Anda di halaman 1dari 26

PROPOSAL PENELITIAN KTI

PENGARUH KONSUMSI MADU TRIGONA sp.


TERHADAP PERBAIKAN MIKROSKOPIS PASIEN
TUBERKULOSIS PARU

Disusun Oleh:

Nurul Muqarribah Pratiwi Ishaq

110 2017 0104

Pembimbing:

dr. Yani Sodiqah, M. Kes

dr. Zulfitriani Murfat, M. Kes

KARYA TULIS ILMIAH

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis termasuk dalam 10 kasus penyebab kematian di

dunia. Berdasarkan Global Tuberculosis Report 2018, angka kematian

tuberkulosis mencapai 1,3 juta kematian.1 Pada tahun 2016 terdapat

10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan 120 kasus per

100.000 penduduk. Indonesia menduduki peringkat 2 dunia sebagai

negara dengan penderita TBC tertinggi. Tercatat, angka prevalensi

kejadian TBC di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 297 per 100.000

penduduk. Badan kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan negara

dengan beban tinggi untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC,

TBC/HIV, dan MDR-TBC. Indonesia memiliki 3 indikator tersebut yang

mengindikasikan bahwa Indonesia masih memiliki permasalahan

besar dalam menghadapi penyakit TBC.1

Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang disebabkan

oleh bakteri Mycobacterium kompleks yang menginfeksi paru dan juga

dapat menginfeksi organ lain. Penyebaran penyakit tuberkulosis

melalui batuk atau bersin dari penderita tuberkulosis paru sehingga

bakteri menyebar melalui udara. 2


Diagnosis penyakit tuberkulosis ditegakkan dengan pemeriksaan

bakteriologis, yaitu pemeriksaan mikroskopis,3 Pemeriksaan

mikroskopis pada sputum dilakukan dengan waktu pengambilan SPS

(Sewaktu-Pagi-Sewaktu). Ditetapkan sebagai pasien TB apabila

minimal satu dari pemeriksaan mikroskopis sputum SPS hasilnya BTA

(Basil Tahan Asam) positif.4 Pemeriksaan mikroskopis sputum untuk

mendeteksi basil tahan asam dalam spesimen klinis merupakan tes

yang cepat dan murah dibandingkan kultur dan telah diteliti memiliki

sensitivitas 54% dan spesifitas 100%.5 Selain itu dapat juga dilakukan

dengan Tes Cepat Molekuler (TCM) dan biakan (kultur).3

Untuk memutus rantai penularan penyakit infeksius, mencegah

morbiditas dan kematian serta mencegah terjadinya resistensi obat,

diperlukan pengobatan penyakit tuberkulosis. Empat obat utama

sebagai terapi definitif pasien tuberkulolosis adalah isoniazid,

ripamfisin, pirazinamid dan etambutol. Obat-obat ini memiliki sifat

antibakterisidal yaitu kemampuan mengeliminasi jumlah organisme

dan memiliki aktivitas sterilisasi dengan mematikan basil tahan asam

dan mencegah kekambuhan tuberkulosis.3

Namun, interaksi obat di dalam tubuh manusia berbeda-beda

sehingga efek samping yang ditimbulkan berbeda pula. Beberapa

faktor yang mempengaruhinya adalah usia, jenis kelamin, lama

pemakaian obat, penyakit komorbid dan konsumsi alkohol. 4 Reaksi

imun yang dapat timbul sebagai efek samping obat anti tuberkulosis
adalah hepatoksisitas, reaksi kulit, neuropati perifer, nefrotoksisitas,

neuritis retrobulbar, ototoksitas serta gangguan muskuloskeletal.5

Selain dengan obat-obatan, kesembuhan penyakit tuberkulosis

dipengaruhi oleh sistem imun yang baik oleh karena itu dibutuhkan

suplementasi yang meningkatkan daya antimikroba terhadap bakteri

Mycobacterium Tuberkulosis.6 Salah satu suplementasi yang dapat

digunakan adalah madu.

Madu adalah zat cair yang kental dan manis, yang dibuat oleh

lebah dengan proses peragian dari nektar bunga atau cairan manis

yang dihasilkan bagian-bagian lain selain bunga.7 Madu Trigona sp.

berasal dari nektar bunga dan tepung sari yang memiliki manfaat bagi

kesehatan.8 Madu secara tradisional telah dimanfaatkan oleh

masyarakat sebagai salah satu obat alternatif untuk menyembuhkan

berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh mikrobia patogen.9

Sebelumnya kandungan gizi Madu Trigona telah diteliti dan

ditemukan bahwa madu ini memiliki kandungan fenol, kuersetin,

kalsium serta vitamin C yang tinggi.10 Selain itu madu Trigona sp juga

dapat berperan sebagai imunomodulator dengan meningkatkan

ekspresi gen Foxp3 mRNA yang merupakan marker dan faktor

transkripsi sel T regulator (Treg).11

Berdasarkan latar belakang ini, peneliti merasa perlu dilakukan

penelitian mengenai “Pengaruh Madu Trigona sp terhadap Perbaikan

Mikroskopis Pasien Tuberkulosis” untuk melihat apakah terjadi


perbaikan mikroskopis terhadap pasien tuberculosis yang

mengonsumsi madu Trigona sp.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah yang didapatkan

dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Pengaruh Madu Trigona sp.

Terhadap Perbaikan Mikroskopis Pasien Tuberculosis Paru.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Apakah madu Trigona sp dapat memperbaiki mikroskopis pasien

tuberkulosis paru?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh konsumsi madu Trigona sp. terhadap

perbaikan mikroskopik pasien tuberkulosis paru

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi perbaikan mikroskopik (BTA) pasien

tuberkulosis paru yang mengonsumsi madu Trigona sp

2. Mengidentifikasi perbaikan mikroskopik (BTA) pasien

tuberkulosis paru yang tidak mengonsumsi madu Trigona sp.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah

pengetahuan khususnya mengenai terapi suportif untuk

kesembuhan pasien tuberkulosis. Penelitian ini juga dapat


menjadi referensi untuk penelitian lanjutan mengenai terapi

pendukung untuk pasien tuberkulosis paru.

1.5.2 Manfaat Aplikatif

1.5.2.1 Bagi Masyarakat

Sebagai sumber informasi bagi masyarakat, khususnya bagi

penderia tuberkulosis mengenai manfaat madu Trigona sp.

sebagai terapi pendukung terhadap perbaikan mikroskopis

penyakit tuberkulosis paru.

1.5.2.2 Bagi Peneliti

Penelitian ini diajukan sebagai syarat untuk memenuhi

sebagian persyaratan untuk mencapai strata-1 kedokteran

umum. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat

meningkatkan wawasan peneliti mengenai pengaruh madu

Trigona sp. sebagai terapi pendukung terhadap perbaikan

mikroskopis penderita tuberkulosis paru.

1.5.2.3 Bagi Institusi

Sebagai salah satu faktor yang dapat mendukung

pengelolaan pasien dengan memberikan terapi suportif

dengan madu untuk penyembuhan pasien tuberkulosis paru

di Rumah Sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit

menular di seluruh dunia.16 Tuberkulosis paru (TB paru) adalah infeksi

paru yang menyerang jaringan parenkim paru, dan disebabkan bakteri

Mycobacterium tuberkulosis yang memiliki sifat tahan asam.3 Tahan

luntur asam disebabkan terutama karena kandungan tinggi dari asam

mikolik organisme, rantai panjang asam lemak cross-linked, dan lipid

dinding sel lainnya.15 Tuberkulosis disebabkan oleh jenis yang rentan

terhadap obat sehingga dapat disembuhkan sebagian besar kasus

bila ditangani dengan baik. 12

M. tuberculosis ditularkan melalui udara, bakteri ini akan berada di

dalam gelembung cairan bernama droplet nuclei. Partikel kecil ini

dapat bertahan di udara selama beberapa jam dan tidak dapat dilihat

oleh mata karena memiliki diameter 1-5 µm.20 Ketika droplet nuclei

terhirup, biasanya kurang dari 10% akan mencapai alveoli. Kemudian,

alveolar makrofag akan memfagositosis basil. Jika basil berhasil

ditangkap, replikasi dimulai dan makrofag akhirnya pecah. Fagosititik

lain kemudian direkrut dan melanjutkan siklus infeksi sehingga infeksi

semakin meluas.16 Gejala pada tuberkulosis yaitu demam biasanya

subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah), sesak nafas, nyeri

dada, malaise, berat badan menurun, keringat malam, dan riwayat

kontak penderita TB.3


B. Patogenesis Tuberkulosis

M. tuberculosis ditularkan melalui udara, bukan melalui kontak

permukaan. Ketika penderita TB paru aktif (BTA positif dan foto

rontgen positif) batuk, bersin, berteriak atau bernyanyi, bakteri akan

terbawa keluar dari paru-paru menuju udara. Bakteri ini akan berada

di dalam gelembung cairan bernama droplet nuclei. Partikel kecil ini

dapat bertahan di udara selama beberapa jam dan tidak dapat dilihat

oleh mata karena memiliki diameter sebesar 1-5 µm.20

Interaksi M. tuberculosis dengan host manusia dimulai ketika

droplet nuclei terhirup. Meskipun sebagian besar basil inhalasi

terjebak di saluran udara bagian atas dan diusir oleh sel mukosa

bersilia, sebagian kecil (biasanya <10%) mencapai alveoli.

Kemudian, alveolar makrofag akan memfagositosis basil.

Perlekatan mikobakteri pada makrofag sebagian besar disebabkan

oleh pengikatan bakteri dinding sel ke berbagai molekul permukaan

sel makrofag, termasuk reseptor komplemen, reseptor mannose,

imunoglobulin G Reseptor Fcγ, dan reseptor scavenger tipe A. 16

Setelah terbentuk phagosome, serangkaian yang kompleks

dari peristiwa ini dihasilkan oleh lipoarabinomannan lipoglikan

dinding-sel bakteri, yang menghambat peningkatan Ca2+

intraseluler. Maka, jalur calmodulin terganggu dan basil bertahan

hidup dalam fagosom dengan menghalangi fusi yang akan

menghancurkan bakteri. Jika basil berhasil ditangkap pematangan


fagosom, kemudian replikasi dimulai dan makrofag akhirnya pecah

dan melepaskan konten bacillary-nya. Fagosititik lain yang tidak

terinfeksi sel-sel kemudian direkrut untuk melanjutkan siklus infeksi

dengan menelan makrofag sekarat dan konten basilinya, dengan

demikian, pada gilirannya, menjadi menginfeksi diri mereka sendiri

dan memperluas infeksi.16

C. Diagnosis Tuberkulosis

1. Penemuaan kasus TB

Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang

memiliki gejala utama pasien TB paru yaitu batuk berdahak selama 2

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu

dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas,

nafsu makan menurun, berat badan menurun malaise, berkeringat

malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu

bulan. Gejala-gejala ini dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain

TB, tetapi karena prevalensi TB tinggi, maka setiap orang yang datang

ke fasyankes dengan gejala tersebut dianggap sebagai seorang

terduga pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara

mikroskopis langsung.21

1. Pemeriksaan dahak

a. Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung Pemeriksaan dahak

berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan

pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan


dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan

mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua

hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-

Sewaktu (SPS):

 S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga

pasien TB datang berkunjung pertama kali ke

fasyankes. Pada saat pulang, terduga pasien

membawa sebuah pot dahak untuk menampung

dahak pagi pada hari kedua.

 P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari

kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan

diserahkan sendiri kepada petugas di fasyankes.

 S (sewaktu): dahak ditampung di fasyankes pada hari

kedua, saat menyerahkan dahak pagi. 20

b. Pemeriksaan Biakan Pemeriksaan biakan untuk identifikasi

Mycobacterium tuberkulosis dimaksudkan untuk

menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal

• Pasien TB ekstra paru.

• Pasien TB anak.

• Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis

langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan

disarana laboratorium yang terpantau mutunya. Apabila

dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat


yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan

diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat

tersebut. 21

3. Pemeriksaan uji kepekaan obat

Pemeriksaan uji kepekaan obat Uji kepekaan obat bertujuan

untuk menentukan ada tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT.

Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat

tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi

atau lulus uji pemantapan mutu atau Quality Assurance (QA). 21

Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan datam

menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan

paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk

memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan

resistensi OAT, Kemenkes RI telah menyediakan tes cepat yaitu

GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh

provinsi. 21

1. Diagnosis Tuberkulosis Pada Orang Dewasa

Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka

diagnosis TB Paru pada orang dewasa harus ditegakkan lerlebih

dahulu dengan pemerksaan bakteriologis. Pemeriksaan

bakteriologis yang dimaksud adalah pemenksaan mikroskopis

langsung. biakan dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara

bakteriologis hasilnya negatif, make penegakan diagnosis TB dapat


dilakukan secara klinis menggunakan hasil pemeriksaan klinia dan

penunjang (setidak-tidaknya pemeriksaan foto toraks) yang sesuai

dan ditetapkan oieh dokter yang telah terlatih TB. Pada saran

terbatas penegakan diagnosis secara Minis dilakukan setelah

pemberian terapi antibiolka spektrum luas (Non OAT dan Non

kuinolon) yang memberikan perbaikan.21

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan

serologik.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan

pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu

memberikan gambaran yang spesifik pada TB paru. sehingga

dapat menyebabkan terjadi overdiagnosis ataupun

underdiaRgnosis.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan

uji tuberkulin.

Pemeriksaan Dahak Mlkroskopls Langsung:

 Untuk kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak

secara mikroskopis langsung, lerduga pasien TB diperiksa

contoh uji dahak SPS (Sewaktu — Pagi —Sewaktu):

 Ditetapkan sebagai pasien TB apabila minimal 1 (satu)

pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA positif. 21


D. Pengobatan Tuberkulosis

Saat ini, penyakit TB aktif diobati dengan terapi kombinasi yang terdiri

atas 3 atau lebih obat (biasanya 4). Selama terapi, pasien dengan TB aktif

umumnya diberikan isoniazid (INH), rifampisin (RIF), pirazinamid (PZA)

dan etambutol (EMB) selama 2 minggu yang merupakan fase intensif .

Kemudian terapi dilanjutkan dengan pemberian isoniazid dan rifampisin

selama 4 bulan lagi (fase lanjutan) untuk memusnahkan sisa bakteri yang

telah masuk kedalam kondisi dormant. Tujuan awal dari terapi kombinasi

tersebut adalah untuk meminimalkan perkembangan resistensi terhadap

streptomisin setelah obat tersebut diperkenalkan pertama kali. Saat ini,

standar terapi untuk infeksi TB sensitif obat sangat efektif dalam

pembersihan bakteri.22

1. Jenis Obat

a. Isoniazid (H) memiliki sifat bakterisidal. Efek samping yang dapat

timbul adalah Neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati,

kejang

b. Ripamfisin (R) memiliki sifat bakterisidal . Efek samping yang dapat

timbul adalah Flu syndrome, gangguan gastrointestinal. urine

berwama merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, demam, skin

rash, sesak nafas. anemia hemolitik

c. Pirazinamid (Z) memiliki sifat bakterisidal. . Efek samping yang dapat

timbul adalah Gangguan gastrointestinal, gangguan fungsi hati, gout

artritis.
d. Streptomisin

Ripamfisin (R) memiliki sifat bakterisidal. . Efek samping yang dapat

timbul adalah Nyeri ditempat suntikan, gangguan keseimbangan dan

pendengaran, renjatan anafilaktik, anemia, agranulositosis,

trombositopeni

e. Etambutol memiliki sifat bakteriostatik. Efek samping yang dapat

timbul adalah Gangguan penglihatan. buta warna, neuritis perifer.21

2. Dosis Obat
Dosis
Harian 3x/Minggu
OAT Kisaran Kisaran
Maksimum Maksimum
dosis dosis
(mg) (mg)
mg/kg/BB mg/kg/BB
Isoniazid 5 (4-6) 300
10( 8-12) 900
Rifampisin 10 (8-12) 600
10 (8-12) 600
25 (20- 35(30 -
Pirazinamid - -
30) 40)
15 (15- 30(25-
Etambutol - -
20) 35)
15( 12-
Streptomisin 15 (12-18) - 1000
18)
Tabel 1 Dosis Obat *

*Diambil dari kepustakaan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kemenkes RI

3. Paduan OAT KDT Lini Pertama dan Peruntukannya

a. Kategori-1 : 2(HRZE) / 4(HR)3

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

 Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.


 Pasien TB paru terdiagnosis klinis
 Pasien TB ekstra paru
Tahap Intensif
Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56
3 kali seminggu selama 16
Berat Badan hari
minggu
RHZE
RH (150/150)
(150/75/400/275)

30 — 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

38 — 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

55 — 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 2 Dosis Obat Kategori 1*


*Diambil dari kepustakaan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kemenkes RI

b. Kategori-2 : 2(HRZE/(HRZE)/5(HR)3E3)

Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah
diobati sebelumnya (pengobatan ulang):

 Pasien Kambuh
 Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori
1 sebelumnya
 Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat ( lost to
follow up

00
Tahap Intensif Tahap Lanjutan 3
Berat tiap hari kali seminggu) RH
Badan RHZE (150/75/400/275) + S (150/150) + E(400)
Selama 56 hari Selama 28 selama 20
2 tab 4KDT hari minggu
30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
+ 500 mg Streptomisin + 2 tab Etambutol
inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT
38-54 kg + 750 mg Streptomisin 3 tab 4KDT
+ 3 tab Etambutol
inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
55-70 kg + 1000 mg Streptomisin 4 tab 4KDT
inj. + 4 tab Etambutol

5 tab 4KDT 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT


>71 kg + 1000mg Streptomisin ( > do maks ) + 5 tab Etambutol
inj.
Tabel 3 Dosis Obat Kategori 2*
*Diambil dari kepustakaan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Kemenkes RI

B. Madu Trigona sp.

Madu adalah zat cair yang kental dan manis, yang dibuat oleh lebah

dengan proses peragian dari nektar bunga atau cairan manis yang

dihasilkan bagian-bagian lain selain bunga.7 Madu Trigona sp. berasal

dari nektar bunga dan tepung sari yang memiliki manfaat bagi kesehatan. 8

Madu secara tradisional telah dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai

salah satu obat alternatif untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit

yang disebabkan oleh mikrobia patogen.9

a. Imunomodulator

Sebelumnya kandungan gizi Madu Trigona telah diteliti dan ditemukan

bahwa madu ini memiliki kandungan fenol, kuersetin, kalsium serta


vitamin C yang tinggi.13 Kandungan protein madu dapat merangsang

sistem kekebalan tubuh hingga tanggapan fisiologis dalam sel target

melalui reseptor spesifik. Misalnya glikosida menyuntikkan protein sekresi

TNF-α makrofag dan 55 kDa glikoprotein utama royal jelly protein 1

(MRJP1), bertanggung jawab untuk efek imunomodulator. Stimulasi

kekebalan protein tubuh lainnya adalah protein tipe arabinogalactan tipe II

mampu menginduksi sel monosit untuk melepaskan TNF-α.14

Selain itu madu Trigona sp juga dapat berperan sebagai

imunomodulator dengan meningkatkan ekspresi gen Foxp3 mRNA yang

meupakan marker dan faktor transkripsi sel T regulator (Treg). Sel T

regulator (Treg) memiliki peran penting dalam homeostasis imun, protein

Foxp3 sebagai penanda dan faktor transkripsi sel Treg membutuhkan

ekspresi yang stabil untuk mempertahankan fungsi Treg yang normal. 23,24

Beberapa penyakit dengan kelainan toleransi diri imunologis, seperti

rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, radang sendi dan

encephalomyleietis memiliki hubungan dekat dengan fungsi

ketidakseimbangan Foxp3 Treg. Hasil studi lanjutan menunjukkan bahwa

Salmonella telah dilemahkan dengan membuat vaksin untuk kasus artritis

yang parah dan encephalomyelitis yang menunjukkan kemampuannya

untuk menginduksi sel T regulatori Foxp3.25-27

Infeksi bakteri seperti Salmonella, leishmania dan Mycobacterium

tuberculosis juga membutuhkan keseimbangan ekspresi Foxp3 untuk

mengendalikan homeostasis antara imunosupresif dan imunopatologi.14


b. Anti Inflamasi

Beberapa penelitian mampu membuktikan bahwa madu dapat

meningkatkan kadar IL-6, TNF-α dan IFN-γ. Madu juga bisa berperan

sebagai anti-inflamasi. Madu Trigona mengandung senyawa polifenol

dan flavonoid dan selalu tersedia dan digunakan setiap hari sebagai

produk alami, produk dari lebah Trigona dari Masamba, Sulawesi Selatan

mengandung total fenol dan quercetin. Senyawa Madu memiliki berbagai

peran baik sebagai antibakteri dan anti-inflamasi dan bisa mempengaruhi

sitokin interleukin 6 (IL-6) dan interleukin-10 (IL-10).14

c. Antioksidan

Madu adalah produk lebah yang komponen utamanya adalah fruktosa

dan glukosa serta mengandung protein, asam amino, vitamin, enzim,

mineral, dan komponen kecil lainnya. Madu kaya akan kandungan fenolik

seperti quercetin, phenethyl ester asam caffeic (CAPE), acacetin,

kaempferol, galangin yang bertindak sebagai antioksidan alami. 28

Antioksidan bermanfaat bagi banyak jenis penyakit yang terkait dengan

komponen polifenol, peptida, enzim, dan asam organik. Produk lebah juga

digunakan pada penyakit gastrointestinal, kondisi kardiovaskular, inflamasi

dan neoplastik.13

d. Antimikroba

Madu, berdasarkan bukti yang ada bisa digunakan sebagai antibakteri

seperti bakteri Salmonella dan ini membuat madu bisa menjadi terapi.
Flavonoid yang terkandung dalam madu juga bisa berfungsi sebagai

antibakteri melalui fungsi yang dapat menghambat membran sitoplasma

dan metabolisme energi pada bakteri. Selain itu flavonoid juga dikatakan

mampu menghalangi interaksi antara bakteri dan reseptor LPS TLR4 /

MD2 dan CD14. Propolis flavonoid, quercetin juga mampu meningkatkan

permeabilitas penghambatan bakteri. Potensi produk alami untuk

menginduksi sel T Reg terus dipelajari dan juga senyawa penting mereka

berkontribusi pada induksi ekspresi Foxp3. Beberapa penelitian telah

menemukan bahwa polifenol dapat menginduksi Treg sel melalui ekspresi

faktor transkripsi Foxp3.13


2.2 Kerangka Teori

Tuberkulosis Paru
(TBC)

Mycobaterium
tuberculosis

Bakteri Tahan Asam

Eradikasi / Pengobatan

Obat Anti Madu


Tuberkulosis
(OAT)
Imunomodulator

Anti Inflamasi

Antibakteri

Antioksidan
2.3 Kerangka Konsep

Madu Trigona Sp. Perbaikan


Mikroskopis TB

Kepatuhan minum
obat pasien TB

Keterangan

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Variabel Perancu
Penjelasan Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konseptual diatas dapat disimpulkan bahwa madu

dapat digunakan sebagai terapi suportif untuk pengobatan pasien

Tuberkulosis Paru dimana dilakukan pengujian mikroskopis BTA pada

pasien yang mengonsumsi madu Trigona sp.

4. 2. Hipotesis Pengarang

Hipotesis adalah jawaban sementara tentang rumusan masalah penelitian

yang belum dibuktikan kebenarannya. Dalam penelitian ini penulis

mengambil dua hipotesis antara lain :

A. H0 : Tidak ada bukti efektivitas yang signifikan antara madu

sebagai terapi suportif dan perbaikan mikroskopis pasien

tuberkulosis paru

B. H1 : Ada bukti efektivitas yang signifikan antara madu dan

perbaikan mikroskopis pasien tuberkulosis paru

DAFTAR PUSTAKA

1. WHO, 2018. Global Tuberculosis Report 2018, Jenewa

2. Indah, Marlina., dkk. Pusat Data dan Informasi TB (Info Datin TB,

24 Maret 2018). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018.

Hal. 4
3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2016.

Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit DalamPanduan Praktik

Klinis.Hal. 794

4. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. 2014. Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 15

5. Afsar, I., Gunes, M., Er, H., & Gamze Sener, A. (2018). Comparison

of culture, microscopic smear and molecular methods in diagnosis

of tuberculosis. Revista espanola de quimioterapia : publicacion

oficial de la Sociedad Espanola de Quimioterapia, 31(5), 435–438

6. Loscalzo, Joseph. 2014. Harrison Pulmonologi dan Penyakit Kritis

Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC

7. Resende LSO, Dos Santos-Neto ET. Risk of factors associated with

adverse reaction to anituberculosis drugs. Juornar Brasilio de

Penumologia. 2015;41(1)77-89

8. Ramappa V, Aithal GP. Hepatoxicity related to Anti-tuberculosis

drugs: Mechanism and Management. Journal of Clinical and

Experimental Hepatology, 2013:3(1):37-39

9. Herlambang Pranandaru. 2011. Propolis sebagai supplemen

penderita tuberculosis dewasa. Fakultas Kedokteran Universitas

Muhammadiyah Malang.

10. Lembang, Y. 2010. Identifikasi Madu Liar Tanpa Sengat (Stingles

bee) Di Kebun Raya Unmul Samarinda. Skripsi Mahasiswa Biologi.

Fakultas Mipa Universitas Mulawarman


11. Gunawan dll. Uji Fitokimia dan penentuan aktivitas antioksidan dari

madu Trigona Incisa Jurnal Atomik v. 3, n. 1, p. 18-21, mar. 2018

12. Boorn, K. L. et al. 2009. Antimicrobial Activity Of Honey From The

Stingless Bee Trigona carbonaria Determined By Agar Diffusion,.

Journal of Applied Microbiology , 1534-1543.

13. Andi Nilawati dkk. 2016. Nutrient Content and pH of Honey Propolis

Trigona from Masamba, South Sulawesi Indonesia

14. Andi Nilawati dkk. 2016. Trigona Honey, a Natural Bee Product

Promotes mRNA Foxp3 Expression in Healthy in Mice Balb/c

Strain. International Journal of Sciences: Basic and Applied

Research (IJSBAR) Volume 26, No 3, pp 246-251 Volume 26, No 3,

pp 246-251

15. J. Larry Jameson, Anthony S. Fauci, Dennis L. Kasper, Stephen L.

Hauser, Dan L. Longo JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine.

JAMA J Am Med Assoc. 2018;243(21):2190–1.

16. Riskesdas. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar. Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia. 2018;1(1):1–200.

17. Kementrian RI. Data dan Informasi - Profil Kesehatan Indonesia

(Data and Information - Indonesia Health Profil). Profil Kesehat

Indonesia [Internet]. 2017;1–184. Available from:

http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/pro

fil-kesehatan-indonesia/Data-dan-Informasi_Profil-Kesehatan-

Indonesia-2017.pdf
18. Kusumaningtyas, Irianti; Kuswandi; Nanang Munif. Yasin; Ratih

anggar. Anti-tuberkulosis. 2016;1–212.

19. Davies PDO, Lalvani A, Thillai M. Clinical Tuberculosis: A Practical

Handbook. 2016. 1-2 p.

20. CDC, 2016, Transmission and Pathogenesis of Tuberculosis,

https://www.cdc.gov, 12 Oktober 2016

21. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Ditjen PP dan PL.

Bpn_P-Tb_2014.Pdf [Internet]. Pedoman Nasional Pengendalian

Tuberkulosis. 2014. p. 38. Available from:

http://www.tbindonesia.or.id/opendir/Buku/bpn_p-tb_2014.pdf

22. Hoagland, D.T., Liu, J., Lee, R.B. & Lee., R.E., 2016, New Agents

for the Treatment of DrugResistant Mycobacterium tuberculosis,

Advanced Drug Delivery Reviews, 102,55–72.

23. Wohlfert, E. and Y. Belkaid, Role of endogenous and induced

regulatory T cells during infections. J Clin Immunol, 2008. 28(6): p.

707-15.

24. [2] Katoh, M., et al., Cancer genetics and genomics of human FOX

family genes. Cancer Lett, 2013.328(2): p. 198-206]

25. Ochoa-Reparaz, J., et al., Regulatory T cell vaccination without

autoantigen protects against experimental autoimmune

encephalomyelitis. J Immunol, 2007. 178(3): p. 1791-9.

26. Zozulya, A.L. and H. Wiendl, The role of regulatory T cells in

multiple sclerosis. Nat Clin PractInternational Journal of Sciences:


Basic and Applied Research (IJSBAR) (2016) Volume 27, No 1, pp

167-171,172 Neurol, 2008. 4(7): p. 384-98.

27. Mrrell, D.S. and S. Falkow, Frontal and stealth attack strategies in

microbial pathogenesis. Nature, 2004. 430(6996): p. 250-6

28. Kassim, M., et al., Ellagic acid, phenolic acids, and flavonoids in

Malaysian honey extracts demonstrate in vitro anti-inflammatory

activity. Nutr Res, 2010. 30(9): p. 650-9

Anda mungkin juga menyukai