Anda di halaman 1dari 33

Presentasi Kasus

Congestive heart failure Aritmia Ventricle Tachycardi

Pembimbing: KOMBESPOL dr. Ismugi, Sp.JP FIIHA

Disusun Oleh: Bernadus F. Elvas Wara (112018178)

Rio Nesa Pratama (112018214)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT JANTUNG

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

RUMAH SAKIT BHAYANGKARA Tk. I R.S. SUKANTO

PERIODE 7 Oktober – 14 Desember 2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka


mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Menurut World Health Organisation (WHO) pada tahun 2016, menyebutkan bahwa
17,5 juta orang meninggal akibat penyakit kardiovaskular pada tahun 2008, yang
mewakili dari 31% kematian di dunia. Di Amerika Serikat penyakit gagal jantung
hampir terjadi 550.000 kasus pertahun. Sedangkan di negara-negara berkembang di
dapatkan kasus sejumlah 400.000 sampai 700.000 per tahun.1

Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk memompa darah secara
adekuat untuk memelihara sirkulasi darah. Faktor risiko terpenting untuk CHF adalah
penyakit arteri koroner dengan penyakit jantung iskemik. Hipertensi adalah faktor
risiko terpenting kedua untuk CHF. Faktor risiko lain terdiri dari kardiomiopati,
aritmia, gagal ginjal, dan penyakit katup jantung. Dengan data perkembangan seperti
ini, penyakit jantung kongestif akan menyebabkan permasalahan yang signifikan bagi
masyarakat global dan bukan tidak mungkin dalam kurun beberapa tahun kedepan
angka statistik ini akan bergerak naik jika para praktisi medis khususnya tidak segera
memperhatikan faktor risiko utama yang menjadi awal mula penyakit ini. Berdasarkan
alasan tersebut, kasus ini diangkat sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sebagai
praktisi medis agar dapat mengenal penyakit ini lebih rinci sebelum benar-benar
mengaplikasikan teori pengobatan yang rasional.2

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. M

Umur : 44 tahun

Jenis kelamin : perempuan

Alamat : jl. Sawo 8/ Kr. Jati

Agama : Islam

Status : Menikah

Masuk RS : 31-10-2019 pukul 10.29

2.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis
Keluhan Utama : Nyeri ulu hati dan berdebar- debar sejak 2 hari SMRS.
Keluhan Tambahan : Mual dan rasa tidak nyaman di dada
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RS POLRI pada pukul
10.29 WIB dengan keluhan nyeri uluh hati disertai dengan mual sejak 2 hari
smrs. 1 hari smrs pasien mengeluh rasa berdebar-debar dan rasa tidak
nyaman pada dada. Keluhan disertai dengan keringat dingin. Keluhan tidak
dipengaruhi oleh aktivitas pasien. Keluhan pasien belum diobati.

Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat Gastritis (+) Riwayat Jantung (-),


Riwayat Hipertensi (-), Riwayat Asma (-), Riwayat Diabetes Mellitus (-),
Riwayat Kolesterol (-), Riwayat Penyakit Ginjal (-), Riwayat Trauma (-)

3
Riwayat Penyakit Keluarga :

Di keluarga pasien tidak ada yang memiliki riwayat pernyakit serupa.

Riwayat Pribadi dan Sosial :

Pasien bekerja sebagai IRT (Ibu Rumah Tangga), pasien mampu melakukan
aktivitas sehari-hari seperti makan, minum dan mandi.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran/GCS : Compos mentis / E4V5M6

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 202 kali permenit

Pernapasan : 20 kali permenit

Suhu : 36,8 oC

Berat Badan : 70 kg

Tinggi Badan : 158 cm

4
STATUS GENERALIS

a. Kepala
- Bentuk : Bulat, simetris, normocephal
- Kulit : Tidak ada kelainan
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
- Telinga : Bentuk normal, simetris
- Hidung : Bentuk normal, tidak deviasi, tidak ada napas
cuping hidung
- Leher : tidak ada peningkatan JVP
b. Thorax
Bentuk normal, tidak ada retraksi, simetris saat statis dan dinamis.

c. Jantung
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : Batas jantung kanan: ICS IV linea sternalis
dextra. Batas pinggang jantung: ICS III linea
midclavicularis sinistra Batas jantung kiri: ICS
V linea axilaris anterior sinistra
- Auskultasi : BJ I – BJ II reguller, murmur (-), gallop (-)

d. Paru
- Inspeksi : pergerakan dinding dan bentuk dada simetris
kanan dan kiri
- Palpasi : fremitus taktil dan vokal kanan dan kiri
simetris, nyeri tekan (-), edema (-), krepitasi (-)

4
- Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-)

e. Abdomen
- Inspeksi : Bentuk normal, simetris, sikatrik (-)
- Auskultasi : Bising usus normal
- Palpasi : Nyeri tekan epigastrium(+), defans muscular (-), ascites
(-), massa (-)
- Perkusi : Shifting dullness (-)

f. Ekstremitas
- Superior : Edema (-/-), sianosis (-), akral dingin (-), deformitas (-),
capillary refill time < 2 detik
- Inferior : Edema (-/-), sianosis (-), akral dingin (-), deformitas (-),
capillary refill time < 2 detik.

5
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium IGD RS POLRI
a. Hematologi pada 31 Oktober 2019 pukul 11:46:22 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

Hemoglobin 11.1 12-14 g/dl

Leukosit 15.000 5.000-10.000/uL

Hematokrit 32 37-43%

Trombosit 266.000 150.000-400.000/uL

b. Kimia Klinik pada 31 oktober 2019 pukul 18:56:29 WIB

Pemeriksaan Nilai Rujukan

SGOT/ AST 86.0 <31 U/L

CSGPT/ ALT 64.0 <31 U/L

CK-MB 13 <31 U/L

6
2. Pemeriksaan EKG
Pada tanggal Tanggal 31 Oktober 2019 Jam 11:22 di IGD RS POLRI
(Pertama)

Pada tanggal 31 Oktober 2019 jam 13.50 (kedua)

7
EKG Tanggal 31 Oktober 2019 Jam 15:20 di IGD RS POLRI
(Ke-3)

EKG Tanggal 31 Oktober 2019 Jam 17:18 di ICCU (ke-4)

8
EKG Tanggal 1 November 2019 Jam 04:57 di ICCU (ke-5)

EKG Tanggal 2 November 2019 Jam 04:53 di ICCU (ke-6)

9
EKG Tanggal 3 November 2019 Jam 04:40 di ICCU (ke-7)

10
EKG Tanggal 4 November 2019 Jam 05:11 di ICCU (ke-8)

\\

11
RADIOLOGI

Rontgen Thorax AP (tanggal 31 Oktober 2019)


Kesan: Kardiomegali

2.5 TATALAKSANA MEDIS


a. O2 nasal canule
b. IVFD RL 100cc/7 tpm
c. Injeksi omeprazole 2x4mg
d. Injeksi Amiodaron 150 mg dalam 30 menit
e. Digoxin 1x0.25 mg
.

12
2.6 RESUME
Pasien datang ke IGD RS POLRI pada pukul 10.29 WIB dengan keluhan
nyeri uluh hati disertai dengan mual sejak 2 hari smrs. 1 hari smrs pasien
mengeluh rasa berdebar-debar dan rasa tidak nyaman pada dada. Keluhan
disertai dengan keringat dingin. Keluhan tidak dipengaruhi oleh aktivitas pasien.
Keluhan pasien belum diobati.
Pada pemeriksaan hematologi tanggal 31 Oktober 2019, didapakan hasil
Hemoglobin 11.1 g/dl (12-14 g/dl), Leukosit 15.000/ul (5000-10.000
/ul), Hematokrit 32 % (37-43%), Trombosit 266.000/ul (150.000-400.000/ul)
Pada pemeriksaan kimia klinik tanggal 31 Oktober 2019, didapakan hasil
SGOT/AST 86.0 (< 31 U/L), SGPT/ALT (< 31 U/L), CK-MB 13 (< 24 U/L)
Pada pemeriksaan EKG didapatkan Ventrikel takikardi , dan iskemia
anterior. Hasil RO Thorax : Kardiomegali.

2.7 PROGNOSIS
Quo Ad vitam : Dubia ad bonam
Quo Ad sanacionam : Dubia ad bonam
Quo Ad functionam : Dubia ad bonam

13
FOLLOW UP

Pada tanggal 4 November 2019

S: Sesak berkurang , tidak ada rasa berdebar , tidak ada nyeri dada
O: KU: Baik
TD: 110/70
HR: 87 x/menit
RR: 18 x/menit
SpO2: 98%
Thorax: simetris, tidak ada retraksi
Cor: Bunyi Jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Pulmonal: suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-. wheezing -/-
EKG : Sinus rhtym, iskemia anterior
RO Thorax : Kardiomegali.
Urin Output 1100/24 jam
A: Post Aritmia VT
CHF
Gastritis
P: IVFD RL + Drip Lasix 7 tpm
Tyarit tab 2x1 (Amiordaron)
Spironolactone 1x25 mg
Sulcrafate 3x1 cth

14
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA

Gagal Jantung Kongestif (CHF)

3.1 Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan
cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau tanpa penyakit jantung.
Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama
jantung, atau ketidaksesuaian preload dan afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian
pada pasien. Gagal jantung dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal
jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta
gagal jantung kronis. 1
3.2 Klasifikasi
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan
penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip
yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu
 Klasifikasi Forrester
 Stevenson
 NYHA.2
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard akut, dengan
pembagian:
 Derajat I : tanpa gagal jantung
 Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop dan peningkatan
tekanan vena pulmonalis
 Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
 Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik _ 90 mmHg) dan
vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis) kongesti paru, dan perbaikan
oksigenasi jaringan.2
Menurut New York Heart Association ( NYHA ), gagal jantung di klasifikasikan
15
berdasarkan pengaruhnya terhadap aktivitas sehari-hari.
Kelas I : sesak nafas ketika aktivitas berat
Kelas II : sesak nafas ketika aktivitas sedang
Kelas III : sesak nafas ketika aktivitas ringan
Kelas IV : sesak nafas ketika istirahat

3.3 Etiologi
Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan defek
septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta dan
hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati. Faktor-faktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanan
sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik, infeksi paru-paru dan emboli
paru. 3
Penyebab tersering gagal jantung kiri adalah hipertensi sistemik, penyakit katup mitral atau
aorta, penyakit jantung iskemik, dan penyakit miokardium primer. Penyebab tersering gagal
jantung kanan adalah gagal ventrikel kiri, yang menyebabkan kongesti paru dan peningkatan
tekanan arteria pulmonalis. Gagal jantung kanan juga dapat terjadi tanpa disertai gagal jantung kiri
pada pasien dengan penyakit parenkim paru dan atau pembuluh paru (kor polmunale) dan pada
pasien dengan penyakit katup arteri pulmonalis atau trikuspid. 2,3

3.4 Patofisiologi
Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada
jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan
neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme
kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar
vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga
aktivitas jantung dapat terjaga.6,7 Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
16
vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat
menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal.6 Stimulasi sistem
RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron.
Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik
yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta
meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung.6,7
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek
yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP)
dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada
ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh
darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi
natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak
penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung.2,6 Vasopressin merupakan hormon
antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi
juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.2 Endotelin
disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten
menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas
retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat
gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat
kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat
endotelin.2,6 Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan
dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada
pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi
17
dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi
pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering
ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri.

Gambar 1. Patofisiologi CHF. 3

3.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinik gagal jantung harus dipertimbangkan relatif terhadap derajat latihan
fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Pada awalnya, secara khas gejala hanya muncul saat
beraktivitas fisik, tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan
semakin menurun dan gejala-gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Gejala-
gejala dari gagal jantung kongestif bervariasi diantara individu sesuai dengan sistem organ yang
terlibat dan juga tergantung pada derajat penyakit.

Gejala awal dari gagal jantung kongestif adalah kelelahan. Meskipun kelelahan adalah
gejala yang umum dari gagal jantung kongestif, tetapi gejala kelelahan merupakan gejala yang

18
tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh banyak kondisi-kondisi lain. Kemampuan seseorang
untuk berolahraga juga berkurang. Beberapa pasien bahkan tidak merasakan keluhan ini dan
mereka tanpa sadar membatasi aktivitas fisik mereka untuk memenuhi kebutuhan oksigen.3,4

 Dispnea, atau perasaan sulit bernapas adalah manifestasi gagal jantung yang paling umum.
Dispnea disebabkan oleh meningkatnya kerja pernapasan akibat kongesti vaskular paru
yang mengurangi kelenturan paru.meningkatnya tahanan aliran udara juga menimbulkan
dispnea. Seperti juga spektrum kongesti paru yang berkisar dari kongesti vena paru sampai
edema interstisial dan akhirnya menjadi edema alveolar, maka dispnea juga berkembang
progresif. Dispnea saat beraktivitas menunjukkan gejala awal dari gagal jantung kiri.
Ortopnea (dispnea saat berbaring) terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari
bagian- bagian tubuh yang di bawah ke arah sirkulasi sentral.reabsorpsi cairan interstisial
dari ekstremitas bawah juga akan menyebabkan kongesti vaskular paru-paru lebih lanjut.
Paroxysmal Nocturnal Dispnea (PND) dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND
merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung kiri dibandingkan dengan
dispnea atau ortopnea.

 Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring.

 Timbulnya ronki yang disebabkan oleh transudasi cairan paru adalah ciri khas dari gagal
jantung, ronki pada awalnya terdengar di bagian bawah paru-paru karena pengaruh gaya
gravitasi.

 Hemoptisis dapat disebabkan oleh perdarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi
vena.

 Gagal pada sisi kanan jantung menimbulkan gejala dan tanda kongesti vena sistemik. Dapat
diamati peningkatan tekanan vena jugularis; vena-vena leher mengalami bendungan .
tekanan vena sentral (CVP) dapat meningkat secara paradoks selama inspirasi jika jantung
kanan yang gagal tidak dapat menyesuaikan terhadap peningkatan aliran balik vena ke
jantung selama inspirasi.

 Dapat terjadi hepatomegali; nyeri tekan hati dapat terjadi akibat peregangan kapsula hati.

19
 Gejala saluran cerna yang lain seperti anoreksia, rasa penuh, atau mual dapat disebabkan
kongesti hati dan usus.

 Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang interstisial. Edema mula-mula
tampak pada bagian tubuh yang tergantung, dan terutama pada malam hari; dapat terjadi
nokturia (diuresis malam hari) yang mengurangi retensi cairan.nokturia disebabkan oleh
redistribusi cairan dan reabsorpsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya
vasokontriksi ginjal pada waktu istirahat.

 Gagal jantung yang berlanjut dapat menimbulkan asites atau edema anasarka. Meskipun
gejala dan tanda penimbunan cairan pada aliran vena sistemik secara klasik dianggap
terjadi akibat gagal jantung kanan, namun manifestasi paling dini dari bendungan sistemik
umumnya disebabkan oleh retensi cairan daripada gagal jantung kanan yang nyata.

 Seiring dengan semakin parahnya gagal jantung kongestif, pasien dapat mengalami
sianosis dan asidosis akibat penurunan perfusi jaringan. Aritmia ventrikel akibat iritabilitas
miokardium dan aktivitas berlebihan sietem saraf simpatis sering terjadi dan merupakan
penyebab penting kematian mendadak dalam situasi ini.

3.6 Diagnosis
a. Diagnosis gagal jantung kongestif didasarkan pada gejala-gejala yang ada dan penemuan
klinis disertai dengan pemeriksaan penunjang antara lain foto thorax, EKG, ekokardiografi,
pemeriksaan laboratorium rutin, dan pemeriksaan biomarker.

Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara luas.
Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria mayor atau satu kriteria mayor
disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor tersebut dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak
berhubungan dengan penyakit seperti hipertensi pulmonal, ppok, sirosis hati atau sindroma
nefrotik.

20
Tabel 1. Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria minor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema malleolus bilateral
Distensi vena leher Dyspnea pada exersi biasa
Krepitasi Takikardia(.120/min)
S3 gallop Batuk nocturnal
Kardiomegali (rasio kardiotorak Hepatomegaly
.50% pada rontgen torak)
Edema pulmonal akut Efusi pleura
Reflux hepatojugular Penurunan dalam kapasitas vital
dalam 1/3 dari maksimal
Peningkatan tekanan vena sentral
(.16cmH2O pada atrium kanan)
Penurunan berat badan .4,5kg
dalam 5 hari sebagai respon
terhadap pengobatan

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak
nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai.8-10 Pemeriksaan
penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax,
EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes
fungsi paru.4
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio
thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal,
bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura
horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg
didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru
bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih
banyak terkena adalah bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh
penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus.
Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi
ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada
keduanya menunjukkan gambaran yang normal.

21
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal
jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi
jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal
jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior,
hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi
sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.5
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah
bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang
berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia
dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat.
Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,
juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah
pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung
berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa
suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat
dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada
gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena
kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP
plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml.2,8,12-14 Pemeriksaan radionuklide atau
multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada
nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan
fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi
jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.5,6

22
b. Pemeriksaan Penunjang

Ketika pasien datang dengan gejala dan tanda gagal jantung, pemeriksaan penunjang
sebaiknya dilakukan.

1. Pemeriksaan Laboratorium Rutin :

Pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum,
enzim hepatik, dan urinalisis. Juga dilakukan pemeriksaan gula darah, profil lipid.7

2. Elektrokardiogram (EKG)

Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk menilai
ritme, menentukan adanya left ventrikel hypertrophy (LVH) atau riwayat MI (ada atau tidak
adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan adanya disfungsi diastolik
pada LV.

3. Radiologi :

Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan bentuknya,
distensi vena pulmonalis, dilatasi aorta, dan kadang- kadang efusi pleura. begitu pula keadaan
vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi penyebab nonkardiak pada gejala pasien.

4. Penilaian fungsi LV :

Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi, dan


menangani gagal jantung. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/ Doppler,
dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV begitu pula
dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau pergerakan dinding regional
(indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai
dengan adanya abnormalitas pada pengisian diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan,
berguna untuk menilai gagal jantung dengan EF yang normal. Echocardiogram 2- D/Doppler juga
bernilai untuk menilai ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam
evaluasi dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif

23
terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa dan
volume LV. Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF (stroke volume dibagi
dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur dengan pemeriksaan noninvasive dan
mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki
beberapa keterbatasan sebagai tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan
pada afterload dan/atau preload. Sebagai contoh, LV EF meningkat pada regurgitasi mitral sebagai
akibat ejeksi darah ke dalam atrium kiri yang bertekanan rendah. Walaupun demikan, dengan
pengecualian jika EF normal (> 50%), fungsi sistolik biasanya adekuat, dan jika EF berkurang
secara bermakna (<30-40%).8

3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan secara non


farmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung baik akut maupun kronik
ditujukan untuk mengurangi gejala dan memperbaiki prognosis, meskipun penatalaksanaan secara
individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. 10
Terapi : 11
a. Non Farmakalogi :
- Anjuran umum :
 Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan.
 Aktivitas sosial dan pekerjaan diusahakan agar dapat dilakukan seperti biasa.
Sesuaikan kemampuan fisik dengan profesi yang masih bisa dilakukan.
 Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.

- Tindakan Umum :
 Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g
pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5
liter pada gagal jantung ringan.
 Hentikan rokok
 Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.

24
 Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kali/minggu selama 20-30 menit atau
sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit dengan beban 70-80% denyut
jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang).
 Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut.

b. Farmakologi
1.Diuretik
Bilamana digunakan sebagai monoterapi, tingkat keefektifan mencapai kira- kira
30-40% dari pasien- pasien dan paling membantu untuk menurunkan tekanan darah
sistolik. Harga murah dan berdasarkan hasil meta- analisa menunjukkan terapi diuretic
mampu menurunkan kadar mortalitas kardiak dan juga stroke. Juga merupakan terapi
antihipertensi efektif pada golongan tua.12
Tabel 2. Dosis diuretik yang umum digunakan pada gagal jantung

2. Angiotensin- converting enzyme inhibitor


ACE-I bertindak sebagai agen pemblokir konversi angiotensin I inaktif menjadi
angiotensin II. Agen ini mempunyai kadar sukses 50% sebagai monoterapi dan bila
digunakan sebagai terapi kombinasi dengan diuretic dosis rendah, beta bloker atau calcium

25
channel blocker. ACE-I amatlah berkesan dalam mengontrol tekanan darah pada hamper
80% pasien.

3. Beta- bloker
Penggunaan monoterapi beta- bloker efektif terhadap 50-60% pasien, terutama di
kalangan yang dengan system renin- angiotensin yang teraktivasi. Obat ini menurunkan
tekanan darah dengan menurunkan denyut jantung serta menurunkan kontraktilitas jantung
serta curah jantung.

4. Mineralokortokoid/ aldosterone receptor antagonist


Spironolactone dan eplerenone menblok reseptor yang berikatan dengan
aldosterone dan kortikosteroid yang lain.

5. Angiotensin receptor blocker


Agen ini secara selektif memblokir reseptor angiotensin II, memberikan efek
vasodilatasi yang mirip dengan ACE-I. agen ini sering digunakan jika pasien tidak toleran
terhadap ACE-I.

6. Ivabradine
Ivabradine adalah obat yang meninhibisi kanal If di nodus sinus. Obat in hanya
menurukan denyut jantung pada pasien dengan ritme sinus (tidak menurunkan denyut
ventrikel pada fibrilasi atrial.

7. Digoxin dan glikosida digitalis lainnya


Pada pasien dengan simptomatik gagal jantung dan fibrilasi atrial, digoxin dapat
membantu menurunkan kecepatan ventrikel. Digoxin juga dapat digunakan pada pasien
dengan gagal jantung dan ejeksi fraksi jantung kiri <40%. digunakan bersama-sama
diuretic, penghambat ACE, penyekat beta 13

26
Tabel 3 Dosis obat-obatan pada penanganan gagal jantung.13

Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2 l/hari) dan
pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek dapat membantu
perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian
heparin subkutan perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan
diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi
ventrikel.13

3.8 Prognosis

Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan prognosis pada
penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu: 14

 Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%


27
 Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
 Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
 Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

Ventricel Takikardi

Takikardia ventrikel (TV) merupakan penyakit yang mengancam nyawa jika tidak
mendapatkan penanganan secara tepat dan segera.1 TV sering terjadi pada pasien kardiomiopati,
penyakit jantung koroner, hipertensi, atau kelainan katup.2-4 TV dapat juga terjadi pada pasien
dengan struktur jantung normal,5 biasanya benigna.4,6 TV ditandai dengan ritme jantung cepat
berasal dari ventrikel di bawah berkas His, pada miokardium atau keduanya.7 TV dapat dibedakan
dari takikardia supraventrikuler dengan adanya kompleks QRS lebar pada EKG.6,8 TV dapat
ditangani dengan terapi obat antiaritmia, impantable cardioverter defibrillators (ICD), dan ablasi
kateter.15

Gambar 2. Klasifikasi Ventrikel Takikardi.15


28
Tatalaksana
Pada pasien TV dengan hemodinamik stabil, dapat diberikan obat antiaritmia dengan pemantauan
ketat dan persiapan alat kardioversi jika tidak responsif.
1. Obat Antiaritmia
Biasanya sebagai terapi adjuvant pada pasien TV yang menggunakan implantable cardioverter-
defibrillator (ICD) untuk mengurangi episode TV. Pada penelitian, pasien pengguna ICD tanpa
obat anti-aritmia, 90% mengalami aritmia berulang setelah 1 tahun; turun menjadi 64% setelah
penggunaan anti-aritmia.16 Indikasi obat anti-aritmia sebagai terapi adjuvan adalah menurunkun
kejadian ICD shocks, menurunkan episode TV untuk meningkatkan toleransi hemodinamik,
mengatasi gejala TV, meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan angka rawat inap akibat
aritmia berulang.16
Lidocaine
Merupakan terapi lini pertama pada pasien TV stabil dan berguna untuk TV disebabkan infark
miokard.7,15 Lidokain merupakan golongan antiaritmia kelas IB yang merupakan penghambat
kanal natrium dan memperpendek periode refrakter. Dosis anjurannya adalah 0,5 mg/kgBB, bolus
intravena setiap 3-5 menit, maksimum 1,5 mg/kgBB. Terapi dapat dilanjutkan secara kontinu
menggunakan syringe/infusion pump dengan dosis 0,05 mg/kgBB/menit.7 Pada periode akut TV
akibat infark miokard, lidokain menghasilkan survival lebih baik dibandingkan amiodarone.16
Beta Blocker/Penghambat Beta
Merupakan terapi lini pertama pada pasien TV polimorfik khususnya yang disebabkan
oleh iskemi.1,12 Esmolol merupakan salah satu penghambat beta yang sering diberikan dengan
dosis 200 μg dalam 1 menit, jika tidak ada respons setelah 10 menit diberikan dosis 500 μg dalam
1 menit. Jika sudah respons diberikan dosis rumatan 25μg/kg/menit sampai terapi diganti menjadi
propranolol oral.
Procainamide
Merupakan anti-aritmia kelas IA yang juga menghambat kanal natrium. Dosis yang dianjurkan
adalah 1-3 mg/kgBB, bolus intravena setiap 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg/kgBB.7,14
Amiodarone
Dapat diberikan pada pasien TV dengan hemodinamik tidak stabil. Amiodarone merupakan
antiaritmia yang paling efektif, namun sebanyak 20% pasien berulang.11 Amiodarone memiliki
29
efek vasodilator dan inotropik negatif, sehingga dapat menstabilkan hemodinamik. Mula kerja
amiodarone lebih lambat dibandingkan lidocaine dan procainamide.10 Dosis awal yang
dianjurkan adalah 5 mg/kgBB/jam intravena selama 10 menit, dapat diulangi satu kali jika belum
respons dan diikuti dosis rumatan 0,5 – 1 mg/menit.7
Magnesium Sulfat
Merupakan terapi pilihan pasien TV dengan interval QT memanjang dan beberapa episode torsade
de pointes.1,8 Dosis 1 gram/menit dengan dosis maksimal 25 g.7 Magnesium sulfat tidak efektif
pada pasien TV dengan interval QT normal.17

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat memompakan
cukup darah ke jaringan tubuh. Gagal jantung merupakan tahap akhir penyakit jantung yang dapat
menyebabkan meningkatnya mortalitas dan morbiditas penderita penyakit jantung. Sangat penting
untuk mengetahui gagal jantung secara klinis. Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan
anamnesis, gejala dan penilaian klinis, didukung oleh pemeriksaan penunjang seperti EKG, foto
toraks, biomarker, dan ekokardiografi Doppler. Kriteria diagnosis gagal jantung yang dipakai
adalah menurut Framingham Heart Study.

Penatalaksanaan meliputi penanganan gagal jantung kronik dan gagal jantung akut, dengan
penanganan non medikamentosa, dengan obat – obatan serta dengan menggunakan terapi invasif.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Maggioni AP. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological management of
chronic heart failure. European Heart Journal Supplements 2005;7 (Supplement J):J15-J20.
2. Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. Diagnosis dan
tatalaksana praktis gagal jantung akut. 2007
3. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. ABC of heart failure: History and epidemiology. BMJ
2000;320:39-42.
4. Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000;320:104-7.
5. Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In:
Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New
York: Marcel Dekker; 2005.p.137-56.
6. Jackson G, Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. ABC of heart failure: pathophysiology. BMJ
2000;320:167-70.
7. McNamara DM. Neurohormonal and cytokine activation in heart failure. In: Dec GW,
editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York: Marcel
Dekker; 2005.p.117-36.
8. Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. ABC of heart failure: investigation. BMJ 2000;320:297-
300
9. Hobbs FDR, Davis RC, Lip GYH. ABC of heart failure: heart failure in general practice.
BMJ 2000;320:626-9.
10. Nieminen MS. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure – full text
the task force on acute heart failure of the european society of cardiology. Eur Heart J 2005
11. Senni M, Tribouilloy CM, Rodeheffer RJ, Jacobsen SJ, Evans JM, Bailey KR, Redfield
NM. Congestive heart failure in the community trends in incidence and survival in 10-year
period. Arch Intern Med 1999;159:29- 34.
12. Watson RDS, Gibbs CR, Lip GY H. ABC of heart failure: clinical features and
complications. BMJ 2000;320:236-9.
13. Gillespie ND. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older patient.
British Medical Bulletin 2005;75 and 76: 49- 62.
31
14. Abraham WT, Scarpinato L. Higher expectations for management of heart failure: current
recommendations. J Am Board Fam Pract 2002;15:39-49.
15. 15. Roberts-Thomson KC, Lau DH, Sanders P. The diagnosis and management of
ventricular arrhythmias. Nat Rev Cardiol. 2011;8(6):311-21. Doi:
10.1038/nrcardio.2011.15
16. 16.House AM, Giguere S. How to diagnose and treat ventricular tachycardia. AAEP Proc
Medicine-Respiratory/Cardiovascular. 2009;55:308-12
17. 17. Stevonson WG. Current treatment of ventricular arrhythmias: State of the art. Gordon
K Moe Lecture. Heart Rhythm. 2013;10:1919-26

32

Anda mungkin juga menyukai