Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pemahaman terhadap Islam sebagai suatu objek kajian ilmiah tentu
saja merupakan suatu langkah yang niscaya, dalam kenyataannya, bahkan
umat Islam sudah merealisasikannya dalam bentuk pencarian ilmu-ilmu
keislaman, baik melalui pesantren, sekolah maupun studi perguruan tinggi.
Di Indonesia, kegiatan-kegiatan studi keislaman memang dapat kita
jumpai dengan mudah. Namun, kini muncul tuntutan yang serius untuk
meningkatkan kualitasnya. Pemahaman yang berkualitas terhadap Islam
dipandang sangat berpengaruh terhadap keberagaman umat Islam, khususnya.
Pengembangan mata kuliah metodologi Studi Islam bisa jadi
merupakan respons terhadap tuntutan tersebut. Faktor metodologi dalam
kajian dipersepsi sebagai kata kunci yang dapat meningkatkan kualitas
pengkajian. Anggapan ini merupakan suatu hal yang logis. Karena, selama ini
studi keislaman lebih banyak bersifat substansif.
Banyak sekali pembahasan dalam metodologi studi Islam, pada
kesempatan ini kami akan beberapa hal yakni tentang “Doktrin Kepercayaan
dalam Islam: Allah, Wahyu, Rasul, Manusia, Alam Semesta, dan Eskatologi”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep Islam tentang iman kepada Allah ?
2. Bagaimana konsep Islam tentang wahyu dan kenabian ?
3. Bagaimana konsep Islam tentang manusia ?
4. Bagaimana konsep Islam tentang Alam semesta ?
5. Bagaimana konsep Islam tentang eskatologi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Menjelaskan Islam tentang iman kepada Allah.
2. Untuk Menjelaskan Islam tentang wahyu dan kenabian .
3. Untuk Menjelaskan Islam tentang manusia.
4. Untuk Menjelaskan Islam tentang Alam semesta.
5. Untuk Menjelaskan Islam tentang eskatologi.

D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini
adalah metode library research dan internet research. Yang mana penulis

1
menggunakan buku-buku dari perpustakaan dan internet sebagai bahan
referensi dimana penulis mencari literatur yang sesuai dengan materi yang
dikupas dalam makalah ini dan penulis menyimpulkan dalam bentuk makalah.

2
BAB II
PEMBAHASAN
DOKTRIN KEPERCAYAAN DALAM ISLAM
A. Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah doktrin utama dalam Islam yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Ia adalah dimensi ta’abudi yang terkait dengan petunjuk dan
pertolongan Allah atas hamba-Nya. Tanpa hidayah dari Allah, akan sulit bagi
siapa pun untuk dapat mempercayai-Nya.
Terminologi iman tidak hanya sekadar kepercayaan dan pengakuan akan
adanya Allah, tetapi mencakup dimensi pengucapan dan perbuatan (tashdiq bi al-
qalb wa qaul bi al-lisan wa afal bi al-jawa-. Keyakinan atau pengakuan merupakan
gerbang pertama keimanan. Keyakinan itu adanya di hati. Ia merupakan bentuk
pengakuan yang sungguh-sungguh tentang kebenaran adanya Allah Yang Maha
Esa. Keyakinan ini, selanjutnya diikuti dengan suatu pernyataan lisan dalam
bentuk melafalkan dua kalimah syahadat: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."
Dua unsur iman, keyakinan dan pernyataan lisan, disempurnakan oleh
unsur yang ketiga, yaitu perbuatan ('amal). Unsur ketiga menunjukkan bahwa
iman itu memerlukan perbuatan atau kerja yang nyata. Dengan demikian, orang
yang mengaku beriman kepada Allah tidak cukup dengan adanya keyakinan akan
adanya Allah yang selanjutnya diucapkan dengan lisan, tetapi harus sampai pada
bentuk-bentuk pengamalan segala ajaran-Nya.
Dalam doktrin keimanan ini, kita menemukan beberapa doktrin lain yang
dinyatakan dalam Al-Qur'an: Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan
segala makhluk mengabdi dan meminta pertolongan. Oleh karena itu, doktrin
Islam menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, Pemelihara, Penguasa, dan
Pemberi rezeki kepada hamba-Nya.
Konsekuensi logis dari iman kepada Allah adalah keharusan mengimani
ajaran Allah dan segala yang datang dan bersumber dari Allah, seperti mengimani
malaikat Allah, kitab-kitab Allah, hal-hal yang gaib seperti hari Kiamat, alam
kubur, surga dan neraka.

3
Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan
itu benar-berar ada. Sebagai contoh, berikut ini dike-mukanan ayat-ayat yang
mendukung pernyataan tersebut. 1
‫ ل ل ه‬٦٢ ‫شييييءء ووك كيييلل‬
‫هييۥ‬ ‫ل و‬ ‫ى ك هيي ل‬
‫ى‬ ‫شيييي ءء ووههييوو ع ول ويي‬ ‫ل و‬ ‫خل كقه ك هيي ل‬‫ه ىو‬ ‫ٱلل ل ه‬
‫ت ٱلللييهك أ هوال لوىكئيي و‬
‫ك‬ ‫فهروا ا ب ‍كاَي ىو ك‬
‫ن كو و‬ ‫ض ووٱل ل ك‬
‫ذي و‬ ‫ت ووٱيلأ وير ض ض‬‫موىو ك‬ ‫س ىو‬
‫قاَكليد ه ٱل ل‬ ‫م و‬
‫و‬
٦٣ ‫ن‬ ‫سهرو و‬ ‫خ ك‬ ‫ي‬
‫م ٱل ىو‬ ‫هه ه‬
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.
Kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-
orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang
yang merugi”. (Q.S. al-Zumar [39]: 62-63)
‫ه إلل ههييءوو ع ىول كيي ه ي‬
‫شييهىود وءضة ههييوو‬ ‫م ٱلغو يي يي ك‬
‫ب ووٱل ل‬ ‫ذي ول إ كل ىويي و ك‬‫ه ٱل ليي ك‬
‫ههييوو ٱلل ليي ه‬
٢٢ ‫م‬ ‫حي ه‬‫ن ٱللر ك‬ ‫م ه‬ ‫ٱللريح ىو‬
Artinya: “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.
Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia-lah Yang Maha
Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hayr [59]: 22)

B. Konsep Islam tentang Wahyu dan Kenabian


1. Pengertian
Secara etimologis Nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan, atau
dari kata na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah seorang
yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. dengan memberinya berita
(wahyu). Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan Allah
Swt. terhadap salah seorang dari hamba-Nya dengan memberinya wahyu.
Sedang arti terminologis Nabi adalah manusia biasa yang mendapatkan
keistimewaan menerima wahyu dari Allah Swt. Di antara para Nabi ada yang
diamanatkan untuk menyampaikan wahyu yang diterimanya, kepada umat
manusia. Nabi yang demikian itu disebut Rasul.
Dalam ajaran Islam, beriman kepada para Rasul dan para Nabi
adalah salah satu dari enam rukun iman. Al-Qur’an surah Al-Baqarah [2]:
177 mengatakan2:

1
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Rremaja
Rosdakarya, 2009), h.113-114
2
Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2011), h.157

4
‫و‬
‫ق‬ ‫ي‬
‫م يييرك ش ك‬ ‫ل ٱيل و‬ ‫جيييوهوك ه يم قكب وييي و‬ ‫س ٱيلب كيييلر أن ت هوول ليييوا ا وه ه‬ ‫۞ل ل ييي يي و‬
‫ل‬
‫خييرك‬ ‫ن كبي ٱلل لهك ووٱيلي ويييوم ك ٱيلأ ك‬ ‫مي و‬ ‫مييين وءا و‬ ‫ن ٱيلب كييلر و‬ ‫ب وول ىوك كيي ل‬ ‫ميغرك ك‬ ‫ووٱيل و‬

‫حب لهكييۦ‬ ‫ى ه‬ ‫ميياَ و و‬
‫ل ع وليي ى‬ ‫ن وووءات وييى ٱيل و‬ ‫ب ووٱلن لييب ك‍ و‬
‫ي‬
‫مل لوىئ كك وةك ووٱلك كت ىو ك‬ ‫ووٱيل و‬
‫ل‬ ‫سييكبي ك‬ ‫نب ٱل ل‬ ‫ن وو يييٱ ي و‬ ‫كي و‬ ‫سيي ك‬ ‫م ىو‬ ‫ى ووٱيل و‬ ‫ميي ى‬ ‫ى ووٱيلي وت ىو و‬ ‫قيروبيي ى‬ ‫ذ وكوي ٱيل ه‬
‫صييل ووىة و وووءاوتييى‬ ‫و‬
‫م ٱل ل‬ ‫ب ووأوقيياَ و‬ ‫ن ووكفيييِ ٱللروقيياَ ك‬ ‫سييائ ككلي و‬ ‫ووٱل ل‬
‫ٱلزك ووة و وٱيلموهفون بعيهده يم إوذا ع ىوهيي ء‬
ِ‫ن فكييي‬ ‫ري و‬ ‫صييب ك ك‬ ‫دواا ووٱل ىل‬ ‫و ه‬ ‫و كو ك ك ك‬ ‫ل ى و ه‬
‫صييد وهقوءاا‬ ‫ن و‬ ‫ذي و‬ ‫س أ هوال لوىئ كيي و‬
‫ك ٱل ليي ك‬ ‫حييي ي ي‬
‫ن ٱلب وييأ ض ض‬ ‫ضلراكء وو ك و‬ ‫ساكء ووٱل ل‬
‫ي‬
‫ٱيلب وأ و‬
١٧٧ ‫ن‬ ‫قو و‬ ‫م ٱيل ه‬
‫مت ل ه‬ ‫ك هه ه‬ ‫ووأ هوال لوىئ ك و‬
Artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu
suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah
beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-
kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir
(yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya);
dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.”
2. Tugas Kenabian dan Hubungannya terhadap Wahyu
Di antara para Nabi ada yang diamanatkan untuk menyampaikan
wahyu atau risalah yang dibawanya. Dengan kata lain menyampaikan wahyu
yang diturunkan oleh Allah Swt merupakan salah satu pokok dari tugas Rasul.
Berikut ini adalah rinciannya3:
a. Sebagai penyampai syariat rabbani kepada manusia (QS Al-Maidah [5]: 67
dan QS Al-Ahzab [33]: 38).

3
Ibid, . . h. 161

5
b. Menjelaskan makna nas yang diturunkan kepada umat (QS Al-Nahl [16]:
44).
c. Menuntun umat kepada kebaikan dan mewanti-wanti mereka agar
menghindari keburukan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah dalam
sabdanya yang diriwayatkan oleh Muslim yang artinya sebagai berikut:
“Tidak ada seorang Nabi pun sebelumku kecuali diharuskan untuk
menuntun dan menunjukkan kebaikan pada umatnya, apa yang diajarkan
kepada mereka dan memperingatkan akan kejahatan yang diajarkan
kepada mereka’’.

C. Konsep Islam tentang Manusia


1. Pengertian manusia dalam al-Qur’an
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada
pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur'an 27 kali. Kata basyar menunjuk
pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis (QS Ali ‘Imrân [3]: 47)
tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis manusia, seperti makan,
minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalam Al-Qur’an yang dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama al-insan dihubungkan dengan
khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzâb [33]: 72), kedua al-insan
dihubungkan dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat
keluh kesah, kikir (QS Al Ma’arij [70]: 19-21) dan ketiga al-insan
dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur materi dan
nonmateri (QS Al- Hijr [15]: 28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk
pada sifat-sifat manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 kali dalam Al-Qur’an mengacu
kepada manusia sebagai makhluk sosial dengan karakteristik tertentu misalnya
mereka mengaku beriman padaha sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]: 8).
Sebuah pertanyaan yang harus kita tanamkan betul-betul ke dalam
lubuk hati kita masing-masing ‘‘untuk apa diciptaka' manusia?'. Semua sudah
tahu jawabannya, bahwa manusia ini datang dari Allah yang menciptakan dan
yang mengatur serta mengurus kehidupan ini. Dialah yang mengetahui segala

6
rahasia apa yang dibalik penciptaan-Nya itu. Allah Swt. berfirman dalam Al-
Qur’anul Karim:
٥٦ ‫ن‬ ‫س إ كلل ل كي ويعب ه ه‬ ‫ي‬ ‫ت ٱيل ك‬
‫خل ويق ه‬
‫دو ك‬ ‫ن ووٱلكإن و‬
‫ج ل‬ ‫ماَ و‬
‫وو و‬
Artinya: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Az-Zariyat [51]: 56)
Kata “Abdi” berasal dari kata bahasa Arab yang artinya
memperhambakan diri, ibadah (mengabdi/memperhambakan diri). Manusia
diciptakan oleh Allah agar ia beribadah kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini
tidak sesempit pengertian ibadah yang dianut oleh masyarakat pada umumnya,
yakni kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji tetapi seluas pengertian
yang dikandung oleh kata memperhambakan diri menjadikan dirinya sebagai
hamba (budak) Allah. Berbuat sesuai dengan kehendak dan kesukaan (rida)
Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya.4

D. Konsep Islam tentang Alam Semesta


Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang
mendukung keberadaan Tuhan. Pertama, paham yang mengatakan bahwa
alam semesta ini ada dari yang tidak ada (creatio ex-nihilo). Ia terjadi dengan
sendirinya. Kedua, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal
dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga, paham yang mengatakan bahwa
alam semesta itu ada yang menciptakan.
Teori pertama tampaknya sudah sangat tidak relevan. Ia dapat ditolak
dengan teori sebab-akibat (causality theory). Menurut teori kausalitas, adanya
sesuatu itu disebabkan adanya sesuatu yang lain. Dengan demikian, menurut
teori ini, alam semesta tidak terjadi dengan sendirinya tetapi melalui proses
penciptaan, yang karenanya tentu ada yang menciptakan.
Al-Farabi, dengan teori pancaran (emanasi)-nya, mengatakan bahwa
alam semesta ini adalah hasil pancaran dari wujud kesebelas atau akal
kesepuluh. Jika diurut secara vertikal, maka akal kesepuluh itu secara
hierarkis adalah kelanjutan dari akal-akal sebelumnya, yang berawal dari akal
pertama. Akal pertama (first intelligence) adalah sebab pertama (prima

4
Ibid, . . . h.142-143

7
causa). Ia merupakan wujud pertama (al-wujud al-awwal) yang melahirkan
wujud-wujud berikutnya. Wujud pertama itu adalah Tuhan.
Selain al-Farabi, Ibnu Sina membangun sebuah teori yang disebut
teori wujud (filsafat wujud). Teori wujud dibangun dalam upaya
membuktikan eksistensi Tuhan. Menurut teori ini, sifat wujud lebih penting
dari sifat-sifat lainnya, meskipun sifat esensi (mahiyah) sendiri. Esensi,
menurutnya, terdapat pada akal sedangkan wujud berada di luar akal. Wujud
menjadikan esensi vang berada di dalam akal mempunyai kenyataan di luar
akal. Oleh karena itu, masih menurut teori ini, esensi itu ada yang mustahil
berwujud (mumtani' al-wujud), ada yang mungkin berwujud (mumkin al-
wujud) atau tidak mungkin berwujud {gair mumkin al-wujud), dan ada pula
yang mesti berwujud (wajib al-wujud). Dalam wajib al-wujud, esensi tidak
mungkin berpisah dari wujud. Wajib al-wujud adalah Tuhan yang terjadi
dengan sendirinya. Oleh karena itu, Tuhan itu mesti adanya. Adapun yang
mustahil wujud, mungkin wujud, dan tidak mungkin wujud adalah setiap
selain Tuhan.
Terhadap teori kedua yang mengatakan bahwa alam semesta ini
berasal dari sel, melihatnya sebagai teori yang lebih sesat daripada teori
pertama. Menurutnya, sel tidak mungkin mampu menyusun dan
memperindah sesuatu seperti yang terjadi pada struktur alam semesta.
Umpamanya, aspek gender dan tata surya.
Adapun teori ketiga yang mengatakan bahwa alam semesta ada yang
menciptakan adalah teori yang bersesuaian dengan pemikiran akal yang sehat.
Oleh karena itu, ia, baik secara 'aql maupan naql dapat diterima. Masalah
yang kemudian muncul dari teori ketiga ialah: siapakah yang menciptakan
alam semesta ini? Menurut doktrin Islam, yang hal ini pun menjadi akidah
dan keyakinan umat Islam, pencipta alam semesta ini ialah Tuhan. Jawaban
itu membawa kepada pengertian bahwa Tuhan itu ada.
Ada beberapa argumen yang mendukung keabsahan teori ketiga, di
antaranya argumen kosmologis seperti yang sudah dibicarakan terdahulu,
argumen ontologis, argumen teleologis, argumen moral, dan argumen
epistimologis.

8
Ontologis mulai dikembangkan oleh Plato (428-348 SM). Dalam
kajian ontologis, segala sesuatu yang ada di alam ini mempunyai idea. Idea
adalah konsep universal dari setiap sesuatu. Manusia, umpamanya,
mempunyai konsep universal atau idea.
Idea itu merupakan hakikat sesuatu. Ia merupakan dasar adanya
sesuatu. Ia berada di alam tersendiri, yaitu alam idea yang bersifat kekal.
Idea-idea itu tidak berdiri sendiri, tetapi bersatu pada idea tertinggi yang
disebut Idea Kebaikan atau The Absolute Good, yaitu Yang Maha Mutlak
Baik. Ia adalah sumber, tujuan, dan sebab dari segala yang ada. Dia itulah
Tuhan.
Alam semesta ini adalah teleologis, artinya diatur menurut tujuan-
tujuan tertentu. Alam dalam pandangan teleologis tersusun dari bagian-bagian
yang satu sama lain erat sekali hubungannya. Bagian-bagian yang saling
berhubungan itu bergerak dan berkerja sama atau berevolusi menuju tujuan
tertentu. Tujuan tertentu itu ialah kebaikan alam secara totalitas. Penggerak
alam sehingga rerevolusi adalah zat yang maha sempurna, zat yang lebih
tinggi dari alam itu sendiri. Zat inilah yang disebut Tuhan.
Dalam Al-Qur'an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa
Tuhan itu benar-berar ada. Sebagai contoh, berikut ini dike-mukanan ayat-
ayat yang mendukung pernyataan tersebut5.
‫ ل ل ه‬٦٢ ‫كيلل‬
‫هييۥ‬ ‫شييءء وو ك‬ ‫ل و‬‫ى كه ل‬ ‫و‬
‫شيي ءء وووههوو ع ول ى‬ ‫ل و‬ ‫خل كقه ك ه ل‬ ‫ه ىو‬‫ٱلل ل ه‬
‫ت ٱلل لييهك‬‫فييهروا ا ب ك‍ اَي ىو ك‬
‫ن كو و‬‫ذي و‬ ‫ت ووٱيلأير ض ض‬
‫ض ووٱل ليي ك‬ ‫موىو ك‬ ‫س ىو‬ ‫قاَكليد ه ٱل ل‬ ‫م و‬
‫و‬
٦٣ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ى‬ ‫ه‬
‫سهرو و‬ ‫خ ك‬
‫م ٱل ىو‬ ‫أوالئ كك هه ه‬
Artinya: “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala
sesuatu. Kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan
bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah,
mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Q.S. al-Zumar [39]:
62-63)
‫ه إلل ههءوو ع ىول ك ه ي‬
‫شهوىد وءضة ههوو‬ ‫م ٱلغويي ك‬
‫ب ووٱل ل‬ ‫ذي ول إ كل وى و ك‬ ‫ه ٱل ل ك‬‫ههوو ٱلل ل ه‬
٢٢ ‫م‬ ‫حي ه‬
‫ن ٱللر ك‬ ‫م ه‬ ‫ٱللريح ىو‬
Artinya: “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dia-lah

5
Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT Rremaja
Rosdakarya, 2009), h.111-113

9
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”. (Q.S. al-Hayr
[59]: 22)

E. Konsep Islam tentang Eskatologi


1. Pengertiaan Eksatologi
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud
dengan “eskatologi” adalah ilmu tentang akhir riwayat/ kehidupan
manusia; ilmu kematian manusia.6 Dalam dunia islam kita kenal berbagai
macam riwayat (al-Qur’an & hadits )yang membicarakan tentang
kehidupan setelah mati.
Adapun yang menjadi landasan dalam memotret dan
mengklasifikasikan persoalan esskatologi ini adalah berdasarkan konsep
eskatologi islam secara umum. Eskatologi islam secara sederhana
diklasifikasikan menjadi dua bagian: akhir dunia dan akhirat. Dalam
kontek akhir dunia, pembahasan eskatologi islam tertuju pada konsep
mengenai kiamat. Namun sebelum kiamat ini, dikenal pula sosok
eskatologi (eschatological figures) islam, yaitu : Ya’juj dan Ma’juj, Imam
mahdi, Dajjal, dan Isa. Sedangkan dalam kontek akhirat, pembahasannya
tertuju pada konsep hari kebangkitan, konsep pengadilan, serta konsep
surga dan neraka.
Dalam pembahasan akhirat ini, sebagian besar ahli tafsir juga
menyebutkan detail mengenai kepercayaan kepada Alam barzakh (alam
antara) antara kematian, kebangkitan, dan pengadilan akhir. Terkait dengan
konsep kematian, terdapat indikasi didalam al-Qur’an bahwa pengalaman
dan wujud eksistensial manusia terdiri dari dua kematian dan dua
kehidupan. Kematian pertama iaah masa sebelum manusia dilahirkan,
sedang kematian yang kedua adalah kematian manusia setelah manusia
dilahirkan. Adapun kehidupan pertama adalah kehidupan di dunia, sedang
kehidupan kedua adalah kehidupan di akhirat. Kematian pertama, karena
terkesan mitologis,dan bukan merupaknan rangkaian kehidupan, maka

6
Budiono, Kamus Populer Internasional ( Surabaya: Alumni, 2005) hal.162

10
tidak termasuk dalam bidaang garapan eskatologi. Begitulah agaknya
gambaran umum tentang eskatologi islam.7
Hal ini sebagimana yang ditulis antara lain oleh William J.
Hamblin dan Daniel C. Peterson, Toshihiko Izutsu, H.P. Owen, dan Cyril
Glasse. Dari semua sumber acuan teoritis ini, penulis mengklasi-
fikasikannya menjadi :
a. Kematian;
b. Alam barzakh;
c. Hari kiamat; dan
d. Surga dan Neraka
2. Konsep – konsep eskatoogi Islami
Pembahasan mengenai kematian tanpaknya tidak bisa semata-mata
didekati oleh sebuah konsep/ranah rasional-ilmiah. Ada sebuah ungkapan
menarik yang menyatakan “Dan akhirnya ada suatu teka-teki penuh
dengan rasa kesakitan,yaitu teka-teki mati. Teka-teki itu tidak ada obatnya
pada waktu ini, dan kiranya tidak akan obatnya di kelak kemudian hari.”
(Sigmund Freud) bila hanya mengandalkan rasionalitas atau indrawi, akan
“gagal” mengkonsepsikan kematian.
Islam, dalam hal ini Al-Qur’an, memiliki seperangkat argumen
untu merespon pandangan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya.
Namun, respon Al-Qur’an ini tidaklah diperuntukkan bagi keseluruhan
masyarakat arab jahiliyah. Sebab, melalui syair-syair yang masih
terpelihara sampai kini,ada indikasi kuat yang menunjukkkan bahwa
sebagian diantara mereka telah beriman kepada Allah dan menerima
doktrin kebangkitan kembali. Jadi, yang menjadi sasaran Al-Qur’an adalah
mereka yang hanya benar-benar tidak mengakui doktrin akhir, atau yang
dalam istilah Toshihiko izutsu yang menganut doktrin nihilisme. Dengan
demikian, sejak masa-masa awal, Al-Qur’an sebetulnya telah mengajukan
berbagai argument untuk membungkam para pengingkar doktrin akhir.
Fazlur Rahman mengeksplorasi, paling tidak, tiga argument dimaksud :
Pertama, bahwa Allah telah menciptakan bumi dan segala bentuk
kehidupan yang bjumlahnya tidak terhitung atau tidak diketahui, sehingga

7
Sibawai, Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Islamika, 2004 ) h.21

11
hal ini direnungkan, berarti Allah dapat pula menciptakan manusia yang
baru dan bentuk kehidupan lain yang tidak pula diketahui.
Kedua, Sebagaimana menciptakan percikan api dari kayu – kayuan
hijau ( yang basah) Allah dapat pula membuat mati dan hidup secara
bergantian,yang kelihatannya mustahil karena dihasilkan dari sesuatu yang
berlawanan. Hal ini, terbukti bahwa Dia menciptakan siang dan
malam,silih berganti,seperti yang diperbuat-Nya terkait dengan
kebangkitan dan kejatuhan bangsa-bangsa. Jika kedua fenomena tersebut
adalah “alami” hingga tak perlu dipersoalkan, maka fenomena kebangkitan
kembali dan penciptaan bentuk-bentuk kehidupan yang baru, harus pula
dipandang sebagai kenyataan yang ‘Alami’.
Ketiga, contoh yang khas yang diberika Al-Qur’an tentang
fenomena tersebut, bumi yang menjadi subur di musim semi setelah ia
‘mati’ di musim salju.
Rahman dalam hal ini telah melakukan eksplorasi yang bersifat
deskriptif-analistis. Akan tetapi ini sebenarnya belum merangkum semua
argument yang diajukan Al-Qur’an. Dinilah tampaaknya Al-Ghozali
melengkapinya. Al –Ghozali mempunyai tiga argument yang kiranya luput
dari pantauan Rahman, yaitu :
Pertama, bahwa sanya Al-qur’an menantang para pengingkar untuk
memikirkan sesuatu yang kelihatan sangat mustahil tetapi bagi Allah
sangat mudah diwujudkan. Tantangan semacam ini sudah sering
disampaikan melalui berbagai konteks, dan selalu terbukti akan
kebenarannya. Kedua, kekuasaan Allah tidak dapat terelakkan yaitu
dengan mampu membuat Ashhab al-kahf hidup selam ratusan tahun. Hal
ini memberi kesan bahwa apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi.
Ketiga, mengembalikan sesuatu yang sudah ada sebelumnya pada
dasarnya tidaklah berbeda dengan memulai sesuatu untuk yang kedua
kalinya.
Dengan demikian, ada proses saling melengkapi antara kedua
tokoh dalam upaya-upaya menggali argument-argument Al-Qur’an untuk
menjelaskan eksistensi kehidupan akhirat. Jadi, penjelasan ini menyiratkan
suatu konsep “sunnatullah“ bahwa kematian dan kehidupan merupakan

12
proses yang terjadi secara alami menurut kehendak- Nya. Jika demikian
halnya, maka tentu kematian dan kehidupan adalah dua hal yang tidak
dapat dipisahkan. 8

8
http://www.tongkronganislami.net/2015/11/pengertian-eskatologi-dalam-
islam.html#ixzz46UozO2vU Di akses pada: jum’at, 22 April 2016 pukul 03:15

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iman kepada Allah adalah doktrin utama dalam Islam yang tidak dapat
ditawar-tawar lagi. Ia adalah dimensi ta’abudi yang terkait dengan petunjuk
dan pertolongan Allah atas hamba-Nya. Tanpa hidayah dari Allah, akan sulit
bagi siapa pun untuk dapat mempercayai-Nya.
Secara etimologis Nabi berasal dari kata na-ba artinya ditinggikan,
atau dari kata na-ba-a artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah
seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah Swt. dengan memberinya
berita (wahyu). Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan atau pemilihan
Allah Swt. terhadap salah seorang dari hamba-Nya dengan memberinya
wahyu.
Istilah kunci yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada
pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang
mendukung keberadaan Tuhan. Pertama, paham yang mengatakan bahwa alam
semesta ini ada dari yang tidak ada (creatio ex-nihilo). Ia terjadi dengan
sendirinya. Kedua, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal
dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga, paham yang mengatakan bahwa
alam semesta itu ada yang menciptakan.
Dalam kamus bahasa Indonesia disebutkan bahwa, yang dimaksud
dengan “eskatologi” adalah ilmu tentang akhir riwayat/ kehidupan manusia;
ilmu kematian manusia.

B. Saran
Makalah ini mungkin sangat jauh dari kata sempurna. Untuk itu
penulis selalu mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekalian, agar
menjadi masukan dan perbaikan bagi penulis sehingga kedepannya makalah
ini menjadi lebih baik.

14
DAFTAR PUSTAKA

Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT
Rremaja Rosdakarya. 2009.

Budiono. Kamus Populer Internasional Surabaya: Alumni. 2005.

Didiek Ahmad Supadie dan Sarjuni. Pengantar Studi Islam. (Jakarta: PT Grafindo
Persada. 2011.

http://www.tongkronganislami.net/2015/11/pengertian-eskatologi-dalam-
islam.html#ixzz46UozO2vU Di akses pada: jum’at. 22 April 2016
pukul 03:15

Sibawai. Eskatologi Al Ghozalidan Fazlur Rahman. Yogyakarta: Islamika. 2004.

15

Anda mungkin juga menyukai