Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN KASUS

Disusun Oleh:

M. Afif Akbar (2015730089) Rizky Pratiwi (2015730115)

M. RizkySetiawan (2015730093) Nurulia R Budianti (2015730105)

Derry Arya Pratama (2015730028) Rosita Hamdiah (2015730138)

M.Ilham Rinaldy (2015730088) Isya Thulrahmi (2015730063)

Toshiya R Setiahadi (2015730128) Syifa Aulia Ahmad (2015730126)

KEPANITERAAN KLINIK STASE OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... i


KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
BAB I LAPORAN KASUS....................................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................ 8
A. Preeklamsia ............................................................................................................ 8
B. Ketuban Pecah Dini .............................................................................................. 34
C. Kehamilan Ganda ............................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................. 53

I
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkat rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus.
Laporan kasus ini kami buat sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik stase
Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih.

Dengan rasa hormat saya juga menyampaikan banyak terima kasih dari
semua pihak atas bantuan, terutama kepada:

1. dr. Edy Purwanta selaku KSMF Departemen Obstetri dan Ginekologi


Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih
2. dr. Anisha selaku dokter yang bertanggung jawab di Ruang Bersalin PKM
Kec. Kemayoran
3. Dan Bidan-bidan yang telah membagikan ilmunya di ruang bersalin PKM
Kec. Kemayoran.

Saya menyadari laporan kasus ini masih ada kekurangan dan masih jauh dari
sempurna, sehingga Saya mohon kritik dan sarannya. Harapannya semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita bersama. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 09 September 2019

Penulis

ii
BAB I
LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien
 Nama : Ny. W
 Usia : 22 tahun
 Alamat : Cempaka Baru III No.20 RT 13/RW 7
 Agama : Islam
 Status : Menikah
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Tanggal Masuk PKM : 31 Agustus 2019
2. Identitas Suami Pasien
 Nama : Tn. B
 Umur : 23 tahun
 Agama : Islam
 Pekerjaan : Karyawan Swasta
 Pendidikan Terakhir : SMA
 Alamat : Cempaka Baru III No.20 RT 13/RW 7

3. Data Subjektif
 Anamnesis
 Keluhan Utama : Pasien hamil 37 minggu G2P1A0 datang
mengeluhkan Keluar air air sejak 1 Jam sebelum masuk
Ruang bersalin Puskesmas Kec.Kemayoran.
 Keluhan Tambahan : Mules (+), Pusing (+), mual (+) ,
muntah (-), sesak (+)
 Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien hamil 37 minggu
G2P1A0 datang mengeluhkan Keluar air air sejak 1 Jam
sebelum masuk Ruang bersalin Puskesmas Kec.Kemayoran
disertai dengan mules mules yang terus menerus. Pasien juga
merasakan adanya sedikit pusing ,merasa sedikit sesak saat
bernapas, dan sedikit mual.

1
 Riwayat Penyakit Dahulu :
Os tidak mengalami sakit seperti ini sebelumnya. riwayat
Asma (-), DM (-), Hipertensi (-).
 Riwayat Penyakit Keluarga
 Di keluarga pasien sebelumnya tidak ada yang
memiliki keluhan yang dirasakan pasien saat ini.
Asma, HT, penyakit jantung,DM, kanker dan
kelainan darah disangkal.
 Riwayat Pengobatan
 Os mengaku sudah pernah meminum obat anti
hipertensi tetapi saat ini obatnya sudah habis.
 Riwayat Alergi
 Os tidak mempunyai riwayat alergi cuaca,os tidak
ada riwayat alergi obat maupun makanan
 Riwayat Psikososial
 OS mengaku jarang olahraga. Pola makan teratur,
sering mengkonsumsi buah dan sayur. Selama hamil
nafsu makan tidak menurun. Tidak meminum
minuman beralkohol, tidak merokok.
 Riwayat Haid
 Menarche : 14 tahun
 Haid : teratur, tidak
ada
keluhan nyeri saat haid
 Siklus : 28 hari
 Lama Haid : 5 - 7 hari
 HPHT : 02 Desember
2018
 Riwayat Menikah
 Pernikahan Pertama, Sudah menikah sejak tahun
2016

2
 Riwayat Obestetri
Tempa Penolon Tahu Aterm Jenis Penyuli JK Bera Keadaan
t g n t t
Klinik Bidan 2017 37 Sponta Tidak Lak 4400 Sehat
n Ada i gr
laki

4. Data Objektif
 Pemeriksaan Umum
 Keadaan umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Tekanan Darah : 180/110 mmHg
 Nadi : 88 x/menit, regular, kuat angkat
 Nafas : 24 x/menit, regular
 Suhu : 36.6 oC suhu Frontal
 BB : 85 cm
 TB : 159 cm
 IMT : 33,6
 Pemeriksaan Fisik Generalis
 Kepala : Normocephali
 Mata :
 Konjungtiva anemis(-/-), sklera ikterik(-/-), edema
palpebra (-)
 Hidung :
 Deviasi septum (-), sekret (-/-), darah (-/-), nyeri
tekan (-)
 Telinga :
 Normotia, nyeri (-/-), sekret (-/-), serumen (-/-),
pendengaran baik
 Mulut :
 Mukosa bibir lembab, lidah tremor (-), faring
hiperemis (-)
 Leher :

3
 Tidak ada pembesaran KGB pada daerah axilla,
leher, JVP tidak meningkat
 Paru :
 Inspeksi : normochest, tidak ada retraksi
dinding dada, pergerakan dinding dada simetris
 Palpasi : vokal fremitus kanan dan kiri
simestris
 Perkusi : Sonor (+/+)
 Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
 Jantung :
 Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : ictus cordis teraba
 Perkusi : Redup
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II murni
regular. Mumur (-), gallop (-)
 Abdomen :
 Inspeksi : striae alba
 Auskultasi : Bising usus dalam batas normal
 Palpasi : nyeri tekan (+) reg. epigastric
 Perkusi : timpani

 Ekstremitas :
 Ektremitas Superior
Akral hangat, edema (-/-), pucat (-), CRT < 2 detik

 Ekstremitas Inferior
Akral hangat, edema (+/+), pucat (-) , CRT < 2 detik

 Status ginekologi :
TFU : 38 cm

4
His : 2x10’/20’’
DJJ : 131xpm, teratur dan 150 xpm, teratur
Inspeksi: Linea Nigra (+), Striae Gravidarum (+).

Palpasi Abdomen
• Leopold I: Teraba 2 bagian bulat lunak di perut atas,
kesan Kepala-Kepala
• Leopold II: Teraba tahanan memanjang seperti papan
di sebelah kanan dan kiri,kesan punggung Kanan-Kiri
janin
• Leopold III: Teraba 2 bagian bulat lunak di perut
bagian bawah, kesan Bokong-bokong
• Leopold IV: Bokong masuk PAP ( Divergen)

Pemeriksaan Dalam
• Vulva : tidak ada kelainan
• Perineum : tidak ada kelainan
• Vagina : tidak ada kelainan
• Portio : tebal lunak
• Pembukaan : 2cm
• Ketuban : (-) warna jernih
• Persentasi : bokong
• Penurunan :-
• Posisi : Sacrum
• Molase :-

 Pemeriksaan penunjang

o Hasil Pemeriksaan laboratortium


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Protein +2 Positif/Negatif Negatif

5
o Hasil USG (19/8/119)
Kesan USG Terakhir : G2P1A0 hamil 35 minggu 3 hari, janin
Hidup Keduanya , Bokong-bokong
Taksiran Berat Janin : Janin 1 (2630gr), Janin 2 (2347gr)
Taksiran Persalinan : 19 – 09 - 2019
 Resume
Pasien hamil 37 minggu G2P1A0 datang mengeluhkan Keluar air
air sejak 1 Jam sebelum masuk Ruang bersalin Puskesmas Kec.Kemayoran
disertai dengan mules mules yang terus menerus. Pasien juga merasakan
adanya sedikit pusing ,merasa sedikit sesak saat bernapas, dan sedikit mual.

Terdapat adanya bengkak dikedua kaki. BB 85 kg, TB 159 cm, TD


180/110 mmHg,HR: 88x/menit, Suhu : 36.6⁰C, RR: 24 xpm. TFU: 38 cm,
His: 2x10’/20’’ , DJJ :131xpm dan 150 xpm, teratur, Linea Nigra (+), Striae
Gravidarum (+). Dan pemeriksaan Protein Urine : +2.

 Diagnosa Kebidanan dan masalah


Ibu : Ny W G2P1A0 hamil 37 minggu dengan PEB dan KPD 1
jam
Bayi : Janin Gemeli, hidup intrauterine, persentasi Bokong
 Rencana Pengobatan
o NON FARMAKOLOGIS
Observasi KU, TTV, DJJ, cek lab dan Melakukan Rujukan ke RS.
o FARMAKOLOGIS
 Infuse RL
 Antihipertensi (Nifedipine)
 MgSO4
 Beri 4 gr MgSO4 40% dilarutkan ke dalam 100 cc RL,
selama 20 menit (60 tpm)
 Beri 6cc gr MgSO4 40% dilarutkan ke dalam 500 cc RL,
selama 6 jam (20 tpm)

6
 Follow Up
Tanggal Perjalanan Penyakit

31/08/2019 • S : Keluar air air sejak 1 Jam


Jam 21.45 yang lalu
• O:
TD: 180/110 mmHg
HR: 88x/m
RR: 24x/m
T: 36.6C
DJJ : 131xpm dan 150 xpm
Cek lab : Protein urine +2
• A : G2P1A0 h 37 mgg dengan
PEB + Gemeli Presentasi
Bokong, janin gemelli hidup
intra uterine
• P:
• Memberitahu pasien dan
keluarga hasil pemeriksaan
• Memberikan obat nifedipine
10mg (oral) dan amoxilin
500mg (Oral)
• Inf RL
• MgSO4 40% 4gr Bolus
• MgSO4 40% 6gr Drip 28 tpm
• Pasang DC
• Melakukan inform consent
Rujukan RS dan persiapan
rujuk serta konfirmasi RS

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Preeklamsia
Definisi
Preeklampsia adalah penyakit yang ditandai dengan adanya hipertensi,
proteinuria dan edema yang timbul selama kehamilan atau sampai 48 jam
postpartum. Umumnya terjadi pada trimester III kehamilan. Preeklampsia
dikenal juga dengan sebutan Pregnancy Incduced Hipertension (PIH)
gestosis atau toksemia kehamilan. Sedangkan menurut Chapman (2006)
preeklampsia adalah merupakan kondisi khusus dalam kehamilan ditandai
dengan peningkatan tekanan darah (TD) dan proteinuria. Bisa berhubungan
dengan kejang (eklampsia) dan gagal organ ganda pada ibu, sementara
komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan abrapsio
plasenta. Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi,
edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini
umumnya terjadi pada triwulan Ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi
sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Preeklampsia dibagi dalam
golongan ringan dan berat (Abdul, dkk, 2006).

Menurut Mansjoer, dkk (2007) preeklampsia adalah timbulnya


hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Kemudian
Preeklampsia menurut Achdiat (2004) adalah suatu sindroma klinis dalam
kehamilan (usia kehamilan > 20 minggu dan / atau berat janin 500 gram)
yang ditandai dengan hipertensi, proteinuria dan edema. Gejala ini dapat
timbul sebelum usia kehamilan 20 minggu bila terjadi penyakit
trofoblastik. Menurut Skenna dan Kappel (2001) dalam Asuhan Kebidanan
Persalinan dan Kelahiran (2006), preeklampsia adalah kondisi khusus
dalam kehamilan, ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan
proteinuria. Bisa berhubung atau berlanjut menjadi kejang (eklampsia),
sementara komplikasi pada janin meliputi restriksi pertumbuhan dan
abrapsio plasenta / solusio plasenta. Preeklampsia didefenisikan sebagai

8
gangguan yang terjadi pada trimester kedua kehamilan dan mengalami
regresi setelah kelahiran, ditandai dengan kemunculan sedikitnya dua dari
tiga tanda utama, yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria

Klasifikasi
Berdasarkan pedoman pengelolaan hipertensi dalam kehamilan di
Indonesia (2005):
1. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg Untuk pertama kalinya
setelah umur kehamilan 20 minggu, tidak disertai dengan proteinuria
dan tekanan darah kembali normal < 12 minggu pasca persalinan.
2. Preeklampsia
Ringan
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg setelah umur kehamilan 20 minggu
disertai dengan proteinuria ≥ 300mg/24 jam atau dipstick ≥ 1+
Berat
Tekanan darah ≥ 160/110 mmHg Setelah umur kehamilan 20 minggu,
disertai dengan proteinuria > 2gr/24 jam atau dipstick ≥ 2+ sampai 4+
3. Eklampsia
Kejang-kejang pada preeklampsia disertai koma
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Timbulnya proteinuria ≥ 300mg/24 jam pada wanita hamil yang sudah
mengalami hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah
kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi Kronik
Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/90 mmHg sebelum kehamilan atau
sebelum kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang 12 minggu pasca
persalinan.

9
Epidemiologi
Preeklampsia merupakan penyebab ketiga terbanyak yang
menyebabkan kematian selama kehamilan setelah perdarahan dan emboli.
Preeklampsia merupakan penyebab pada 790 kematian ibu/100.000
kelahiran hidup.

Morbiditas dan mortalitas terkait dengan disfungsi dari endothelial


sistemik, vasospasme, dan thrombosis pembuluh darah kecil yang akan
mengakibatkan iskemi jaringan dan organ. Wanita ras Afrika-Amerika
memiliki mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita ras kulit
putih. Secara umur mortalitas dan morbiditas semakin meningkat pada
wanita hamil dengan umur muda (<20 tahun) dan wanita hamil dengan
umur > 35 tahun.

Etiologi
Penyebab timbulnya preeklampsia pada ibu hamil belum diketahui
secara pasti, tetapi pada umumnya disebabkan oleh (vasospasme arteriola).
Faktor-faktor lain yang diperkirakan akan mempengaruhi timbulnya
preeklampsia antara lain: primigravida, kehamilan ganda, hidramnion,
molahidatidosa, multigravida, malnutrisi berat, usia ibu kurang dari 18
tahun atau lebih dari 35 tahun serta anemia. sebab preeklampsia dan
eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah banyak teori yang
mencoba menerangkan sebab musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak
ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima
harus dapat menerangkan hal-hal berikut:

(1) primigraviditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola


hidatidosa;

(2) semakin tuanya kehamilan;

(3) terjadinya perbaikan keadaan penderita dengan kematian janin


dalam uterus; dan

(4) timbulnya hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma.

10
Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan
ischaemia rahim dan plasenta (ischemaemia uteroplacentae).Selama
kehamilan uterus memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa,
hydramnion, kehamilan ganda, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga
pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes , peredaran darah dalam
dinding rahim kurang, maka keluarlah zat-zat dari plasenta atau desidua
yang menyebabkan vasospasmus dan hipertensi. Tetapi dengan teori ini
tidak dapat diterangakan semua hal yang berkaitan dengan penyakit
tersebut. Ternyata tidak hanya satu faktor yang menyebabkan pre-
eklampsia dan eklampsia.

Dalam teori dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab


preeclampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi, dengan teori ini tidak
dapat diterangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit itu.Ada
banyak faktor yang menyebabkan preeklampsia dan eklampsia. Diantara
faktor-faktor yang ditemukan sering kali sudah ditentukan mana yang sebab
dan mana yang akibat. Dan sampai saat ini, apa yang menjadi penyebab
preeklampsia dan eklampsia belum diketahui, telah banyak teori yang
mencoba menerangkan sebab-musabab penyakit tersebut, akan tetapi tidak
ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. Penyebab
preeklampsia belum diketahui sampai sekarang secara pasti, bukan hanya
satu faktor melainkan beberapa faktor dan besarnya kemungkinan
preeklampsia akan menimbulkan komplikasi yang dapat berakhir dengan
kematian. Akan tetapi untuk mendeteksi preeklampsia sedini mungkin
dengan melalui antenatal secara teratur mulai trimester I sampai dengan
trimester III dalam upaya mencegah preeklampsia menjadi lebih berat.
Sampai sekarang etiologi preeklampsia belum diketahui. Membicarakan
patofisiologinya tidak lebih dari “mengumpulkan” temuan-temuan
fenomena yang beragam. Namun pengetahuan tentang temuan yang
beragam inilah kunci utama suksesnya penanganan preeklampsia sehingga
preeklampsia/eklampsia disebut sebagai the disease of many theories in
obstetrics. Adapun teori-teori tersebut antara lain:

1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

11
Pengeluaran hormone ini memunculkan efek “perlawanan” pada
tubuh.Pembuluh-pembuluhdarah menciut, terutama pembuluh darah
kecil, akibatnya tekanan darah meningkat. Organ-organ pun akan
kekurangan zat asam. Pada keadaan yang lebih parah, bisa terjadi
penimbunan zat pembeku darah yang ikut menyambut pembuluh darah
pada jaringan-jaringan vital.
2. Peran Faktor Immunologi
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul
lagi pada kehamilan berikutnya.Hal ini dapat di bahwa pada kehamilan
pertama pembentuk blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna, yang semakin sempurna pada kehamilan berikutnya.
3. Peran Faktor Genetik
Beberapa bukti yang menunjukkan peran faktor genetik pada kejadian
Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia
b. Terdapatnya kecenderungan meningkatnya frekuensi preeclampsia-
eklampsia pada anak-anak dari ibu yang menderita preeclampsia-
eklampsia
c. Kecenderungan meningkatnya frekuensi preeklampsia-eklampsia
pada anak dan cucu ibu hamil dengan riwayat preeklampsia-
eklampsia dan bukan pada ipar mereka
d. Peran Renin Angiotensin Aldosteron System (RAAS).
Penderita pada tahap preeklampsia hendaknya mau dirawat
dirumah sakit untuk memudahkan pemantauan kondisi ibu dan janin.
Pemantauan meliputi fungsi ginjal lewat protein urinenya dan juga fungsi
hati. Menu makanan sehari-hari pun perlu diperhatikan. Yang pasti
konsumsi garam harus dikurangi, sedangkan buah-buahan dan sayuran
diperbanyak.

Faktor Risiko
Setiap wanita hamil memiliki risiko untuk mengalami penyakit
akibat kehamilan, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko

12
tersebut. Menurut Sarwono (2006), faktor yang berhubungan dengan
terjadinya preeclampsia yaitu faktor usia dan paritas. Beberapa faktor yang
memiliki hubungan dengan terjadinya preeklampsia adalah faktor
pengetahuan, usia, paritas, riwayat preeklampsia, genetik dan pemeriksaan
kehamilan (ANC). Walaupun penyebab preeklampsia belum dapat
dipastikan, namun beberapa faktor berikut ini memiliki hubungan dengan
terjadinya preeklampsia.

Faktor risiko preeklampsia adalah:

a. Usia

Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida


tua. Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat.
Pada wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang
menetap.

b. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua,


primigravida tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.

c. Faktor Genetik

Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita,


faktor risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif
(recessive trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti
bahwa preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini
lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia.
Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.

d. Diet/gizi

Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).


Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian
yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang
obese/overweight.

13
e. Tingkah laku/sosioekonomi

Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun


merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan
janin terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau
istirahat baring yang cukup selama hamil mengurangi
kemungkinan/insidens hipertensi dalam kehamilan.

f. Hiperplasentosis

Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan


kembar, dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

g. Mola hidatidosa

Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia.


Pada kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia
kehamilan muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai
dengan pada preeklampsia.

h. Obesitas

Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya


preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 menjadi 13,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.

i. Kehamilan multiple

Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan


ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu
kematian ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan
sebagai faktor penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung
Supriandono dan Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus
preeklampsia berat mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada
kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.

14
Patofisiologi
1. Teori Kelainan Vaskularisasi Plasenta

Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterina dan arteria ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus miometrium berupa arteri arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang
arteria radialis. Arteria radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis dan
arteri basalis memberi cabang arteria spiralis.

Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
ke dalam Iapisan otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskular, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan "remodeling arteri spiralis".

Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan "remodeling arteri spiralis",
sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia
plasenta. Dampak iskemia plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang
dapat menjelaskan patogenesis HDK selanjutnya.

Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklampsia rata-rata 2OO mikron. Pada hamil normal
vasodilatasi lumen arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero

15
plasenta.

2. Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel

o Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas


Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam


kehamilan terjadi kegagalan "remodeling arteri spiralis", dengan akibat plasenta
mengalami iskemia.
Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas).
Oksidan atau radikal bebas
adalah senyawa penerima elektron atau atom/molekul yang mempunyai elektron
yang tidak berpasangan.
Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta
iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khususnya terhadap membran
sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan pada manusia adalah
suatu proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlindungan
tubuh. Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai
bahan toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan
disebut "roxaemia".

Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung banyak


asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain akan
merusak membrane sel, juga akan merusak nucleus, dan protein sel endotel.
Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu diimbangi
dengan produksi antioksidan.

Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan.
Pada


hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan, khususnya
peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misal vitamin E pada
hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar oksidan
peroksida lemak yang relatif tinggi.
Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal
bebas yang sangat toksis ini akan beredar di seluruh rubuh dalam aliran darah dan
akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah mengalami
kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan

16
aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak
jenuh sangar rentan terhadap oksidan radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi
peroksida lemak.

o Disfungsi sel endotel

Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi


kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membran sel endotel.
Kerusakan membran sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut "disfungsi
endotel" (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfungsi sel endotel, maka akan terjadi:

-Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endotel, adalah
memproduksi prostaglandin, yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2):
suatu vasodilatator kuat. 


-Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.


Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan endotel
yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi tromboksan (TXA2)
suatu vasokonstriktor kuat.
Dalam keadaan normal perbandingan kadar
prostasiklin/tromboksan lebih tinggi kadar prostasiklin (lebih tinggi vasodilatator).
Pada preeklampsia kadar tromboksan lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga
terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan tekanan darah. 


-Perubahan khas pada sel endotel kapilar glomerulus (glomerular endotheliosis).

-Peningkatan permeabilitas kapilar. 


-Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO


(vasodilatator) menurun, sedangkan endotelin (vasokonstriktor) meningkat. 


-Peningkatan faktor koagulasi. 


3. Teori Intoleransi Imunologik antara ibu dan janin

17
Dugaan bahwa faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti dengan fakta sebagai berikut.

. Primigravida mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan


jika dibandingkan dengan multigravida.

. Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar
terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang
sebelumnya.

. Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi dalam kehamilan.
Lamanya periode hubungan seks sampai saat kehamilan ialah makin lama periode
ini, makin kecil terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya "hasil
konsepsi" yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte antigen
protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respons imun, sehingga
si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK) ibu.

Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas ke dalam
jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi
trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu, di samping untuk menghadapi sel Natural
Killer. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-
G. Berkurangnya HLA-G di desidua daerah plasenta, menghambat invasi trofoblas
ke dalam desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi
lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinya dilatasi arteri spiralis. HLA-
G juga merangsang produksi sitikon, sehingga memudahkan terjadinya reaksi
inflamasi. Kemungkinan terjadi Immune Maladaption pada preeklampsia.

Pada awal trimester kedua kehamilan perempuan yarrg mempunyai


kecenderungan teriadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi Helper Sel yang
lebih rendah di- banding pada normotensif.

4. Teori adaptasi kardiovaskular

18
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan
bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menirnbulkan respons vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter
pembuluh darah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya
sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa
daya refrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang bila diberi prostaglandin
sintesa inhibitor (bahan yang menghambat produksi prostaglandin). Prostaglandin
ini di kemudian hari ternyata adalah prostasiklin.

Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan


vasokonstriktor, dan ternyata terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
hilang sehingga pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan vasopresor.
Banyak peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada rrimester I
(pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi hipertensi
dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh minggu. Fakta
ini dapat dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

5. Teori Genetik

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu
lebih me- nentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami preeklampsia, 26 % anak perempuannya akan mengalami preeklampsia
pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeclampsia.

6. Teori Defisiensi Gizi (Teori diet)

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi


berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan.

Penelitian yang penting yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian

19
tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu sebelum pecahnya Perang
Dunia II. Suasana serba sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang
menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan.

Penelitian terakhir membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan, termasuk


minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko preeklampsia. Minyak ikan
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang dapat menghambat produksi
tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan mencegah vasokonstriksi
pembuluh darah.

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk memakai


konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam
mencegah preeklampsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini
berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.

Beberapa peneliti juga menganggap bahwa defisiensi kalsium pada diet


perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia/eklampsia.
Penelitian di Negara Equador Andes dengan metode uji klinik, ganda tersamar,
dengan membandingkan pemberian kalsium dan plasebo. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ibu hamil yang diberi suplemen kalsium cukup, kasus yang
mengalami preeklampsia adalah 14 % sedang yang diberi glukosa 17 %.

7. Teori Stimulus Inflamasi

Teori ini berdasarkan fakta bahwa lepasnya debris trofoblas di dalam


sirkulasi darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa
proses apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif.

Bahan-bahan ini sebagai bahan asing yang kemudian merangsang


timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih
dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam batas normal.
Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, di mana pada preeklampsia
terjadi peningkatan stres oksidatif, sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik

20
trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada
plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stres oksidatif akan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga makin meningkat. Keadaan
ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respons inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endotel, dan sel-sel makrofag/granulosit, yang lebih besar pula,
sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbuikan gejala-gejala
preeklampsia pada ibu.

Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklampsia akibat


produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas, mengakibatkan
"aktivitas leuko- sit yang sangat tinggi" pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh
Redman disebut sebagai "kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intravaskular
pada kehamilan" yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh.

Perubahan organ pada Preeklampsia


1. Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.
Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat
endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah
keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau
perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut
hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.

Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien


hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien
preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas
normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.
2. Perubahan Kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia


dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata
dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang

21
secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan
aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.

3. Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh
pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus
arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi
bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada
preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan
merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini
biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15
wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang
dikemukakan oleh Cunningham (1995).
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.
4. Paru
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia
dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh
kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada
beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan
cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan
tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai
pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.
5. Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas
hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar
aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali
serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta. Pada
penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan sonografi
Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan
besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada

22
lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul
hepar dan membentuk hematom subkapsular.
6. Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat
cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus
menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah
pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan
perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat,
terutama pada wanita dengan penyakit berat.
Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan
sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya
volume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan
dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus
preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat
meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga
2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal
yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard (1984)
dalam Cunningham (2005).
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan
retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan
bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin
karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat
reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.
Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi
natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga
retensi air.
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria.
Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah
melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang
diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1
atau lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24
jam pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif

23
memiliki nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick
urin +3 atau +4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36%
kasus.
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi
yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan
pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987)
dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada
tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan
menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,
globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh
glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya
proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi
kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.
7. Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang
normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker
(1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan yang
sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan pada 15-
20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia
dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen
yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya
plasenta sebelum waktunya (placental abruption).
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke
normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa
menetap selama seminggu.

24
8. Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron
meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke
kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,
sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses
penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam
darah.
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik
atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan
meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada
normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi
vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum
diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit,
peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume
plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal
tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak
dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak
mengalami perubahan.

9. Plasenta dan Uterus


Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada
hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat
kurangnya oksigenisasi untuk janin.
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering
terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus

25
prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua
masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat
mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang
pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis
arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi
malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen
vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang
bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta

Klasifikasi
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia
Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+
dipstick
 Edema: edema lokal tidak dimasukkan ke dalam kriteria preeklampsia,
kecuali edema pada lengan, muka, dan perut, edema generalisata.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam.
 Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)
 Gangguan fungsi hati.

26
 Pertumbuhan janin terhambat.
 Sindrom HELLP.

Penatalaksanaan
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.
1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan
aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada
ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga
bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan
volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan
kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi
glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan
ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi
vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah
rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim.
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda,
berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang
mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila
komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi
cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein,
rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak
diberikan obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal. Apabila

27
preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka
dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.

Rawat inap
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria
selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia
berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan
amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi
dengan bagian mata, jantung dan lain lain.
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan, bila perlu memperpendek kala II.

2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat
untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut
sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan
kehamilan.
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi
plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress
baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.

28
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap
penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan
sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa :
nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan.
Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria,
pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG
dan NST.
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap
penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap
terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi)
setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.
Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang
penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita
preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema
paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi
faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah
hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan
onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring
input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin)
menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat
berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi
tanda tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang
diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah
tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi
dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria
terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam ds2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak

29
kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet
yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
Pemberian obat antikejang
MgSO4
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan
897 penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium
sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk
antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram
im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

30
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena
50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

Diuretikum
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.
Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut
off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126
mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan
diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan
mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat
bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni
pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.

31
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg
iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.

Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik
(akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia
berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan
pada sindrom HELLP.
Sikap terhadap kehamilannya
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.

32
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan
bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.
Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat

33
Komplikasi
Komplikasi terberat kematian pada ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsi. Komplikasi yang biasa
terjadi :

1. Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi


2. Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara
berkala.
3. Nekrosis hati, akibat vasospasmus arteriol umum.
4. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis,elevated liver enzymes dan low
platelet.
5. Kelainan ginjal
6. DIC.
7. Prematuritas, dismaturitas, kematian janin intra uterine

B. Ketuban Pecah Dini

Definisi
Ketuban Pecah Dini ( amniorrhexis – premature rupture of the membrane
PROM ) adalah pecahnya selaput korioamniotik sebelum terjadi proses
persalinan. Secara klinis diagnosa KPD ditegakkan bila seorang ibu hamil
mengalami pecah selaput ketuban dan dalam waktu satu jam kemudian tidak
terdapat tanda awal persalinan, dengan demikian untuk kepentingan klinis
waktu 1 jam tersebut merupakan waktu yang disediakan untuk melakukan
pengamatan adanya tanda-tanda awal persalinan. Bila terjadi pada kehamilan
< 37 minggu maka peristiwa tersebut disebut KPD Preterm (PPROM = preterm
premature rupture of the membrane - preterm amniorrhexis.
Pengertian KPD menurut WHO yaitu Rupture of the membranes before the
onset of labour. Hacker (2001) mendefinisikan KPD sebagai amnioreksis
sebelum permulaan persalinan pada setiap tahap kehamilan. Sedangkan
Mochtar (1998) mengatakan bahwa KPD adalah pecahnya ketuban sebelum in

34
partu, yaitu bila pembukaan pada primi kurang dari 3 cm dan pada multipara
kurang dari 5 cm. Hakimi (2003) mendefinisikan KPD sebagai ketuban yang
pecah spontan 1 jam atau lebih sebelum dimulainya persalinan.Sedangkan
menurut Yulaikah (2009) ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum
terdapat tanda persalinan, dan setelah ditunggu satu jam belum terdapat tanda
persalinan. Waktu sejak ketuban pecah sampai terjadi kontraksi rahim disebut
ketuban pecah dini (periode laten). Kondisi ini merupakan penyebab persalinan
premature dengan segala komplikasinya

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu, yaitu bila
pembukaan pada primi kurang dari 3 dan pada multipara kurang dari 5cm.
Ada juga yang disebut ketuban pecah dini preterm yakni ketuban pecah saat
usia kehamilan belum masa aterm atau kehamilan dibawah 38 – 42 minggu.
Arti klinis ketuban pecah dini :
1. Bila bagian terendah janin masih belum masuk pintu atas panggul maka
kemungkinan terjadinya prolapsus tali pusat atau kompresi tali pusat
menjadi besar
2. Peristiwa KPD yang terjadi pada primigravida hamil aterm dengan bagian
terendah yang masih belum masuk pintu atas panggul sering kali
merupakan tanda adanya gangguan keseimbangan foto pelvik.
3. KPD sering diikuti dengan adanya tanda – tanda persalinan sehingga dapat
memicu terjadinya persalinan preterm.
4. Peristiwa KPD yang berlangsung lebih dari 24 jam (prolonged rupture of
membrane) seringkali disertai dengan infeksi intrauterin.
5. Peristiwa KPD dapat menyebabkan oligohidramnion dan dalam jangka
panjang kejadian ini akan dapat menyebabkan hilangnya fungsi amnion
bagi pertumbuhan dan perkembangan janin.

Epidemiologi

Ketuban Pecah Dini merupakan suatu komplikasi kehamilan sekitar 10%


kehamilan aterm dan 4% kehamilan preterm. Angka kejadian KPD di dunia
mencapai 12,3% dari total persalinan. Sebagian besar KPD terjadi di negara

35
berkembang Asia. Insidens KPD di Indonesia sebanyak 12% (Riskerdas,2010).
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Ketuban pecah dini
dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm dan pada kehamilan midtrester.
Frekuensi terjadinya sekitar 8%, 1 – 3 %, dan kurang dari 1 %. Secara umum
insidensi KPD terjadi sekitar 7 – 12 % (Chan, 2006). Insidensi KPD kira – kira
12 % dari semua kehamilan (Mochtar, 1998), sedangkan menurut Rahmawati
2011 insidensi KPD adalah sekitar 6 – 9 % dari semua kehamilan.

Etiologi

Penyebab KPD menurut Manuaba 2009 dan Morgan 2009 meliputi :

1. Inkompetensia serviks

Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-


otot leher atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga
sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan
desakan janin yang semakin besar. Serviks smemiliki suatu kelainan anatomi
yang nyata, yang bisa disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks sehingga memungkinkan
terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa
kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan
penonjolan dan robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.2

2. Peningkatan tekanan inta uterin


Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :
a. Trauma : hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada
kehamilan gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga
menimbulkan adanya ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi
karena jumlahnya berlebih, isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput

36
ketuban ) relative kecil sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan
sehingga mengakibatkan selaput ketuban tipis dan mudah pecah.6

3. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi
dan menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan
selaput ketuban, manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang, tipis, dan
kekuatan membrane menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah
pecah.6

4. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000 mL.
uterus dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak.
Hidramnion kronis adalah peningkatan jumlah cairan amnion terjadi secara
berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan
uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja.2

5. Kelainan letak

Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah.2

6. Penyakit infeksi
.Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
ascenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya KPD. Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama
ketuban pecah dini. Membrana khorioamniotik terdiri dari jaringan
viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka
jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya
aktivitas enzim kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan

37
pada persalinan preterm dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus
mikroorganisme yang sering menyebabkan amnionitis.3
7. Riwayat KPD sebelumnya.

Patofisiologi

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi


uterus dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu
terjadi perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh,
bukan karena seluruh selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis
dan degenerasi ekstraseluelr matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan
katabolisme kolagen menyebabkan aktivasi kolagen berubah dan menyebabkan
selaput ketuban pecah.

Dua belas hari setelah ovum dibuahi, terbentuk suatu celah yang dikelilingi
amnion primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah tersebut melebar dan
amnion disekelilingnya menyatu dengan mula-mula dengan body stalk kemudian
dengan korion yang akhirnya menbentuk kantung amnion yang berisi cairan
amnion. Cairan amnion , normalnya berwarna putih , agak keruh serta mempunyai
bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini mempunyai berat jenis 1,008 yang
seiring dengan tuanya kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi 1,010. Asal
dari cairan amnion belum diketahui dengan pasti , dan masih membutuhkan
penelitian lebih lanjut. Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion sementara
teori lain menyebutkan berasal dari plasenta. Dalam satu jam didapatkan perputaran
cairan lebih kurang 500 ml. Volume air ketuban pada kehamilan cukup bulan adalah
1000 – 1500 cc.

Amnion atau selaput ketuban merupakan membran internal yang


membungkus janin dan cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan.
Selaput amnion melekat erat pada korion (sekalipun dapat dikupas dengan mudah).
Selaput ini menutupi permukaan fetal pada plasenta sampai pada insertio tali pusat
dan kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali pusat yang tegak lurus hingga
umbilikus janin. Sedangkan korion merupakan membran eksternal berwarna putih

38
dan terbentuk dari vili – vili sel telur yang berhubungan dengan desidua kapsularis.
Selaput ini berlanjut dengan tepi plasenta dan melekat pada lapisan uterus.

Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup bulan
sekitar 1000 – 1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas, agak manis,
terdiri dari 98% - 99% air, 1- 2 % garam anorganik dan bahan organik (protein
terutama albumin), runtuhan rambut lanugo, verniks kaseosa, dan sel – sel epitel
dan sirkulasi sekitar 500cc/jam.

Fungsi cairan amnion

1. Proteksi : Melindungi janin terhadap trauma dari luar


2. Mobilisasi : Memungkinkan ruang gerak bagi bayi
3. Hemostatis : Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (Ph)
4. Mekanik : Menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauteri

39
5. Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan
steril sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir

Mekanisme KPD menurut Manuaba 2009 antara lain :

1. Terjadinya premature serviks.


2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi
yang mencegah enzim proteolitik dan enzim kolagenase.

Patogenesis

Penelitian terbaru mengatakan KPD terjadi karena meningkatnya apoptosis


dari komponen sel dari membran fetal dan juga peningkatan dari enzim protease
tertentu. Kekuatan membran fetal adalah dari matriks ekstraselular amnion.
Kolagen interstitial terutama tipe I dan tipe III yang dihasilan dari sel mesenkim
juga penting dalam mempertahankan kekuatan membran fetal.

Matriks metalloprotease (MMP) adalah kumpulan proteinase yang terlibat


dalam remodeling tissue dan degenerasi kolagen. MMP – 2, MMP – 3, dan MMP
– 9 ditemukan dengan konsentrasi tinggi pada kehamilan dengan ketuban pecah
dini. Aktivasi protease ini diregulasi oleh tissue inhibitor of matrix metalloprotease
(TIMPs). TIMPs ini pula rendah dalam cairan amnion pada wanita dengan ketuban
pecah dini. Peningkatan enzim protease dan penurunan inhibitor mendukung bahwa
enzim ini mempengaruhi kekuatan membran fetal.

Selain itu terdapat teori yang mengatakan meningkatnya marker – marker


apoptosis dimembran fetal pada ketuban pecah dini berbanding dengan membran
pada kehamilan normal. Banyak penelitian yang mengatakan aktivitas aktivitas

40
degenerasi kolagen dan kematian sel yang membawa kelemahan pada dinding
membran fetal.

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


laboratorium.

1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan
seperti urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita
merasa basah dari vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak dari jalan
lahir.
 Inspeksi  Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina,
bila ketuban baru pecah, dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini
akan makin jelas.

1. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan
dalam seperti vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan
yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang
dinilai adalah

 Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari
serviks. Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari
amnion yang khas juga harus diperhatikan.
 Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung
diangnosis KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien
untuk batuk untuk memudahkan melihat pooling
 Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.
Kertas lakmus akan berubah menjadi biru jika PH 6 – 6,5. Sekret vagina
ibu memiliki PH 4 – 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi perubahan
warna. Kertas nitrazin ini dapat memberikan positif palsu jika
tersamarkan dengan darah, semen atau vaginisis trichomiasis.

41
2. Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar
dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari
forniks posterior.

Cairan diswab dan dikeringkan diatas gelas


objek dan dilihat dengan mikroskop. Gambaran
“ferning” menandakan cairan amnion.

3. Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea, dan


stretococcus group B.

42
Pemeriksaan Lab

1. Pemeriksaan alpha – fetoprotein (AFP), konsentrasinya tinggi didalam


cairan amnion tetapi tidak dicairan semen dan urin
2. Pemeriksaan darah lengkap dan kultur dari urinalisa
Pemeriksaan USG

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan ketuban dalam


kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedikit
(Oligohidramnion atau anhidramnion). Oligohidramnion ditambah dengan hasil
anamnesis dapat membantu diagnosis tetapi bukan untuk menegakkan diagnosis
rupturnya membran fetal. Selain itu dinilai amniotic fluid index (AFI), presentasi
janin, berat janin, dan usia janin.

Penatalaksanaan

1. Konservatif
Rawat di rumah sakit, berikan antibiotik (ampisilin 4x500mg atau eritromisin bila
tidak tahan dengan ampisilin dan metronidazol 2 x 500mg selama 7 hari). Jika umur
kehamilan kurang dari 32 – 34 minggu, dirawat selama air ketuban masih keluar.
Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa
negatif berikan dexametason, observasi tanda – tanda infeksi, dan kesejahteraan
janin. Terminasi pada usia kehamilan 37 minggu. Jika usia kehamilan 32 – 37
minggu, sudah inpartu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol),
deksametason, dan induksi setelah 24 jam. Jika usia kehamilan 32 – 37 minggu, ada
infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi, nilai tanda – tanda infeksi (suhu,
leukosit, tanda – tanda infeksi intrauterin). Pada usia kehamilan 32 – 37 minggu
berikan steroid untuk kematangan paru janin, dan bila memungkinkan periksa kadar
lesitin dan spingomietin tiap minggu. Dosis betametason 12mg sehari dosis tunggal
selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam selama 4 kali.

2. Aktif
Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitoksin. Bila gagal seksio sesarea.
Bila tanda – tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan terminasi persalinan.

43
Bila skor pelvik < 5, lakukan pematangan pelviks, kemudian induksi. Jika tidak
berhasil lakukan seksio sesarea. Bila skor pelviks > 5 lakukan induksi persalinan.

Komplikasi

Persalinan Prematur

Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan. Periode


laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam 24 jam
setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu persalinan dalam 24
jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1 minggu.7

Infeksi

Resiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini. Pada ibu
terjadi korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis.

44
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada Ketuban Pecah
Dini prematur, infeksi lebih sering daripada aterm. Secara umum insiden infeksi
sekunder pada Ketuban Pecah Dini meningkat sebanding dengan lamanya periode
laten.7

• Komplikasi Ibu:
- Endometritis
- Penurunan aktifitas miometrium (distonia, atonia)
- Sepsis (daerah uterus dan intramnion memiliki vaskularisasi sangat
banyak)
- Syok septik sampai kematian ibu.
• Komplikasi Janin
- Asfiksia janin
- Sepsis perinatal sampai kematian janin

Gambar. Infeksi intrauterin progresif pasca ketuban pecah dini pada


kehamilan prematur

Hipoksia dan Asfiksia

Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali pusat


hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat
janin dan oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, janin semakin gawat.7

45
Sindrom Deformitas Janin

Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan pertumbuhan


janin terhambat, kelainan disebabkan oleh kompresi muka dan anggota badan janin
serta hipoplasi pulmonary.7

Gambar. Deformitas Janin

Pencegahan

Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama


kehamilan usaha untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat badan yang
cukup selama hamil, anjurkan pasangan agar menghentikan koitus pada trimester
akhir.

Prognosis

Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :

• Usia kehamilan
• Adanya infeksi / sepsis
• Factor resiko / penyebab
• Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan

Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat


kehamilan, lebih sedikit bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun,

46
umumnya bayi yang lahir antara 34 dan 37 minggu mempunyai komplikasi
yang tidak serius dari kelahiran premature.

47
C. Kehamilan Ganda
Kehamilan Ganda adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih
intrauterin. Kehamilan ganda dapat didefinisikan sabagai suatu kehamilan
dimana terdapat dua atau lebih embrio atau janin sekaligus.
Janin kembar umumnya terjadi akibat pembuahan dua ovum yang
berbeda yaitu kembar ovum-ganda, dizigotik, atau franteral.

• insiden : 1;250 kehamian


• Jenis Kelamin Janin : Sama (Kecualli non-disjunction meiotic, misalnya
xo,xy)
• Pembuahan : 1 sperma 1 telur

Mekanisme Pembentukan Kembar Monozigotik

48
Plasenta Pada Kehamilan Ganda

Faktor-faktor Predisposisi Kehamilan Ganda


Faktor ras
Frekuensi kelahiran janin multiple memperlihatkan variasi yang nyata diantara
berbagai ras yang berbeda. Myrianthopoulos (1970) mengidentifikasi kelahiran
ganda terjadi 1 diantara 100 kehamilan kehamilan pada orang kulit putih,
sedangkan pada orang kulit hitam 1 diantara 80 kehamilan (Cunningham,
2000). Pada kawasan di Afrika, frekuensi terjadinya kehamilan ganda sangat
tinggi. Knox dan Morley (1960) dalam suatu survey pada salah satu masyarakat
pedesaan di Nigeria, mendapatkan bahwa kehamilan ganda terjadi sekali pada
setiap 20 kelahiran, kehamilan pada orang Timur atau Oriental tidak begitu
sering terjadi. Perbedaan ras yang nyata ini merupakan akibat keragaman pada
frekuensi terjadinya kehamilan kembar dizigot. Perbedaan kehamilan ganda ini
disebabkan oleh perbedaan tingkat Folikel Stimulating Hormone yang akan
mengakibatkan multiple ovulasi (Winkjosastro, 2000)

Hereditas/keturunan
Sebagai faktor penentu pembentukan kembar, riwayat keluarga pihak ibu jauh
lebih penting daripada riwayat pihak ayah (Myles, 2009). Sebagai penentu
kehamilan ganda genotip ibu jauh lebih penting dari genotip ayah. White dan

49
Wyshak (1964) dalam suatu penelitian terhadap 4000 catatan mengenai jemaat
gereja kristus orang-orang kudus hari terakhir, menemukan bahwa para wanita
yang dirinya sendiri dizigot dengan frekuensi 1 per 58 kelahiran. Namun,
wanita yang bukan kembar tapi mempunyai suami kembar dizigot, melahirkan
bayi kembar dengan frekuensi 1 per 116 kehamilan. Lebih lanjut, dalam analisis
Bulmer (1960) terhadap anak-anak kembar, 1 dari 25 (4%) ibu mereka ternyata
juga kembar, tetapi hanya 1 dari 60 (1,7%) ayah mereka yang kembar,
keterangan didapatkan bahwa salah satu sebabnya adalah multiple ovulasi yang
diturunkan (Cristina, 2001).

Usia ibu dan paritas


Frekuensi pembentukan meningkat dari nol saat pubertas, yaitu saat aktivitas
ovarium minimal, sehingga puncaknya pada usia 37 tahun, saat terjadi stimulasi
maksimal hormon yang meningkatkan angka ovulasi ganda (Myles, 2009).
Untuk peningkatan usia sampai sekitar 40 tahun atau paritas sampai dengan 7,
frekuensi kehamilan ganda akan meningkat. Kehamilan ganda dapat terjadi
kurang dari sepertiga pada wanita 20 tahun tanpa riwayat kelahiran anak
sebleumnya, bila dibandingkan dengan wanita yang berusia diantara 35 sampai
40 tahun dengan 4 anak atau lebih. Di Swedia, Petterson dkk (1976),
memastikan peningkatan yang nyata pada angka kehamilan ganda yang
berkaitan dengan meningkatnya paritas. Dalam kehamilan pertama, frekuensi
janin kembar adalah 1,3% dibandingkan dengan kehamilan keempat sebesar
2,7% (Cunningham, 2005).

Faktor gizi
Dalam sebuah uji coba klinis acak tentang suplementasi asam folat
perikonsepsi, mendapatkan bahwa wanita yang mendapat suplementasi asam
folat yang mengalami peningkatan insiden gestasi multiple (Myles, 2009).
Nylander (1971) mengatakan bahwa peningkatan kehamilan ganda berkaitan
dengan status nutrisi yang direfleksikan dengan berat badan ibu. Ibu yang lebih
tinggi dan berbadan besar mempunyai resiko hamil ganda sebesar 25-30%
dibandingkan dengan ibu yang lebih pendek dan berbadan kecil. McGillivray

50
(1986) juga memaparkan bahwa kehamilan dizigotik lebih sering ditemui pada
wanita berbadan besar dan tinggi dibandingkan pada wanita pendek dan
bertubuh kecil (Cristina, 2001).

Gonadotropin hipofisis
Faktor umum yang mengaitkan ras, usia, berat, dan kesuburan dengan gestasi
multiple mungkin adalah kadar FSH, hal ini disebabkan oleh pelepasan
mendadak gonadotropin fipofisis dalam jumlah yang lebih besar daripada
biasanya selama daur spontan pertama setelah penghentian kontrasepsi
(Cunningham, 2006).

Terapi kesuburan
Induksi ovulasi dengan menggunakan obat hormonal gonadotropin ( FSH plus
gonadotropin korionk ) atau klomifen secara nyata meningkatkan kemungkinan
ovulasi multiple. Faktor resiko terbentuknya janin multiple setelah stimulasi
ovarium dengan hormon gonadotropin menopause manusia antara lain
meningkatkan kadar estradiol pada hari penyuntikan gonadotropin korionik dan
sifat sperma seperti peningkatan konsentrasi dan motilitas (Cunningham,
2006). Insiden kehamilan ganda seiring penggunaan gonadotropin sebesar 16-
40%, 75% kehamilan dengan dua janin (Schenker & co-workers, 1981). Tuppin
dkk (1993) melaporkan dari Prancis, insiden persalinan gemelli dan triplet
terjadi karena induksi ovulasi dengan terapi human menopause gonadotropin
(hMG). Induksi ovulasi meningkatkan insiden kehamilan ganda dizigotik dan
monozigotik (Mochtar, 2000).

Faktor assisted reproductive technology (ART)


Teknik ART didesain untuk meningkatkan kemungkinan kehamilan, dan juga
meningkatkan kemungkinan kehamilan ganda. Pasien pada kasus ini,
pembuahan dilakukan melalui teknik fertilisasi in vitro dengan melakukan
seleksi terhadap ovum yang benar-benar berkualitas baik, dan dua dari empat
embrio ditransfer kedalam uterus. Pada umumnya, sejumlah embrio yang

51
ditransfer kedalam uterus maka sejumlah itulah akan berisiko kembar dan
meningkatkan kehamilan ganda (Winkjosastro, 2000).

52
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat. Jakarta:


PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
2. Witin, Anuncia Gertrudis. 2013. Penanganan Anemia dalam Kehamilan. FK
Universitas Hasanuddin, Bagian Obstetri dan Ginekologi.
3. Williams Obstetrics, Twenty-Fourth Edition Copyright © 2014 by
McGraw-Hill Education. ISBN 978-0-07-179893-8
4. PNPK Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia 2016
5. Pengurus besar POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi,
bagian 1, Balai penerbit FKUI, 2003, hal 70-71.
6. Rosa C. 2001. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles
for Practice, McGraw-Hill. New York, America: 388-395
7. Rustam, Mochtar. 1998 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri
Patologi). Edisi 2. EGC. Jakarta.
8. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran
Bandung. 1982. Obstetri Patologi,. Penerbit : Elstar Offset. Bandung
9. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. Dalam Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan.
Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir.
Edisi Keempat. Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2009. hal 677-82.
10. Manuaba.I.B.G. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan
Obstetri Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 – 225.
11. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds)
Pengantar Kuliah Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan.
Ketuban Pecah Dini. Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp
456-60.
12. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of
Membranes. Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diunduh
dari http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.
13. Cunningham Gary F, Leveno J Kenneth , Bloom L Steven , Hauth C John
, III Gilstrap Larry , Wenstrom D Katharine . Williams Obstetrics Edisi
22.2005 .
14. Saifudin, Abdul B. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan
Maternal & Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

53
15. Saifuddin, Abdul B 2010. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.

54

Anda mungkin juga menyukai