Dokter Pembimbing :
dr. A. St. Fahirah Arsal, M.Kes
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 07
ANDI ANITA NUR FADHILAH RAHMAN 11020170027
USI TRIS SEPTIA NINGSIH 11020170029
ANDI AZIZAH NUR FADHILLAH SALIM 11020170030
RIZQIE HAYYUDIAH NUR 11020170031
A. NUR KHALIA MARZATILLAH 11020170032
RISKI AMALIAH H.R 11020170033
FADHILAH NORMAN 11020170034
FADHILLAH 11020170035
WIDYA ISLAMIYAH TAHIR 11020170036
YEYEN AUGRAH HARMIN 11020170037
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan tutorial ini, karena
itu kritik dan saran yang sifatnya membangun senantiasa kami harapkan guna memacu
kami menciptakan karya-karya yang lebih bagus.
Akhir kata, kami ingin menghaturkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis ini.
Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan
dan pengorbanan dengan limpahan rahmatdari-Nya. Aamiin yaa Robbal A’lamiin.
Kelompok 07
SKENARIO 3
KATA SULIT
-
KATA KUNCI
1. Anak perempuan 7 tahun
2. Demam 2 hari yang lalu
3. Nyeri menelan, sesak napas, pembesaran leher kanan
4. Lemas & lesu
PERTANYAAN
1. Jelaskan definisi dari demam dan klasifikasinya !
2. Jelaskan etiologi demam !
3. Jelaskan patomekanisme demam !
4. Jelaskan hubungan antara keluhan utama dengan gejala penyerta !
5. Sebutkan macam-macam penyakit tropis dengan keluhan demam!
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario !
7. Apa diagnosis banding sesuai skenario ?
8. Bagaimana penatalaksanaan sesuai skenario ?
9. Jelaskan perspektif Islam sesuai skenario !
JAWABAN
Suatu keadaan peningkatan suhu inti, yang sering (tetapi tidak seharusnya)
merupakan bagian dari respons pertahanan organisme multiselular (host) terhadap
invasi mikroorganisme atau benda mati yang patogenik atau dianggap asing oleh
host.
Demam adalah peninggian suhu tubuh dari variasi suhu normal sehari-hari yang
berhubungan dengan peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Suhu tubuh
normal berkisar antara 36,5-37,2°C. Derajat suhu yang dapat dikatakan demam
adalah rectal temperature ≥38,0°C atau oral temperature ≥37,5°C atau axillary
temperature ≥37,2°C. Suhu tubuh normal berkisar antara 36,5-37,2°C sedangkan
hipotermia adalah keadaan dimana suhu tubuh <35°C dan hiperpireksia adalah suatu
keadaan dimana suhu tubuh ≥41,2°C.
POLA DEMAM
pola atau pengukuran suhu secara serial dilakukan di tempat yang berbeda. Akan
tetapi bila pola demam dapat dikenali, walaupun tidak patognomonis untuk infeksi
tertentu, informasi ini dapat menjadi petunjuk diagnosis yang berguna (Tabel 2.).
Interpretasi pola demam sulit karena berbagai alasan, di antaranya anak telah
mendapat antipiretik
Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam, dan
respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi:
1. Demam Kontinyu
Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh peningkatan
suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam.
Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak signifikan.
2. Demam Remiten
Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam
yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit
tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam
disebabkan oleh proses infeksi.
Gambar 2. Demam remiten
3. Demam Intermiten
Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis demam
terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.
7. Undulant Fever
Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan
menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.
8. Prolonged Fever
Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama
demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya lebih dari 10 hari
untuk infeksi saluran nafas atas.
9. Demam Rekuren
Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular
pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau
sistem organ multipel.
10. Demam Bifasik
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan
contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis,
demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary rat-bite
fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan demam
Lassa).
11. Relapsing Fever dan Demam Periodik
Demam Periodik
Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular
atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu
atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria
(istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila
demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis.
Relapsing Fever
Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren yang
disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan ditularkan oleh kutu
(louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).
Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)
Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara tiba-
tiba berlangsung selama 3 – 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam dengan
durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6 oC pada tick-
borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta meliputi myalgia,
sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran. Resolusi tiap episode
demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction (JHR) selama beberapa jam
(6 – 8 jam), yang umumnya mengikuti pengobatan antibiotik. Reaksi ini
disebabkan oleh pelepasan endotoxin saat organisme dihancurkan oleh
antibiotik. JHR sangat sering ditemukan setelah mengobati pasien syphillis.
Reaksi ini lebih jarang terlihat pada kasus leptospirosis, Lyme disease, dan
brucellosis. Gejala bervariasi dari demam ringan dan fatigue sampai reaksi
anafilaktik full-blown.
Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus dan
Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 – 10 minggu sebelum
awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.
Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada 1887,
pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya sedikit
pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila ada, sugestif
untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang berlangsung 3 –
10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang serupa. Penyebab jenis
demam ini mungkin berhubungan dengan destruksi jaringan atau berhubungan
dengan anemia hemolitik.
Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).
KLASIFIKASI DEMAM
Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah.2 Untuk
kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau kronis, dan
dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel 3. dan Tabel 4. memperlihatkan tiga
kelompok utama demam yang ditemukan di praktek pediatrik beserta definisi istilah
yang digunakan.1
Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik
Lama demam
Klasifikasi Penyebab tersering
pada umumnya
Demam tanpa localization Penyakit demam akut tanpa penyebab demam yang
jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik
Letargi Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada interaksi
dengan pemeriksa atau orang tua, tidak tertarik dengan
sekitarnya
Infeksi saluran nafas ISPA virus, otitis media, tonsillitis, laryngitis, stomatitis
atas herpetika
Pulmonal Bronkiolitis, pneumonia
Gastrointestinal Gastroenteritis, hepatitis, appendisitis
Sistem saraf pusat Meningitis, encephalitis
Eksantem Campak, cacar air
Kolagen Rheumathoid arthritis, penyakit Kawasaki
Neoplasma Leukemia, lymphoma
Tropis Kala azar, cickle cell anemia
Referensi :
Barry Army Bakry, Alan Roland Tumbelaka. 2008. Etiologi Dan Karakteristik Demam
Berkepanjangan . Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Vol. 10, No. 2)
Demam terjadi saat respons imun tubuh dipicu oleh pirogen (zat penghasil
demam). Pirogen biasanya berasal dari sumber di luar tubuh dan, pada gilirannya,
merangsang produksi pirogen tambahan di dalam tubuh. Pirogen memberitahu
hipotalamus untuk meningkatkan titik suhu tubuh. Sebagai respons, tubuh mulai
menggigil, pembuluh darah kita menyempit. Kita berada di bawah selimut dalam
upaya untuk mencapai suhu baru yang lebih tinggi dari pada suhu dasar kita. Namun,
pirogen lain bisa diproduksi oleh tubuh, biasanya sebagai respons terhadap
peradangan; ini disebut sebagai sitokin (juga disebut pirogen endogen).
1. Virus
Virus merupakan penyebab demam yang paling sering pada orang dewasa.
Gejala penyertanya bisa meliputi hidung berair, sakit tenggorokan, batuk, suara
serak, dan nyeri otot. Virus juga dapat menyebabkan diare, muntah, atau nyeri perut.
Sebagian besar penyakit yang disebabkan oleh virus dapat sembuh dengan
sendirinya seiring dengan berjalannya waktu. Antibiotik tidak dapat membunuh
virus. Obat yang dikonsumsi hanya bertujuan untuk meredakan gejala, misalnya
obat penurun panas dan obat batuk. Jika mengalami diare atau muntah, penderita
harus minum air dalam jumlah yang cukup untuk mencegah dehidrasi. Penyakit
karena virus biasanya berlangsung selama satu sampai dua minggu.
2. Bakteri
Bakteri dapat menyerang organ manapun di dalam tubuh. Bakteri dapat
dihilangkan dengan antibiotik. Infeksi bakteri pada sistem saraf pusat (otak dan
medula spinalis) dapat menyebabkan demam, nyeri kepala, dan penurunan
kesadaran. Infeksi pada saluran napas dapat menimbulkan gejala seperti hidung
berair, nyeri tenggorokan, batuk, sesak napas, dan kadang-kadang nyeri dada.
Infeksi pada saluran kemih dapat menyebabkan rasa nyeri saat berkemih, air seni
bercampur darah, lebih sering buang air kecil, dan nyeri pinggang. Infeksi bakteri
pada sistem pencernaan ditandai dengan adanya diare, muntah, nyeri perut, dan
kadang-kadang disertai tinja bercampur darah. Infeksi pada kulit akan memberikan
gambaran kulit merah, bengkak atau muncul benjolan, teraba hangat, keluar nanah,
atau terasa nyeri. Infeksi bakteri yang berat akan terjadi jika bakteri masuk ke
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh menyebabkan suatu kondisi yang
disebut dengan sepsis.
3. Jamur
Jamur juga dapat menyerang organ manapun di dalam tubuh. Untuk
mengatasinya, diperlukan obat anti jamur
4. Obat-obatan
Demam yang terjadi sesaat setelah memulai suatu pengobatan mungkin
disebabkan oleh obat itu sendiri, jika tidak ditemukan penyebab lainnya. Demam
karena obat-obatan seharusnya akan menghilang apabila penggunaan obat-obatan
yang menyebabkan tersebut dihentikan. Obat-obatan yang dapat memicu demam
antara lain: antibiotik beta laktam, procainamide, isoniazid, alfa metildopa,
quinidine, dan difenilhidantoin.
5. Sumbatan
Pada pembuluh darah yang tersumbat, dapat terjadi reaksi peradangan sehingga
akan menyebabkan demam.
6. Tumor
Tumor ganas dapat menyebabkan demam melalui berbagai cara. Beberapa jenis
tumor mampu menghasilkan pirogen sendiri sehingga menimbulkan demam.
Beberapa tumor dapat mengalami infeksi sehingga terjadi demam. Tumor-tumor di
otak, terutama di hipotalamus dan area sekitarnya, dapat mengganggu fungsi
pengaturan suhu tubuh. Obat-obat antikanker juga ada yang bisa menyebabkan
demam. Selain itu, pada penderita kanker, sistem kekebalan tubuhnya cenderung
menurun sehingga mudah mengalami infeksi
7. Lingkungan
Suhu tubuh dapat meningkat sangat tinggi jika tubuh kepanasan. Keadaan ini
disebut hipertermia. Keadaan ini dapat terjadi karena olahraga yang berlebihan atau
ketika tubuh terpapar cuaca panas atau kering. Orang dengan hipertermia memiliki
suhu tubuh yang sangat tinggi dan tidak bisa berkeringat. Hipertermia merupakan
suatu keadaan darurat. Orang yang mengalami hipertermia harus segera
didinginkan. Banyak orang yang memiliki penyakit yang menyebabkan sistem
kekebalan tubuh mereka tidak berfungsi secara normal. Ada yang memiliki daya
tahan tubuh yang sangat rendah sehingga mudah mengalami infeksi. Ada juga yang
menderita penyakit autoimun (yaitu sistem kekebalan tubuh menyerang tubuh
sendiri), misalnya lupus eritematosus sistemik, yang dapat juga menimbulkan
demam.
Referensi :
Baitil, Atiq. 2009. Gambaran Pengetahuan Demam. Demam Caphter II. FK UI.
Patofisiologi Demam
Demam terjadi oleh karena pengeluaran zat pirogen dalam tubuh. Zat
pirogen sendiri dapat dibedakan menjadi dua yaitu eksogen dan endogen. Pirogen
eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh seperti mikroorganisme dan
toksin. Sedangkan pirogen endogen merupakan pirogen yang berasal dari dalam
tubuh meliputi interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), dan tumor necrosing
factor-alfa (TNF-A). Sumber utama dari zat pirogen endogen adalah monosit,
limfosit dan neutrofil. Seluruh substansi di atas menyebabkan selsel fagosit
mononuclear (monosit, makrofag jaringan atau sel kupfer) membuat sitokin yang
bekerja sebagai pirogen endogen, suatu protein kecil yang mirip interleukin, yang
merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Sitokin-sitokin
tersebut dihasilkan secara sistemik ataupun local dan berhasil memasuki sirkulasi.
Interleukin-1, interleukin-6, tumor nekrosis factor α dan interferon α, interferon β
serta interferon γ merupakan sitokin yang berperan terhadap proses terjadinya
demam. Sitokin-sitokin tersebut juga diproduksi oleh sel-sel di Susunan Saraf Pusat
(SSP) dan kemudian bekerja pada daerah preoptik hipotalamus anterior. Sitokin
akan memicu pelepasan asam arakidonat dari membrane fosfolipid dengan bantuan
enzim fosfolipase A2. Asam arakidonat selanjutnya diubah menjadi prostaglandin
karena peran dari enzim siklooksigenase (COX, atau disebut juga PGH sintase) dan
menyebabkan demam pada tingkat pusat termoregulasi di hipotalamus.
Enzim sikloosigenase terdapat dalam dua bentuk (isoform), yaitu
siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). Kedua isoform
berbeda distribusinya pada jaringan dan juga memiliki fungsi regulasi yang
berbeda. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang mengkatalis pembentukan
prostanoid regulatoris pada berbagai jaringan, terutama pada selaput lender traktus
gastrointestinal, ginjal, platelet dan epitel pembuluh darah. Sedangkan COX-2
tidak konstitutif tetapi dapat diinduksi, antara lain bila ada stimuli radang,
mitogenesis atau onkogenesis. Setelah stimuli tersebut lalu terbentuk prostanoid
yang merupakan mediator nyeri dan radang.
Penemuan ini mengarah kepada, bahwa COX-1 mengkatalis pembentukan
prostaglandin yang bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi regulasi
fisiologis, sedangkan COX-2 mengkatalis pembentukan prostaglandin yang
menyebabkan radang (Dachlan et al., 2001; Davey, 2005). Prostaglandin E2
(PGE2) adalah salah satu jenis prostaglandin yang menyebabkan demam.
Hipotalamus anterior mengandung banyak neuron termosensitif. Area ini juga kaya
dengan serotonin dan norepineprin yang berperan sebagai perantara terjadinya
demam, pirogen endogen meningkatkan konsentrasi mediator tersebut. Selanjutnya
kedua monoamina ini akan meningkatkan adenosine monofosfat siklik (cAMP) dan
prostaglandin di susunan saraf pusat sehingga suhu thermostat meningkat dan
tubuh menjadi panas untuk menyesuaikan dengan suhu thermostat .
Gambar 1. Patofisiologi Demam dan Efek Antipiretik
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase
kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu
tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan
aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan
merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase
keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu
yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase
penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan
berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan
berwarna kemerahan.
Referensi :
Barry Army Bakry, Alan Roland Tumbelaka. 2008. Etiologi Dan Karakteristik
Demam Berkepanjangan . Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Vol. 10, No. 2
Gejala lain yang juga dapat ditimbulkan adalah malaise dan nyeri menelan.
Dalam 1-2 hari kemudian timbul membran dan dapat meluas di bagian saluran napas
hingga ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea. Dapat terjadi
limfadenitis servikalis dan submandibular, bila limfadenitis terjadi bersamaan
dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Selanjutnya, gejala
tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran.
Referensi :
1. Hartoyo, Adi. 2018. Difteri pada anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Lambungmangkurat. Sari Pediatri Vol.9
2. Marsinta, Syahrial,dkk. 2018. Tonsilitis difteri dengan sumbatan jalan napas
atas. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala
Leher Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Referensi :
Setiani Setiani.2014.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi VI internal
publishing. Jakarta
6. Jelaskan langkah-langkah diagnosis sesuai skenario !
Anamnesis
1. Tanyakanlah data pribadi pasien: nama, umur, alamat, dan pekerjaan
2. Tanyakanlah apa yang menyebabkan pasien datang ke dokter (keluhan
utama). Untuk heteroanamnesis tanyakan hubungan pasien dengan pengantar.
3. Galilah riwayat penyakit yang diderita sekarang. Tanyakan tentang hal-hal
berikut : Onset dan durasi demam : timbul mendadak, kapan dan sudah berapa
lama demam
Sifat demam : subfebris, tinggi, terus menerus, intermitten, lebih tinggi pada
sore dan malam hari, bersifat serangan dengan interval tertentu.
4. Tanyakanlah tentang gejala lain yang menyertai: anoreksia, disfagia, malaise,
sakit kepala, artralgia, mialgia, sukar membuka mulut. manifestasi
perdarahan: peteki, ekimosis, epistaksis,hematemesis, melena, menggigil,
kejan, gangguan sistem respirasi : ( batuk, sesak ) gangguan gastrointestinal
(mual, muntah, nyari abdomen, diare dengan/tanpa lendir/darah, konstipasi) ,
gangguan sistem urogenitalia: warna urin, oliguria, dysuria, ruam kulit: kapan
timbulnya, lokasi, penyebaran.
5. Tanyakanlah adanya riwayat peyakit yang sama dalam keluarga atau
lingkungan sekitar tempat tinggal.
6. Tanyakanlah tentang riwayat imunisasi (terutama pasien anak)
7. Tanyakanlah riwayat bepergian atau pernah tinggal di daerah endemik
penyakit tertentu seperti malaria, filaria, dan lain lain.
8. Tanyakanlah jenis pekerjaan pasien yang mungkin mengarah kepada infeksi
tertentu misalnya antrakosis, flu burung.
9. Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan penderita penyakit dengan gejala
demam.
10. Tanyakanlah adanya riwayat kontak dengan hewan, terutama golongan avian.
11. Tanyakanlah riwayat pengobatan yang pernah diterima.
Pemeriksaan fisis
1. Perhatikan dan nilailah ada tidaknya rhisus sardonikus ( kejang otot wajah )
2. Periksalah untuk menilai adanya anemia, ikterus, edema
3. Perhatikanlah adanya status tifosa: kesadaran menurun, rambut kering, bibir
kering/terbelah-belah/terkupas, lidah kotor, pucat.
4. Periksalah adanya manifestasi perdarahan baik spontan (peteki, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan melena).
5. Lakukan uji turniket
6. Perhatikan ada tidaknya effloresensi kulit. Bila ada, nilailah tipe dan lokasi
effloresensi kulit: makula, papula, vesikel, krusta, polimorf.
7. Periksalah mulut dan rongga mulut : perhatikan adanya koplik spot,
membrane putih kelabu pada tonsil, kemerahan pada farings, atau larings,
perdarahan gusi, trismus.
8. Periksalah adanya gangguan refleks: bukalah mulut pasien dengan
menggunakan spatel, bila terjadi kejang, maka gangguan refleks dinyatakan
positif.
9. Lakukanlah pemeriksaan fisik toraks: inspeksi, palpasi dan auskultasi
10. Lakukanlah pemeriksaan abdomen: nilailah adanya hepatomegali,
splenomegali, asites, hipertoni otot abdomen.
11. Nilailah adanya opistotonus: pasien dalam posisi supine, masukkanlah lengan
anda di bawah punggung pasien, bila lengan dapat masuk, opistotonus (+).
12. Lakukanlah pemeriksaan pembesaran kelenjar: parotis. Inspeksi: lihatlah
adanya bullneck. Lakukanlah palpasi dengan tekanan ringan mulai dari untuk
menilai adanya pembesaran parotis.
13. Periksalah sistem muskuloskeletal untuk menilai adanya spasme anggota
gerak, hiperrefleksia dan nyeri tekan otot.
Pemeriksaan penunjang
1. Darah rutin
2. Uji Serologi
3. Bakteriologik
4. Radiologi
Referensi:
Vitayani, dkk. 2015. Buku Panduan Kerja Clinical Skill Lab kedokteran tropis.
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
DIFTERI
Epidemiologi
Pada tahun 2014, jumlah kasus difteri 296 kasus dengan jumlah kasus
meninggal 16 orang dengan CFR difteri 4%. Dari 22 provinsi yang melaporkan
adanya kasus difteri, provinsi tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Timur, yaitu 295
kasus yang berkonstribusi sebesar 74%. Dari total kasus tersebut, 37% tidak
mendapakan vaksin campak. Sementara pada tahun 2015 terdapat 252 kasus difteri
dengan 5 kasus meninggal sehingga CFR 1,98% dan gambaran menurut umur
terbanyak pada usia 5-9 tahun dan 1-4 tahun.
Manifestasi klinis
Fokus infeksi primer yang sering, yaitu pada tonsil atau pharynx kemudian
hidung dan larynx. Infeksi dari nares anterior lebih sering terjadi pada bayi,
menyebabkan sekret serosanguinis, purulen, dan rhinitis erosiva dengan
pembentukan membran. Ulkus dangkal dari nares eksternal dan bibir atas
merupakan tanda khas. Pada difteria tonsilar dan pharyngeal, sakit tenggorokan
merupakan gejala yang pertama kali muncul. Separuh pasien memiliki gejala
demam dan sebagian lagi mengeluhkan disfagia, suara serak, malaise atau sakit
kepala. Injeksi pharyngeal ringan diikuti dengan pembentukan membran tonsilar
baik uni maupun bilateral yang bisa meluas ke uvula (bisa mengakibatkan paralisis
yang dimediasi oleh toksin), palatum molle, oropharynx posterior, hypopharynx,
atau area glotis.
• Difteri hidung
• Difteri laring
Diagnosis
Diagnosis banding
Tatalaksana
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah meng- inaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit difteria.
Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidi er.
Khusus
Antitoksin: Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera
setelah dibuat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama,
angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penundaan lebih
dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.
Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
Pemberian ADS dapat terjadi reaksi ana laktik sehingga harus disediakan larutan
adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL
ADS dakam larutan garam siologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila
dalam 20 menit trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan
1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam siologis. Pada mata yang lain diteteskan
garam siologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada
konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mata positif, ADS diberikan
dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut di atas
negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara intravena. Dosis ADS ditentukan
secara empiris berdasarkan berat penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada
berat badan pasien. Pemberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau
100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam
berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).
Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi
toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/kgBB/hari,
dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram per hari), Penisilin V Oral
125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pensilin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari,
dosis terbagi setiap 6 jam IV atau IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000
IU/kgBB/hari, dosis terbagi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari.
Beberapa pasien dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari.
Eliminasi bakteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif
dari hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah terapi selesai.
Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapatkan C. diphteriae.
Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada difteria.
Dianjurkan.
pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
Obstruksi saluran nafas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck)
Bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2
minggu kemudian diturunkan dosisnya bertahap.
Prognosis
Prognosis difteria setelah ditemukannya ADS dan antibiotik lebih baik
daripada sebelumnya. Di Indonesia, pada daerah kantong yang belum di imunisasi,
masih dijumpai kasus difteria berat dengan prognosis buruk. Menurut Krugman,
kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena (1) obstruksi
jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya membran difteria, (2) Adanya
miokarditis dan gagal jantung, dan (3) paralisis diafragma sebagai akibat neuritis
nervus frenikus. Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai
penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa,
walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap.
Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan
pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak. Pada umumnya, setelah seorang
anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga
perlu imunisasi. Pencegahan secara khusus terdiri dari imunisasi DPT dan
pengobatan karier.
Imunitas pasif diperoleh secara transplasental dari ibu yang kebal terhadap difteria
sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan selama 2-3 minggu.
Imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif yang nyata atau inapparent
infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untuk
mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegahan dan
imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi sebelum usia 6 tahun.
Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.
Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga
kali dengan interval masing-masing 4-6 minggu. Apabila imunisasi belum lengkap
segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu
diulang), dan yang telah lengkap imunisasi primer (<1 tahun) perlu dilakukan
imunisasi DPT ulangan umur 18 bulan dan 5 tahun.
Test kekebalan:
Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas)
terhadap difteri. Tes dilakukan dengan menyunti- kan toksin difteri
(dilemahkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan antitoksik
akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman difteri. Tes
dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan uid diphtheri toxoid secara
suntikan intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10
mm. Ini berarti bahwa (1) pernah terpapar pada basil difteri sebelumnya
sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas, (2) pemberian toksoid difteri bisa
mengakibatkan timbulnya reaksi yang berbahaya.
Referensi:
Hartoyo, Edi. 2018. Difteri Pada Anak. Banjarmasin: Sari Pediatri, Vol. 19, No.
5. Hal. 300-306
MUMPS (PAROTITIS)
Definisi
Parotitis merupakan penyakit sistemik pada anak yang sampai saat ini masih
sering dijumpai. Mumps merupakan salah satu virus penyebab parotitis yang
tersering. Saat ini sudah tersedia vaksin yang dapat mencegah parotitis yang
disebabkan oleh mumps.1
Mumps (Parotitis Epidemika) adalah penyakit infeksi akut dan menular yang
disebabkan virus. Virus menyerang kelenjar air liur di mulut, terutama kelenjar
parotis yang terletak pada tiap-tiap sisi muka tepat di bawah dan di depan telinga.7
Mumps atau parotitis epidemika merupakan self limiting disease yang
disebabkan oleh infeksi virus yang paling sering terjadi di sekolah-usia anak dan
remaja. Gambaran klasik mumps adalah pembengkakan nonsuppuratif dan rasa nyeri
kelenjar ludah. Infeksi ini biasanya bersifat jinak, dan banyak kasus yang subklinis.5
Etiologi
Penyebab adalah virus mumps.7 Virus ini adalah anggota kelompok
paramiksovirus, yang juga mencakup parainfluenza, campak, dan virus penyakit
Newcastle. Hanya deiketahui ada satu serotype. Biakan manusia atau sel ginjal kera
terutama digunakan untuk isolasi virus. Pengaruh sitopatik kadang-kadang
ditemukan, tetapi hemadsorpsi merupakan indikator infeksi yang paling sensitif.
Virus telah diisolasi dari ludah, cairan serebrospinal, darah, urin, otak dan jaringan
terinfeksi lain.3
Virus penyebab mumps dapat menyebar melalui kontak langsung dengan
percikan ludah, bahan muntah dan urine. Virus masuk ke dalam tubuh melalui hidung
atau mulut. Virus memperbanyak diri di saluran napas atas dan menyebar ke kelenjar
getah bening lokal. Masa ini dikenal dengan masa inkubasi dan berlangsung selama
12-25 hari. Kemudian virus akan menyebar ke seluruh tubuh dengan lokasi yang
dituju adalah kelenjar parotis, ovarium (indung telur) pada wanita atau testis (buah
zakar) pada laki-laki, pankreas, tiroid, ginjal, jantung atau otak.8
Epidemiologi
Insidens penyakit parotitis telah jauh menurun dibandingkan dengan periode
sebelum tahun 1967. Di Amerika Serikat data yang dilaporkan oleh CDC (Centre of
Disease Control) yang terakhir, hanya menyebutkan 1692 kasus pada tahun 1993. Di
RS. Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta penderita parotitis yang berobat di unit rawat
jalan sejak tahun 1994 - 1998 adalah sebanyak 61 kasus, sedangkan data Survai
Rumah Tangga 1966 tidak menyertakan parotitis sebagai penyakit yang diteliti. Salah
satu virus penyebab parotitis adalah mumps, golongan paramyxovirus yang terdiri
dan satu rangkaian tunggal RNA yang memiliki kapsul Iipoprotein. Golongan umur
5-9 tahun adalah golongan yang paling banyak diserang oleh penyakit ini.
Komplikasi yang berat meliputi orkitis, pankreatitis, meningoensefalitis, dan
berbagai keterlibatan organ keIenjar lainnya.2
Patogenesis
Sesudah masuk dan mulai membelah dalam sel saluran pernapasan, virus
dibawa darah ke banyak jaringan, diantaranya ke kelenjar ludah dan kelenjar lain
yang paling rentan.3
Manifestasi Klinik
Penyakit ini paling sering terjadi pada anak-anak dan orang muda berusia
lima sampai 15 tahun. Gejalanya, nyeri sewaktu mengunyah dan menelan. Lebih
terasa lagi bila menelan cairan asam seperti cuka dan air jeruk. Pembengkakan yang
nyeri terjadi pada sisi muka dan di bawah telinga. Kelenjarkelenjar di bawah dagu
juga akan lebih besar dan membengkak. Penderita juga merasa demam. Suhu tubuh
dapat meningkat hingga 39,5oC. Komplikasi mungkin terjadi pada anak laki-laki
pada umur belasan tahun, nyeri pada perut dan alat kelamin. Pada penderita remaja
perempuan, nyeri akan terasa juga di bagian payudara. Komplikasi serius terjadi jika
virus mumps menyerang otak dan susunan syarat. Ini menyebabkan radang selaput
otak dan jaringan selaput otak. Penularan penyakit ini melalui kontak langsung
dengan penderita, seperti persentuhan dengan cairan muntah dan air seni penderita
atau melalui udara ketika penderita bersin atau batuk.7
Diagnosis
Masa inkubasi virus mumps adalah 16 sampai 18 hari. Gejala prodromal
meliputi demam ringan, anoreksia, sakit kepala, dan malaise. Dalam waktu 24 jam
dari gejala prodromal, pasien mungkin akan mengeluh sakit telinga dan nyeri pada
kelenjar parotis ipsilateral. Setelah pembengkakan parotis mencapai puncaknya, rasa
nyeri dan demam hilang dengan cepat, dengan kelenjar biasanya kembali ke ukuran
normal dalam waktu 7 sampai 10 hari.5
Infeksi dikonfirmasi oleh isolasi virus atau asam nukleat dari spesimen klinis.
Pemeriksaan serologi menunjukkan peningkatan titer IgG yang signifikan di antara
spesimen akut dan konvalesen atau IgM antibodi mumps positif.5
Pengobatan
Pengobatan parotitis seluruhnya simtomatik. Tirah baring harus diatur
menurut kebutuhan penderita, tetapi tidak ada bukti statistic yang menunjukkan
bahwa tirah baring ini mencegah komplikasi. Diet harus disesuaikan dengan
kemampuan penderita untuk mengunyah. Orkitis harus diobati dengan dukungan
local dan tirah baring. Arthritis parotitis dapat berespon terhadap pemberian 2
minggu agen antiradang kortikosteroid atau nonsteroid. Salisilat tampak tidak
efektif.3
Profilaksis
1. Pasif
Gamma globulin parotitis hiperimun tidak efektif dalam mencegah parotitis
atau mengurangi komplikasi.3
2. Aktif
Pemberian rutin vaksin parotitis hidup yang dilemahkan. Anak yang
divaksinasi biasanya tidak mengalami demam atau reaksi klinis lain yang dapat
dideteksi, tidak mengekskresi virus, dan tidak menular terhadap kontak yang rentan.
Jarang parotitis dapat berkembang 7-10 hari sesudah vaksinasi. Vaksin memicu
antibodi pada sekitar 96% resipien seronegatif dan mempunyai kemanjran protekstif
sekitar 97% terhadap infeksi parotitis alamiah. Proteksi tampak berakhir lama. Pada
satu wabah parotitis, beberapa anak yang telah diimunisasi dengan vaksin parotitis
sebelumnya mengalami sakit yang ditandai dengan demam, malaise, mal, dan ruam
popular merah yang melibatkan badan dan tungkai tetapi menyelamatkan telapak
tangan dan kaki. Ruam berakhir sekitar 24 jam. Tidak ada virus yang diisolasi dari
anak ini, tetapi kenaikan titer antibody parotitis ditnjukkan.3
Komplikasi
Keterlibatan sistem saraf pusat (SSP) dalam bentuk meningitis aseptik (sel-
sel inflamasi pada cairan serebrospinal) adalah yang paling sering, terjadi tanpa
gejala pada 50% sampai 60% pasien. Gejala meningitis (sakit kepala, kaku kuduk)
terjadi sampai 15% pasien dan berubah tanpa sequelae 3 sampai 10 hari. Orang
dewasa memiliki risiko lebih tinggi untuk komplikasi ini dibandingkan anak-anak,
dan laki-laki lebih sering dibandingkan anak perempuan (dengan rasio 3:1). Parotitis
mungkin tidak ada di sebanyak 50% pasien demikian. Penyakit otak adalah jarang
(kurang dari 2 per 100,000 kasus mumps).4
Prognosis
Prognosis keseluruhan mumps dengan tanpa komplikasi adalah sangat baik.
Prognosis pasien dengan ensefalitis umumnya baik, namun, kerusakan neurologis
dan kematian dapat terjadi. Dilaporkan angka kejadian ensefalitis mumps sebesar 5
kasus per 1000 kasus mumps yang dilaporkan. Sequelae permanen jarang terjadi,
sedangkan laporan kasus ensefalitis angka kematian rata-rata 1,4%. Myelitis
sementara atau polyneuritis jarang. Sekitar 10% dari semua pasien yang terinfeksi
berkembang dalam bentuk meningitis ringan, yang sulit dibedakan dengan
meningitis bakteri.10
Referensi :
1. Marissa Tania Stephanie Pudjiadi, Sri Rezeki S. Orkitis pada Infeksi Parotitis
Epidemika: laporan kasus. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 1, Juni 2009. p 47-51
2. Satari, Hindra Irawan, et.al. Studi Sero epidemiologi pada Antibodi Mumps Anak
Sekolah Dasar di Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 6, No. 3, Desember 2004. p. 134-
137
3. Maldonado, Yvonne. Parotitis Epidemika. Dalam: Nelson Ilmu Kesehatan Anak;
2000. p.1075-1077
4. Mumps, Pinkbook 2012, Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable
Diseases, 12th Edition Second Printing Revised May 2012
5. Vikas S. Kancherla, I. Celine Hanson. Mumps resurgence in the United States.
The Journal of Allergy and Clinical Immunology Volume 118, Issue; 2006.
p.938-941. Diakses dari http://www.jacionline.org /article/S0091-
6749(06)01582-X/fulltext pada bulan April 2013
6. Depkes RI. Mumps (parotitis Epidemika). Pedoman Pengobatan Dasar di
Puskesmas; 2007. Jakarta: 2008. p.158
7. Anggraeni, Melisa, Dwi Lingga Utama, I Md Gd. Gondongan (Mumps atau
Parotitis). Bag/SMF IKA FK UNUD-RSUP Sanglah Denpasar. Diakses dari
http://ppdsikafkunud.com/gondongan-mumps-atau-parotitis pada bulan April
2013
8. California Department of Public Health – December 2012. Mumps: Case and
Outbreak Investigation: 2012
9. Germaine L Defendi. Mumps. In: Russell W Steele, Chieff Editor: Medscape
Reference: 2012. Diakses dari http://emedicine.medscape.com pada bulan April
2013.
Referensi :
Edi Hartoyo.2018.Difteri Pada Anak.Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Lambungmangkurat.Banjarmasin.
9. Jelaskan perspektif Islam sesuai skenario !
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”