Anda di halaman 1dari 24

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Gerakan "Patient safety" atau Keselamatan Pasien telah menjadi spirit dalam pelayanan
rumah sakit di seluruh dunia. Tidak hanya rumah sakit di negara maju yang menerapkan
Keselamatan Pasien untuk menjamin mutu pelayanan, tetapi juga rumah sakit di negara
berkembang, seperti Indonesia.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan
no 1691/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Peraturan ini menjadi tonggak utama
operasionalisasi Keselamatan Pasien di rumah sakit seluruh Indonesia. Banyak rumah sakit di
Indonesia yang telah berupaya membangun dan mengembangkan Keselamatan Pasien, namun
upaya tersebut dilaksanakan berdasarkan pemahaman manajemen terhadap Keselamatan Pasien.
Peraturan Menteri ini memberikan panduan bagi manajemen rumah sakit agar dapat menjalankan
spirit Keselamatan Pasien secara utuh.
Menurut PMK 1691/2011, Keselamatan Pasien adalah suatu sistem di rumah sakit yang
menjadikan pelayanan kepada pasien menjadi lebih aman, oleh karena dilaksanakannya: asesmen
resiko, identifikasi dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindaklanjutnya, serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko dan mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat tindakan medis atau tidak dilakukannya tindakan medis yang
seharusnya diambil. Sistem tersebut merupakan sistem yang seharusnya dilaksanakan secara
normatif.
Melihat lengkapnya urutan mekanisme Keselamatan Pasien dalam PMK tersebut, maka, jika
diterapkan oleh manajemen rumah sakit, diharapkan kinerja pelayanan klinis rumah sakit dapat
meningkat serta hal-hal yang merugikan pasien (medical error, nursing error, dan lainnya) dapat
dikurangi semaksimal mungkin.
Perkembangan ilmu Gerontik ini tidak dapat dipisahkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi karena sampai setengah abad yang lalu, ilmu memang belum dikenal. Padahal ilmu
kesehatan anak (pediatri) berkembang pesatnya. Berbagai istilah berkembang terkait dengan lanjut
usia (Lansia), Yaitu Gerontologi, Geriatri serta keperawatan gerontik, dan keperawatan geriatrik
(Gerontological Nursing and Geriatric Nursing).
Berbagai istilah berkembang terkait dengan lanjut usia sehingga perlu dibedakan
pengertian antara Gerontologi dan Geriatri, walaupun berobjek sama, yaitu Lansia.
Gerontologi berasal dari kata “ GEROS” latin yang artinnya Lanjut Usia dan “Logos” yang berarti
Ilmu.
1. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari secara khusus mengenai masalah/faktor
yang menyangkut lansia.
2. Gerontology is Comprehensive study of Ageing and the Problem of the Aged.
(Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses menua dan masalahnya).
3. Gerontologi adalah pengetahuan yang mencakup segala bidang persoalan mengenai
orang berusia lanjut, yang di dasarkan pada hasil penyelidikan ilmu ; antropologi,
antropometri, sosiologi, pekerjaan sosial, kedokteran geriatrik, psikiatrik geriatrik,
psikologi, dan ekonomi (menurut Pergeri).
4. Gerontologi menurut Kozier, 1987 adalah ilmu yang mempelajari seluruh aspek menua.
5. Gerontologi adalah cabang ilmu yang mempelajari proses menua dan masalah yang
mungkin terjadi pada lanjut usia (Miller, 1990)
6. Gerontic Nursing / Gerontological Nursing, adalah spesialis keperawatan lanjut usia
yang dapat menjalankan perannya pada setiap tatanan pelayanan dengan menggunakan
pengetahuan, keahlian, dan keterampilan merawat untuk meningkatkan fungsi optimal
lanjut usia secara komprehensif. Oleh karena itu perawatan lansia yang menderita
penyakit (Geriatric Nursing), dan dirawat di rumah sakit merupakan Gerontic Nursing.

B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa yang di maksud dengan patient safety ?
b) Bagaimana penerapan patient safety dalam kebidanan ?
c) Apa saja faktor yang mempengaruhi pelaksanaan patient safety ?
d) Apa yang di maksud dengan lansia dan keperawatan gerontik ?
e) Apa saja mitos tentang lansia?
f) Teori – teori lansia?
g) Batasan – batasan lansia?
h) Masalah fisik sehari – hari ang sering di temukan pada lansia?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
a. Menganalisis penerapan patient safetyserta
2. Tujuan Khusus
a. Mencari faktor yang dapat mempengaruhi penerapan patient safety
b. Menganalisis pelaksanaan patient safety
c. Membuat rencana perbaikan pelaksanaan patient safety
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Patient safety


Menurut Supari tahun 2005, patient safety adalah bebas dari cidera aksidental atau menghindarkan
cidera pada pasien akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan.
Patient safety (keselamatan pasien) rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk : assesment resiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari
insident dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya resiko.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang di sebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan
suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya dilakukan (DepKes RI, 2006).
Menurut Kohn, Corrigan & Donaldson tahun 2000, patient safety adalah tidak adanya kesalahan
atau bebas dari cedera karena kecelakaan. Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan
yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan resiko, identifikasi dan pengelolaan
hal yang berhubungan dengan resiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar
dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan resiko. Meliputi:
assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan
dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, implementasi solusi
untuk meminimalkan timbulnya risiko

B. Tujuan Sistem Patient safety


Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit
2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan
masyarakat
3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
penanggulangan KTD

C. Implementasi Patient Safety – 6 Standar Keselamatan Pasien


Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada lima isu
penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu :
1. keselamatan pasien (patient safety),
2. keselamatan pekerja atau petugas kesehatan,
3. keselamatan bangunan dan peralatan di rumah sakit yang bisa berdampak terhadap
keselamatan pasien dan petugas,
4. keselamatan lingkungan (green productivity) yang berdampak terhadap pencemaran
lingkungan dan
5. keselamatan ”bisnis” rumah sakit yang terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit.
Ke lima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah
sakit. Namun harus diakui kegiatan institusi rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena
itu keselamatan pasien merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait
dengan isu mutu dan citra perumahsakitan.
Pengertian
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan
dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah
terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
Insiden keselamatan pasien yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap kejadian yang
tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang
dapat dicegah pada pasien, terdiri dari :
1. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum
sampai terpapar ke pasien.
2. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke
pasien, tetapi tidak timbul cedera.
3. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat
berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
4. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang
serius.

Sasaran Keselamatan Pasien


Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang
diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine
Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission
International (JCI).
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam
keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan
kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara
umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh.

Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut:


Sasaran I.: Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan karena keliru pasien terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan
pengobatan. Kesalahan identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan
terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar; bertukar tempat tidur/kamar/lokasi di
rumah sakit, adanya kelainan sensori; atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk
melakukan dua kali pengecekan: pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan
menerima pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan
terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki
proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat,
darah/produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; memberikan
pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara
untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir,
gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau
prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas yang berbeda pada lokasi yang berbeda di
rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau kamar operasi, termasuk
identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi
dapat diidentifikasi.
Elemen Penilaian Sasaran I
1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh menggunakan
nomor kamar atau lokasi pasien.
2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.
3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis.
4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.
5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten pada
semua situasi dan lokasi.

Sasaran II.: Peningkatan Komunikasi yang Efektif


Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien,
akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi
dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan
kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telpon. Komunikasi
yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telpon ke unit pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat/(memasukkan ke komputer) perintah secara
lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian penerima perintah membacakan
kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah
dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga
menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak
memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU.
Elemen Penilaian Sasaran II
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
2. Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali secara
lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasil pemeriksaan
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten

Sasaran III.: Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)


Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan
secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-
alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius
(sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse
outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam issue keselamatan pasien adalah pemberian
elektrolit konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih
pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih
pekat-). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit
pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan terlebih dahulu sebelum
ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau
mengeliminasi kejadian tsb adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu
diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk
membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit.
Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit
konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi serta pemberian laboratoriumel secara benar pada
elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses untuk
mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati.
Elemen Penilaian Sasaran III
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi, menetapkan
lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika dibutuhkan secara
klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang kurang hati-hati di area
tersebut sesuai kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi label yang
jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).

Sasaran IV.: Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi


Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari
komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat antara anggota tim bedah, kurang/tidak
melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk
verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan
ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar
anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible
handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering
terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan
juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO
Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong
Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang
dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh
operator /orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, dan harus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi ditandai
dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki,
lesi), atau multipel level (tulang belakang). Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
1. Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
2. Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan
tersedia, diberi laboratoriumel dengan baik, dan dipampang;
3. Lakukan verifikasi ketersediaan setiap peralatan khusus dan/atau implant-implant yang
dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan
diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan, tepat sebelum
tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses
itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan ceklist.
Elemen Penilaian Sasaran IV
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk identifikasi
lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat
preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien dan semua dokumen serta
peralatan yang diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum insisi/time-out”
tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakanpembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang seragam untuk
memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien, termasuk prosedur medis dan
dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

Sasaran V.: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan


Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan
kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan
kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan
kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi
saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali
dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene)
yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa di baca di kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi
nasional dan intemasional.
Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau
prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang sudah diterima secara
umum untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran V
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang
diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient Safety).
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan secara
berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Sasaran VI.: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam
konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya, rumah
sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko
cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi
alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien.
Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit.
Elemen Penilaian Sasaran VI
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko jatuh dan
melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi perubahan kondisi atau
pengobatan, dan lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang pada hasil
asesmen dianggap berisiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera akibat
jatuh dan dampak dari kejadian tidak diharapkan.
4. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

D. Aspek Legal Patient Safety


Ketentuan mengenai keselamatan pasien diatur dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan No.
36 tahun 2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan
tersebut adalah :
1. Pasal 5 ayat 2, menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.
2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala
bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.
3. Pasal 24 ayat 1, menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
4. Pasal 53 ayat 3, menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan
keselamatan nyawa pasien.
5. Pasal 54 ayat 1, menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.
6. Selain itu, tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU
Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang berbunyi : “ Setiap orang berhak menuntut ganti rugi
terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya “
Tuntutan ganti rugi sebagaimana yang dimaksud tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang
melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan
darurat.
Aspek hukum lain terhadap “patient safety” atau keselamatan pasien adalah sebagai berikut :
1. Pasal 53 (3) UUNo.36/2009 tentang kesehatan Pelaksanaan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendahulukan pertolongan keselamatan
nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
2. Pasal 32n UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
3. Pasal 29b UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap rumah sakit mempunyai
kewajiban memberi pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi, dan
efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan
rumah sakit.
4. Pasal 45 (1) UU No.44/2009 tentang rumah sakit Rumah sakit tidak bertanggung jawab
secara hukum apabila pasien dan atau keluarganya menolak atau menghentikan
pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah adanya penjelasan medis yang
komprehensif.
5. Pasal 32d UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional.
6. Pasal 32e UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi.
7. Pasal 32j UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak mendapat
informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis,
alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.
8. Pasal 32q UU No.44/2009 tentang rumah sakit Setiap pasien mempunyai hak
menggugat dan/atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana.
1) Pasal 43 UU No.44/2009 Rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan
pasien
a. Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui pelaporan insiden, menganalisa, dan
menetapkan pemecahan masalah dalam rangka menurunkan angka
kejadian yang tidak diharapkan.
b. Rumah sakit melaporkan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) kepada komite yang membidangi keselamatan pasien yang
ditetapkan oleh menteri.
c. Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dibuat secara anonim dan ditujukan untuk mengkoreksi
sistem dalam angka meningkatkan keselamatan pasien.
1. Ketentuan lebih lanjut mengenai standar keselamatan pasien sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri.
2) Permenkes RI no.1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang keselamatan
pasien rumah sakit. Keselamatan pasien yang dimaksud adalah suatu system
dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman.

E . Kode Etik yang Berhubungan dengan Patient Safety


Kode etik bidan merupakan suatu pernyataan komprehensif profesi yang memberikan
tuntunan bagi bidan untuk melaksanakan praktik kebidanan, baik yang berhubungan dengan
klien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendiri.
Kode etik bidan yang berhubungan dengan keselamatan pasien diantarnya adalah :
1. Kewajiban terhadap klien dan masyarkat : Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi,
menghayati dan mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas
pengabdiannya
2. Kewajiban terhadap tugasnya : Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna
kepada klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang
dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien keluarga dan masyarakat

Di dalam kode etik kedokteran disebutkan bahwa setiap dokter harus berperilaku profesional
dalam praktik kedokteran serta mendukung kebijakan kesehatan, memahami isu-isu etik maupun
aspek medikolegal dalam praktik kedokteran serta menerapkan program keselamatan pasien.
Kode etik kedokteran yang berhubungan dengan keselamatan pasien adalah :
VII. 6. Aspek keselamatan pasien dalam praktek kedokteran
VII. 6. 1. Menerapkan standar keselamatan pasien:
a. Hak pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
d. Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
program peningkatan keselamatan pasien
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi yang merupakan kunci bagi staf untuk mencapai
h. keselamatan pasien
VII. 6. 2.Menerapkan 7 (tujuh) langkah keselamatan pasien
a. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien
b. Memimpin dan mendukung staf
c. Integrasikan aktifitas pengelolaan risiko
d. Kembangkan sistem pelaporan
e. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien
f. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien
g. Cegah cidera melalui implementasi sistem keselamatan pasien
A. Kasus
Kasus An. Az. di Rumah Sakit S (padang) umur 3 tahun pada tanggal 14 februari 2012,
pasien di rawat di ruangan melati Rs. S padang dengan diagnosa Demam kejang . Sesuai order
dokter infus pasien harus diganti dengan didrip obat penitoin namun perawat yang tidak
mengikuti operan jaga langsung mengganti infuse pasien tanpa melihat bahwa terapi pasien
tersebut infusnya harus didrip obat penitoin. Beberapa menit kemudian pasien mengalami kejang-
kejang, untung keluarga pasien cepat melaporkan kejadian ini sehingga tidak menjadi tambah
parah dan infusnya langsung diganti dan ditambah penitoin.

B. Analisis
Dalam kasus ini terlihat jelas bahwa kelalaian perawat dapat membahayakan keselamatan
pasien. Seharusnya saat pergantian jam dinas semua perawat memiliki tanggung jawab untuk
mengikuti operan yang bertujuan untuk mengetahui keadaan pasien dan tindakan yang akan
dilakukan maupun dihentikan. Supaya tidak terjadi kesalahan pemberian tindakan sesuai dengan
kondisi pasien.
Pada kasus ini perawat juga tidak menjalankan prinsip 6 benar dalam pemberian obat.
Seharusnya perawat melihat terapi yang akan diberikan kepada pasien sesuai order, namun dalam
hal ini perawat tidak menjalankan prinsip benar obat.
Disamping itu juga, terkait dengan hal ini perawat tidak mengaplikasikan konsep patient
safety dengan benar, terbukti dari kesalahan akibat tidak melakukan tindakan yang seharusnya
dilakukan yang menyebabkan ancaman keselamatan pasien.

C. Pengembangan Dan Penerapan Solusi Serta Monitoring Atau Evaluasi


Berdasarkan kasus diatas solusi untuk pemecahan masalah mengenai perawat yang tidak
mengikuti operan pergantian jam dinas. Perawat harus mengetahui standar keselamatan pasien
sesuai dengan uraian DepKes, sebagai berikut :
Standar Keselamatan Pasien RS (KARS – DepKes)
a. Hak pasien
b. Mendidik pasien dan keluarga
c. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan
d. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan evaluasi dan
meningkatkan keselamatan pasien
e. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
f. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
g. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

A. Definisi

Keprawatan gerontik adalah salah satu bentuk pelayanan profesionalyang didasarkan lmu dan
kiat keperawatan gerontik yang berbentuk Boipsikososial spiritual yang komperhensip, ditujukan
pada lanjut usia baik sehat maupun sakit pada tingkatan individu, keluarga, kelompok/pantiatau
masyarakat. Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu
tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap
berbeda, baik secara biologis maupun secara psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami
kemunduran, misalnya : kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut
memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk, gerakan
lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional.
WHO dan undang-undang No 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab I
pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua bukanlah
suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan perubahan yang
kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari
dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan kematian. Dalam buku ajar Geriatri, Prof. Dr. R.
Boedhi Darmojo dan Dr.H.hadi Martono (1994) mengatakan bahwa “ menua “ (menjadi tua)
adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri / mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga
tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa manusia secara bertahap/perlahan mengalami
kemunduran struktur dan fungsi organ. Kondisi ini dapat memengaruhi kemandirian dan
kesehatan lanjut usia, termasuk kehidupan seksualnya. Proses menua merupakan proses yang
terus menerus /berkelanjutan secara alamiah dan umumnya di alami oleh semua makhluk hidup.
Misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada otot susunan saraf, dan jaringan lain,hingga
tubuh “ mati“ sedikit demi sedikit.
Kecepatan proses menua pada setiap individu pada organ tubuh tidak sama. Adakalanya
seseorang belum tergolong lanjut usia / masih muda, tetapi telah menunjukan kekurangan
yangMencolok (Deskripansi). Adakalanya pula orang telah tergolong lanjut usia, tetapi
penampilannyua masih sehat, segar bugar, dan badan tegap. Walaupun demikian harus diakui ada
beberapa penyakit yang sering dialami lanjut usia. Manusia secara lambat dan progresif akan
kehilangan daya tahan terhadap infeksi, dan akan menempuh semakin banyak distorsi meteoritic
dan structural yang disebut sebagai penyakit degeneratif. Misalnya hipertensi, arteriosclerosis,
diabetes mellitus, dan kanker, yang akan menyebabkan berakhir hidup dengan episode terminal
yang dramatis, misalnya stroke, infark miokard, koma asidotik, kanker metastasis, dan
sebagainya.

B. Mitos Tentang Lansia


Ada banyak mitos tentang usia tua. ”Ageing—Exploding the Myths”, sebuah publikasi dari
Program Usia Tua dan Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia, memaparkan beberapa kekeliruan
mitos tersebut. Perhatikan beberapa contoh berikut :
a. Mitos konservatif :
Ada pandangan bahwa lanjut usia pada umumnya :
1. konservatif
2. tidak kreatif
3. menolak inovasi
4. berorientasi ke masa silam
5. merindukan masa lalu
6. kembali ke masa anak-anak
7. susah menerima ide baru
8. susah berubah
9. keras kepala
10. cerewet

Faktanya tidak semua lansia bersikap, berpikiran, dan berperilaku demikian.


a. Mitos berpenyakit dan kemunduran
Lanjut usia sering kali dipandang sebagai masa degerasi biologis disertai dengan
berbagai penderitaan akibat bermacam-macam penyakit yang menyertai proses menua
(lanjut usia merupakan masa penyakitan dan kemunduran).
Fakta : memang proses menua disertai dengan menurunnya daya tahan tubuh dan
metabolisme sehingga rawan terhadap penyakit. Akan tetapi saat ini telah banyak
penyakit yang dapat dikontrol dan diobati.

b. Mitos Senilitas
Lanjut usia dipandang sebagai masa pikun yang disebabkan oleh adanya kerusakan
sel otak.
Fakta :
1. Banyak lansia yang masih tetap sehat dan segar bugar
2. Daya pikir masih jernih dan cenderung cemerlang
3. Banyak cara untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan daya ingat.

c. Mitos ketidakproduktifan
Lanjut usia dipandang sebagai masa usia yang tidak produktif, bahkan menjadi
beban keluarganya.
Fakta : Tidak demikian. Banyak individu yang mencapai ketenaran, kematangan,
kemantapan, serta produiktivitas mental dan material di masa lanjut usia.

d. Mitos aseksualitas
Ada pandangan bahwa lanjut usia minat, dorongan, gairah, kebutuhan dan daya seks
dalam hubungan seks menurun.
Fakta :
1. Kebutuhan seks pada lanjut usia berlangsung normal
2. Frekwensi hubungan seksual menurun sejalan meningkatnya usia, tetapi masih
tetap tinggi.

Teori-teori Proses Penuaan


1. Teori Biologi
a. Teori genetic dan mutasi (Somatik Mutatie Theory)
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies-spesies
tertentu. Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang
terprogramoleh molekul-molekul atau DNA dan setiap sel pada saatnya akan
mengalami mutasi.
b. Teori radikal bebas
Tidak setabilnya radikal bebas mengakibatkan oksidasi-oksidasi bahan organic
yang menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.

c. Teori autoimun
Penurunan sistem limfosit T dan B mengakibatkan gangguan pada keseimbangan
regulasi system imun (Corwin, 2001). Sel normal yang telah menua dianggap
benda asing, sehingga sistem bereaksi untuk membentuk antibody yang
menghancurkan sel tersebut. Selain itu atripu tymus juga turut sistem imunitas
tubuh, akibatnya tubuh tidak mampu melawan organisme pathogen yang masuk
kedalam tubuh.Teori meyakini menua terjadi berhubungan dengan peningkatan
produk autoantibodi.

d. Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kesetabilan lingkungan internal, dan stres
menyebabkan sel-sel tubuh lelah dipakai.

e. Teori telomer
Dalam pembelahan sel, DNA membelah denga satu arah. Setiap pembelaan akan
menyebabkan panjang ujung telomere berkurang panjangnya saat memutuskan
duplikat kromosom, makin sering sel membelah, makin cepat telomer itu
memendek dan akhirnya tidak mampu membelah lagi.

f. Teori apoptosis
Teori ini disebut juga teori bunuh diri (Comnit Suitalic) sel jika lingkungannya
berubah, secara fisiologis program bunuh diri ini diperlukan pada perkembangan
persarapan dan juga diperlukan untuk merusak sistem program prolifirasi sel
tumor. Pada teori ini lingkumgan yang berubah, termasuk didalamnya oleh karna
stres dan hormon tubuh yang berkurang

g. Teori autoimun
Penurunan sistem limfosit T dan B mengakibatkan gangguan pada keseimbangan
regulasi system imun (Corwin, 2001). Sel normal yang telah menua dianggap
benda asing, sehingga sistem bereaksi untuk membentuk antibody yang
menghancurkan sel tersebut. Selain itu atripu tymus juga turut sistem imunitas
tubuh, akibatnya tubuh tidak mampu melawan organisme pathogen yang masuk
kedalam tubuh.Teori meyakini menua terjadi berhubungan dengan peningkatan
produk autoantibodi.

h. Teori stress
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi
jaringan tidak dapat mempertahankan kesetabilan lingkungan internal, dan stres
menyebabkan sel-sel tubuh lelah dipakai.

i. Teori telomer
Dalam pembelahan sel, DNA membelah denga satu arah. Setiap pembelaan akan
menyebabkan panjang ujung telomere berkurang panjangnya saat memutuskan
duplikat kromosom, makin sering sel membelah, makin cepat telomer itu
memendek dan akhirnya tidak mampu membelah lagi.

j. Teori apoptosis
Teori ini disebut juga teori bunuh diri (Comnit Suitalic) sel jika lingkungannya
berubah, secara fisiologis program bunuh diri ini diperlukan pada perkembangan
persarapan dan juga diperlukan untuk merusak sistem program prolifirasi sel
tumor. Pada teori ini lingkumgan yang berubah, termasuk didalamnya oleh karna
stres dan hormon tubuh yang berkurang konsentrasinya akan memacu apoptosis
diberbagai organ tubuh.

2. Teori Kejiwaan Sosial


a. Aktifitas atau kegiatan (Activity theory)
Teori ini menyatakan bahwa pada lanjut usia yang sukses adalah mereka yang
aktif dan ikut bnyak kegiatan social.
b. Keperibadian lanjut (Continuity theory)
Teori ini menyatakan bahwa perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut
usia sangat dipengaruhi tipe personality yang dimilikinya.
c. Teori pembebasan (Disengagement theory)
Dengan bertambahnya usia, seseorang secara berangsur-angsur melepaskan diri
dari kehidupan sosialnya atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun
kuantitas.

3. Teori Lingkungan
a. Exposure theory: Paparan sinar matahari dapat mengakibatkat percepatan proses penuaan.
b. Radiasi theory: Radiasi sinar y, sinar xdan ultrafiolet dari alat-alat medis memudahkan sel
mengalami denaturasi protein dan mutasi DNA.
c. Polution theory: Udara, air dan tanah yang tercemar polusi mengandung subtansi kimia,
yang mempengaruhi kondisi epigenetik yang dpat mempercepat proses penuaan.
d. Stress theory: Stres fisik maupun psikis meningkatkan kadar kortisol dalam darah.
Kondisi stres yang terus menerus dapat mempercepat
e. proses penuaan.

D.Batasan Lansia
a. Menurut WHO, batasan lansia meliputi:
1. Usia Pertengahan (Middle Age), adalah usia antara 45-59 tahun.
2. Usia Lanjut (Elderly), adalah usia antara 60-74 tahun.
3. Usia Lanjut Tua (Old), adalah usia antara 75-90 tahun.
4. Usia Sangat Tua (Very Old), adalah usia 90 tahun keatas.

b. Menurut Dra.Jos Masdani (psikolog UI)


Mengatakan lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi
menjadi 4 bagian:
1. Fase iuventus antara 25dan 40 tahun
2. Verilitia antara 40 dan 50 tahun
3. Fase praesenium antara 55 dan 65 tahun
4. Fase senium antara 65 tahun hingga tutup usia

E. MASALAH FISIK SEHARI-HARI YANG SERING DITEMUKAN PADA LANSIA

1. Mudah jatuh
a. Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang
melihat kejadian, yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di
lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau
luka (Ruben, 1996).
b. Jatuh dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya faktor intrinsik:
c. gangguan gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekuatan sendi dan
sinkope-dizziness; faktor ekstrinsik: lantai yang licin dan tidak rata, tersandung oleh
benda-benda, penglihatan kurang karena cahaya yang kurang terang dan sebagainya.
2. Mudah lelah, disebabkan oleh :
a. Faktor psikologis: perasaan bosan, keletihan, depresi
b. Gangguan organis: anemia, kurang vitamin, osteomalasia, dll
c. Pengaruh obat: sedasi, hipnotik
3. Kekacauan mental karena keracunan, demam tinggi, alkohol, penyakit metabolisme,
dehidrasi, dsb
4. Nyeri dada karena PJK, aneurisme aorta, perikarditis, emboli paru, dsb
5. Sesak nafas pada waktu melakukan aktifitas fisik karena kelemahan jantung, gangguan
sistem respiratorius, overweight, anemia
6. Palpitasi karena gangguan irama jantung, penyakit kronis, psikologis
7. Pembengkakan kaki bagian bawah karena edema gravitasi, gagal jantung, kurang vitamin
B1, penyakit hati, penyakit ginjal, kelumpuhan, dsb
8. Nyeri pinggang atau punggung karena osteomalasia, osteoporosis, osteoartritis, batu
ginjal, dsb.
9. Nyeri sendi pinggul karena artritis, osteoporosis, fraktur/dislokasi, saraf terjepit
c. 10.Berat badan menurun karena nafsu makan menurun, gangguan saluran cerna, faktor
sosio-ekonomi
10. Sukar menahan BAK karena obat-obatan, radang kandung kemih, saluran kemih, kelainan
syaraf, faktor psikologis
11. Sukar menahan BAB karena obat-obatan, diare, kelainan usus besar, kelainan rektum
12. Gangguan ketajaman penglihatan karena presbiopi, refleksi lensa berkurang, katarak,
glaukoma, infeksi mata
13. Gangguan pendengaran karena otosklerosis, ketulian menyebabkan kekacauan mental
14. Gangguan tidur karena lingkungan kurang tenang, organik dan psikogenik (depresi,
irritabilitas)
15. Keluhan pusing-pusing karena migren, glaukoma, sinusitis, sakit gigi, dsb
16. Keluhan perasaan dingin dan kesemutan anggota badan karena ggn sirkulasi darah lokal,
ggn syaraf umum dan lokal
17. Mudah gatal-gatal karena kulit kering, eksema kulit, DM, gagal ginjal, hepatitis kronis,
alergi

KARAKTERISTIK PENYAKIT LANSIA DI INDONESIA


1. Penyakit persendian dan tulang, misalnya rheumatik, osteoporosis, osteoartritis
2. Penyakit Kardiovaskuler. Misalnya: hipertensi, kholesterolemia, angina, cardiac attack,
stroke, trigliserida tinggi, anemia, PJK
3. Penyakit Pencernaan yaitu gastritis, ulcus pepticum
4. Penyakit Urogenital. Seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK), Gagal Ginjal Akut/Kronis,
Benigna Prostat Hiperplasia
5. Penyakit Metabolik/endokrin. Misalnya; Diabetes mellitus, obesitas
6. Penyakit Pernafasan. Misalnya asma, TB paru
7. Penyakit Keganasan, misalnya; carsinoma/ kanker
8. Penyakit lainnya. Antara lain; senilis/pikun/dimensia, alzeimer, parkinson, dsb

PENYAKIT YANG SERING TERJADI PADA LANSIA


Nina Kemala Sari dari Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Cipto
Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dalam suatu pelatihan di kalangan
kelompok peduli lansia, menyampaikan beberapa masalah yang kerap muncul pada usia lanjut ,
yang disebutnya sebagai a series of I’s. Mulai dari immobility (imobilisasi), instability (instabilitas
dan jatuh), incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual), infection
(infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan pendengaran), isolation
(depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur), hingga immune deficiency
(menurunnya kekebalan tubuh).
Selain gangguan-gangguan tersebut, Nina juga menyebut tujuh penyakit kronik degeratif
yang kerap dialami para lanjut usia, yaitu:

1. Osteo Artritis (OA)


OA adalah peradangan sendi yang terjadi akibat peristiwa mekanik dan biologik
yang mengakibatkan penipisan rawan sendi, tidak stabilnya sendi, dan
perkapuran. OA merupakan penyebab utama ketidakmandirian pada usia lanjut,
yang dipertinggi risikonya karena trauma, penggunaan sendi berulang dan
obesitas.

2. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan salah satu bentuk gangguan tulang dimana masa atau
kepadatan tulang berkurang. Terdapat dua jenis osteoporosis, tipe I merujuk pada
percepatan kehilangan tulang selama dua dekade pertama setelah menopause,
sedangkan tipe II adalah hilangnya masa tulang pada usia lanjut karena
terganggunya produksi vitamin D.

3. Hipertensi
Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah sistolik sama atau lebih
tinggi dari 140 mmHg dan tekanan diastolik lebih tinggi dari 90mmHg, yang
terjadi karena menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak
ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke, kerusakan pembuluh darah
(arteriosclerosis), serangan/gagal jantung, dan gagal ginjal.

4. Diabetes Mellitus
Sekitar 50% dari lansia memiliki gangguan intoleransi glukosa dimana gula
darah masih tetap normal meskipun dalam kondisi puasa. Kondisi ini dapat
berkembang menjadi diabetes melitus, dimana kadar gula darah sewaktu diatas
atau sama dengan 200 mg/dl dan kadar glukosa darah saat puasa di atas 126
mg/dl. Obesitas, pola makan yang buruk, kurang olah raga dan usia lanjut
mempertinggi risiko DM. Sebagai ilustrasi, sekitar 20% dari lansia berusia 75
tahun menderita DM. Beberapa gejalanya adalah sering haus dan lapar, banyak
berkemih, mudah lelah, berat badan terus berkurang, gatal-gatal, mati rasa, dan
luka yang lambat sembuh.

5. Dimensia
Merupakan kumpulan gejala yang berkaitan dengan kehilangan fungsi
intelektual dan daya ingat secara perlahan-lahan, sehingga mempengaruhi
aktivitas kehidupan sehari-hari. Alzheimer merupakan jenis demensia yang
paling sering terjadi pada usia lanjut. Adanya riwayat keluarga, usia lanjut,
penyakit vaskular/pembuluh darah (hipertensi, diabetes, kolesterol tinggi),
trauma kepala merupakan faktor risiko terjadinya demensia. Demensia juga
kerap terjadi pada wanita dan individu dengan pendidikan rendah.

6. Penyakit jantung koroner


Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah menuju jantung
terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri dada, sesak napas, pingsan,
hingga kebingungan.

7. Kanker
Kanker merupakan sebuah keadaan dimana struktur dan fungsi sebuah sel
mengalami perubahan bahkan sampai merusak sel-sel lainnya yang masih sehat.
Sel yang berubah ini mengalami mutasi karena suatu sebab sehingga ia tidak bisa
lagi menjalankan fungsi normalnya. Biasanya perubahan sel ini mengalami
beberapa tahapan, mulai dari yang ringan sampai berubah sama sekali dari
keadaan awal (kanker). Kanker merupakan penyebab kematian nomor dua
setelah penyakit jantung. Faktor resiko yang paling utama adalah usia. Dua
pertiga kasus kanker terjadi di atas usia 65 tahun. Mulai usia 40 tahun resiko
untuk timbul kanker meningkat.

Pengertian Keperawatan Gerontik

Keperawatan yang berkeahlian khusus merawat lansia diberi nama untuk pertama
kalinya sebagai keperawatan geriatric (Ebersole et al, 2005). Namun, pada tahun
1976, nama tersebut diganti dengan gerontological. Gerontologi berasal dari kata
geros yang berarti lanjut usia dan logos berarti ilmu. Gerontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang lanjut usia dengan masalah-masalah yang terjadi pada lansia
yang meliputi aspek biologis, sosiologis, psikologis, dan ekonomi. Gerontologi
merupakan pendekatan ilmiah (scientific approach) terhadap berbagai aspek dalam
proses penuaan (Tamher&Noorkasiani, 2009). Menurut Miller (2004), gerontologi
merupakan cabang ilmu yg mempelajari proses manuan dan masalah yg mungkin
terjadi pada lansia. Geriatrik adalah salah satu cabang dari gerontologi dan medis
yang mempelajari khusus aspek kesehatan dari usia lanjut, baik yang ditinjau dari segi
promotof, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang mencakup kesehatan badan,
jiwa, dan sosial, serta penyakit cacat (Tamher&Noorkasiani, 2009).

Sedangkan keperawatan gerontik adalah istilah yang diciptakan oleh Laurie


Gunter dan Carmen Estes pada tahun 1979 untuk menggambarkan bidang ini. Namun
istilah keperawatan gerontik sudah jarang ditemukan di literature (Ebersole et al,
2005). Gerontic nursing berorientasi pada lansia, meliputi seni, merawat,
dan menghibur. Istilah ini belum diterima secara luas, tetapi beberapa orang
memandang hal ini lebih spesifik. Menurut Nugroho (2006), gerontik adalah segala
sesuatu yang berhubungan dengan lanjut usia dengan segala permasalahannya, baik
dalam keadaan sehat maupun sakit. Menurut para ahli, istilah yang paling
menggambarkan keperawatan pada lansai adalah gerontological nursing karena lebih
menekankan kepeada kesehatan ketimbang penyakit. Menurut Kozier (1987),
keperawatan gerontik adalah praktek perawatan yang berkaitan dengan penyakit pada
proses menua. Menurut Lueckerotte (2000) keperawatan gerontik adalah ilmu yang
mempelajari tentang perawatan pada lansia yang berfokus pada pengkajian kesehatan
dan status fungsional, perencanaan, implementasi serta evaluasi.

1. Tujuan Keperawatan Gerontik

Adapun tujuan dari gerontologi adalah (Maryam, 2008):

1. Membantu individu lanjut usia memahami adanya perubahan pada dirinya


berkaitan dengan proses penuaan
2. Mempertahankan, memelihara, dan meningkatkan derajat kesehatan lanjut
usia baik jasmani, rohani, maupun social secara optimal
3. Memotivasi dan menggerakkan masyarakat dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan lanjut usia
4. Memenuhi kebutuhan lanjut usia sehari-hari
5. Mengembalikan kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari
6. Mempercepat pemulihan atau penyembuhan penyakit

7. Meningkatkan mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan
berguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sesuai dengan
keberadaannya dalam masyarakat

Tujuan dari geriatrik menurut Maryam (2008) adalah sebagai berikut:

1. Mempertahankan derajat kesehatan pada lanjut usia pada taraf yang setinggi-
tingginya sehingga terhindar dari penyakit atau gangguan
2. Memelihara kondisi kesehatan dengan akticitas fisik dan mental
3. Merangsang para petugas kesehatan untuk dapat mengenal dan menegakkan
diagnosis yang tepat dan dini bila mereka menemukan kelainan tertentu
4. Mencari upaya semaksimal mungkin agar para lanjut usia yang menderita
suatu penyakit atau gangguan, masih dapat mempertahankan kebebasan yang
maksimal tanpa perlu suatu pertolongan (memelihara kemandirian secara
maksimal)
5. Bila para lanjut usia sudah tidak dapat disembuhkan dan bila mereka sudah
sampai pada stadium terminal, ilmu ini mengajarkan untuk tetap memberi
bantuan yang simpatik dan perawatan dengan penuh pengertian (dalam akhir
hidupnya, memberi bantuan moral dan perhatian yang maksimal sehingga
kematiannya berlangsung dengan tenang).

Tujuan keperawatan gerontik adalah memenuhi kenyamanan lansia,


mempertahankan fungsi tubuh, serta membantu lansia menghadapi kematian dengan
tenang dan damai melalui ilmu dan teknik keperawatan gerontik (Maryam, 2008).

2. Fungsi Perawat Gerontik

Perawat memiliki banyak fungsi dalam memberikan pelayanan prima dalam bidang
gerontik. Menurut Eliopoulus (2005), fungsi dari perawat gerontologi adalah :

1. Guide persons of all ages toward a healthy aging process (membimbing orang
pada segala usia untuk mencapai masa tua yang sehat)
2. Eliminate ageism (menghilangkan perasaan takut tua)
3. Respect the tight of older adults and ensure other do the same (menghormati
hak orang yang lebih tua dan memastikan yang lain melakukan hal yang sama)
4. Overse and promote the quality of service delivery (memantau dan mendorong
kualitas pelayanan)
5. Notice and reduce risks to health and well being (memerhatikan serta
menguragi resiko terhadap kesehatan dan kesejahteraan)
6. Teach and support caregives (mendidik dan mendorong pemberi pelayanan
kesehatan)
7. Open channels for continued growth (membuka kesempatan untuk
pertumbuhan selanjutnya)
8. Listen and support (mendengarkan dan member dukungan)
9. Offer optimism, encouragement and hope (memberikan semangat, dukungan,
dan harapan)
10. Generate, support, use, and participate in research (menghasilkan,
mendukung, menggunakan, dan berpartisipasi dalam penelitian)
11. Implement restorative and rehabilitative measures (melakukan perawatan
restorative dan rehabilitative)
12. Coordinate and managed care (mengoordinasi dan mengatur perawatan)
13. Asses, plan, implement, and evaluate care in an individualized, holistic maner
(mengkaji, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi perawatan
individu dan perawatan secara menyeluruh)
14. Link service with needs (memberikan pelayanan sesuai kebutuhan)
15. Nurtuere futue gerontological nurses for advancement of the speciality
(membangun masa depan perawat gerontik untuk menjadi ahli dibidangnya)
16. Understand the unique physical, emotical, social, spiritual aspect of each
other (saling memahami keunikan pada aspek fisik, emosi, social, dan
spiritual)
17. Recognize and encourage the appropriate management of ethical concern
(mengenal dan mendukung manajemen etika yang sesuai dengan tempatnya
bekerja)

18. Support and comfort through the dying process (memberikan dukungan dan
kenyamanan dalam menghadapi proses kematian)
19. Educate to promote self care and optimal independence (mengajarkan untuk
meningkatkan perawatan mandiri dan kebebasan yang optimal)

D. BATASAN USIA LANJUT


DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut:
1. kelompok menjelang usia lanjut (45 – 54 th) sebagai masa VIRILITAS
2. kelompok usia lanjut (55 – 64 th) sebagai masa PRESENIUM
3. kelompok usia lanjut (65 th > ) sebagai masa SENIUM

Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:


1. Usia lanjut (elderly) : 60 – 74 tahun
2. Usia Tua (old) : 75 – 89 tahun
3. Usia sangat lanjut (very old) : > 90 tahun

UU no.13 tahun 1998 → tentang kesejahteraan lansia :


1. Lansia pada seseorang berusia 60 tahun ke atas
2. Usia digolongkan atas 3 :
3. Usia biologis
4. Usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada
dalam keadaan hidup.
5. Usia psikologis
6. Menunjukkan pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-
penyesuaian pada situasi yang dihadapinya.
7. Usia sosial
8. Usia yang menunjuk pada peran-peran yang diharapkan/diberikan masyarakat
kepada seseorang sehubungan dengan usianya.

E. LINGKUP PERAN DAN TANGGUNGJAWAB


Fenomena yang menjadi bidang garap keperawatan gerontik adalah tidak
terpenuhinya kebutuhan dasar manusia (KDM) lanjut usia sebagai akibat proses
penuaan.
Lingkup askep gerontik meliputi:
1. Pencegahan terhadap ketidakmampuan akibat proses penuaan
2. Perawatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akibat proses penuaan
3. Pemulihan ditujukan untuk upaya mengatasi kebutuhan akibat proses penuaan
Dalam prakteknya keperawatan gerontik meliputi peran dan fungsinya sebagai
berikut:
1. Sebagai Care Giver /pemberi asuhan langsung
2. Sebagai Pendidik klien lansia
3. Sebagai Motivator
4. Sebagai Advokasi
5. Sebagai Konselor
Tanggung jawab Perawat Gerontik
1. Membantu klien lansia memperoleh kesehatan secara optimal
2. Membantu klien lansia untuk memelihara kesehatannya
3. Membantu klien lansia menerima kondisinya
4. Membantu klien lansia menghadapi ajal dengan diperlakukan secara
manusiawi sampai dengan meninggal.
Sifat Pelayanan Gerontik
1. Independent (layanan tidak tergantung pada profesi
lain/mandiri)
2. Interdependent
3. Humanistik (secara manusiawi)
4. Holistik (secara keseluruhan)
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Keselamatan pasien merupakan upaya untuk melindungi hak setiap orang terutama dalam
pelayanan kesehatan agar memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu dan aman.
Peran-peran perawat dalam mewujudkan patient safety di rumah sakit dapat dirumuskan antara
lain sebagai pemberi pelayanan keperawatan, perawat mematuhi standar pelayanan dan SOP yang
telah ditetapkan; menerapkan prinsip-prinsip etik dalam pemberian pelayanan keperawatan;
memberikan pendidikan kepada pasien dan keluarga tentang asuhan yang diberikan; menerapkan
kerjasama tim kesehatan yang handal dalam pemberian pelayanan kesehatan; menerapkan
komunikasi yang baik terhadap pasien dan keluarganya, peka, proaktif dan melakukan
penyelesaian masalah terhadap kejadian tidak diharapkan; serta mendokumentasikan dengan benar
semua asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarga.
B. SARAN
Adapun saran untuk para perawat yang mengaplikasikannya di lingkungan rumah sakit agar selalu
mengutamakan keselamatan pasien berdasarkan procedure yang telah di tentukan.

DAFTAR PUSTAKA

Cunningham Gary F. Gangguan Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam: Cunningham Gary F, Gant
Norman F, dkk, editor. Williams Obstetri. Ed 21. Jakarta: EGC; 2005. hal 624-73.

Dr. Erwin Santosa, Sp.A. 2015. Kuliah Manajemen Risiko.S2 Kebidanan Stikes ‘Aisyiyah
Yogyakarta.

Departemen Kesehatan R.I. (2006). PANDUAN NASIONAL KESELAMATAN PASIEN


RUMAH SAKIT (Patient Safety).

Hasan, A. B. P. (2006). Psikologi Perkembangan Islam. jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR
1691/MENKES/PER/VIII/2011 TENTANG KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT
DENGAN. (2011)

Anda mungkin juga menyukai