Peneliti PKSK
Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur
kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama yang menjadikan wakaf itu
unik adalah ketika wakaf ditunaikan terjadilah pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah
subhaanahu wa ta’ala. yang diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui
wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat
Upaya mengkaji ulang dan merevitalisasi peranan dan fungsi lembaga wakaf terus berlangsung di
berbagai negara, termasuk Indonesia, agar wakaf menjadi lebih produktif dan memiliki nilai ekonomis
selain nilai ibadah. Revitalisasi ini sekaligus menandakan terjadinya pergeseran paradigma
pengembangan wakaf, yang selama ini lebih banyak diorientasikan pada sarana ibadah—mesjid dan
mushalla (73%), pendidikan (13,3%) dan sisanya untuk tujuan sosial (makam dan sosial lainnya), menuju
upaya pemanfaatan berbagai barang yang memiliki muatan ekonomi produktif. Dalam tataran
praktisnya, wakaf dikembangkan ke dalam bentuk pemanfaatan alat produksi dan ekonomi, seperti
uang, saham, obligasi (sukuk) dan instrumen lainnya. Pemanfaatan alat produksi dan ekonomi ini tentu
saja memerlukan dukungan dari lembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan syari’ah (LKS)
1
Perubahan paradigma ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, terutama untuk mengetahui, “bagaimana
arah pengembangan wakaf produktif” dengan paradigma baru tersebut? dan “apakah peranan LKS
Studi ini bertujuan untuk : (i) menghitung potensi wakaf produktif, khususnya wakaf uang di
Indonesia, dengan pendekatan spatial (regional); (ii) mengkaji upaya pengembangan wakaf produktif di
Indonesia.; dan (iii) mengkaji peranan sektor keuangan dalam mendorong pengembangan wakaf
produktif di Indonesia.
terutama untuk menentukan/menghitung potensi wakaf produktif (wakaf uang) dengan memperhatikan
TINJAUAN LITERATUR
Ada empat peristiwa inspiratif dalam awal-awal sejarah Islam, yang seringkali dijadikan sebagai
landasan untuk pengembangan kerangka hukum wakaf (Sabit, 2006). Pertama, donasi tanah oleh Nabi
Muhammad (saw) untuk membangun Masjid Quba', setelah hijrah ke Madinah; Kedua, sumbangan
rumah (sumur yang dibeli oleh Khalifah Utsman r.a.), yang digunakan oleh masyarakat, termasuk dirinya
sendiri, untuk air minum dan kebutuhan rumah tangga; Ketiga, donasi kebun oleh Talha kepada
kerabatnya setelah menerima saran dari Nabi Muhammad (saw); dan Keempat, donasi Umar ibn al-
Khattab (r.a) berupa tanah yang paling berharga di Khaybar atas saran dari Nabi Muhammad (saw) agar
menahan tanah itu dan mendedikasikan buah (hasilnya) untuk tujuan amal. Berdasarkan peristiwa-
peristiwa tersebut, para ahli hukum Islam (fuqaha) membangun teori tentang wakaf. Peristiwa-peristiwa
1
tersebut secara menyeluruh ditafsirkan dengan menetapkan wakaf untuk tujuan keagamaan, kebutuhan
Definisi Wakaf
Secara bahasa (etimologis), istilah ‘wakaf’ berasal dari kata waqf, yang bisa bermakna al-habsu
(menahan) atau menghentikan sesuatu atau berdiam di tempat (Sabiq, 2009 dan al-Kabisi, 2004),
sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan wakaf adalah Tahbisul Ashl wa Tasbiilul
Manfa’ah, yang berarti “menahan suatu barang dan memberikan manfaatnya: (al-Ustaimin, 2005).
Sementara secara hukum, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf. Perbedaan
definisi ini terjadi karena perbedaan mazhab yang dianut, baik dari segi kelaziman dan ketidaklaziman,
syarat pendekatan dalam masalah wakaf maupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan.
Jenis Wakaf
Secara umum, wakaf dibagi menjadi dua, yaitu waqf khairi (semata-mata untuk amal) dan waqf
zurri (wakaf keluarga). Waqf khairi dikelompokkan menjadi dua yaitu wakaf umum untuk tujuan amal
tanpa menentukan motif, kondisi (syarat) dan mauquf’alaih-nya (beneficiaries), dan wakaf khusus untuk
tujuan amal dengan menentukan motif, kondisi (syarat) dan mauquf’alaih-nya (beneficiaries). Pada
waqf zurri, manfaat wakaf adalah untuk tujuan keluarga. Namun sejumlah ulama menganggap jenis ini
adalah bid’ah dan tidak sesuai dengan aturan-aturan Shariah (Shakor, 2011).
1
Disamping itu, wakaf juga bisa dikelompokkan menjadi waqf musytarak dan waqf irsad. Waqf
musytarak adalah wakaf kombinasi antara waqf khairi dan waqf zurri. Artinya, bagian dari manfaat
yang berasal dari wakaf didedikasikan untuk kepentingan keluarga dan sebagian lain untuk publik. waqf
musytarak merupakan bagian dalam waqf istibdal dan waqf share. Sementara waqf irsad adalah
bentuk lain dari wakaf yang dibentuk oleh otoritas atau pemerintah yang berasal dari sumbangan harta
Baitulmal sebagai wakaf, baik harta bergerak atau tidak bergerak (Shakor, 2011). Ada dua harta yang
bisa diserahkan yaitu yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan dan yang bergerak, seperti uang
dan saham. Untuk harta tak bergerak, para fuqaha bersepakat tentang legitimasinya karena memenuhi
prinsip-prinsip wakaf, yaitu permanen. Ini didasarkan pada wakaf yang dilakukan Rasulullah SAW dan
Karakteristik Wakaf
Dalam pandangan fikih, dengan merujuk pada definisi wakaf, sedikitnya ada tiga karakteristik
utama wakaf yang telah disepakati oleh para fuqaha, yaitu (Sabit, 2005 dan Ismail, 2011):
1. tidak dapat dibatalkan (irrevocability), berarti bahwa wakaf setelah keluar dari kepemilikan wakif,
2. langgeng, terus-menerus, atau lestari (perpetuity). Istilah langgeng atau selamanya (perpetuity)
3. tidak dapat dicabut (inalienability). Konsep wakaf yang tidak dapat dicabut
(inalienability)
1
Komponen Wakaf
(i) waqif, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uangnya untuk tujuan wakaf (amal);
(ii) kontrak wakaf (waqfieh), yaitu pernyataan wakif tentang penyerahan harta atau dana sebagai
wakaf;
(iii) penerima manfaat (mawquf 'alaih), yaitu orang atau daerah yang menjadi tujuan amal. Dengan
kata lain, orang-orang atau daerah lain boleh menerima keuntungan dari hasil wakaf;
(iv) properti/harta (mawquf), yaitu aset atau dana yang diserahkan sebagai tujuan amal wakaf; dan
(v) mutawalli, orang atau lembaga yang ditugaskan sebagai perwalian (custodian) hukum atas
mawquf yang bukan miliknya untuk mempertahankan donasi sesuai dengan kontrak wakaf. Untuk
Harta wakaf ditahan untuk meningkatkan manfaat dan hasilnya dalam merealisasikan tujuaan
yang ditentukan oleh wakif. Oleh karena itu upaya pemberdayaan harta wakaf dan investasinya agar
lebih produktif dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi umat telah menjadi pemikiran para
fuqaha sejak lama1. Dalam literatur wakaf dikenal dua bentuk pembiayaan wakaf, yakni model
pembiayaan harta wakaf tradisional (klasik) dan model pembiayaan harta wakaf kontemporer.
1 Para fuqaha menyebut upaya ini dengan istilah pembangunan wakaf (imaratul waqf). Pembangunan
wakaf ini juga mencakup pengembangan wakaf dan penambahan modal wakaf.
1
Model pembiayaan klasik pada umumnya dibagi menjadi 5 (lima) cara, yaitu (Qahaf, 2005): (i)
wakaf dengan menambah wakaf baru; (ii) pembiayaan wakaf dengan meminjamkan wakaf; (iii)
pembiayaan wakaf dengan menukar wakaf (istibdal); (iv) pembiayaan wakaf dengan menjual hak
monopoli wakaf; dan (v) pembiayaan wakaf dengan membuat penyewaan ganda harta wakaf (ijaratain
fi al-waqf).
Dalam model ini pembiayaan pembangunan/pengembangan wakaf dibagi menjadi tiga Sabit,
2005; dan Abdul Karim, 2010a.b) : pertama, pembiayaan berbasis utang, (debtbased financing);
kedua pembiayaan berbasis ekuiti (equity-based financing), dan ketiga, pembiayaan internal (self-
financing), yang merupakan pembiayaan yang diajukan oleh lembaga wakaf dengan cara-cara yang
Istisna’ adalah akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara para pihak dimana spesifikasi,
cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan para
pihak. Istisna’ hampir sama dengan kontrak salam, bentuk lain dari penjualan berjangka (forward sale).
1
Namun salam berlaku untuk komoditi, dimana investor membayar di muka sejumlah harga pembelian
untuk komoditi pertanian yang akan diserahkan di masa akan datang (Chapra, 1998). Ini mungkin
berlaku untuk wakaf tanah jika tanah tersebut digunakan untuk kegiatan pertanian.
b. Ijarah
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang atau jasa itu sendiri. Secara teknis, ada dua konotasi yang berbeda terkait dengan
akad ijarah, yaitu (Ismail & Ahcene, 2008) : (i) upah yang diberikan sebagai sewa atas jasa seseorang,
seperti dokter, pengacara, guru atau orang yang dapat memberikan layanan/jasa yang berharga dan (ii)
ijarah juga terkait dengan transfer hak pakai hasil dari properti tertentu kepada orang lain dalam suatu
pertukaran dengan sewa yang diambil orang tersebut (Muhammad Ridhwan Ab. Aziz, 2013).
c. Sukuk
Sukuk didefinisikan sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti atas bagian kepemilikan
yang tak terbagi terhadap suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa, atau atas kepemilikan suatu proyek
atau kegiatan investasi tertentu (AAOIFI). Dengan mengacu pada Standar Syariah The Accounting and
Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), terdapat 14 jenis akad yang dapat
digunakan dalam penerbitan sukuk, yaitu antara lain : Sukuk Ijarah, Sukuk Murabahah, Sukuk Salam,
Sukuk Istishna’, Sukuk Mudharabah, Sukuk Musyarakah, Sukuk Wakalah, Sukuk Mugharasah, Sukuk
Adanya karakteristik sukuk yang merepresentasikan kepemilikan aset dan hak manfaat (usufruct)
tersebut sesuai dengan sifat wakaf. Pengenalan instrumen sukuk dianggap turut membantu untuk lebih
1
mempercepat kemajuan dan perkembangan wakaf. Dengan demikian, dapat dipahami kenapa di
sejumlah negara sukuk dijadikan sebagai salah satu model dalam pembiayaan pengembangan wakaf,
a. Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama (kemitraan) antara dua pihak atau lebih, yaitu satupihak
sebagai penyedia modal (rab al-mal) dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian. Keuntungan
dari hasil kerjasama tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disetujui, sedangkan kerugian yang
terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh
b. Kemitraan (Musyarakah)
Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk menggabungkan modal,
baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya, untuk tujuan memperoleh keuntungan, yang akan
dibagikan sesuai dengan nisbah yang telah disetujui, sedangkan kerugian yang timbul akan ditanggung
Pembiayaan internal (self-financing) menunjukkan kontribusi uang tunai atau tanah/harta yang
digunakan sebagai biaya pengembangan wakaf oleh lembaga wakaf. Ada beberapa metode yang bisa
1
digunakan oleh lembaga wakaf untuk mengurangi biaya pendanaan, misalnya melalui penggunaan tanah
dan sekuritisasi tanah. Disamping itu lembaga wakaf juga bisa menggunakan wakaf tunai (cash waqf)
dan wakaf saham (saham waqf). Menurut Magda Ismail dan Ahcene, (2008), terdapat sedikitnya 9
(sembilan) bentuk pembiayaan kontemporer yang bisa digunakan sebagai sarana pembiayaan wakaf,
yaitu sebagai berikut : (i) model saham wakaf; (ii) model takaful wakaf; (iii) model langsung; (iv) model
(vii) model produk deposito; (viii) model koperasi; dan (ix) model reksadana wakaf.
Perkiraan potensi wakaf harta tak bergerak (tanah) yang sangat besar di Indonesia, selama ini
lebih banyak didasarkan pada hasil perhitungan luas tanah wakaf yang ada dan estimasi harga tanah.
BWI, misalnya dengan menggunakan data konsolidasi Kementerian Agama tahun 2014 memperkirakan
potensi wakaf tanah mencapai Rp.2.050 trilun, dengan asumsi harga tanah senilai Rp500.000 per meter
dan luas tanah wakaf sekitar 4.1 miliar meter per segi. Nilai potensi wakaf yang sangat besar tentunya,
yaitu hampir setara dengan 19,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Perkiraan potensi wakaf harta bergerak (khususnya uang) yang berkembang dan disampaikan
kepada publik juga bervariasi dengan asumsi dan argumentasi yang beragam pula.
Dengan menggunakan asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia
adalah sebanyak 10 juta jiwa, dengan rata-rata penghasilan per bulan antara Rp500.000 - Rp
10.000.000. Berdasarkan asumsi tersebut, maka potensi wakaf diperkirakan mencapai Rp250 juta per
bulan, atau sebesar Rp3,0 trilun per tahun (Tabel) Tabel Potensi Wakaf Uang di Indonesia
Potensi
Tingkat Jumlah Tarif Potensi
Wakaf Tunai /
Penghasilan / Muslim Wakaf/bulan Wakaf Tunai /
bulan
bulan (jiwa) (Rp) tahun (Rp)
(Rp)
20.000.00
Rp 500.000 4 juta 5.000
0.000 240.000.000.000
3.000.000.000.0
Total
00
Untuk menghitung perkiraan potensi wakaf uang, penulis menggunakan beberapa asumsi.
1. Perkiraan jumlah pnduduk Muslim Indonesia disusun berdasarkan pendekatan regional (provinsi)
2. Tingkat pendapatan penduduk yang digunakan sebagai basis perhitungan wakaf tunai adalah
3. Ada 3 (tiga) skenario perhitungan potensi wakaf uang, yaitu : (i) pesimis (asumsi hanya 10 persen
masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per bulan; dan (ii) moderat, (asumsi
hanya 25 persen masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per bulan); dan (iii)
optimis (asumsi hanya 50 persen masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per
bulan);
Dengan menggunakan data Susenas 2014, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai
251,3 juta jiwa dan sekitar 87,1 persen (sekitar 218,8 juta jiwa) diantaranya adalah penduduk beragama
Islam (Muslim).
NAD, 98.2 (2 ,
2)
1
BANTEN 94.7
(5.0) JABAR 97.0 (20.3)
NTB 9.1 (0.2)
DIY 92.0 (1.5)
NTB 96.5 (2.1)
muslim nasional
Pendapatan Penduduk
bahwa :
(i) penduduk berpendapatan rendah (lower income) paling banyak terdapat di Provinsi Jawa
Tengah, yaitu sebanyak 10,6 juta jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi
(ii) penduduk berpendapatan menengah (middle income) paling banyak terdapat di Provinsi Jawa
Barat, yaitu sebanyak 35,8 juta jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi Gorontalo, yaitu
sebanyak 685,5 ribu jiwa. Beberapa daerah yang juga banyak memiliki penduduk dengan
pendapatan menengah adalah Provinsi Jawa Timur (28,3 juta jiwa); Provinsi Jawa Tengah (22,8
Utara (11,8 juta jiwa); Provinsi Banten (10,1 juta jiwa); dan Provinsi DKI Jakarta (9,3 juta jiwa).
(iii) penduduk berpendapatan tinggi (high income) paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta,
yaitu sebanyak 705,8 ribu jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi Maluku Utara, yaitu
sebanyak 1,45 ribu jiwa. Beberapa daerah yang juga banyak memiliki penduduk dengan
pendapatan tinggi adalah Provinsi Jawa Barat (420,2 ribu jiwa); Provinsi Jawa Timur (163,1 ribu
Penghitungan potensi wakaf uang menurut kelompok pendapatan hanya dilakukan untuk
SKENARIO RENDAH
Dengan asumsi bahwa wakif adalah 10% dari penduduk Muslim yang berpendapatan menengah dengan
besaran wakaf rata-rata Rp10.000/bulan, potensi wakaf uang diperkirakan mencapai Rp197,0 miliar per
SKENARIO MODERAT
1
Dengan asumsi bahwa wakif adalah 25% dari penduduk Muslim berwakaf rata-rata Rp10.000/bulan,
maka potensi wakaf uang secara keseluruhan dalam skenario moderat diperkirakan mencapai Rp492,5
SKENARIO OPTIMIS
Dalam skenario ini diasumsikan bahwa wakif adalah 50% dari penduduk Muslim berpendapatan
menengah yang mengeluarkan wakaf rata-rata Rp10.000/bulan. Dengan asumsi-asumsi tersebut maka
potensi wakaf uang diperkirakan mencapai Rp985,0 miliar per bulan atau sekitar Rp11,82 triliun per
tahun.
NAD
4.11 M
RIAU
5 ,78M
SUMUT
11,83M
SUMBAR,
MIDDLE INCOME : 4.72 M
BENGKULU KEPRI
$1.045 < Cons < 1.82 M
GORONTALO
1.48 M 0.69 M
KALTIM SULUT
$12.736 Asumsi : SUMSEL
6.00 M 3.81M 1,76M MALUT
JAMBI KALBAR 0.94M
LAMPUNG 2.85 M SULTENG
- Jlh wakif = 10% 5,98M
3.70 M
KALTENG 2,22M PAPUA BARAT
BABEL SULBAR
2,20M 0.68 M
Muslim 1.30 M 0.75 M
MALUKU PAPUA
BANTEN DKI KALSEL SULTRA 1.35M 2.12 M
- wakaf : 9,31 M 3.51 M 1.46 M
JATIM SULSEL
10.10 M 28,30 M 5.08 M
@Rp10.0000/bl
35
1
NTB NTT
,66M
POTENSI WAKAF 3
NAD
12.00 Jt
RIAU
41,73 jt
45
SUMUT
59,47 jt
SUMBAR,
HIGH INCOME :
30.56 jt KEPRI
GORONTALO
Cons > $12.736 ,15 jt
BENGKULU 1.68 jt
6,41 jt KALTIM SULUT
44.32 jt 18,74 jt MALUT
SUMSEL JAMBI KALBAR
Asumsi : 1.45 jt
58,78 Jt 5,92 jt 21,35 jt SULTENG
LAMPUNG 11.04 jt PAPUA BARAT
KALTENG SULBAR
-- Jlh wakaf : 50.81 jt BABEL 12.79 jt
BANTEN 16.08 jt 5.11 jt
11.81 jt MALUKU PAPUA
DKI KALSEL SULTRA 4,53 jt
@Rp10.0000/blwakif = 26.43 jt
9.40 jt
750,78 Jt 17.56 jt
130,46 Jt JATIM SULSEL
10% Muslim 163,15 Jt 31.71 jt
420,92
65
POTENSI WAKAF
Lembaga keuangan memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan dan
memberdayakan wakaf produktif di Indonesia. Bahkan peranan lembaga keuangan tersebut secara
eksplisit ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41
Tahun 2004 Tentang Wakaf, khususnya Pasal 48 ayat (1), yang berbunyi : “Pengelolaan dan
pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-
Penegasan ini tentu saja menimbulkan implikasi perlu adanya suatu kerjasama yang tidak bisa
ditawar (niscaya), yang harus dibangun antara pihak pengelola wakaf (nazhir) dengan lembaga-lembaga
keuangan syari’ah (LKS). Penting dan niscayanya kerjasama ini karena substansinya yang bertujuan
untuk mengelola dan memanfaatkan harta benda wakaf (mauquf) agar lebih produktif dan berdaya
guna bagi kemaslahatan umat (Sula, 2008). Selain itu, kerjasama nazhir dan pengelola berguna untuk
meningkatkan kepercayaan publik (dalam hal ini wakif) kepada nazhir terkait dengan pengelolaan
mauquf. Kerjasama tersebut tentunya dibangun atas dasar saling memberikan manfaat antara kedua
belah pihak.
Kerjasama dengan LKS juga membuka peluang investasi dengan berbagai skim yang tentu saja
sesuai dengan syariat Islam. Berbagai jenis produk investasi yang dilakukan oleh LKS, diantaranya dalam
a. Investasi mudharabah. Melalui investasi ini LKS dengan memberikan modal usaha kepada bidang
yang telah ditentukan oleh wakif maupun bidang yang dinilai potensial dalam membangkitkan
b. Investasi musyarakah. Meskipun invetasi ini pada prinsipnya hampir sama dengan investasi
mudharabah, akan tetapi risiko yang ditanggung oleh LKS lebih sedikit, karena modal ditanggung
secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih. Investasi ini memberikan peluang bagi LKS
untuk menyertakan modalnya pada ektor usaha kecil dan menengah (UKM).
c. Investasi ijarah, melalui investasi ini LKS dan/atau nazhir yang ditunjuk dapat mendayagunakan
harta benda wakaf yang kurang produktif, baik dalam bentuk tanah maupun bangunan. Berkaitan
dengan itu, LKS menyediakan dana untuk mengelola harta benda wakaf. Kemudian
d. Investasi murabahah. Dalam investasi ini LKS berperan sebagai pemilik barang yang membeli
peralatan dan material yang diperlukan. Adapun keuntungan dari investasi ini adalah LKS dapat
mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan. Manfaat dari investasi ini
Dengan potensi wakaf uang yang terealisasi, katakanlah hanya skenario rendah, yaitu sekitar
Rp197,0 miliar per bulan atau Rp2,36 triliun per tahun, LKS dapat menginvestasikannya dalam berbagai
skim sebagaimana dikemukakan sebelumnya, seperti saham, asuransi syari’ah (takaful), reksadana
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dan analisis yang dikemukakan pada bagian sebelumnya dapat disampaikan
1. Indonesia memiliki potensi wakaf yang besar. Dengan asumsi bahwa 10% saja penduduk Muslim
berwakaf setiap bulan sebesar Rp10.000, maka dana wakaf uang yang bisa dikumpulkan mencapai
Rp197,0 miliar per bulan atau sekitar Rp2,36 triliun per tahun. Beberapa daerah yang potensial
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, dan
Sulawesi Selatan.
2. Pengembangan wakaf produktif yang berlangsung selama ini memang masih dihadapkan pada
permasalahan database Nazhir dan database harta wakaf yang berada dalam pengelolaan nazhir.
1
3. Lembaga keuangan syariah memiliki peranan penting dalam pengembangan dan pemberdayaan
wakaf produktif.