambat mengetahui / menyadari.
- Informasi dari orang tua sangat bermanfaat mengenai :
o Respon anak terhadap suara di lingkungan rumah.
o Kemampuan bicara / vokalisasi.
o Cara pengucapan kata.
2. Konduktif
- Kelainan di telinga luar, sehingga mudah tampak.
- Bisa uni / bilateral.
- Derajat tuli berbeda.
- Terjadi akibat gangguan perkembangan :
o Arkus brakhialis I dan II yaitu telinga kecil ( microtia ), telinga
tidak terbentuk ( anotia ), stenosis liang telinga.
o Celah brakhialis I yaitu kista / traktus sinus.

2.4.12 Sindroma Menyertai Tuli Kongenital


- Sindroma Treacher Collins : tuli konduktif disertai deformitas kraniofasial
berupa tulang pipi tidak terbentuk, micrognatia ( dagu kecil ), kelopak mata
bagian bilateral menurun, malformasi telinga atau tidak terbentuk.
- Sindroma Rubella : kelainan mata seperti katarak, glaucoma, strabismus,
nistagmus, microphtalmia, dll.
- Sindroma Waardenburg : Heterochromia iris (iris mata beda warna), tuli,
pangkal hidung melebar, dan kantus medialis letak lebih lateral.

12
2.4.13 Pemeriksaan Baku Emas

13
2.4.14 Pencegahan Tuli Kongenital
- Hindari perkawinan antar keluarga.
- Imunisasi.
- Antenatal care yang baik.
- Skrining pendengaran: UNHS ( Universal Neonatal Hearing Screening ) dan
bayi dengan resiko.
2.4.15 Masalah Yang Dihadapi
Belum adanya :
- Program Nasional skrining semua bayi baru lahir. HTA tuli kongenital sudah
dibuat Kementerian Kesehatan RI bersama profesi Perhati-KL tetapi belum
disosialisasikan ke seluruh Indonesia.
- SDM yang memadai.
- Fasilitas ABD termauk implant kohlear.
- Fasilitas sekolah.
Pemecahan masalah :
- Advokasi ke PEMDA untuk memfasilitasi anggaran memperbaiki dan
melengkapi infrastruktur.
- Pelatihan SDM.
- ABD dan implant koklea murah.
- Pengelolaan alat.
- Sekolah khusus.
- Mengetahui permasalahan di daerah, berapa prevalensinya.
- Infrastruktur.
- Melaksanakan sosialisasi.
- Pendekatan ke pengusaha, organisasi swadaya masyarakat, untuk saling
bekerja sama menanggulangi masalah.
- Menyelenggarakan pelatihan petugas kesehatan dan kader.
- Melakukan upaya deteksi dan intervensi dini.
- Pelaksanaan sosialisasi.

2.4.16 Upaya Preventif / Sosialisasi


Telah dibentuk Komnas PGPKT dengan tujuan : ( 7* www.ketulian.com )
a. Tujuan utama Komnas PGPKT ( Komite Nasional Penanggulangan Gangguan
Pendengaran Dan Ketulian ) adalah meningkatkan pelayanan PGPKT di lini
pertama pelayanan kesehatan melalui Pelatihan dan Pembinaan Dokter
Puskesmas dan Dokter Umum di wilayah masing – masing. Diharapkan
program PGPKT menjadi program kesehatan yang berkesinambungan di
Puskesmas-puskesmas seluruh di Indonesia.
b. Tujuan akhir adalah terbentuknya Provinsi, Kotamadya dan Kabupaten Sehat
Telinga agar pembentukan SDM Indonesia yang berkualitas, mandiri dan
sejahtera dapat tercapai optimal.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Masalah yang dihadapi yaitu bayi tuli dampak berat dan luas. Pemecahan masalah yaitu
dengan:
 Deteksi dan habilitasi dini yaitu :
o Skrining nasional UNHS dengan alat OAE
o Diagnosis pasti dengan AABR
o Habilitasi : ABD / KI
o PAUD / Peran Orang tua
 Upaya pencegahan melalui sosialisai, vaksinassi Rubella. Upaya pemerintah berupa
persiapan infrastruktur, sarana, SDM :
o Tiap RS / Klinik tempat lahir harus ada OAE dan RS propinsi punya AABR dan
lain-lain dalam rangka persiapan UNHS
o SDM berupa pelatihan ahli audiologi dimasukkan dalam struktur RS
o Semua jenis ABD ( termasuk Implan koklea masuk Asuransi Pemerintah /
Pemda )
o Advokasi pejabat berwenang
o Kerjasama LP, LS, LSM, dan lain-lain.

3.2 SARAN
1. Penjaringan kasus dengan risiko tinggi dan pengawasan antenatal yang teratur dan
baik, sangat menentukan prevalensi angka kejadian tuli kongenital, untuk ini
diharapkan dapat dilakukan penyuluhan pada wanita hamil dengan risiko tinggi akan
resiko tuli kongenital dan meningkatkan mutu pelayanan antenatal di Puskesmas dan
Poliklinik ibu hamil. Untuk itu perlu dilakukan pelatihan untuk menambah
pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan dalam mengenal kasus tuli
kongenital.
2. Segera melakukan deteksi dini tuli kongenital pada setiap kelahiran di Indonesia.
3. Penanganan kasus tuli kongenitsl harus dilakukan secara terpadu dan komprehensif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Merchant. Structure and function of the external and middle ear. Available from:
http://epl.meei.harvard.edu/~keh/cd846/Lecture02.pdf
2. Merchant SN, Rosowsky JJ. Auditory physiology. In:Glasscock III ME, Gulja AJ, editors.
Surgery of the ears. 5th ed. Ontario; 2003. P. 59-82.
3. Batista AB, Esquivel C. Middle Ear, Ossiculopasty. Available from: http:// www.
emedicine.com/ent/topic219.htm. april 7, 2005.
4. Merchant SN, Ravicz ME, Puria S, et al. Analysis od middle ear mechanics and application
to diseased and reconstructed ears. Am J Otol 1997; 18: 139-54.
5. Merchant SN, Ravicz ME, Voss SE, et al. Toynbee memorial lecture 1997. Middle ear
mechanics in normal, diseased and 51 reconstructed ears. J Laryngol Otol 1998; 112:715-
31.
6. Soetjipto D. Tuli sejak lahir tuli congenital. Komnas PGPKT. 2015
7. www.ketulian.com

15
3. SISTEM KOHLEA
3.1 ANATOMI FISIOLOGI TELINGA
Telinga adalah indra pendengaran. Pendengaran merupakan indra mekanoreseptor
karena memberikan respon terhadap getaran mekanik gelombang suara yang terdapat di
udara. Telinga menerima gelombang suara yang frekuensinya berbeda, kemudian
menghantarkan informasi pendengaran kesusunan saraf pusat. Telinga dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam.3

GAMBAR 2.1 ANATOMI TELINGA

BAGIAN-BAGIAN TELINGA
3.1.1 Telinga Luar
Bagian luar merupakan bagian terluar dari telinga.Telinga luar terdiri dari daun
telinga, lubang telinga, dan saluran telinga luar.Telinga luar meliputi daun telinga atau
pinna, Liang telinga atau meatus auditorius eksternus, dan gendang telinga atau
membran timpani. Bagian daun telinga berfungsi untuk membantu mengarahkan suara ke
dalam liang telinga dan akhirnya menuju gendang telinga. Rancangan yang begitu
kompleks pada telinga luar berfungsi untuk menangkap suara dan bagian terpenting
adalah liang telinga. Saluran ini merupakan hasil susunan tulang dan rawan yang dilapisi
kulit tipis.3
Telinga luar, yang terdiri dari aurikula (atau pinna) dan kanalis auditorius
eksternus, dipisahkan dari telinga tengan oleh struktur seperti cakram yang dinamakan
membrana timpani (gendang telinga).Telinga terletak pada kedua sisi kepala kurang lebih
setinggi mata.Aurikulus melekat ke sisi kepala oleh kulit dan tersusun terutama oleh
kartilago, kecuali lemak dan jaringan bawah kulit pada lobus telinga.Aurikulus
membantu pengumpulan gelombang suara dan perjalanannya sepanjang kanalis
auditorius eksternus. Tepat di depan meatus auditorius eksternus adalah sendi temporal
mandibular. Kaput mandibula dapat dirasakan dengan meletakkan ujung jari di meatus
auditorius eksternus ketika membuka dan menutup mulut.

16
Kanalis auditorius eksternus panjangnya sekitar 2,5 sentimeter. Sepertiga lateral
mempunyai kerangka kartilago dan fibrosa padat di mana kulit terlekat. Dua pertiga
medial tersusun atas tulang yang dilapisi kulit tipis.Kanalis auditorius eksternus berakhir
pada membrana timpani.Kulit dalam kanal mengandung kelenjar khusus, glandula
seruminosa, yang mensekresi substansi seperti lilin yang disebut serumen.Mekanisme
pembersihan diri telinga mendorong sel kulit tua dan serumen ke bagian luar
telinga.Serumen nampaknya mempunyai sifat antibakteri dan memberikan perlindungan
bagi kulit.Di dalam saluran terdapat banyak kelenjar yang menghasilkan zat seperti lilin
yang disebut serumen atau kotoran telinga.Hanya bagian saluran yang memproduksi
sedikit serumen yang memiliki rambut.Pada ujung saluran terdapat gendang telinga yang
meneruskan suara ke telinga dalam.Peradangan pada bagian telinga ini disebut sebagai
otitis Eksterna. Hal ini biasanya terjadi karena kebiasaan mengorek telinga dan akan
menjadi masalah bagi penderita diabetes mellitus (DM/sakit gula).3
Aurikula berfungsi mengumpulkan getaran udara, bentuknya berupa lempeng
tulang rawan yang elastis yang ditutupi kulit, memiliki otot intrinsic dan ekstrinsik serta
di persarapi oleh nervus fasialis.Seluruh permukaan diliputi kulit tipis dengan lapisan
subkutis pada permukaan anterolateral, serta di temukan rambut kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat.
Meatus akustikus eksternal merupakan tabung berkelok – kelok yang terbentang
antara aurikula dan membrane tempani, berfungsi menghantarkan gelombang suara dari
aurikula ke membrane tempani.
Pada bagian luar banyak ditemukan rambut yang berhubungan dengan kelenjar
sebasea, sedangkan dalam liang ditemukan serumen berwarna coklat yang berfungsi
sebagai pelindung. Seruman merupakan modifikasi kelenjar keringat bergabung dengan
kelenjar sebasea yang bermuara langsung ke permukaan kulit.3

GAMBAR 2.2 TELINGA LUAR


3.1.2 Telinga Tengah
Telinga tengah tersusun atas membran timpani (gendang telinga) di sebelah lateral
dan kapsul otik di sebelah medial celah telinga tengah terletak di antara kedua Membrana
timpani terletak pada akhiran kanalis aurius eksternus dan menandai batas lateral telinga,
Membran ini sekitar 1 cm dan selaput tipis normalnya berwarna kelabu mutiara dan
translulen.Telinga tengah merupakan rongga berisi udara merupakan rumah bagi osikuli
(tulang telinga tengah) dihubungkan dengan tuba eustachii ke nasofaring berhubungan
dengan beberapa sel berisi udara di bagian mastoid tulang temporal.

17
Telinga tengah mengandung tulang terkecil (osikuli) yaitu malleus, inkus,
stapes.Osikuli dipertahankan pada tempatnya oleh sendian, otot, dan ligamen, yang
membantu hantaran suara.Ada dua jendela kecil (jendela oval ) dan dinding medial
telinga tengah, yang memisahkan telinga tengah dengan telinga dalam.Bagian dataran
kaki menjejak pada jendela oval, di mana suara dihantar telinga tengah.Jendela bulat
memberikan jalan ke getaran suara.Jendela bulat ditutupi oleh membrana sangat tipis, dan
dataran kaki stapes ditahan oleh yang agak tipis, atau struktur berbentuk cincinanulus
jendela bulat maupun jendela oval mudah mengalami robekan.Bila ini terjadi, cairan dari
dalam dapat mengalami kebocoran ke telinga tengah kondisi ini dinamakan fistula
perilimfe.Tuba eustachii yang lebarnya sekitar 1mm panjangnya sekitar 35 mm,
menghubungkan telinga tengah ke nasofaring.Normalnya, tuba eustachii tertutup, namun
dapat terbuka akibat kontraksi otot palatum ketika melakukan manuver Valsalva atau
menguap atau menelan. Tuba berfungsi sebagai drainase untuk sekresi dan
menyeimbangkan tekanan dalam telinga tengah dengan tekanan atmosfer.3
Maleus dan incus berputar pada sumbu anterior posterior yang berjalan melalui :
1. Ligamentum yang menghubungkan prosesus anterior malleus dengan dinding anterior
kavumtimpani.
2. Prosesus anterior maleus dengan prosesus brevis inkudis
3. Ligamentum yang menghubungkan prosesus brevis inkudis dengan dinding posterior kavum
timpani.
Selama menghantarkan getaran dari membrane tempani ke perilimf melalui
osikula mengalami pembesaran dengan 1,3 : 1 dan luas membrane tempani lebih kurang
17 kali lebih besar dari luas basis stapes yang berakibat tekanan efektif pada perilimf
meningkat menjadi 22: 1.
Tuba auditiva merupakan bagian yang meluas dari diding anterior kavum timpani ke bawah,
depan, dan medial sampai ke nasofaring. Bagian 1/3 posterior terdiri atas tulang dan 2/3 anterior
tulang rawan, berhubungan dengan nasofaring setelah berjalan di atas muskulus konstriktor
faring superior.Tuba auditiva berfungsi membuat seimbang tekanan udara dalam kavum timpani
dan nasofaring.
Antrum mastoideum merupakan bagian yang terletak di belakang kavum timpani dalam pars
petrosa ossis temporalis bentuknya bundar dengan garis 1 cm. Dinding anterior berhubungan
dengan kavum timpani dan dinding posterior memisahkan antrum dari sinus sigmoideum dan
serebelum.
Sellulae mastoidea yaitu prosesus mastoideus mulai berkembang pada tahun ke dua
kehidupan.Sellulae mastoid adalah suatu rongga yang berhubungan dalam prosessus
mastoid,berhubungan dengan antrum dan kavum timpani sebelah atasnya serta dilapisi
membrane mukosa.

3.1.3 Telinga Dalam


Telinga dalam tertanam jauh di dalam bagian tulang temporal.Organ untuk
pendengaran (koklea) dan keseimbangan (kanalis semisirkularis), begitu juga kranial VII
(nervus fasialis) dan VIII (nervus koklea vestibularis) semuanya merupakan bagian dari
komplek anatomi.Koklea dan kanalis semisirkularis bersama menyusun tulang labirinth.
Ketiga kanalis semisirkularis posterior, superior dan lateral terletak membentuk sudut 90
derajat satu sama lain dan mengandung organ yang berhubungan dengan keseimbangan.

18
Organ akhir reseptor ini distimulasi oleh perubahan kecepatan dan arah gerakan
seseorang.
Koklea berbentuk seperti rumah siput dengan panjang sekitar 3,5 cm dengan dua
setengah lingkaran spiral dan mengandung organ akhir untuk pendengaran, dinamakan
organ Corti.Di dalam tulang labirin, namun tidak sempurna mengisinya, Labirin
membranosa terendam dalam cairan yang dinamakan perilimfe, yang berhubungan
langsung dengan cairan serebrospinal dalam otak melalui aquaduktus koklearis.

19
Labirin membranosa tersusun atas utrikulus, sakulus, dan duktus semisirkularis,
duktus koklearis, dengan gambaran sebagai berikut :
a. Atrikulus, bentuknya seperti kantong lonjong dan agak gempeng terpaut pada tempatnya
oleh jaringan ikat. Disini terdapat saraf (nervus akustikus) pada bagian depan dan
sampingnya ada daerah yang lonjong yang disebut macula akustika utrikola. pada dinding
belakang atrikus ada muara dari duktus semisirkularis dan pada dinding depannya ada tabung
halus disebut utrikulosa sirkularis, saluran yang menghubungkan atrikulus dengan sakulus.
b. Sakulus, bentuknya agak lonjong lebih kecil dari utrikulus, terletak pada bagian depan dan
bawah dari vestibulum dan terpaut erat oleh jaringan ikat, tempat terdapatnya nervus
akustikus. Pada bagian depan sakulus ditemukan serabut-serabut halus cabang nervus
akustikus yang berakhir pada macula akustika sakuli. Pada permukaan bawah sakulus ada
duktus reunien yang menghubungkan sakulus dengan duktus koklearis, di bagian sudut
sakulus ada saluran halus disebut duktus endolimfatikus, berjalan melalui aquaduktus
vestibularismenuju permukaan bagian bawah tulang temporalis dan berakhir sebagai kantong
buntu disebut sakus endolimfatikus yang terletak tepat di lapisan otak duramater.
c. Duktus semisirkularis, ada tiga tabung selaput semisrkularis yang berjalan dalam kanalis
semisrkularis (superior, posterior, dan lateralis). Penampangannya kira-kira sekitar sepertiga
penampang kanalis semisirkularis. Bagian duktus yang melebar disebut ampula selaput.
Setiap ampula mengandung satu celah siklus, sebelah dalam ada Krista ampularis yang
terlihat menonjol kedalam yang menerima ujung-ujung saraf.
d. Duktus koklearis merupakan saluran yang berbentuk agak segitiga seolah-olah membuat
batas pada koklea timpani. Atap duktus koklearis terdapat membrane vestibularis pada
alasnya terdapat membran basilaris. Duktus koklearis mulai dari kantong buntu (seikum
vestibular) dan berakhir tepat diseberang kanalis lamina spiralis pada kantong buntu (seikum
ampulare) pada membrane basilaris ditemukan organ korti sepanjang duktus koklearis yang
merupakan hearing sense organ.

20
GAMBAR 2.3 TELINGA DALAM

21
Pada pertemuan antara lamina spiralis tulang dengan mediolus terdapat ganglion
spiralis yang sebagaian besar diliputi tulang bagian bawah dan menyatu dengan
membrane basilaris melintasi duktus koklearis dan melekat pada ligamentum basilaris.
 Membran basilaris : dibentuk oleh lapisan serat – serat kolagen, permukaan bawah yang
menghadap skala timpani diliputi oleh jaringan ikat fibbrosa yang mengandung pembuluh
darah.
 Membran vestibularis : suatu lembaran jaringan ikat tipis, diliputi pada permukaan atas
vestibular oleh pelapis rongga perilimf yaitu jaringan epitel selapis gepeng yang terdiri atas
sel mesenkim.
 Duktus koklearis : duktus ini mengandung pigmen, bentuknya lebih tinggi dan tidak
beraturan, di bawahnya terdapat jaringan ikat yang banyak mengandung kapiler yang disebut
stria vaskularis. Duktus koklearis merupakan tempat sekresi endolimf dan termasuk organ
korti.

GAMBAR 2.4 TELINGA DALAM


Telinga dalam terdiri dari labirin osea ( labirin tulang ), sebuah rangkaian rongga pada
tulang pelipis yang dilapisi periosteum yang berisi cairan perilimfe dan labirin
membranasea, yang terletak lebih dalam dan memiliki cairan endolimfe. Di labirin osea
terdapat koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis.3
 kolea atau rumah siput. Penampang melintang koklea terdiri atas tiga bagian yaitu
skala vestibuli, skala media, dan skala timpani. Bagian dasar dari skala vestibuli berhubungan
dengan tulang sanggurdi melalui jendela berselaput yang disebut tingkap oval, sedangkan
skala timpani berhubungan dengan telinga tengah melalui tingkap bulat. Bagian atas
skala media dibatasi oleh membran vestibularis atau membran Reissner dan sebelah bawah
dibatasi oleh membran basilaris. Di atas membran basilaris terdapat organo corti yang
berfungsi mengubah getaran suara menjadi impuls. Organo corti terdiri dari sel rambut dan
sel penyokong. Di atas sel rambut terdapat membran tektorial yang terdiri dari gelatin yang
lentur, sedangkan sel rambut akan dihubungkan dengan bagian otak dengan
saraf vestibulokoklearis.
 Vestibulum, bagian tengah labirintus osseous pada vestibulum ini membuka fenestra ovale
dan fenestra rotundum dan pada bagian belakang atas menerima muara kanalis semisirkularis.
 Kanalis semisirkularis merupakan saluran setengah lingkaran yang terdiri dari 3 saluran.
Saluran yang satu dengan yang lainnya membentuk sudut 90%, kanalis semisrkularis superior,
kanalis semisirkularis posterior dan kanalis semisirkularis lateralis.

22
GAMBAR 2.5 TULANG LABIRIN
Labirin membranosa memegang cairan yang dinamakan endolimfe. Terdapat
keseimbangan yang sangat tepat antara perilimfe dan endolimfe dalam telinga dalam;
banyak kelainan telinga dalam terjadi bila keseimbangan ini terganggu. Percepatan
angular menyebabkan gerakan dalam cairan telinga dalam di dalam kanalis dan
merangsang sel-sel rambut labirin membranosa. Akibatnya terjadi aktivitas elektris yang
berjalan sepanjang cabang vestibular nervus kranialis VIII ke otak. Perubahan posisi
kepala dan percepatan linear merangsang sel-sel rambut utrikulus. Ini juga
mengakibatkan aktivitas elektris yang akan dihantarkan ke otak oleh nervus kranialis
VIII. Di dalam kanalis auditorius internus, nervus koklearis yang muncul dari koklea,
bergabung dengan nervus vestibularis, yang muncul dari kanalis semisirkularis, utrikulus,
dan sakulus, menjadi nervus koklearis ( nervus kranialis VIII ). Yang bergabung dengan
nervus ini di dalam kanalis auditorius internus adalah nervus fasialis ( nervus kranialis

23
VII ). Kanalis auditorius internus membawa nervus tersebut dan asupan darah ke batang
otak.3
3.2 OTITIS MEDIA AKUT
3.2.1 Definisi
Otitis Media Akut adalah suatu infeksi pada telinga tengah yang disebabkan karena
masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah.1,2
Otitis Media Akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum telinga
tengah. Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tube eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Banyak ahli membuat pembagian
dan klasifikasi otitis media. Secara mudah, otitis media terbagi atas otitis media supuratif
dan otitis media non supuratif ( otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media
musinosa, otitis media efusi / OME). Pembagian tersebut dapat di lihat pada gambar
berikut :

24
25
Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan kronik, yaitu otitis media
supuratif akut ( otitis media akut = OMA ) dan otitis media supuratif kronik ( OMSK /
OMP ). Begitu juga otitis media serosa terbagi menjadi otitis media serosa akut (
barotrauma = aerotitis ) dan otitis media serosa kronik. Selain itu terdapat juga otitis
media spesifik, seperti otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa atau otitis
media sifilitika. Otitis media yang lain ialah otitis media adhesive.
Otitis media serosa adalah kelainan umum berupa cairan steril di telinga tengah
dibelakang membran timpani yang utuh yang menyebabkan tuli konduktif.2

3.2.2 Etiologi
1. Disfungsi atau sumbatan tuba eustachius merupakan penyebab utama dari otitis media yang
menyebabkan pertahanan tubuh pada silia mukosa tuba eustachius terganggu, sehingga
pencegahan invasi kuman ke dalam telinga tengah juga akan terganggu.
2. ISPA ( infeksi saluran pernafasan atas ), inflamasi jaringan di sekitarnya ( misal : sinusitis,
hipertrofi adenoid ), atau reaksi alergi ( misalkan rhinitis alergika ). Pada anak-anak, makin
sering terserang ISPA, makin besar kemungkinan terjadinya otitis media akut ( OMA ). Pada
bayi, OMA dipermudah karena tuba eustachiusnya pendek, lebar, dan letaknya agak
horisontal.
3. Bakteri
Bakteri yang umum ditemukan sebagai mikroorganisme penyebab adalah Streptococcus
peumoniae, Haemophylus influenza, Moraxella catarrhalis, dan bakteri piogenik lain, seperti
Streptococcus hemolyticus, Staphylococcus aureus, E. coli, Pneumococcus vulgaris.
Telinga tengah biasanya steril, meskipun terdapat mikroba di nasofaring dan faring.
Secara fisiologik terdapat mekanisme pencegahan masuknya mikroba ke dalam telinga
tengah oleh silia mukosa tuba eustachius, enzim dan antibody.
Otitis media akut ( OMA ) terjadi karena faktor pertahanan tubuh ini terganggu.
Sumbatan tuba eustachius merupakan faktor penyebab utama dari otitis media. Karena
fungsi tuba eustachius terganggu, pencegahan infasi kuman ke dalam telinga tengah juga
terganggu, sehingga kuman masuk kedalam telinga tengah dan terjadi peradangan.
Dikatakan juga, bahwa pencetus terjadinya OMA ialah infeksi saluran napas atas. Pada
anak, makin sering anak terserang infeksi saluran napas, makin besar kemungkinan
terjadinya OMA. Pada bayi terjadinya OMA dipermudah oleh karena tuba eustachiusnya
pendek, lebar dan letaknya agak horizontal.4

3.2.3 Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas ( ISPA ) yang
disebabkan oleh bakteri, kemudian menyebar ke telinga tengah melewati tuba eustachius.
Ketika bakteri memasuki tuba eustachius maka dapat menyebabkan infeksi dan terjadi
pembengkakan, peradangan pada saluran tersebut. Proses peradangan yang terjadi pada
tuba eustachius menyebabkan stimulasi kelenjar minyak untuk menghasilkan sekret yang
terkumpul di belakang membran timpani. Jika sekret bertambah banyak maka akan
menyumbat saluran eustachius, sehingga pendengaran dapat terganggu karena membran
timpani dan tulang osikel ( maleus, incus, stapes ) yang menghubungkan telinga bagian
dalam tidak dapat bergerak bebas. Selain mengalami gangguan pendengaran,
klien juga akan mengalami nyeri pada telinga.

26
Otitis media akut ( OMA ) yang berlangsung selama lebih dari dua bulan dapat
berkembang menjadi otitis media supuratif kronis apabila faktor higiene kurang
diperhatikan, terapi yang terlambat, pengobatan tidak adekuat, dan adanya daya tahan
tubuh yang kurang baik.4

3.2.4 Stadium Otitis Media Akut


1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius
Tanda adanya oklusi tuba eustachius ialah gambaran retraksi membrane timpani akibat
terjadinya tekanan negative didalam telinga tengah, akibat absorbsi udara. Kadang-kadang
membrane timpani tampak normal ( tidak ada kelainan ) atau berwarna kerut pucat. Efusi
mungkin telah terjadi, tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sukar dibedakan dengan otitis
media serosa yang disebabkan oleh virus atau alergi.
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium hiperemis, tampak pembuluh darah yang melebar di membrane timpani atau
seluruh membrane timpani tampak hiperemis serta edem. Secret yang telah terbentuk
mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar terlihat.
3. Stadium Supurasi
Edema yang terlihat pada mukosa telinga tengah dan hancurnya sel epitel superfisial,
sehingga terbentuknya eksudat yang purulent di kavum timpani, menyebabkan membrane
timpani menonjol ( bulging ) kearah liang telinga luar.
Pada keadaan ini pasien tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di
telinga bertambah hebat.
Apabila tekanan nanah di cavum timpani tidak berkurang, maka terjadi iskemia, akibat
tekanan pada kapiler-kapiler, serta timbul tromboflebitis pada vena-vena kecil dan nekrosis
mukosa dan submukosa. Nekrosis ini pada membrane timpani terlihat sebagai daerah yang
lebih lembek dan berwarna kekuningan. Ditempat ini akan terjadi rupture. Bila tidak
dilakukan insisi membrane timpani ( miringotomi ) pada stadium ini, maka kemungkinan
besar membrane timpani akan rupture dan nanah keluar dari liang telinga luar. Dengan
melakukan miringotomi, luka insisi akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi rupture,
maka lubang tempat rupture ( perforasi ) tidak mungkin menutup kembali.
4. Stadium Perforasi
Karena beberapa sebab seperti terlambatnya pemberian antibiotik atau virulensi kuman
yang tinggi, maka akan terjadi rupture membrane timpani dan nanah keluar mengalir dari
telinga tengah ke liang telinga luar. Anak yang tadinya gelisah sekarang menjadi tenang, suhu
badan turun dan anak dapat tertidur nyenyak. Keadaan ini disebut dengan otitis media akut
stadium perforasi.
5. Stadium Resolusi
Bila membrane timpani tetap utuh, maka keadaan membrane timpani perlahan-lahan akan
normal kembali. Bila sudah terjadi perforasi, maka secret akan berkurang dan akhirnya
kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi kuman rendah, maka resolusi dapat terjadi
walaupun tanda pengobatan. OMA berubah menjadi OMSK bila perforasi menetap dengan
secret yang keluar terus menerus atau hiang timbul. OMA dapat menimbulkan gejala sisa
( sequele ) berupa otitis media serosa bila secret menetap di cavum timpani tanpa terjadinya
perforasi.3

27
GAMBAR 2.6 OTOSCOPY
3.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari OMA tergantung pada stadium penyakit dan umur klien.
a. Stadium Hiperemi
 Nyeri dan rasa penuh dalam telinga karena tertutupnya tuba eustachius yang mengalami
hiperemi dan edema
 Demam
 Pendengaran biasanya masih normal
b. Stadium Oklusi

 Nyeri dan demam bertambah hebat


 Pada anak : panas tinggi disertai muntah, kejang, dan meningismus
 Pendengaran mulai berkurang
c. Stadium Supurasi
 Keluar sekret dari telinga
 Nyeri berkurang karena terbentuk drainase akibat membran timpani ruptur
 Demam berkurang
 Gangguan pendengaran bertambah karena terjadi gangguan mekanisme konduksi udara
dalam telinga tengah
d. Stadium Koalesen
Nyeri tekan pada daerah mastoid, dan akan terasa berat pada malam hari
e. Stadium Resolusi

28
Pendengaran membaik atau kembali normal.4

29
3.2.6 Terapi
Pengobatan OMA tergantung pada stadium penyakitnya
a. Pada stadium oklusi pengobatan terutama bertujuan untuk membuka kembali tuba
eustachius, sehingga tekanan negative di telinga tengah hilang. Untuk ini diberikan obat
tetes hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik ( anak<12 tahun ) atau HCl efedrin
1% dalam larutan fisiologik untuk yang berumur di atas 12 tahun dan pada orang dewasa.
Selain itu sumber infeki harus diobati. Antibiotik diberikan apabila penyebab penyakit
adalah kuman, bukan oleh virus atau alergi.
b. Terapi pada stadium presupurasi ialah antibiotik, obat tetes hidung dan analgetika. Antibiotik
yang dianjurkan ialah dari golongan penisilin intramuscular agar didapatkan konsentrasi
yang adekuat di dalam darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Pemberian antibiotik dianjurkan minimal
selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap Penisilin, maka akan diberikan Eritromisin. Pada
anak, Ampisilin diberikan dengan dosis 50-100 mg/kg BB per hari, dibagi dalam 4 dosis,
atau Amoksisilin 40 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis, atau Eritromisin 40 mg/kg
BB/hari.
c. Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotik, idealnya harus disertai dengan
miringotomi, bila membrane timpani masih utuh. Dengan miringotomi gejala-gejala klinis
lebih cepat hilang dan rupture dapat dihindari.
d. Pada stadium perforasi sering terlihat secret banyak keluar dan kadang terlihat secret keluar
secara berdenyut ( pulsasi ). Pengobatan yang diberikan adalah obat cuci telinga H2O2 3%
selama 3-5 hari serta antibiotik yang adekuat. Biasanya secret akan hilang dan perforasi
dapat menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
e. Pada stadium resolusi, maka membrane timpani berangsur normal kembali, secret tidak ada
lagi dan perforasi membrane timpani menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya akan
tampak secret mengalir diliang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Keadaan
ini dapat disebabkan karena berlanjutnya edema mukosa telinga tengah. Pada keadaan
demikian dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila 3 minggu setelah pengobatan secret
masih tetap banyak, kemungkinan telah terjadi mastoiditis.5
Bila OMA berlanjut dengan keluarnya secret dari telinga tengah lebih dari 3 minggu,
maka keadaan ini disebut otitis media supuratif sub akut. Bila perforasi menetap dan
secret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan, maka keadaan ini
disebut otitis media supuratif kronik ( OMSK ). Pada pengobatan OMA terdapat beberapa
factor risiko yang dapat menyebabkan kegagalan terapi. Risiko tersebut digolongkan
menjadi risiko tinggi kegagalan terapi dan risiko rendah.5

3.2.7 Komplikasi
1. Peradangan telinga tengah ( otitis media ) yang tidak diberi terapi secara benar dan
adekuat dapat menyebar ke jaringan sekitar telinga tengah termasuk ke otak, namun ini
jarang terjadi setelah adanya pemberian antibiotik.6
2. Mastoiditis
3. Kehilangan pendengaran permanen bila OMA tetap tidak ditangani
4. Keseimbangan tubuh terganggu
5. Peradangan otak kejang

30
3.2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan audiometri
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini menghasilkan
nada-nada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada sestiap frekuensi ditentukan
intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai presentasi dari pendengaran
normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran
mengenai rentang nada yang paling terpengaruh.
Manfaat audiometri :
1) Untuk kedokteran klinik, khususnya penyakit telinga
2) Untuk kedokteran klinik Kehakiman, tuntutan ganti rugi
3) Untuk kedokteran klinik Pencegahan, deteksi ktulian pada anak-anak
b. Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang
dengan hantaran udara pada satu telinga pasien.
c. Test Weber
Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara
kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes Weber yaitu : membunyikan garputala 512
Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien,
telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar
atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika
kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak
ada lateralisasi.
d. Test Swabach
Tujuannya yaitu membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara
pemeriksa ( normal ) dengan probandus. Gelombang-gelombang dalam endolymphe
dapat ditimbulkan oleh getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui
tengkorak, khususnya osteo temporale.

3.2.9 Pencegahan
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terjadinya OMA pada anak antara
lain :
 Pencegahan terjadinya ISPA pada bayi dan anak-anak
 Pemberian ASI minimal selama enam bulan
 Hindari pemberian susu botol ketika anak dalam keadaan berbaring
 Hindari pajanan terhadap asap rokok

3.3 RINITIS AKUT


3.3.1 Definisi
Rinitis akut adalah radang pada mukosa hidung yang berlangsung akut, kurang dari
12 minggu, dapat disebabkan karena infeksi virus, bakteri, ataupun iritan, yang sering ditemukan
karena menifestasi dari rinitis simplek ( commen cold ), influenza, penyakit eksantem ( seperti
morbili, variola, varicela, pertusis ), penyakit spesifik, serta sekunder dari iritasi lokal atau
trauma.7,8

31
3.3.2 Epidemiologi
Rinitis akut merupakan penyebab morbiditas yang signifikan walaupun sering dianggap
sepele oleh para prektisi. Gejala-gejala rinitis secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup
pasien karena gejala-gejala sistemik yang menyertainya seperti fatigue, sakit kepala, dan
gangguan kognitif.
Ada tiga hal yang dipandang dapat mempengaruhi keadaan klinis dari pasien-
pasien dengan rinitis akut. Hal tersebut termasuk usia, jenis kelamin, dan variasi musim
terjadinya penyakit tersebut. Togias telah meneliti bahwa 70% pasien yang didiagnosa
dengan penyakit hidung non alergik terdapat pada usia dewasa > 20 tahun. Tetapi belum
diketahui penyebab pasti dari hubungan antara usia dengan rinitis alergik.9
Jenis kelamin dapat menjadi faktor risiko dari rinitis nonalergik. Settipane dan
Klein mengatakan bahwa 58% dari pasien rinitis non alergik adalah wanita. Enberg
menemukan 74% pasien rinitis non alergik adalah wanita. National rinitis Classification
Task Force ( NRCTF ) menemukan 71% pasien dengan rinitis non alergik adalah wanita.9
3.3.3 Klasifikasi dan Etiologi
Rinitis akut terdiri atas 3 tipe, yaitu:7,8
1. Rinitis Virus
Rinitis virus terbagi 3, yaitu:
a) Rinitis Simplek ( Pilek, Selesema, Comman Cold, Coryza )
Rinitis simplek disebabkan oleh virus. Infeksi biasanya terjadi melalui droplet di udara.
Beberapa jenis virus yang berperan antara lain, adenovirus, picovirus, dan subgrupnya
seperti rhinovirus, coxsakievirus, dan ECHO. Masa inkubasinya 1-4 hari dan berakhir
dalam 2-3 minggu.
Pada awalnya terasa panas di daerah belakang hidung, lalu segera diikuti dengan hidung
tersumbat, rinore, dan bersin yang berulang-ulang. Pasien merasa dingin, dan terdapat
demam ringan. Mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Awalnya, secret hidung
( ingus ) encer dan sangat banyak. Tetapi bisa jadi mukopurulen bila terdapat invasi
sekunder bakteri, seperti Streptococcus Haemolyticus, pneumococcus, staphylococcus,
Haemophillus Influenzae, Klebsiella Pneumoniae, dan Mycoplasma Catarrhalis.
b) Rinitis Influenza
Virus influenza A,B atau C berperan dalam penyakit ini. Tanda dan gejalanya mirip
dengan common cold. Komplikasi sehubungan dengan infeksi bakteri sering terjadi.
c) Rinitis Eksantematous
Morbili, varisela, variola, dan pertusis, sering berhubungan dengan rinitis, dimana
didahului dengan eksantemanya sekita 2-3 hari. Infeksi sekunder dan komplikasi lebih
sering dijumpai dan lebih berat.
2. Rinitis Bakteri
Rinitis bakteri dibagi 2, yaitu :
a) Infeksi Non-spesifik
Infeksi non-spesifik dapat terjadi secara primer ataupun sekunder.
1) Rinitis Bakteri Primer
Tampak pada anak dan biasanya akibat dari infeksi pneumococcus, streptococcus atau
staphylococcus. Membrane putih keabu-abuan yang lengket dapat terbentuk di rongga
hidung, yang apabila diangkat dapat menyebabkan pendarahan.

32
2) Rinitis Bakteri Sekunder
Merupakan akibat dari infeksi bakteri pada rinitis viral akut
b) Rinitis Difteri
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. Rinitis difteri dapat bersifat
primer pada hidung atau sekunder pada tenggorokan dan dapat terjadi dalam bentuk akut
atau kronis. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat
imunisasi yang tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemukan karena cakupan
program imunisasi yang semakin meningkat.
Gejala rinitis akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis, dan mungkin ada
paralisis otot pernafasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah. Membrane keabu-
abuan tampak menutup konka inferior dan kavum nasi bagian bawah, membrannya lengket
dan bila diangkat dapat terjadi perdarahan. Ekskoriasi berupa krusta coklat pada nares
anterior dan bibir bagian atas dapat terlihat. Terapinya meliputi isolasi pasien, penisilin
sistemik, dan antitoksin difteri.
c) Rinitis Iritan
Tipe rinitis akut ini disebabkan oleh paparan debu, asap atau gas yang bersifat iritatif
seperti ammonia, formalin, gas asam dan lain-lain. Atau bisa juga disebabkan oleh trauma
yang mengenai mukosa hidung selama masa manipulasi intranasal, contohnya pada
pengangkatan corpus alienum. Pada rinitis iritan terdapat reaksi yang terjadi segera yang
disebut dengan “immediate catarrhal reaction” bersamaan dengan bersin, rinore, dan
hidung tersumbat. Gejalanya dapat sembuh cepat dengan menghilangkan faktor penyebab
atau dapat menetap selama beberapa hari jika epitel hidung telah rusak. Pemulihan akan
bergantung pada kerusakan epitel dan infeksi yang terjadi karenanya.9

3.3.4 Stadium Rinitis Akut


a. Stadium prodromal, pada hari pertama :
1) Rasa panas dan kering pada cavum nasi.
2) Bersin-bersin.
3) Hidung tersumbat.
4) Sekret encer jernih seperti air.
Pemeriksaan ( rhinoskopi anterior / RA )  cavum nasi sempit, terdapat sekret
serous dan mukosa udem dan hiperemis.
b. Stadium akut, hari kedua sampai keempat :
1) Bersin-bersin berkurang.
2) Obstruksi nasi bertambah, akibat obstruksi nasi akut terjadi hiposmia, gangguan
gustateris, rasa makanan tidak enak.
3) Sekret kental kuning.
4) Badan tak enak.
Pemeriksaan  cavum nasi lebih sempit, sekret mukopurulen. Mukosa lebih
udem dan hiperemis.
c. Stadium Penyembuhan ( resolusi ) hari kelima sampai ketujuh :
Gejala-gejala di atas berkurang ( udem dan hiperemis berkurang, obstruksi
berkurang, sekret berkurang ). Kadang-kadang rinitis akut didahului gejala
nasofaringitis sehingga timbul gejala panas, batuk, dan pilek. Tetapi adanya faringitis
atau laringitis akut tidak selalu didahului oleh rinitis akut.10,11

33
3.3.5 Manifestasi Klinis
Rinitis akut pada dasarnya memiliki tanda dan gejala yang sulit dibedakan antara
tipe yang satu dengan tipe yang lainnya. Rasa panas, kering dan gatal di dalam hidung,
bersin, hidung tersumbat, dan terdapatnya ingus yang encer hingga mukopurulen.
Mukosa hidung dan konka berubah warna menjadi hiperemis dan edema. Biasanya
diikuti juga dengan gejala sistemik seperti demam, malaise dan sakit kepala.8
Pada rinitis influenza, gejala sistemik umumnya lebih berat disertai sakit pada otot.
Pada rinitis eksantematous, gejala terjadi sebelum tanda karekteristik atau ruam muncul.
Ingus yang sangat banyak dan bersin dapat dijumpai pada rinitis iritan.

3.3.6 Patofisiologi
Pada stadium permulaan terjadi vasokonstriksi yang akan diikuti vasodilatasi,
udem, dan meningkatnya aktifitas kelenjar seromucinous dan goblet sel, kemudian terjadi
infiltrasi leukosit dan deskuamasi epitel. Sekret mula-mula encer dan jernih kemudian
berubah menjadi kental dan lekat ( mukoid ) berwarna kuning mengandung nanah dan
bakteri ( mukopurulen ). Toksin yang berbentuk terbentuk terserap dalam darah dan
limfe, menimbulkan gejala-gejala umum. Pada stadium resolusi terjadi proliferasi sel
epitel yang telah rusak dan mukosa menjadi normal kembali.11

3.3.7 Diagnosis
Rinitis akut umumnya didiagnosis dari gambaran klinisnya. Walaupun pada
dasarnya memiliki tanda dan gejala yang hampir sama, tetapi terdapat juga beberapa
karekteristik yang khas membedakannya. Pada rinitis bakteri difteri, diagnosis pasti
ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.8,12
3.3.8 Penatalaksanaan
Rinitis akut merupakan penyakit yang bisa sembuh sendiri secara spontan setelah kurang
lebih 12 minggu. Karena itu umumnya terapi yang diberikan lebih bersifat simptomatik, seperti
analgetik, antipiretik, nasal dekongestan dan antihistamin disertai dengan istirahat yang cukup.
Terapi khusus tidak diperlukan kecuali bila terdapat komplikasi seperti infeksi sekunder bakteri,
maka antibiotik perlu diberikan. Dekongestan oral mengurangi sekret hidung yang banyak,
membuat pasien merasa lebih nyaman, namun tidak menyembuhkan.3,4,8
Lokal : tetes hidung, solution HCl Ephedrine 1% dalam glucose 5%. Berfungsi untuk
melebarkan kavum nasi, pH sedikit asam yang akan menyebabkan eradikasi ( desinfeksi )
kuman penyebab ( mukosa cavum nasi normal pH =6,5 yaitu bersifat asam ). Oleh karena
lisozim dinonaktifkan dalam suasana basa, maka setiap obat hidung harus mempunyai pH asam
untuk mencegah terjadinya aktivitas silia dan lisozim.
Umum : hindari tubuh kedinginan misalnya dengan mandi air hangat, makan makanan hangat,
pakaian hangat, tidur menggunakan selimut, dan sebagainya. Farmakologis untuk gejala sistemik
bisa diberika asetosal sebagai analgetik dan antipiretik. Karena efek vasodilatasi perifernya,
asetosal bisa berfungsi sebagai penghangat tubuh. Bisa juga diberikan antihistamin untuk
mengurangi bersin-bersin.13

34
3.3.9 Pencegahan
Hal-hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadnya rinitis akut adalah dengan
menjaga tubuh selalu dalam keadaan sehat. Dengan begitu dapat terbentuknya system imuitas
yang optimal yang dapat melindungi tubuh dari serangan za-zat asing. Istirahat yang cukup,
mengkonsumsi makanan dan minuman yang sehat dan olahraga yang teratur juga baik untuk
menjaga kebugaran tubuh. Selain itu, mengikuti program imunisasi lengkap juga dianjurkan,
seperti vaksinasi MMR untuk mencegah terjadinya rinitis eksantematous.8
Pencegahan tergantung kepada :9
a. Lebih sering mencuci tangan, terutama sebelum menyentuh wajah.
b. Memperkecil kontak dengan orang-orang yang telah terinfeksi.
c. Tidak berbagi sapu tangan, alat makan, atau gelas minum.
d. Menutup mulut ketika batuk dan bersin.
3.3.10 Komplikasi
a. Otitis media akut.
b. Sinusitis paranasalis.
c. Infeksi traktus respiratorius bagian bawah seperti laring, bronchitis, pneumonia.
d. Akibat tidak langsung pada penyakit-penyakit lain yaitu jantung dan asma bronkhial.
3.3.11 Prognosis
Rinitis akut merupakan “self limiting disease” umumnya sembuh dalam 7 -10
hari. Tapi dapat lebih lama 3 minggu bila ada faringitis, laringitis atau komplikasi
lain.12

4. DAFTAR PUSTAKA
1. Boeis : Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid; Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6, Cetakan III, 1997; 88 –
112.
2. Hendarto H dan Entjep. H: Telinga, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan; Edisi Kedua,
FKUI, 1995; 1 – 6.
3. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11 th Edition. New York : Wiley;
2006. p. 847-850
4. Zainul A. Jafar : Kelainan Telinga Tengah, Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorokan; Edisi
Ketiga, FKUI, 1997; 54 – 60.
5. Mansjoer Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran
Indonesia.Jakarta.
6. Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. 1998. Buku Ajar Ilmu penyakit THT. FKUI: Jakarta.
7. Helmi : Komplikasi OMSK dan Mastoiditis, Buku Ajar THT; Edisi Empat, FKUI, 2000; 62 – 65.

8. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University School of Medicine.
Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-Allergic%20Rhinitis.pdf [diakses tanggal
10Oktober 2015]
9. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4. New Delhi.
Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8.
10. Dhillon R.S, East C.A, eds. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd Esition. London :
Churchill Livingstone; 2000. p. 30-32.
11. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2015. [ cited 2015 October 10 ].
Available from URL: http://www.medscape.com
12. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5 th Edition. New Delhi : Elsevier; 2011.
p. 180-184

35
13. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis. 2005. Tersedia di:
http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
4. PUSAT BAHASA DAN BICARA
4.1 PUSAT BAHASA DAN BICARA
Area cerebrum yang mengintegrasikan stimulus-stimulus menjadi kemampuan
bahasa adalah Area Wernicke. Area Wernicke terletak pada ujung posterosuperior girus
temporalis superior. Area Wernicke berdekatan dengan area pendengaran primer dan
sekunder. Hubungan antara area pendengaran dengan Area Wernicke memungkinkan
adanya interpretasi bahasa terhadap apa yang didengar. Selain berhubungan dengan area
pendengaran, Area Wernicke juga berhubungan dengan area asosiasi penglihatan. 1,6
Bagian otak yang berperan dalam produksi adalah Area Brocca. Area Brocca
terletak pada girus frontalis inferior di antara ramus ascendens anterior dan ascendens
posterior fisura lateralis ( area brodmann 44 dan 45 ). Area ini berfungsi untuk
menimbulkan pola motoric pada laring, system respirasi, serta otot untuk berbicara. Area
lainnya yang berperan dalam produksi suara adalah insula, yang berperan dalam
pembentukan artikulasi.1,2

GAMBAR 2.1 PUSAT BAHASA DAN BICARA DI OTAK

36
Area Wernicke berhubungan dengan area brocca melalui fasiculus arcuatus.
Pada proses berbicara, area Wernicke memahami bahasa dan area brocca mengatur
produksi suara. Area brocca selanjutnya mengirimkan informasi ke area motoric untuk
menghasilkan gerakan produksi bicara.6

37
Proses bahasa ucapan :
Diterima alat dengar → Pusat otak primer dan sekunder → Pusat otak asosiatif : area wernicke,
kata yang didengar akan dipahami → Girus angularis, tempat pola kata-kata dibayangkan lewat
area Wernicke di fasikulus arkuatus area Broca: gerakan motorik pembicaraan area motorik
primer; otot-otot lidah untuk ucapan → area motorik suplementer, agar ucapan / gerakan lidah
menjadi jelas.6
Proses bahasa Visual :
Diterima alat visual → Pusat otak primer penglihatan → Pusat otak asosiasi penglihatan :
( di sini terjadi pengenalan informasi ) → Girus angularis → area Wernicke → area Broca
( gerakan pembicaraan ) → area motorik primer dan suplementer, sehingga pada akhirnya
tulisan dapat dimengerti.6

4.2 FUNGSI TELINGA5


Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara liang telinga
karena bentuk dan dimensinya, dapat sangat memperbesar suara dalam rentang 2 sampai 4 kHz,
perbesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10 hingga 15 dB. Maka suara dalam rentang
frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika ditinjau dari sudut trauma akustik.
Pada telinga tengah terdapat maleus, inkus, stapes. Tangkai dari maleus terletak
dalam membrane timpani, sedangkan otot tensor timpani berinsersi pada leher maleus.
Kaput maleus bersendi dengan permukaan anterior korpus inkus dalam epitimpanum.
Inkus memiliki prosesus brevis yang menonjol ke belakang dan prosesus longus yang
berjalan ke bawah untuk bersendi dengan kaput stapes.
Sumbu rotasi maleus dan inkus yang alami adalah sepanjang garis yang ditarik dari
prosesus brevis inkus hingga daerah leher maleus. Stapes adalah tulang yang berbentuk
sanggurdi. Kontraksi otot stapedius dapat diukur dengan audiometric hambatan (
impendance audiometry ), dan teknik ini merupakan alat bantu klinis yang penting.
Telinga tengah adalah suatu alat penghilang hambatan antara udara ( lingkungan kita )
dan cairan ( telinga dalam ). Ketika gelombang suara yang dihantarkan udara
mencapai cairan, maka 99,9% energinya akan dipantulkan. Jadi hanya 0,1% energy yang
diteruskan ( kehilangan sekitar 30 dB ). Telinga tengah dapat mengkompensasi
kehilangan tersebut terutama karena luas membrane timpani 17 kali lebih besar dari luas
basis stapes. Rangkaian osikula ikut pula berperan sebesar 1,2 / 1. Dengan demikian,
telinga tengah tidak penting pada makhluk-makhluk air.
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga dalam
melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan di sepanjang membrane basilaris
dan organ Cortinya. Puncak gelombang berjalan di sepanjang mebrana basilaris
yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang suara. Hal ini
berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrane tektoria, dengan
demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan potensial aksi pada
serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di sinilah gelombang suara
mekanis diubah menjadi energy elektrokimia agar dapat ditransmisikan melalui saraf
kranialis ke-8. Paling tidak sebagian analisis rekuensi telah terjadi pada tingkat organ
corti. Peristiwa listrik pada organ Corti dapat diukur dan dikenal sebagai mikrofonik

38
koklearis. Peristiwa listrik yang berlangsung dalam neuron juga dapat diukur dan disebut
sebagai potensial aksi.
Ligamentum spiralis terletak di lateral dinding tulang dan duktus koklearis.
Merupakan jangkar lateral dari membrane basilaris dan mengandung stria vaskularis,
satu-satunya lapisan epitel bervaskularisasi dalam tubuh. Dua dari tiga jenis sel pada stria
vaskularis kaya mitokondria dan memiliki luas permukaan yang sangat besar
dibandingkan dengan volume sel. Maka stria merupakan suatu system transport cairan
dan elektrolit yang dirancang secara unik. Diduga memainkan peranan penting dalam
pemeliharaan komposisi elektrolit cairan endolimfe ( tinggi kalium, rendah natrium )
dan sebagai baterei kedua untuk organ Corti. Juga merupakan sumber potensi arus searah
( 80 milivolt ) dari skala media. Darah merupakan sumber nutrisi utama untuk sel-sel
tubuh dan alirannya menimbulkan suara bising, namun stria vaskularis merupakan suatu
adaptasi yang unik dimana dapat menyuplai organ Corti dari jarak tertentu, dengan
demikian memperbaiki rasio sinyal-bising pada organ Corti.
Terdapat sekitar 30.000 neuron aferen yang mensarafi 15.000 sel rambut pada
tiap koklea. Masing-masing sel rambut dalam disarafi oleh banyak neuron. Hanya
presentase kecil ( sekitar 10% ) neuron aferen yang mensarafi sel rambut luar, akan
tetapi terdapat percabangan-percabangan sedemikian rupa sehingga tiap neuron aferen
berasal dari banyak sel rambut luar dan tiap sel rambut luar dipersarafi oleh banyak
neuron aferen.
Juga ada sekitar 500 serabut saraf eferen yang mencapai tiap koklea. Serabut-
serabut ini bercabang-cabang pula secara ekstensif sehingga tiap sel rambut luar memiliki
banyak ujung saraf eferen. Ujung-ujung saraf eferen dari sel rambut luar tidak seluruhnya
berasal dari satu serabut saraf eferen.
Serabut-serabut saraf koklearis berjalan menuju inti koklearis dorsalis dan ventralis.
Sebagian besar serabut dari inti melintasi garis tengah dan berjalan naik menuju kolikulus
inferior kontralateral, namun sebagian serabut tetap berjalan ipsilateral. Penyilangan
selanjutnya terjadi pada inti lemniskus lateralis dan kolikulus inferior. Dari kolikulus
inferior, jaras pendengaran berlanjut ke korpus genikulatum dan kemudian ke korteks
pendengaran pada lobus temporalis. Karena seringnya penyilangan serabut-serabut
saraf tersebut, maka lesi sentral jaras pendengaran hampir tidak pernah menyebabkan
ketulian unilateral.
Serabut-serabut saraf vestibularis berjalan menuju salah satu dari ke empat inti
vestibularis, dan dari sana disebarkan secara luas dengan jaras-jaras menuju medulla
spinalis, serebelum dan bagian-bagian susunan saraf pusat lainnya.
4.2.1 Fungsi dari Membran Timpani dan Sistem Osikular4
Membran timpani dan system osikular berbentuk kerucut yang berfungsi dalam
penghantaran suara melalui telinga tengah. Bagian tengah membran timpani adalah
tangkai maleus, pada ujung lain maleus terkait erat dengan inkus oleh ligamentum, sehingga bila
maleus bergerak inkus ikut bergerak serentak dengannya. Ujung lain inkus selanjutnya bersendi
dengan batang stapes dan permukaan lebar stapes terletak pada labirin membranosa pada lubang
foramen ovale, tempat gelombang suara dihantarkan ketelinga dalam yaitu koklea.

39
Tulang-tulang telinga tengah tergantung oleh ligamentum-ligamentum sedemikian rupa,
sehingga gabungan maleus dan inkus bekerja sebagai satu ungkit yang mempunyai titik tumpu
kira-kira pada perbatasan membran timpani. Kaput besar maleus yang dari tangkainya terletak
pada sisi yang berlawanan dari titik tumpu tepat mengimbangi ujung pengungkit lain sehingga
perubahan posisi tubuh tidak akan menambah atau mengurangi tegangan membran timpani.
Tangkai maleus terus-menuerus tertarik ke dalam oleh ligamentum dan oleh muskulus
tensor timpani, yang mempertahankan membran timpani berada dalam tegangan. Hal ini
memungkinkan getaran suara pada bagian membran timpani manapun dihantarkan ke maleus.
Penyesuaian impedans ( impedance matching ) oleh system osikular. Amplitude
pergerakan permukaan lebar stapes pada tiap getaran suara hanya ¾ besar amplitude tangkai
maleus. Oleh karena itu, system pengungkit osikular tidak memperbesar pergerakan seperti yang
sering diduga, tetapi sebagai gantinya system meningkatkan gaya pergerakan 1,3 kali.
Luas permukaan membran timpani yaitu sekitar 55 mm2, sedangkan luas permukaan stapes
sekitar 3,2 mm2, selisih 17 kali dikalikan rasio 1,3 kali dari system pengungkit, memungkinkan
semua energy gelombang suara yang mengenai membran timpani dikerahkan pada permukaan
lebar stapes yang kecil, menyebabkan tekanan pada cairan koklea kira-kira 22 kali besar tekanan
yang ditimbulkan oleh gelombang suara yang mengenai membran timpani. Karena cairan
mempunyai inersia yang lebih besar daripada udara, mudah dimengerti bahwa peningkatan
jumlah tekanan dibutuhkan untuk menimbulkan getaran pada cairan. Oleh karena itu, membran
timpani dan system osikular memberikan penyesuaian impedans antara gelombang suara dalam
udara dan getaran suara dalam cairan koklea.

4.2.2 Batasan5
Bahasa adalah suatu system symbol yang digunakan untuk memahami dan
mengekspresikan ide dan perasaan. Atribut bahasa tidak hanya kosa kata dan tata bahasa, namun
juga kemampuan untuk mengingat, memilah, menyusun dan kemampuan anstrak.
Sebaliknya, bicara merupakan satu cara untuk menyampaikan bahasa. Cara yang lain
adalah dengan menulis, gerak isyarat dan memberi tanda. Atribut bicara antara lain, nada tinggi,
kekerasan dan kualitas suara ; vocal, konsonan, diftong dan perpaduan semua ini dalam bentuk
suku kata, kata dan frasa ; serta kecepatan, intonasi dan irama. Untuk kejelasan, disini dibedakan
antara “bahasa” dan “bicara.” Ini tidak berarti bahwa keduanya berbeda secara dinamis.
Misalnya, informasi bahasa dapat terkandung dalam inonasi.
Dalam mendefinisikan gangguan bahasa dan bicara, perlu dipertimbangkan tiga hal :
(1) Dapatkah bahasa dan bicara dimengerti tanpa atau hanya dengan sedikit kesulitan ?
(2) Apakah bahasa biasanya tepat untuk kebutuhan komunikasi yang besar ?
(3) Apakah cara berkomunikasi mengalihkan perhatian dari pesan yang ingin disampaikan ?
Bilamana dicurigai ada gangguan bahasa atau bicara, biasanya terdapat masalah dalam salah satu
bidang ini. Pada anak-anak, kemungkinan ini dipertimbangkan setelah membandingkan dengan
cermat kinerja anak dengan gambaran perkembangan secara umum.

5 PERKEMBANGAN BAHASA DAN BICARA NORMAL5


5.1 PERKEMBANGAN PRA-LINGUISTIK
Beberapa keahlian dan pengetahuan yang dipelajari pada masa bayi ternyata penting
dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Keahlian dasar ini terutama dalam bidang
kognisi ( kesadaran ) dan interaksi social. Secara kognitif, bayi harus belajar
mengenali objek dan kejadian di dalam lingkungannya, serta menyadari keunikan hal-hal

40
tersebut. Pengetahuan dasar inilah yang merupakan subjek dari komunikasi dini. Secara
social, bayi harus belajar bahwa ia dapat menimbulkan efek tertentu terhadap orang yang
memperhatikannya dari apa yang dilakukannya, bahwa ia dapat menjadi pencetus dan
penerima dalam interaksi, bahwa ia dapat berpartisipasi dalam aktivitas, dan bahwa ia
dapat berinteraksi dengan yang lain untuk berbagai alasan. Banyak anak dengan
gangguan komunikasi ternyata mengalami gangguan dalam perkembangan keahlian
kognitif dan social pada masa bayi.
5.2 PERKEMBANGAN LINGUISTIK
Pemahaman bahasa agaknya mendahului penggunaan bahasa. Meniru dapat
dilakukan tanpa perlu memahami, namun bahasa fungsional untuk maksud komunikasi
tampaknya memerlukan pemahaman sebelumnya. Meskipun tahap dan usia
perkembangan hampir dapat diramalkan, rentang normalitas masih tetap besar.
Bahasa reseptif adalah bahaya yang didengar dan harus diinterpretasi anak.
Dalam lima tahun pertama, kemampuan anak berkembang dari sekedar awas terhadap
pembicara hingga memahami arti berdasarkan susunan tata bahasa.
Bahasa ekspresif adalah bahasa yang diekspresikan anak terhadap orang lain.
Perkembangan bicara adalah mulai dari hanya mengulangi vokalisasi hingga kalimat-
kalimat yang kompleks. Sejalan dengan itu, komunikasi non-verbal berkembang dari
tingkah laku yang tidak bertujuan hingga gerak-isyarat konvensional bersahaja.

41
Panduan umum untuk bahasa reseptif dan ekspresif diberikan pada Tabel 1.

TABEL 2.1 PERKEMBANGAN BAHASA RESEPTIF DAN EKSPRESIF


KELOMPOK
BAHASA RESEPTIF BAHASA EKSPRESIF
USIA

0-6 bulan Bereaksi dan menoleh terhadap suara; Mendekut dan berceloteh senang;
memahami nada suara ( mis.marah vs tangisan yang berbeda-beda.
senang ).

6-12 bulan Memahami gerak isyarat; memahami Bersuara dengan nada yang berbeda-
beberapa kata dan frasa. beda; mulai menggunakan beberapa
kata pertama.

12-18 bulan Memahami kalimat umum yang Mengucapkan kata-kata tunggal,


singkat dan sederhana; menunjuk menggunakan kata tersebut untuk
beberapa bagian tubuh; dapat beberapa pengertian berbeda;
mengenali gambar yang tidak asing. meneruskan celoteh yang
diciptakannya ( suku kata dengan
intonasi ).

18-24 bulan Memahami beberapa kata depan dan Mengucapkan kombinasi 2 atau
kata ganti orang; mendengar dan 3 kata; mengekspresikan penolakan
memahami ceri sederhana; menunjuk dengan mengucapkan “tidak”.
gambar bila ditanya.

2-3 tahun Dapat mengikuti arah tiga bagian; Kalimat 3 dan 4 kata; menggunakan
memahami sebagian besar kalimat beberapa kata depan dan kata ganti;
orang dewasa; memahami konsep sekitar 50 persen dapat dimengerti.
seperti “satu” dan “beberapa”.

3-4 tahun Dapat mengenali objek bila diberikan Hampir seluruhnya dapat dimengerti;
fungsinya; memahami lebih banyak kalimat dengan 4 hingga 6 kata
kata depan; mengerti informasi yang dengan berbagai jenis kalimat
lebih abstrak. ( pertanyaan, perintah dan negative )

4-5 tahun Di luar keterbatasan kosa kata, Telah menyelesaikan 90% pelajaran
dapat memahami sebagian besar berbicara; dapat berbicara dalam
pembicaraan orang dewasa. bahasa yang lazim dipakai orang
dewasa.

6 SKRINING DOKTER
Umumnya orang tua cukup prihatin untuk membawa anaknya ke dokter yang tidak
dapat bicara atau hanya mampu mengucapkan sedikit kata-kata pada usia 24 hingga 30
bulan. Akan tetapi, dokter yang awas bahkan dapat mengenali masalah pada umur yang
lebih dini. Anak-anak yang tidak memenuhi panduan perkembangan bahasa yang dapat
diterima, perlu dirujuk untuk konsultasi dengan ahli audiologi dan patologi bicara. Ahli

42
patologi bicara dapat menentukan apakah tingkah laku tersebut terletak di luar batas yang
dapat diterima dan dengan demikian dapat memperkecil efek jangka panjang.
7 GANGGUAN BAHASA DAN BICARA PADA ANAK5
Terdapat tiga pertimbangan utama yang penting dalam perkembangan kemampuan
berkomunikasi. Gangguan pada satu atau lebih dari factor ini dapat meperlambat atau
mengganggu perkembangan.
1. Keadaan fisiologi anak : kondisi yang mempengaruhi perkembangan antara lain hilangnya
pendengaran, palatoskisis, dan disfungsi SSP.
2. Lingkungan anak : kondisi yang perlu dipertimbangkan antara lain faktor budaya, perawatan
yang lama di rumah sakit, dan keadaan melarat mulai ketidakadaan hingga kekurangan.
3. Kondisi emosi anak : kondisi yang perlu dipertimbangkan termasuk kemampuan untuk
berhubungan, gangguan proses berpikir dan gangguan tingkah laku.

7.1 GANGGUAN PENDENGARAN


Kualitas bicara dan bahasa mencerminkan kemampuan mendengar dan menangkap.
Biasanya terdapat kaitan langsung antara kemampuan bicara / bahasa dengan besarnya
pendengaran residu. Gangguan pendengaran ringan ataupun berat, berpengaruh negative
terhadap perkembangan bicara dan bahasa.
Pengaruh ketulian yang berat cenderung nyata. Kosa kata, susunan kata dan penggunaan tata
bahasa menjadi berantakan. Distorsi suara, kesalahan bunyi bicara dan penyimpangan irama
adalah khas, sehingga pembicaraan sulit dimengerti.
Penggunaan alat bantu dengar dan alat amplifikasi penting untuk mengurangi gangguan
pendengaran efektif, sehingga anak dapat mendengar suara orang lain, demikian juga suaranya
sendiri. Manfaat alat bantu dengar dalam memelihara kemampuan bicara memang tidak begitu
nyata, namun tidak boleh disepelekan.
Alat bantu dengar merupakan salah satu aspek proses habilitasi. Anak tidak boleh dituntut
untuk dapat mengembangkan kemampuan berkomunikasi hanya berdasarkan amplifikasi saja.
Usia awitan adalah penting. Anak dengan pendengaran normal di atas usia dua tahun sekalipun
untuk waktu singkat, cenderung memiliki kemampuan bicara / bahasa yang lebih baik
dibandingkan anak yang tuli sejak lahir atau pada usia sangat muda.
Anak dengan gangguan pendengaran sedang hingga berat biasanya mampu berbicara dan
berbahasa dengan lebih baik daripada anak yang tuli berat. Bahasa dan bicara yang digunakan
anak dengan gangguan pendengaran ringan biasanya tidak menimbulkan perhatian. Namun anak
dengan gangguan pendengaran kronis yang ringan berisiko terhadap berkurangnya kemampuan
bahasa. Ketulian 20 dB pada anak kecil ( usia tiga tahun atau kurang ) terbukti mempengaruhi
kemampuan belajar bahasa / bicara. Tuli ringan yang intermiten dapat menimbulkan masalah
tambahan mengenai perhatian dan tingkah laku, yang selanjutnya mempengaruhi kemampuan
belajar di sekolah.
Banyak anak dengan kemampuan bicara yang buruk, dapat melampaui uji skrining
pendengaran secara kasar. Sebagian dari mereka kelak ditemukan mengalami gangguan
pendengaran selektif, seringkali untuk frekuensi tinggi ( Gambar 1 ). Pendengaran tampaknya
normal karena anak-anak ini dapat menangkap sebagian tetapi tidak seluruh informasi akustik
yang kemudian dipadukan dengan petunjuk situasi. Mereka dapat berespon baik bila dipanggil,
terhadap pesan-pesan yang mudah ditebak dan suara lingkungan yang keras. Orang tua, guru,
dan dokter menjadi terkecoh dan menganggap pendengaran anak adalah normal, dan bahwa

43
kemampuan bicara yang buruk dan hasil-hasil di sekolah pasti disebabkan oleh factor-faktor lain
seperti gangguan perhatian, intelek, motivasi dan emosional.
Karena dari kemampuan mengambil kesimpulan yang salah seperti dijelaskan sebelumnya,
maka sebaiknya dokter mempertimbangkan gejala keterlambatan bicara / bahasa itu sendiri
sebagai alasan untuk pemeriksaan pendengaran klinis yang dilakukan secara cermat, termasuk
penentuan ambang pendengaran nada murni pada frekuensi 250 Hz ( C tengah ) hingga
8000 Hz ( lima oktaf di atas C ).
Jelaslah bahwa satu telinga yang berfungsi normal sudah mencukupi untuk perkembangan
bahasa yang normal. Mengenai masalah ini hanya ada sedikit data, namun para klinisi tidak
beranggapan bahwa kemampuan bicara dan bahasa dari anak dengan tuli unilateral (mis. setelah
mumps virus) berbeda jelas dengan anak dengan dua telinga yang berfungsi normal.

7.2 GANGGUAN SUARA


Gangguan suara yang lazim pada masa kanak-kanak adalah suara serak akibat
penyalahgunaan vokal. Bila tidak diawasi, maka kondisi plika vokalis dapat berkembang dari
iritasi ringan menjadi edema dan pembentukan nodulus. Nodulus berespon baik dengan istirahat
vokal dan seringkali juga dengan perubahan tinggi suara. Terapi perorangan maupun kelompok
telah berhasil dalam menentukan penyebab penyalahgunaan dan membantu individu tersebut
menjadi bertanggung jawab atas keluaran vokalnya. Modifikasi tingkah laku─contoh,
menghitung pemakaian suraa keras dan total waktu penggunaan suara─terbukti efektif.
Setelah adenoidektomi tidak jarang suara menjadi sengau, namun umumnya normal kembali
dalam beberapa jam atau hari. Terkadang suara sengau dapat berlanjut dan anak ternyata
menderita insufisiensi palatum atau celah submukosa. Pada kasus demikian, jaringan adenoid
ternyata berfungsi mengisi rongga nasofaring. Perlunya pengenalan celah submukosa,
insufisiensi velofaringeus, atau palatum yang pendek kengenital sebelum operasi dilakukan.

7.3 PALATOSKISIS
Anak yang lahir dengan labio / palatoskisis akan menghadapi tahun-tahun penuh tindakan
restorasi dan rehabilitasi. Berbagai disiplin ilmu untuk penatalaksanaa kasus ini adalah pediatric,
prostodonti, pedodonti, gizi, pendidikan, audiologi dan patologi bicara, otolaringologi, dan bedah
maksilofasial. Oleh karena itu, penatalaksanaan yang terkoordinasi merupakan hal yang pokok.
Permainan vocal membantu bayi mengembangkan persepsi megenai struktur oral dan bunyi
yang dihasilkannya. Palotoskisis tidak hanya mengganggu sensasi oral, namun sering juga
disertai ketulian, gangguan umpan balik pendengaran dan rangsangan lingkungan.
Pada kasus-kasus palatoskisis, suara yang dihasilkan sangat sengau. Masalah dengan arti
yang sama adalah gangguan artikulasi ( pengucapan ) yang menyertai insufisiensi velofaringeus.
Yaitu, presisi dari konsonan letup ( p-b-t-d-k-g ) dan konsonan desah ( s-z-f-v-th-sh-zh ) dan
konsonan affricate ( ch-dzh ) berkurang karena lolos dari hidung. Anak dapat meringis dalam
usahanya menutup nares untuk mencegah lolosnya udara. Pada kasus labioskisis yang telah
diperbaiki, bunyi-bunyi yang terpengaruh adalah bunyi yang memerlukan penutupan,
pembulatan dan ekstensi bibir ( p-b-m-oo-ee ).
Tanpa memperhatikan apakah pembedahan, prosthesis ataukah keduanya dapat
mempengaruhi perbaikan structural, penutupan velofaringeus masih belum memadai untuk
kemampuan berbicara. Anak perlu diberi bantuan dengan artikulasi yang tepat dan cepat. Bicara
yang dihasilkan merupakan salah satu kriteria keberhasilan penatalaksanaan pembedahan atau
prostetik.

44
Anak dengan palatoskisis berisiko terhadap deficit sensasi oral, masalah pemberian makan,
masalah social / emosional, keterlambatan perkembangan, serta gangguan bicara dan bahasa
dengan gangguan pendengaran.

7.4 GAGAP
Gagap adalah gangguan kelancaran berbicara atau abnormalitas dalam kecepatan atau irama
bicara. Semua orang pernah mengalami ketidaklancaran yang normal dalam berbicara, misalnya
berhenti sebentar atau pengulangan kata. Bila ketidaklancaran ini sangat nyata sehingga menarik
perhatian, atau bila pembicara berjuang untuk meniadakan kelancaran, maka si pembicara
dianggap gagap. Penggagap dapat mengulangi kata atau bunyi, memperpanjang bunyi, atau
“terhambat”, sehingga tidak menimbulkan bunyi sama sekali. Selain itu, gagap dapat disertai
tegangan otot dan usaha berjuang. Ciri sekunder dapat berupa sentakan kepala, mata yang
berkedip-kedip dan perubahan wajah.
Perlu diketahui bahwa banyak anak mengalami ketidaklancaran dalam berbicara yang agak
berlebihan di sekitar usia tiga atau empat tahun. Ketidaklancaran ini tidak disertai usaha
perjuangan atau ketegangan dalam berbicara, dan biasanya menghilang spontan. Orang tua perlu
diyakinkan mengenai ketidaklancaran yang normal iini. Mereka seharusnya tidak bereaksi
berlebihan terhadap hal ini, dan bereaksi positif guna kepentingan komunikasi anak. Jika
ketidaklancaran yang nyata terus berlanjut, barulah anak dan orang tua perlu dirujuk ke ahli
patologi bicara.

7.5 GANGGUAN TINGKAH LAKU / EMOSIONAL


Anak dengan gangguan tingkah laku / emosional seringkali juga mengalami gangguan
bahasa termasuk mutisme, gangguan isi bicara, kurangnya pemahaman, interaksi komunikasi
yang buruk dan ciri vocal yang tidak khas. Jenis gangguan bicara spesifik, contohnya
neogogisme, pembalikan kata ganti, ekolalia, banyak bicara, seringkali berguna dalam
menentukan diagnosis banding. Anak dengan gangguan yang paling berat yaitu autistic atau
skizofrenia, selalau memperlihatkan gangguan berbahasa yang ekstrim.
Pada beberapa anak, gangguan emosional dianggap sebagai “penyebab” primer dari
gangguan berbahasa. Gangguan emosional sendiri dapat merupakan “akibat” dari
ketidakmampuan berkomunikasi. Pada kedua kasus, ganggguan komunikasi mengharuskan
evaluasi oleh seorang ahli patologi bicara.

7.6 CEREBRAL PALSY


Anak dengan cerebral palsy memerlukan orientasi khusus dari ahli patologi bicara serta
dokter. Pengetahuan mengenai tonus, sensasi, postur dan reflex tubuh adalah penting.
Sebelum dapat berbicara, anak perlu melatih otot-otot mulut agar dapat melakukan fungsi
vegetative dasar seperti makan dan menelan. Postur sokongan pernafasan perlu dibuat optimum
untuk menghasilkan suara. Wujud bicara anak dengan cerebral palsy mencerminkan kondisi
neurofisiologik dasar yang dimilikinya. Kualitas suara, artikulasi bunyi bicara, frekuensi dan
irama pernafasan menjadi terganggu akibat flasiditas, spastisitas, rigiditas, tremor atau atetosis.
Bahasa dari anak dengan cacat fisik seringkali dipengaruhi keterbatasan pengalamannya.
Lebih lanjut, karena cerebral palsy per definisi menyangkut kerusakan otak, maka manifestasi
anak dapat berupa sebagian atau seluruh ciri yang berkaitan dengan ketidakmampuan berbahasa
atau retardasi mental organic. Pada kasus cerebral palsy terkait inkompatibilitas Rh dan

45
kernicterus, dapat terjadi ketulian sensorineural dengan kesulitan bahasa dan bicara yang
ditimbulkannya.
Kemampuan untuk berkomunikasi lebih penting dibandingkan kemampuan berbicara.
Bilamana anak mengalami keterbatasan bicara, mungkin diperlukan system komunikasi
pengganti atau pelengkap. Pelayanan rehabilitasi yang terkordinir termasuk pelayanan dokter dan
ahli terapi fisik dan pekerjaan, pekerja social, ahli patologi bicara dan yag lain, adalah perlu.

7.7 KETIDAKMAMPUAN BICARA SPESIFIK


Anak dengan ketidakmampuan belajar spesifik tidak akan menguasai satu atau lebih proses
dasar belajar yang efisien. Disamping ciri lainnya, anak dengan gangguan belajar umumnya
mengalami gangguan berbahasa. Kelompok anak ini memiliki intelegensi rata-rata. Mereka
mungkin sulit untuk membentuk abstraksi verbal dan pekerjaan beralasan yang diperlukan gunu
interpretasi hubungan kompleks dalam berbahasa. Gangguan bahasa oral dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan menangkap dan menginterpetasi, demikian pula dalam merumuskan
dan mengucapkan bahasa lisan. Kesulitan ini juga tercermin dalam hal-hal subjektif seperti
membaca, menulis dan bidang akademis lain yang memerlukan kemampuan berbahasa yang
memadai.
Meskipun sebagian gangguan bahasa ini berubah dengan perjalanan waktu, yang lain
menetap sepanjang hidup. Anak dengan gangguan bahasa memerlukan pelayanan khusus.
Pendidikan untuk perbaikan dan kompensasi serta terapi dapat diperoleh dari sekolah,
rumah sakit dan klinik khusus.

7.8 RETARDASI MENTAL


Berbeda dengan anak dengan gangguan berbahasa atau emosional, anak terbelakang benar-
benar terbelakang secara menyeluruh. Mereka tertinggal dalam perkembangan sosio-emosional,
intelektual dan perseosi motoric, demikian juga dalam bidang bahasa. Semakin berat derajat
retardasi umum, makin berat juga keterlambatan berbahasa. Anak dengan retardasi berat
mungkin tidak dapat berbicara sama sekali.

7.9 GANGGUAN ARTIKULASI


Anak dengan cacat artikulasi bicara mengalami kesulitan dalam mengucapkan bunyi secara
tepat atau merangkaikan bunyi. Pada segala usia, dapat terjadi kesalahan artikulasi yang masih
dalam batas normal perkembangan ( Tabel 2.2 ).
Orang tua terkadang kuatir bahwa gangguan bicara pada anak ada hubungannya dengan
“kakau lidah”, namun kenyataannya suatu frenum lingualis perlu sangat dibatasi sebagai
penyebab suatu gangguana artikulasi. Hampir semua anak dapat mengimbangi “kakau lidah”,
dan banyak pada kasus, keterbatasan tersebut akan berkurang dengan perjalanan waktu.
Jenis gangguan artikulasi yang paling sering ditemukan disebut misartikulasi fungsional.
Terdapat 4 tipe : subtitusi, penghilanagan, distorsi dan penambahan. Gangguan artikulasi
fungsional ( kategori gangguan tunggal yang terbesar ) lazim dijumpai pada kelompok anak usia
sekolah.
Dua jenis gangguan artikulasi disertai pula gangguan fisiologis. Anak dengan disartria
berbicara secara tidak tepat karena paralisis, kelemahan atau tidak adanya koordinasi mekanisme
bicara. Bila kesulitan terletak pada pemilihan, pengolahan dan perangkaian bunyi, maka
gangguan disebut apraksia. Disartria dan apraksia dapat sangat membatasi kemampuan anak
untuk mengembangkan kelancaran berbicara.

46
Usia Perkembangan Bunyi yang Dikuasai

2 p,h,n,b,k,f

2½ m, g

3 w,d,y,v

3½ S

4 Sh

4½ t,ng,ch,r,l,z,th

⃰⃰pada 50% anak dengan segala posisi di dalam kata.

TABEL 2.2 AKUISISI KONSONAN BAHASA INGGRIS

8 GANGGUAN BAHASA DAN BICARA PADA DEWASA5


Gangguan komunikasi pada usia dewasa dapat berkenaan pada sejumlah kesulitan dan
mengakibatkan komunikasi yang terganggu atau tidak efektif. Gangguan paling sering ditemukan
oleh ahli THT adalah gangguan suara akibat laringektomi. Namun, gangguan lain juga dapat
mempengaruhi komunikasi dan berimplikasi pada intervensi medis dan terapeutik.

8.1 GANGGUAN SUARA


Suara merupakan produk akhir akustik dari suatu system yang lancar, seimbang, dinamis
dan saling terkait, melibatkan respirasi, fonasi dan resonansi. Tekanan udara subglotis dari paru,
yang diperkuat oleh otot-otot perut dan dada, dihadapkan pada plika vokalis. Suara dihasilkan
oleh pembukaan dan penutupan yang cepat dari pita suara, yang dibuat bergetar oleh gabungan
lancar kerja tegangan otot dan perubahan tekanan udara yang cepat. Tinggi nada terutama
ditentukan oleh frekuensi getaran pita suara.
Bunyi yang dihasilkan glottis diperbesar dan dilengkapi dengan kualitas yang khas ( resonansi )
saat melalui jalur supraglotis, khususnya faring. Gangguan pada system ini dapat menyebabkan
gangguan suara.

8.2 GANGGUAN FUNGSIONAL VERSUS ORGANIK


Gangguan suara dapat berupa fungsional, organic atau interaksi keduanya. Gangguan suara
fungsional adalah akibat penggunaan yang tidak tepat akibat dari suatu mekanisme normal.
Seringkali gangguan suara fungsional terjadi pada penyalahgunaan vocal atau gangguan
kepribadian. Stress emosional juga dapat menimbulkan tegangan musculoskeletal yang turut
berperan dalam penggunaan vocal yang tidak tepat. Gangguan suara organic disebabkan oleh
penyakit patofisiologik yang mengubah struktur atau fungsi laring. Beberapa gangguan ( mis.
papillomata, leukoplakia ) memerlukan intevensi bedah atau medis. Kebanyakan gangguan
fungsional dan sebagian gangguan organic ( mis. nodulus, paralisis adduktor unilateral )
berespon terhadap terapi simtomatik.

47
8.3 PARAMETER VOKAL ( TINGGI NADA, KEKERASAN, KUALITAS )
Kualitas vocal dapat dijelaskan secara subjektif dalam berbagai istilah, dua di antaranya
adalah “parau” dan “serak” yang sifat vocal menunjukkan kekerasan dan bernafas kasar.
Keduanya sering menyertai atau menyusul masa-masa penyalahgunaan suara. Umumnya hanya
berlangsung sementara dan kembali pulih setelah istirahat vocal selama beberapa jam, namun
kondisi semikronik tidak jarang ditemukan dalam keadaan ini.
Hiperfungsi aduktor tampaknya selalu terlibat pada semua penyalahgunaan suara.
Pada banyak kasus, vokalisasi dimulai dnegan suatu letupan glottis yang kuat disebut
“serangan glottis.” Setelah beberapa waktu, terjadi iritasi dan edema plika vokalis.
Jika hiperfungsi tidak dikendalikan, maka terdapat risiko perkembangan nodul pada tepi-tepi
plika. Dengan pertumbuhan nodul, tinggi nada vocal dapat berkurang akibat massa yang lebih
besar, kualitas kasar akan bertambah dan suara nafas menjadi terdengar karena udara lolos
melalui celah di sekitar nodul.
Disfonia aduktor spastik yang dicirikan oleh suara parau, tegang dan tercekik tampaknya
merupakan suatu contoh eksrim dari hiperfungsi, kendatipun kondisi ini tampaknya “resisten”
terhadap teknik-teknik terapi. Tindakan pembedahan dengan sengaja memotong saraf laringeus
rekurens menguntungkan pada beberapa pasien yang diseleksi degan sangat cermat.
Suara nafas tampaknya merupakan akibat hipofungsi adduktor. Kualitas nafas kasar ini
memperlihatkan suatu fase pendekatan yang singkat, dan pada saat berbisik, kedua pita suara
tidak saling menyentuh. Suara nafas ini biasanya responsive dengan terapi simtomatik.
“Hiponasalitas” dan “hipernasalitas” merupakan gangguan resonansi yang meliputi fungsi
rongga mulut, hidung dan faring serta organ-organ yang melekat padanya. Sfingter nasofaring
memerlukan suatu palatum mole fungsional dalam hubungannya tehadap otot konstriktor
superior yang dinamik pada dinding posterior faring. Sfingter relative tertutup pada pengucapan
sebagian besar bunyi kecuali bunyi “m”, “n” dan “ng”.
Hiponasalis adalah berkurangnya atau tidak adanya suara sengau di mana normalnya harus
terjadi. Dengan demikian, hiponasalis hanya mempengauhi 3 bunyi bicara ( m,n dan ng ).
“Benda dalam hidungku” menjadi ”Bedda dalap hidugku”. Fenomena ini disertai dengan
kongesti dan edema akibat infeksi saluran nafas atas, namun suara sengau yang menetap
memerlukan pemeriksaan untuk mencari adenoid yang hipertrofi, suatu massa atau deformitas
structural.

9 TERAPI 5
9.1 TERAPI SUARA
Setelah pemeriksaan medis, maka dengan memanfaatkan beberapa teknik, ahli patologi
bahasa dan bicara dapat membantu pasien mendapatkan suara yang lebih normal. Langkah
pertama adalah meningkatkan kemampuan pasien dalam memantau suara yang dihasilkannya,
dan meningkatkan kesadaran mengenai situasi-situasi dimana penyalahgunaan suara dapat
terjadi. Tujuan terapi lainnya adalah (1) mendidik pasien dalam hal anatomi dan fisiologi normal
pada mekanisme vocal; (2) menghilangkan kebiasaan berbicara yang salah;
(3) mengurangi penyalahgunaan vocal; (4) mengurangi ketegangan musculoskeletal; dan
(5) penyuluhan.
Sebelum dilakukan intervensi bedah, pasien harus menjalani masa percobaan terapi suara.
Terapi pada gangguan yang tidak mengancam jiwa seringkali tidak memerlukan pembedahan.
Pasien pasca bedah yang sebelum operasi tidak dirujuk ke ahli patologi bicara dan bahasa, dapat
menjalani intervensi terapeutik untuk mengurangi trauma pada plika vokalis. Istirahat suara

48
dalam waktu singkat, selama beberapa hari dapat membantu kesembuhan pasien setelah
pembedahan plika vokalis.

9.2 EFEK MEKANIS LARINGEKTOMI


Pengangkatan laring memisahkan fungsi respirasi dari bicara, menghilangkan sumber
getaran pada fonasi seperti yang telah ada ( glottis ), namun fungsi artikulasi secara relative utuh.
Orang yang menjalani laringektomi bernafas melalui stoma trakea. Pada kasus laringektomi
total, biasanya esophagus tetap utuh sebagai saluran penghubung mulut dan faring dengan
lambung. Maka sumber getaran baru untuk menghasilkan suara perlu dibentuk pada daerah
faring-esofagus. Daerah ini dikenal sebagai pseudoglotis atau neoglitis. Suara yang baru disebut
suara “esophagus” atau suara “alaringea” ( tanpa laring ).3,5
9.3 CARA MEMAKAI SUARA ESOFAGUS
Terdapat dua cara bagaimana masuknya udara dapat menghasilkan suara esophagus : injeksi
dan inhalasi. Menelan sebagai salah satu cara memasukkan udara tidak dianjurkan, karena proses
menelan tidak menganjurkan injeksi dan ekspulsi udara secara cepat yang diperlukan untuk dapat
berbicara.
Pada waktu injeksi, udara di dalam mulut atau hidung ditekan oleh gerakan bibir atau lidah dan
diinjeksikan kedalam esophagus. Hal ini dapat dilakukan secara sadar dengan merapatkan bibir
dan menekan ujung lidah pada krista aveolar, atau dorsum linguae pada palatum durum dan
mendorong “bola udara” ke dalam tenggorok. Bunyi konsonan tertentu ( p,t, dan k ) mendorong
udara ke dalam esophagus. Ketiganya disebut “konsonan injeksi.”
Pada waktu inhalasi, jalan nafas antara hidung atau mulut dan esophagus akan tetap terbuka.
Bila pasien melakukan inhalasi melalui stoma, maka tekanan negative dalam esofagus akan
meningkat, sehingga tercipta suatu vakum parsial. Jika segmen faring-esofagus relaksasi, maka
tekanan yang tinggi dalam mulut dan hipofaring akan mendorong udara ke dalam esophagus.

9.4 LARING ARTIFISIAL


Laring artifisial merupakan cara lain untuk meghasilkan suara guna berbicara.
Terdapat beberapa alat. Yang paling umum adalah alat yang digenggam, biasanya didepan leher.
Bunyi dihantarkan melalui jaringan dan kemudian diartikulasikan menjadi kata-kata. Suatu alat
elektronik serupa adalah generator nada yang digenggam dan dihubungkan dengan suatu slang
plastic diinersikan ke dalam mulut. Alat ini khusnya bermanfaat untuk pasien laringektomi yang
tidak dapat menggunkan alat pada leher, baik karena pembedahan leher yang luas ataupun karena
radiasi. Jenis alat yang ketiga adalah tipe pneumatic; udara didorong dari stoma ke dalam mulut,
menggunakan suatu pluit yang bergetar sebagai sumber bunyi.

9.5 PUNGSI TRAKEOESOFAGUS DAN PROSTESIS SUARA


Pungsi dibuat pada dinding trakea posterior ke dalam esophagus, dan kemudian diselipkan
suatu tuba berkatup satu arah. Udara ekshalasi pada pasien laringektomi akan dipintaskan
melalui prosthesis silicon ke dalam esophagus bila stoma ditutup, sehingga memungkinkan untuk
berbicara lancar.

49
9.6 PERJALANAN TERAPI
Bilamana mungkin, rahabilitasi harus dimulai sebelum pembedahan. Suatu kunjungan pra-
bedah pada pasien yang dilakukan oleh ahli patologi bicara, dan bila terindikasi dengan berhasil
pasien laringektomi berbicara memberitahukan bahwa ia akan dibantu. Kunjungan pra bedah
memberi kesempatan untuk menilai kemampuan berkomunikasi dan menentukan apakah
kebiasaan berbicara yang salah tidak ada hubungannya dengan kehilangan laring perlu perhatian
khusus.

9.7 FAKTOR-FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN KEBERHASILAN


DAN KEGAGALAN
Jenis dan luasnya pembedahan atau radiasi hanya mempunyai sedikit efek terhadap
kemampuan belajar bicara melalui esophagus. Gangguan pendengaran, gangguan medis,
gangguan kognitif, dan ciri psikologis juga telah ditemukan sebagai alasan kegagalan untuk
belajar bicara melalui esophagus.

10 GANGGUAN KOMUNIKASI LAINNYA5


Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemissfer dominan,
trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya digolongkan sesuai
lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan dalam pemahaman, membaca,
ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbeda-beda. Bila lesi menghasilkan afasia di
anterior, pasien juga mengalami gangguan bicara motoric.
Apraksia bicara merupakan gangguan dalam memilih, memproses atau merangkai bumyi
dan kombinasi bunyi untuk membentuk kata.
Disartria adalah gangguan bicara motorik akibat tonus abnormal, paralisis, kelemahan atau
inkoordinasi mekanisme bicara. Bicara dapar terdengar tertelan, tidak stabil, mengalami distorsi
atau sengau.
Pasien dengan deficit hemisfer kanan dapat memperlihatkan ganggguan dalam perhatian,
orientasi, persepsi, kemampuan berkomunikasi secara pragmatic, ingatan dan integrasi.
Kemampuan bicara dan bahasa mungkin utuh, namun pasien dengan gangguan kognitif dapat
lebih mengalami kesulitan dalam berkomunikasi secara tepat dibandingkan pasien afasia.

11 DISFUNGSI ORAL ATAU DISFAGIA5


Disfagia, suatu gangguan dalam proses menelan dapat terjadi baik pada anak maupun
dewasa. Anak sering menunjukkan penolakan per oral, bila tidak pernah diberi makan lewat
mulut untuk waktu yang cukup panjang ( 3 minggu atau lebih ). Pada orang dewasa, gangguan
anatomis atau neuromuscular dapat menyebabkan disfagia. Pasien mengeluh sulit mengunyah
atau menelan makanan, makanan “melekat” pada tenggorokan, batuk atau tercekik saat makan
atau minum.
Pemeriksaan barium meal yang telah dimodifikasi adalah suatu prosedur videofluroskopik atau
sinar-radiografik yang memungkinkan visualisasi proses menelan yang kemudian direkam dalam
pita atau film.

50
5. RINITIS ALERGI
1. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut ( Von Pirquet, 1986 ). 1
Menurut WHO ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001
adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. 1

2. ETIOLOGI
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki peran penting.
Pada 20 – 30% semua populasi dan pada 10 – 15% anak semuanya atopi. Apabila kedua orang
tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih besar atau mencapai 50%. Peran lingkungan
dalam dalam rinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan alergi.1
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk bersama udara
pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu binatang, jamur, serbuk sari, dan
lain-lain.1
3. EPIDEMIOLOGI
Rinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit atopi,
diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%.4 Rinitis alergi telah menjadi problem kesehatan
global, mempengaruhi 10% sampai lebih dari 40% seluruh penduduk dunia. Rinitis alergi juga
telah menjadi 1 dari 10 alasan utama pasien datang berobat ke dokter. Namun, prevalensi ini bisa
menjadi lebih tinggi, hal ini dikarenakan banyaknya pasien yang mengobati diri sendiri tanpa
berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak terhitung pada survey resmi.3
4. PATOFISOLOGI
Karakteristik utama dari sistem kekebalan tubuh adalah pengenalan dari "non-
self" yang berpasangan dengan ”memory”. Fungsi dari sistem kekebalan tubuh
melibatkan limfosit T dan limfosit B serta zat terlarut yang disebut sitokin yang
bertindak di dalam dan di luar sistem kekebalan tubuh untuk mempengaruhi sistem
tersebut dan juga beraneka ragam mediator. Gell dan Coombs menggambarkan
empat jenis reaksi hipersensitivitas : langsung, sitotoksik, komplek imun, dan
tertunda. Lainnya menyarankan penambahan dua jenis lagi ( rangsangan antibodi dan
antibodi-dependent, sitotoksisitas di mediasi sel ). Namun, rinitis alergi melibatkan
terutama jenis Gell dan Coombs, reaksi hipersensitif tipe I. Karena berbagai terapi
modalitas bekerja di berbagai titik dalam reaksi ini, penting bagi dokter untuk memiliki
pemahaman umum tentang hal tersebut.5
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu
immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat ( RAFC ) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat ( RAFL ) yang berlangsung 2-4
jam dengan puncak 6-8 jam ( fase hiperreaktivitas ) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam. 1

51
GAMBAR 2.5. REAKSI ALERGI
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji ( Antigen Presenting Cell / APC ) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. 1
Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II
( Major Histocompatibility Complex ) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
( Th 0 ). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 ( IL 1 ) yang
akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Lalu Th 2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13. 1
IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan
sel mastosit atau basofil ( sel mediator ) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini
disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang
sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
alergen spesifik dan terjadi degranulasi ( pecahnya dinding sel ) mastosit dan basofil
dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk ( Performed Mediators )
terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara
lain prostaglandin D2 ( PGD2 ), Leukotrien D4 ( LT D4 ), Leukotrien C4 ( LT C4 ),
bradikinin, Platelet Activating Factor ( PAF ) dan berbagai sitokin ( IL3, IL4, IL5, IL6,
GM-CSF / Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor ) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat ( RAFC ). 1
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan
menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga
52
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter
Cellular Adhesion Molecule 1 ( ICAM 1 ). 1
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak
berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam
setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel
inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta
peniingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor ( GM-CSF ) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiper responsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulanya seperti Eosinophilic Cationic Protein ( ECP ), Eosiniphilic
Derived Protein ( EDP ), Major Basic Protein ( MBP ), dan Eosinophilic Peroxidase (
EPO ). Pada fase ini,selain faktor spesifik ( alergen ), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan
kelembaban udara yang tinggi. 1
5. KLASIFIKASI
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya,
yaitu: 1
A. Rinitis alergi musiman ( seasonal, hay fever, polinosis )
Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang mempunyai
4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari ( pollen ) dan spora jamur. Oleh
karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau rino konjungtivitis karena gejala klinik
yang tampak ialah gejala pada hidung dan mata ( mata merah, gatal disertai lakrimasi )
B. Rinitis alergi sepanjangtahun ( perenial )
Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus,tanpa variasi musim, jadi
dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan
( yang dihirup oleh hidung ), terutama pada orang dewasa, dan alergen ingestan.
Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah ( indoor ) dan alergen luar rumah
( outdoor ). Alergen inhalan di luar rumah berupa polen dan jamur.
Alergen ingestan ( yang dimakan ) sering merupakan penyebab pada anak-anak biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan pencernaan. Gangguan
fisiologik pada golongan perenial lebih ringan dibandingkan dengan golongan musiman
tetapi karena lebih persisten maka komplikasinya lebih sering ditemukan.

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
Initiative ARIA ( Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2000, yaitu berdasarkan
sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1
A. Intermiten ( kadang-kadang )
Bila gejala kurang dari 4 hari / minggu atau kurang dari 4 minggu.
B. Persisten / menetap
Bila gejala lebih dari 4 hari / minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi : 1
A. Ringan
Bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

53
B. Sedang-berat
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

ANATOMI HIDUNG
Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011
October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com

6. KOMPLEKS OSTIOMEATAL ( KOM )


Kompleks OstioMeatal ( KOM ) merupakan celah pada dinding lateral hidung
yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris,
bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan unit fungsional yang
merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior
yaitu sinus maksila, sinus etmoid anterior dan sinus frontal, yang
merupakan sinus paranasalis anterior dengan ostium sinus-nya terletak pada
meatus medius. Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait. [ 3 ]
7.

54
SKEMA PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI

membentuk
Alergen ( 1 ) Makrofag / Merangsang Sitokin : IL 3,4,5 dan 13
monosit Th0

Alergen ( 2 ) Memotivasi limfosit B


Dengan proses yang sama membentuk

Membentuk

Imnunoglobulin E ( 1 )

Imnunoglobulin
Imnunoglobulin E ( 2E) ( 1 )

Sel Mastocit

1. Merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus


sehingga menimbulkan gatal dan bersin-bersin
Degranulasi / pecah

2. Kelenjar mukosa dan sel goblet hiperkresi dan permeabilitas


Keluar Histamin
kapiler meningkat sehingga rinorea

3.Vasodilatasi sinusoid mengakibatkan hidung tersumbat

55
DAFTAR PUSTAKA RINITIS ALERGI :
1. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Bailey BJ et al. Head and neck Surgery-Otolaryngology: Third Edition. 2001. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
3. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis. 2005.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
4. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991. Tersedia
di: http://highwire.stanford.edu/.
5. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngolohy Head and Neck Surgery:
Third Edition. 1998. St Louis: Mosby
6. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di : //emedicine.medscape.com/
article/134825-diagnosis.
7. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di : http://www.uptodate
.com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU.
8. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the Treatment of
Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/.
9. Ballenger JJ. Disease of oropharynx. In : ballenger JJ. Ed. Diseases of the nose, throat, ea,
head and neck. 14 th ed. Philadelphia, london .
10. http://janevassh.blogspot.com/2013/09/anatomi-dan-fisiologi-hidung-faring-dan.html
11. Wenig BM. Kornbult AD. Pharyngitis. Bailey BJ and pillsburry IIIHC. Eds. Head and neck
surgery – otilaryngology Vol 1 Philadelphia.

DAFTAR PUSTAKA KOMPLEK OSTIO MEATAL :

1. Settipane R.A, Lieberman P. Update on Non-Allergic Rhinitis. Brown University School of


Medicine. Diunduh dari http://nypollencount.com/Articles/Non-Allergic%20Rhinitis.pdf
[diakses tanggal 21 April 2013]
2. Acute and Chronic Rhinitis. Dalam Dhingra P.L. Disease of Ear, Nose and Throat. Edisi 4.
New Delhi. Gopson Paper Ltd. 2007. Hal: 145-8
3. Kushnir N.M, Kaliner M.A, eds. Rhinitis Medikamentosa [ online ]. 2011. [ cited 2011
October 25 ]. Available from URL: http://www.medscape.com
4. Dhingra P.L, Dhingra S, eds. Diseases of Ear, Nose & Throat, 5 th Edition. New Delhi :
Elsevier; 2011. p. 180-184
5. Tortora G.J, Derrickson B, eds. Principles of Anatomy and Physiology, 11 th Edition. New
York : Wiley; 2006. p. 847-850
6. Netter F.H, ed. Atlas of Human Anatomy, 4t Edition. New York : Elsevier; 2006. p. 32-36
7. Dhillon R.S, East C.A, eds. Ear, Nose and Throat and Head and Neck Surgery. 2 nd Esition.
London : Churchill Livingstone; 2000. p. 30-32
8. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ke Enam. 2004.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
9. Meltzer, EO. Evaluation of The Oral Antihistamine for Patients with Allergic Rhinitis. 2005.
Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
10. Cummings CW, Fredricksom JM, Harker LA. Otolaryngology Head and Neck Surgery:
Third Edition. 1998. St Louis: Mosby

56
11. Oates JA, Wood AJJ. The New England Journal of Medicine: Drug therapy. 1991. Tersedia
di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari 2011.
12. Sheikh J, Najub U. Rhinitis Allergic. 2010. Tersedia di:http://emedicine.
medscape.com/article/134825-diagnosis. Diunduh pada 10 Januari 2011.
13. Bergström SE. Primary Ciliary Dyskinesia. 2010. Tersedia di: http://www.uptodate.
com/patients/content/topic.do?topicKey=~CDUFGoQw81hSwmU. Diunduh pada 10
Januari 2011.
14. Mucha SM, et al. Comparison of Montelukast and Pseudoephedrine in the Treatment of
Allergic Rhinitis. 2006. Tersedia di: http://highwire.stanford.edu/. Diunduh pada 8 Januari
2011
15. Kopke RD, Jackson RL. Rhinitis. Dalam : Byron J, Bailey JB,Ed. Otolaryngology
16. Head and Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Comp, 1993.p. 269 – 87
17. Segal S, Shlamkovitch N, Eviatar E, Berenholz L, Sarfaty S, Kessler A. Vasomotor rhinitis
following trauma to the nose. Ann Otorhinolaryng 1999; 108:208-10
18. Jones AS. Intrinsic rhinitis. Dalam : Mackay IS, Bull TR, Ed. Rhinology. Scott-Brown’s
Otolaryngology. 6th ed. London : Butterworth-Heinemann, 1997. p. 4/9/1 – 17
19. Sunaryo, Soepomo S, Hanggoro S. Pola Kasus Rinitis di Poliklinik THT RSUP Dr. Sardjito
Yogyakarta Tahun 1998. Disampaikan pada Kongres Nasional Perhati XII, Semarang, 28 -
30 Oktober, 1999
20. Wainwright M, Gombako LA. Vasomotor Rhinitis : http://www.medschool.lsuhsc.edu/
otor/Vasorhi.htm
21. Becker W, Naumann H H, Pfaltz C R. Ear, Nose, and Throat Diseases A Pocket Reference.
2nd ed. New York : Thieme Medical Publishers Inc, 1994. p. 210-3
22. Ramer J.T, Bailen E, Lockey R.F. Rhinitis Medikamentosa, Allergy Clinical Immunology
Journal, Volume 16(3), 2006 : 148-155
23. Lockey R.F,ed. Rhinitis Medicamentosa and Stuffy Nose, Allergy Clinical Immunology
Journal, Volume 118, 2006 : 1017-1018.
24. Mygind, Niehls. Nacleria, Robert M. Alergic and Nonallergic Rhinitis, Clinical Aspecst. 1st
Edition. Munksgaard. Copenhagen. 159-165. 1993.
25. Adams G., Boies L., Higler P. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 1997.
26. Newlands, Shawn D. Bailey, Biron J. et al.. Textbook of Head and Neck Surgery-
Otolaryngology. 3rd edition. Volume 1. Lippincot: Williams & Wilkins. Philadelphia. 273-9.
2000.
27. Maran. Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

57
6. TONSIL

1. ANATOMI TONSIL
Richard SS. Pharinx. In:
Anatomi Klinik untuk
Mahasiswa Kedokteran.
Edisi 6. Jakarta: ECG, 2006. p795-801.

2. TONSIL PALATINA / FAUCIAL


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil
pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior ( otot palatoglosus ) dan
pilar posterior ( otot palatofaringeus ). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-
5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan
tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya
dikenal sebagai fosa supratonsilar.7 Tonsil terletak di lateral orofaring.
Dibatasi oleh :
1. Anterior : arcus palatoglossus.
2. Posterior : arcus palatopharyngeus.
3. Superior : palatum mole.
4. Inferior : 1/3 posterior lidah.
5. Medial : ruang orofaring.
6. Lateral : muskulus constrictor pharyngeus superior.
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.
Permukaan medial bentuknya bervariasi dan mempunyai celah yang disebut kripte. Di
dalam kripte ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, sisa makanan.
Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering disebut kapsul tonsil,
yang tidak melekat erat pada otot faring.7
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripte tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan
tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular
dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme
pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik.
Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.7

58
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding
luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding
otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu
nervus glosofaringeal.7

2.1 EMBRIOLOGI TONSILLA PALATINA


Perluasan ke lateral dari kantong faringeal kedua diserap dan bagian dorsalnya tetap ada
dan menjadi epitel tonsilla palatina. Pilar tonsil berasal dari arcus branchial kedua dan ketiga.
Kripte tonsillar pertama terbentuk pada usia kehamilan 12 minggu dan kapsul terbentuk pada
usia kehamilan 20 minggu.8

2.2 VASKULARISASI
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu :
a. maksilaris eksterna ( a. Fasialis ) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan
a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a.palatina desenden,
a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal dan a. faringeal asenden. Arteri
tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar muskulus konstriktor superior dan memberikan
cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirim cabang-
cabangnya melalui muskulus konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal
asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar muskulus konstriktor
superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke
tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina
posterior atau lesser palatina artery memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole
dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil
membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.9

2.3 ALIRAN GETAH BENING


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal
profunda ( deep jugular node ) bagian superior di atas muskulus sternokleidomastoideus /
kelenjar jugulo disgastrikus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan
pembuluh getah bening aferen tidak ada.10

2.4 INNERVASI
Innervasi terutama dilayani oleh n. IX ( glossopharyngeus ) dan juga oleh n.
Palatina minor ( cabang ganglion sphenopalatina ). Pemotongan pada n. IX menyebabkan
anestesia pada semua bagian tonsil.11

2.5 IMUNOLOGI
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang
matang ( Wiatrak BJ, 2005 ). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin ( IgG, IgA, IgM, IgD ), komponen komplemen,
interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar.12

59
Sel limfoid yang immuno reaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel
retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada
folikel limfoid.12
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi.

Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:


1. Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif.
2. Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

GAMBAR 2.2 CINCIN WALDEYER


Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of Otolaryngology-
Head & Neck Surgery. Pdf.
3. TONSILITIS KRONIS
3.1 DEFINISI
Tonsilitis merupakan peradangan tonsil palatina / faucial yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Tonsilitis kronik merupakan peradangan kronik pada tonsil yang
biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari
tonsil.10,13
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak
jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat
membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila
tonsil ditekan keluar detritus.14

5.2 EPIDEMIOLOGI
Tonsilitis adalah penyakit yang umum terjadi. Hampir semua anak di Amerika
Serikat mengalami setidaknya satu episode tonsilitis.2 Berdasarkan data epidemiologi
penyakit THT pada 7 provinsi ( Indonesia ) pada tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis
kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua setelah nasofaringitis akut ( 4,6% ). Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar jumlah kunjungan baru dengan tonsillitis kronik mulai
Juni 2008–Mei 2009 sebanyak 63 orang. Apabila dibandingkan dengan jumlah kunjungan

60
baru pada periode yang sama, maka angka ini merupakan 4,7% dari seluruh jumlah
kunjungan baru.11
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada anak-
anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh spesies
Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis virus lebih
sering terjadi pada anak-anak muda.2,12 Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit
Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan
dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi karier Group A
Streptokokus yang asimptomatis yaitu : 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun; 2,3% usia
15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di
Skotlandia, usia tersering penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun,
yakni sebesar 50 % . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita
Tonsilitis Kronis terbanyak sebesar 294 ( 62 % ) pada kelompok usia 5-14 tahun.9
3.3 ETIOLOGI
Tonsilitis terjadi dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kriptenya secara aerogen,
yaitu droplet yang mengandung kuman terhisap oleh hidung lewat nasofaring terus masuk ke
tonsil, maupun secara foodborn yaitu melalui mulut masuk bersama makanan 9. Etiologi
penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari Tonsilitis Akut yang mengakibatkan
kerusakan permanen pada tonsil, atau kerusakan ini dapat terjadi bila fase resolusi tidak
sempurna.13
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteria erobik dan
anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronis jenis kuman yang paling
sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A ( SBHGA ). Streptokokus grup A adalah
flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang
memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, Streptococus Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.8,14
Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli ( 1995 ) kultur hapusan tenggorok didapatkan
bakteri gram positif sebagai penyebab tersering Tonsilofaringitis Kronis yaitu Streptokokus alfa
kemudian diikuti Staphylococcus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
Staphylococcus epidermidis dan kuman gram negatif berupa Enterobakter,
9
Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. Coli.
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan yang khusus karena
dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab penting dari infeksi virusa dalah
adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks ( pada remaja ). Selain itu infeksi virus juga
termasuk infeksi dengan coxackie virus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi
pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.14
Infeksi jamur seperti Candidasp.tidak jarang terjadi khususnya di kalangan bayi atau pada
anak-anak dengan immunocompromised.14
3.4 FAKTOR PREDISPOSISI
Sejauh ini belum ada penelitian lengkap mengenai keterlibatan faktor genetik maupun
lingkungan yang berhasil dieksplorasi sebagai faktor risiko penyakit Tonsilitis Kronis.
Pada penelitian yang bertujuan mengestimasi konstribusi efek faktor genetik dan lingkungan
secara relatif penelitiannya mendapatkan hasil bahwa tidak terdapat bukti adanya keterlibatan
faktor genetik sebagai faktor predisposisi penyakit Tonsilitis Kronis. 15
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1

61
1. Rangsangan kronik ( rokok, makanan )
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca ( udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah )
4. Alergi ( iritasi kronik dari alergen )
5. Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik )
6. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

62
3.5 PATOFISIOLOGI
Tonsillitis berawal dari penularan yang terjadi melalui droplet dimana kuman
menginfiltrasi lapisan epitel. Adanya infeksi berulang pada tonsil menyebabkan pada suatu
waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian bersarang di tonsil.
Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi
( fokal infeksi ) dan suatu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada
saat keadaan umum tubuh menurun.9 Bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superkistal
bereaksi dimana terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid
diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar. Secara
klinik kripte ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul
tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada
anak disertai dengan pembesaran kelenjar limfa submandibularis / kelenjar jugulo digastrikus.1

3.6 GEJALA KLINIS


Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran
napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.16
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripte
melebar dan beberapa kripte terisi oleh detritus. Terasa ada yang mengganjal di tenggorok,
tenggorok terasa kering dan napas yang berbau.1 Pada tonsillitis kronik juga sering disertai
halitosis dan pembesaran nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang
secara menyeluruh dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa
(a) pembesaran tonsil karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripte melebar
di atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya mengeriput,
kadang-kadang seperti terpendam dalam “tonsil bed” dengan bagian tepinya hiperemis, kripte
melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.8,17

63
GAMBAR 2.3 TONSILLITIS KRONIK
Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: ECG, 1997. p263-340

64
GAMBAR 2.4 UKURAN TONSIL
Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid 2.
Jakarta : FKUI, 2007.p930-33.
Ukuran tonsil dibagi menjadi :
T0 : Post tonsilektomi.
T1 : Tonsil masih terbatas dalam fossa tonsilaris.
T2 : Sudah melewati pilar anterior, tapi belum melewati garis paramedian ( pilar posterior ).
T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median.
T4 : Sudah melewati garis median.

4. PENEGAKAN DIAGNOSIS
4.1 ANAMNESIS
Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus
menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, kadang-kadang ada demam dan
nyeri pada leher.15,18

4.2 PEMERIKSAAN FISIK


Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian
kripte mengalami stenosis, tapi eksudat ( purulen ) dapat diperlihatkan dari kripte-kripte
tersebut. Pada beberapa kasus, kripte membesar, dan suatu bahan seperti keju
atau dempul amat banyak terlihat pada kripte.15,18

65
4.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis Kronis :
1. Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat ( Hammoudaet al, 2009 ). Gold standard pemeriksaan
tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Berdasarkan penelitian Kurien di India terhadap 40
penderita Tonsilitis Kronis yang dilakukan tonsilektomi, didapatkan kesimpulan bahwa
kultur yang dilakukan dengan swab permukaan tonsil untuk menentukan diagnosis yang
akurat terhadap flora bakteri Tonsilitis Kronis dapat dipercaya dan juga valid. Kuman
terbanyak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti Staflokokus
aureus.20

2. Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap
480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan
ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas
menegakkan diagnosa Tonsilitis Kronis.20

5. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa diagnosis banding dari tonsilitis kronik, di antaranya :

1.1 TONSILLITIS DIFTERI


Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi
oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah.
Titer antitoksin sebesar 0,03 sat / cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas.
Tonsillitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi
tertinggi pada usia 5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu : umum, local, dan
gejala akibat eksotoksin.
Gejala umum sama seperti gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri
menelan.
Gejala local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu ( pseudomembran ) yang
melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai
leher sapi ( bull neck ).
Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan
kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.1

66
GAMBAR 2.5 TONSILA DIFTERI
Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.

1.2 ANGINA PLAUT VINCENT ( STOMATITIS ULSEROMEMBRANOSA )


Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala pada penyakit ini
berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah, rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi
dan gusi mudah berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran
putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut berbau
( foetor ex ore ) dan kelenjar submandibular membesar.1

GAMBAR 2.6 ANGINA PLAUT VINCENT


Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.

1.3 FARINGITIS
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat, karena
bakteri ini melepaskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan
katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat terbentuknya
kompleks antigen antibody. Gejala klinis secara umum pada faringitis berupa demam, nyeri

67
tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul
bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri
pada penekanan.1

GAMBAR 2.7 FARINGITIS


Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25

1.4 FARINGITIS LEUTIKA


Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau tersier.
Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding
posterior faring. Bila infeksi terus berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang
tidak nyeri. Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri
tekan.1
1.5 FARINGITIS TUBERKULOSIS
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada faringitis tuberculosis
berupa kedaan umum pasien yang buruk karena anoresia dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri
hebat ditenggorok, nyeri di elinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal. 1
Penyakit-penyakit diatas, keluhan umumnya berhubungan dengan nyeri tenggorok dan kesulitan
menelan. Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur,
X-ray Thorak PA dan biopsy.
2. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan
operatif.

2.1 MEDIKAMENTOSA
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau obat isap, pemberian
antibiotic, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.1,8 Pemberian antibiotika
sesuai kultur. Pemberian antibiotika yang bermanfaat pada penderita Tonsilitis Kronis :
Cephaleksin ditambah metronidazole, Klindamisin ( terutama jika disebabkan mononukleosis
atau abses ), Amoksisilin dengan asam klavulanat ( jika bukan disebabkan mononucleosis ).9

68
6.2 OPERATIF
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil ( tonsilektomi ).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Pada penelitian Khasanov et al mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan
Tonsilitis Kronis didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan
diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan penatalaksanaan
tonsilektomi.9

a. Indikasi Tonsilektomi
Indikasi umum:
Jika Tonsil menjadi sumber infeksi dimana resiko terhadap tubuh lebih besar daripada resiko
operasi, dapat mulai umur 3-60 tahun.

Indikasi Khusus:
1.Tonsillitis akut yang berulang ( Terjadi 4-5 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun ).
2. Tonsilitis dengan komplikasi ( Abses peritonsilar / Quincy, parafaring, sepsis )
3.Tonsilitis dengan eksaserbasi akut.
4. Tonsilitis sebagai carrier pada tonsilitis difteri.
5. Tonsilitis sebagai fokal infeksi.
6. Tonsilitis permagna.
7. Tumor tonsil benigna.

b. Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni : gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat,
antara lain :
1. Infeksi akut saluran nafas, resiko pada anastesi, kardiovaskular, respirasi.
2. Hemofilia, Trombositopenia.
3. Anemia, diobati dulu sampai Hb >10 gr%.
4. DM.
5. TBC.
6. Kelainan jantung / ginjal.
7. Umur <3 Tahun.
8. Epidemic poliomyelitis.
9. Hamil.
10. Menstruasi.9,18
Untuk infeksi akut jalan napas bagian atas / panas badan / nyeri telan dapat minimal
4 ( Empat ) minggu sembuh, baru dilakukan Tonsilektomi karena adanya infeksi :
1. Tindakan anastesi beresiko menyebarkan infeksi jalan nafas.
2. Adanya Bronkitis akut / Kronik : Vaskularisasi paru meningkat, efek anestesi dapat
menyebabkan Oedem Paru.
3. Beresiko perdarahan yang banyak karena tonsil masih oedem dan hiperemi.

69
c. Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari bahwa
mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang pertama kali bagi pasien.
Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan dengan
perhatian khusus terhadap adanya gangguan yang bersifat diturunkan terutama
kecenderungan terjadinya pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang
mungkin mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan
Laboratorium seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah
trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya dilakukan. Selain
itu pemeriksaan anti streptolisin titer O ( ASO ) dilakukan untuk mengetahui tingkat
infeksi serta sebagai salah satu indikasi tonsilektomi. Anti streptolisin meningkat pada
minggu pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah
infeksi. Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah lebih dari
200 IU / ml. Selain itu pemeriksaan radiologi thorak PA dan elektrokardiogram sebaiknya
dilakukan sebelum pembedahan.5,6,8
d. Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari tangan. Di Indonesia
teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan
Diseksi.9, 21
1. Diseksi : Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth gag, tonsil dijepit dengan
forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukosa. Dilakukan diseksi
dengan disektor tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan dengan
menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
2. Guilotin : Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat dilakukan bila tonsil dapat
digerakkan dan bed tonsil tidak cedera oleh infeksi berulang.
3. Elektrokauter : Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat digunakan pada tehnik ini.
Prosedur ini mengurangi hilangnya perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka
bakar.
:
4. Laser tonsilektomi : Diindikasikan pada penderita gangguan koagulasi. Laser KTP-512 dan
CO2 dapat digunakan namun laser CO2 lebih disukai. Tehnik yang dilakukan sama dengan
yang dilakukan pada tehnik diseksi.

e. Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya sendiri.
Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya
infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman
dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit
sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah
kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan
tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang
lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas
tidak menolong, maka pada fossa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar

70
anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis
eksterna.21
Dari laporan berbagai kepustakaan, umumnya perdarahan yang terjadi pada cara guillotine
lebih sedikit dari cara diseksi. Trauma akibat alat umumnya berupa kerusakan jaringan di
sekitarnya seperti kerusakan jaringan dinding belakang faring, bibir terjepit, gigi patah atau
dislokasi sendi temporomandibula saat pemasangan alat pembuka mulut.21
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu immediate,
intermediate dan late complication. 21
1. Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan dan
komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi.
Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.
21
Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan
mengkonsumsi minuman dingin / ice cream. 22
2. Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian ( intermediate complication ) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma
akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang
menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di
bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan
primer.21
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis
uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah
yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat
mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis.
Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih / refered pain dari fosa tonsil, tetapi kadang-
kadang merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius.
Abses parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru
jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil. 21
3. Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum mole.
Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah
adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila
cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil. 21

Komplikasi tonsilektomi dapat berupa : 10,18


1. Immediate and Delayed Hemorrhage.
2. Postoperative Airway Compromise : Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh terlepasnya
bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post operasi edema oropharingeal, atau
hematom retropharyngeal.
3. Dehidrasi.

71
4. Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang obstruksi
karena hipertropi adenotonsillar yang lama, mengakibatkan penurunan mendadak tekanan
intratoracal, peningkatan volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat
terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.
5. Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut.
6. Eustachian Tube Dysfunction.
7. Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah.

7.3 KOMPLIKASI
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis
kronik, sinusitis atau otitis media secara percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis
iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis. ( Rusmarjono, Kartoesoediro S.
Tonsilitis kronik. In : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed
Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25 )

Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara lain:9,23


a) Abses Peritonsil / Quincy Abcess
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya. Abses biasanya
terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed,
akibat proses fagositosis kuman pada kelenjar getah bening Weber. Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang
bermakna, odinofagi yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan
pungsi aspirasi abses.

GAMBAR 2.8 ABSES PERITONSIL


Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan

72
Tahun 2009. 2011.pdf dan Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease:
Introduction. In : Current Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007

73
b) Abses Parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus mandibula,
demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga menonjol kearah medial.
Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses Intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya diikuti dengan
penutupan kripte pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang
bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith ( kalkulus tonsil )
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh sisa-sisa dari
debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian tersimpan yang memicu
terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi
ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak
nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan
melakukan palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
e) Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran kekuningan diatas
tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan mudah didrainase.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43%
penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring.
Hasil ini meng-indikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya
penyakit glomerulonefritis.
8. PROGNOSIS
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan pengobatan
suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita Tonsilitis lebih
nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika tersebut harus
dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila penderita
telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat
menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang
sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang,
Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau
pneumonia.9
8. DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007. p212-25.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan 18).
Available from URL:http://emedicine.medscape.com/
3. Medical Disbility Advisor. Tonsillitis and Adenoiditis. [online]. 2011 .[cited, 2012 Jan
18). Available from URL: http://www.mdguidelines.com/tonsillitis-and-adenoiditis/

74
4. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 .[cited, 2012 Jan
17). Available from: URL: http://www.medicinenet.com
5. Christopher MD, David HD, Peter JK. Infectious Indications for Tonsillectomy. In: The
Pediatric Clinics Of North America. 2003. p445-58
6. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
7. Richard SS. Pharinx. In: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta:
ECG, 2006. p795-801.
8. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:
ECG, 1997. p263-340
9. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
10. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy.
In: Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
11. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum
Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
12. Empowering Otolaryngologist. Tonsillitis. In: American Academy of Otolaryngology-
Head & Neck Surgery. Pdf.
13. Mandavia, Rishi. Tonsillitis. [online] .[cited, 2012 Jan 20). Available from: URL:
http://www.entfastbleep.com
14. Gross CW, Harrison SE. Tonsils and Adenoid. In: Pediatrics In Review. [online].2000.
[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL: http://www.pediatricsinrewiew.com
15. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2012 Jan 21). Available from: URL:
http://www.Archotolaryngelheadnecksurg.com
16. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In: Ilmu
Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
17. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak jilid
2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
18. Pasha R. Pharyngeal And Adenotonsillar Disorder. In: Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. p158-165
19. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
20. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.
[online].2008.[cited, 2012 Jan 23]. Available from: URL: http://www. Bioline
International .com
21. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89. [online].1993.[cited,
2012 Jan 25]. Available from: URL: http://www. cerminduniakedokteran .com
22. Harrison SE, Osborne E, Lee S. Home Care After Tonsillectomy and Adenoidectomy.
In: Missisipi Ear, Nose, & Throat Surgical Associates 601. pdf.
23. Lalwani AK. Management of Adenotonsillar Disease: Introduction. In: Current
Otolaryngology 2nd ed. McGraw-Hill:2007.

75
76

Anda mungkin juga menyukai