Anda di halaman 1dari 19

Pengembangan Wakaf Produktif dan

Peranan Sektor Keuangan di Indonesia

Muhammad Afdi Nizar

Peneliti PKSK

Wakaf merupakan instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur

kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama yang menjadikan wakaf itu

unik adalah ketika wakaf ditunaikan terjadilah pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah

subhaanahu wa ta’ala. yang diharapkan abadi dan memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui

wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat

pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).

Upaya mengkaji ulang dan merevitalisasi peranan dan fungsi lembaga wakaf terus berlangsung di

berbagai negara, termasuk Indonesia, agar wakaf menjadi lebih produktif dan memiliki nilai ekonomis

selain nilai ibadah. Revitalisasi ini sekaligus menandakan terjadinya pergeseran paradigma

pengembangan wakaf, yang selama ini lebih banyak diorientasikan pada sarana ibadah—mesjid dan

mushalla (73%), pendidikan (13,3%) dan sisanya untuk tujuan sosial (makam dan sosial lainnya), menuju

upaya pemanfaatan berbagai barang yang memiliki muatan ekonomi produktif. Dalam tataran

praktisnya, wakaf dikembangkan ke dalam bentuk pemanfaatan alat produksi dan ekonomi, seperti

uang, saham, obligasi (sukuk) dan instrumen lainnya. Pemanfaatan alat produksi dan ekonomi ini tentu

saja memerlukan dukungan dari lembaga keuangan, khususnya lembaga keuangan syari’ah (LKS)
1

Perubahan paradigma ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, terutama untuk mengetahui, “bagaimana

arah pengembangan wakaf produktif” dengan paradigma baru tersebut? dan “apakah peranan LKS

dalam mendorong pengembangan wakaf produktif tersebut?”.

Studi ini bertujuan untuk : (i) menghitung potensi wakaf produktif, khususnya wakaf uang di

Indonesia, dengan pendekatan spatial (regional); (ii) mengkaji upaya pengembangan wakaf produktif di

Indonesia.; dan (iii) mengkaji peranan sektor keuangan dalam mendorong pengembangan wakaf

produktif di Indonesia.

Studi ini menggunakan metode analisis kuantitatif-deskriptif. Pendekatan kuantitatif digunakan

terutama untuk menentukan/menghitung potensi wakaf produktif (wakaf uang) dengan memperhatikan

potensi setiap provinsi di Indonesia.

TINJAUAN LITERATUR

Ada empat peristiwa inspiratif dalam awal-awal sejarah Islam, yang seringkali dijadikan sebagai

landasan untuk pengembangan kerangka hukum wakaf (Sabit, 2006). Pertama, donasi tanah oleh Nabi

Muhammad (saw) untuk membangun Masjid Quba', setelah hijrah ke Madinah; Kedua, sumbangan

rumah (sumur yang dibeli oleh Khalifah Utsman r.a.), yang digunakan oleh masyarakat, termasuk dirinya

sendiri, untuk air minum dan kebutuhan rumah tangga; Ketiga, donasi kebun oleh Talha kepada

kerabatnya setelah menerima saran dari Nabi Muhammad (saw); dan Keempat, donasi Umar ibn al-

Khattab (r.a) berupa tanah yang paling berharga di Khaybar atas saran dari Nabi Muhammad (saw) agar

menahan tanah itu dan mendedikasikan buah (hasilnya) untuk tujuan amal. Berdasarkan peristiwa-

peristiwa tersebut, para ahli hukum Islam (fuqaha) membangun teori tentang wakaf. Peristiwa-peristiwa
1

tersebut secara menyeluruh ditafsirkan dengan menetapkan wakaf untuk tujuan keagamaan, kebutuhan

masyarakat, dan perlindungan keluarga.

Definisi Wakaf

Secara bahasa (etimologis), istilah ‘wakaf’ berasal dari kata waqf, yang bisa bermakna al-habsu

(menahan) atau menghentikan sesuatu atau berdiam di tempat (Sabiq, 2009 dan al-Kabisi, 2004),

sedangkan secara terminologi yang dimaksud dengan wakaf adalah Tahbisul Ashl wa Tasbiilul

Manfa’ah, yang berarti “menahan suatu barang dan memberikan manfaatnya: (al-Ustaimin, 2005).

Sementara secara hukum, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan wakaf. Perbedaan

definisi ini terjadi karena perbedaan mazhab yang dianut, baik dari segi kelaziman dan ketidaklaziman,

syarat pendekatan dalam masalah wakaf maupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan.

Perbedaan juga menyangkut tata cara pelaksanaan wakaf.

Jenis Wakaf

Secara umum, wakaf dibagi menjadi dua, yaitu waqf khairi (semata-mata untuk amal) dan waqf

zurri (wakaf keluarga). Waqf khairi dikelompokkan menjadi dua yaitu wakaf umum untuk tujuan amal

tanpa menentukan motif, kondisi (syarat) dan mauquf’alaih-nya (beneficiaries), dan wakaf khusus untuk

tujuan amal dengan menentukan motif, kondisi (syarat) dan mauquf’alaih-nya (beneficiaries). Pada

waqf zurri, manfaat wakaf adalah untuk tujuan keluarga. Namun sejumlah ulama menganggap jenis ini

adalah bid’ah dan tidak sesuai dengan aturan-aturan Shariah (Shakor, 2011).
1

Disamping itu, wakaf juga bisa dikelompokkan menjadi waqf musytarak dan waqf irsad. Waqf

musytarak adalah wakaf kombinasi antara waqf khairi dan waqf zurri. Artinya, bagian dari manfaat

yang berasal dari wakaf didedikasikan untuk kepentingan keluarga dan sebagian lain untuk publik. waqf

musytarak merupakan bagian dalam waqf istibdal dan waqf share. Sementara waqf irsad adalah

bentuk lain dari wakaf yang dibentuk oleh otoritas atau pemerintah yang berasal dari sumbangan harta

Baitulmal sebagai wakaf, baik harta bergerak atau tidak bergerak (Shakor, 2011). Ada dua harta yang

bisa diserahkan yaitu yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan dan yang bergerak, seperti uang

dan saham. Untuk harta tak bergerak, para fuqaha bersepakat tentang legitimasinya karena memenuhi

prinsip-prinsip wakaf, yaitu permanen. Ini didasarkan pada wakaf yang dilakukan Rasulullah SAW dan

para sahabat (Shakor, 2011).

Karakteristik Wakaf

Dalam pandangan fikih, dengan merujuk pada definisi wakaf, sedikitnya ada tiga karakteristik

utama wakaf yang telah disepakati oleh para fuqaha, yaitu (Sabit, 2005 dan Ismail, 2011):

1. tidak dapat dibatalkan (irrevocability), berarti bahwa wakaf setelah keluar dari kepemilikan wakif,

tidak dapat dicabut kembali menjadi harta wakif.

2. langgeng, terus-menerus, atau lestari (perpetuity). Istilah langgeng atau selamanya (perpetuity)

dalam bahasa Arab dikenal dengan ta'bid.

3. tidak dapat dicabut (inalienability). Konsep wakaf yang tidak dapat dicabut

(inalienability)
1

Komponen Wakaf

Menurut hukum fiqh, wakaf memiliki 5 (lima) pilar utama, yaitu :

(i) waqif, yaitu orang yang menyerahkan harta atau uangnya untuk tujuan wakaf (amal);

(ii) kontrak wakaf (waqfieh), yaitu pernyataan wakif tentang penyerahan harta atau dana sebagai

wakaf;

(iii) penerima manfaat (mawquf 'alaih), yaitu orang atau daerah yang menjadi tujuan amal. Dengan

kata lain, orang-orang atau daerah lain boleh menerima keuntungan dari hasil wakaf;

(iv) properti/harta (mawquf), yaitu aset atau dana yang diserahkan sebagai tujuan amal wakaf; dan

(v) mutawalli, orang atau lembaga yang ditugaskan sebagai perwalian (custodian) hukum atas

mawquf yang bukan miliknya untuk mempertahankan donasi sesuai dengan kontrak wakaf. Untuk

komponen ini di Indonesia lebih dikenal dengan nadzir.

MODEL PEMBIAYAAN WAKAF

Harta wakaf ditahan untuk meningkatkan manfaat dan hasilnya dalam merealisasikan tujuaan

yang ditentukan oleh wakif. Oleh karena itu upaya pemberdayaan harta wakaf dan investasinya agar

lebih produktif dan memberikan manfaat yang lebih besar bagi umat telah menjadi pemikiran para

fuqaha sejak lama1. Dalam literatur wakaf dikenal dua bentuk pembiayaan wakaf, yakni model

pembiayaan harta wakaf tradisional (klasik) dan model pembiayaan harta wakaf kontemporer.

1 Para fuqaha menyebut upaya ini dengan istilah pembangunan wakaf (imaratul waqf). Pembangunan
wakaf ini juga mencakup pengembangan wakaf dan penambahan modal wakaf.
1

MODEL PEMBIAYAAN KLASIK

Model pembiayaan klasik pada umumnya dibagi menjadi 5 (lima) cara, yaitu (Qahaf, 2005): (i)

wakaf dengan menambah wakaf baru; (ii) pembiayaan wakaf dengan meminjamkan wakaf; (iii)

pembiayaan wakaf dengan menukar wakaf (istibdal); (iv) pembiayaan wakaf dengan menjual hak

monopoli wakaf; dan (v) pembiayaan wakaf dengan membuat penyewaan ganda harta wakaf (ijaratain

fi al-waqf).

MODEL PEMBIAYAAN KONTEMPORER

Dalam model ini pembiayaan pembangunan/pengembangan wakaf dibagi menjadi tiga Sabit,

2005; dan Abdul Karim, 2010a.b) : pertama, pembiayaan berbasis utang, (debtbased financing);

kedua pembiayaan berbasis ekuiti (equity-based financing), dan ketiga, pembiayaan internal (self-

financing), yang merupakan pembiayaan yang diajukan oleh lembaga wakaf dengan cara-cara yang

diperbolehkan menurut syari’at Islam.

PEMBIAYAAN BERBASIS UTANG (DEBT-BASED FINANCING) a.

Istisna’ / Salam (Forward Sale)

Istisna’ adalah akad jual beli aset berupa obyek pembiayaan antara para pihak dimana spesifikasi,

cara dan jangka waktu penyerahan, serta harga aset tersebut ditentukan berdasarkan kesepakatan para

pihak. Istisna’ hampir sama dengan kontrak salam, bentuk lain dari penjualan berjangka (forward sale).
1

Namun salam berlaku untuk komoditi, dimana investor membayar di muka sejumlah harga pembelian

untuk komoditi pertanian yang akan diserahkan di masa akan datang (Chapra, 1998). Ini mungkin

berlaku untuk wakaf tanah jika tanah tersebut digunakan untuk kegiatan pertanian.

b. Ijarah

Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, tanpa diikuti dengan pemindahan

kepemilikan barang atau jasa itu sendiri. Secara teknis, ada dua konotasi yang berbeda terkait dengan

akad ijarah, yaitu (Ismail & Ahcene, 2008) : (i) upah yang diberikan sebagai sewa atas jasa seseorang,

seperti dokter, pengacara, guru atau orang yang dapat memberikan layanan/jasa yang berharga dan (ii)

ijarah juga terkait dengan transfer hak pakai hasil dari properti tertentu kepada orang lain dalam suatu

pertukaran dengan sewa yang diambil orang tersebut (Muhammad Ridhwan Ab. Aziz, 2013).

c. Sukuk

Sukuk didefinisikan sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti atas bagian kepemilikan

yang tak terbagi terhadap suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa, atau atas kepemilikan suatu proyek

atau kegiatan investasi tertentu (AAOIFI). Dengan mengacu pada Standar Syariah The Accounting and

Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), terdapat 14 jenis akad yang dapat

digunakan dalam penerbitan sukuk, yaitu antara lain : Sukuk Ijarah, Sukuk Murabahah, Sukuk Salam,

Sukuk Istishna’, Sukuk Mudharabah, Sukuk Musyarakah, Sukuk Wakalah, Sukuk Mugharasah, Sukuk

Muzara’ah, dan Sukuk Musaqah.

Adanya karakteristik sukuk yang merepresentasikan kepemilikan aset dan hak manfaat (usufruct)

tersebut sesuai dengan sifat wakaf. Pengenalan instrumen sukuk dianggap turut membantu untuk lebih
1

mempercepat kemajuan dan perkembangan wakaf. Dengan demikian, dapat dipahami kenapa di

sejumlah negara sukuk dijadikan sebagai salah satu model dalam pembiayaan pengembangan wakaf,

seperti yang terjadi di Singapura dan Arab Saudi.

PEMBIAYAAN BERBASIS EKUITI (EQUITY-BASED FINANCING)

a. Mudharabah

Mudharabah adalah akad kerjasama (kemitraan) antara dua pihak atau lebih, yaitu satupihak

sebagai penyedia modal (rab al-mal) dan pihak lain sebagai penyedia tenaga dan keahlian. Keuntungan

dari hasil kerjasama tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah disetujui, sedangkan kerugian yang

terjadi akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak penyedia modal, kecuali kerugian disebabkan oleh

kelalaian penyedia tenaga dan keahlian.

b. Kemitraan (Musyarakah)

Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk menggabungkan modal,

baik dalam bentuk uang maupun bentuk lainnya, untuk tujuan memperoleh keuntungan, yang akan

dibagikan sesuai dengan nisbah yang telah disetujui, sedangkan kerugian yang timbul akan ditanggung

bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.

PEMBIAYAAN INTERNAL (SELF-FINANCING)

Pembiayaan internal (self-financing) menunjukkan kontribusi uang tunai atau tanah/harta yang

digunakan sebagai biaya pengembangan wakaf oleh lembaga wakaf. Ada beberapa metode yang bisa
1

digunakan oleh lembaga wakaf untuk mengurangi biaya pendanaan, misalnya melalui penggunaan tanah

dan sekuritisasi tanah. Disamping itu lembaga wakaf juga bisa menggunakan wakaf tunai (cash waqf)

dan wakaf saham (saham waqf). Menurut Magda Ismail dan Ahcene, (2008), terdapat sedikitnya 9

(sembilan) bentuk pembiayaan kontemporer yang bisa digunakan sebagai sarana pembiayaan wakaf,

yaitu sebagai berikut : (i) model saham wakaf; (ii) model takaful wakaf; (iii) model langsung; (iv) model

mobile; (v) model semi-compulsory; (vi) model wakaf tunai korporasi:

(vii) model produk deposito; (viii) model koperasi; dan (ix) model reksadana wakaf.

POTENSI WAKAF PRODUKTIF DI INDONESIA

POTENSI WAKAF HARTA TAK BERGERAK

Perkiraan potensi wakaf harta tak bergerak (tanah) yang sangat besar di Indonesia, selama ini

lebih banyak didasarkan pada hasil perhitungan luas tanah wakaf yang ada dan estimasi harga tanah.

BWI, misalnya dengan menggunakan data konsolidasi Kementerian Agama tahun 2014 memperkirakan

potensi wakaf tanah mencapai Rp.2.050 trilun, dengan asumsi harga tanah senilai Rp500.000 per meter

dan luas tanah wakaf sekitar 4.1 miliar meter per segi. Nilai potensi wakaf yang sangat besar tentunya,

yaitu hampir setara dengan 19,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).

POTENSI WAKAF HARTA BERGERAK


1

Perkiraan potensi wakaf harta bergerak (khususnya uang) yang berkembang dan disampaikan

kepada publik juga bervariasi dengan asumsi dan argumentasi yang beragam pula.

1. Mustafa Edwin Nasution (2005)

Dengan menggunakan asumsi bahwa jumlah penduduk Muslim kelas menengah di Indonesia

adalah sebanyak 10 juta jiwa, dengan rata-rata penghasilan per bulan antara Rp500.000 - Rp

10.000.000. Berdasarkan asumsi tersebut, maka potensi wakaf diperkirakan mencapai Rp250 juta per

bulan, atau sebesar Rp3,0 trilun per tahun (Tabel) Tabel Potensi Wakaf Uang di Indonesia

Potensi
Tingkat Jumlah Tarif Potensi
Wakaf Tunai /
Penghasilan / Muslim Wakaf/bulan Wakaf Tunai /
bulan
bulan (jiwa) (Rp) tahun (Rp)
(Rp)

20.000.00
Rp 500.000 4 juta 5.000
0.000 240.000.000.000

Rp 1 juta –Rp 30.000.00 360.000.000.00


3 juta 10.000
2 juta 0.000 0

Rp 2 juta – 100.000.0 1.200.000.000.0


2 juta 50.000
Rp 5 juta 00.000 00

Rp 5 juta- Rp 100.000.0 1.200.000.000.0


1 juta 100.000
10 juta 00.000 00

3.000.000.000.0
Total
00

Sumber : Nasution, 2005 (diolah)


1

2. Penulis (Peneliti PKSK-BKF)

Untuk menghitung perkiraan potensi wakaf uang, penulis menggunakan beberapa asumsi.

1. Perkiraan jumlah pnduduk Muslim Indonesia disusun berdasarkan pendekatan regional (provinsi)

dengan harapan mendapatkan gambaran tentang potensi wakaf per daerah.

2. Tingkat pendapatan penduduk yang digunakan sebagai basis perhitungan wakaf tunai adalah

kelompok menengah (middle income) ke atas (high income).

3. Ada 3 (tiga) skenario perhitungan potensi wakaf uang, yaitu : (i) pesimis (asumsi hanya 10 persen

masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per bulan; dan (ii) moderat, (asumsi

hanya 25 persen masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per bulan); dan (iii)

optimis (asumsi hanya 50 persen masyarakat Muslim memberikan wakaf Rp10.000 per orang per

bulan);

4. Perhitungan potensi menggunakan data Susenas 2014.

Perkiraan Jumlah Penduduk Muslim

Dengan menggunakan data Susenas 2014, jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai

251,3 juta jiwa dan sekitar 87,1 persen (sekitar 218,8 juta jiwa) diantaranya adalah penduduk beragama

Islam (Muslim).

NAD, 98.2 (2 ,

2)
1

RIAU, 88.0 (2 ,5)


KALBAR GORONTALO SULUT
SUM UT, 66.1 KEPRI, 79.3 59.2 (1.3) KALTIM 97.. 8 (0.5) 30.9 (0.3)
( 4 ,1) (0 ,7) 85.4 (1.5)
MALUT
SU MBAR, 97.4 JAMBI, 95.4 74.3 (0.4)
(2 ,3) (1 ,5) KALTENG SULTENG PAPUA BARAT
BABEL, 89.0 96.7 (1.7) SULBAR 77.0 (1.0)
SUMSEL, 96.9 38.4 (0.2)
(0 ,5) 82.7 (0.5)
(3.5)
KALSEL SULTENG PAPUA 15.9
BENGKULU, 97.3 DKI 85.4 (3.9) MALUKU
96.7 (1.7) SULSEL 77.0 (1.0) (0.2)
(0.8) JATENG 50.6 (0.4)
JATIM 89.6 (3.4)
LAMPUNG, 95.5 96.7 (14.8)
(3.5) 96.4 (16.9)

BANTEN 94.7
(5.0) JABAR 97.0 (20.3)
NTB 9.1 (0.2)
DIY 92.0 (1.5)
NTB 96.5 (2.1)

Penduduk 251,290,655.0 BALI 13.4 (0.3)

Penduduk Musli m 218,834,143.6

Angka dlm () = % thd

muslim nasional

Gambar. Proporsi Penduduk Muslim Indonesia

Sumber : Susenas 2014 (diolah)

Pendapatan Penduduk

Berdasarkan tingkat pendapatan—yang diproksi dengan jumlah pengeluaran untuk konsumsi—terlihat

bahwa :

(i) penduduk berpendapatan rendah (lower income) paling banyak terdapat di Provinsi Jawa

Tengah, yaitu sebanyak 10,6 juta jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi

Kepulauan Bangka Belitung, yaitu sebanyak 23,3 ribu jiwa;


1

(ii) penduduk berpendapatan menengah (middle income) paling banyak terdapat di Provinsi Jawa

Barat, yaitu sebanyak 35,8 juta jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi Gorontalo, yaitu

sebanyak 685,5 ribu jiwa. Beberapa daerah yang juga banyak memiliki penduduk dengan

pendapatan menengah adalah Provinsi Jawa Timur (28,3 juta jiwa); Provinsi Jawa Tengah (22,8

juta jiwa); Provinsi Sumatera

Utara (11,8 juta jiwa); Provinsi Banten (10,1 juta jiwa); dan Provinsi DKI Jakarta (9,3 juta jiwa).

(iii) penduduk berpendapatan tinggi (high income) paling banyak terdapat di Provinsi DKI Jakarta,

yaitu sebanyak 705,8 ribu jiwa dan paling sedikit terdapat di Provinsi Maluku Utara, yaitu

sebanyak 1,45 ribu jiwa. Beberapa daerah yang juga banyak memiliki penduduk dengan

pendapatan tinggi adalah Provinsi Jawa Barat (420,2 ribu jiwa); Provinsi Jawa Timur (163,1 ribu

jiwa); dan Provinsi Banten (130,5 ribu jiwa).

Potensi Wakaf Uang

Penghitungan potensi wakaf uang menurut kelompok pendapatan hanya dilakukan untuk

penduduk berpendapatan menengah dan tinggi.

SKENARIO RENDAH

Dengan asumsi bahwa wakif adalah 10% dari penduduk Muslim yang berpendapatan menengah dengan

besaran wakaf rata-rata Rp10.000/bulan, potensi wakaf uang diperkirakan mencapai Rp197,0 miliar per

bulan atau Rp2,36 triliun per tahun.

SKENARIO MODERAT
1

Dengan asumsi bahwa wakif adalah 25% dari penduduk Muslim berwakaf rata-rata Rp10.000/bulan,

maka potensi wakaf uang secara keseluruhan dalam skenario moderat diperkirakan mencapai Rp492,5

miliar per bulan atau sekitar Rp5,91 triliun per tahun

SKENARIO OPTIMIS

Dalam skenario ini diasumsikan bahwa wakif adalah 50% dari penduduk Muslim berpendapatan

menengah yang mengeluarkan wakaf rata-rata Rp10.000/bulan. Dengan asumsi-asumsi tersebut maka

potensi wakaf uang diperkirakan mencapai Rp985,0 miliar per bulan atau sekitar Rp11,82 triliun per

tahun.

NAD
4.11 M

RIAU
5 ,78M

SUMUT
11,83M

SUMBAR,
MIDDLE INCOME : 4.72 M

BENGKULU KEPRI
$1.045 < Cons < 1.82 M
GORONTALO
1.48 M 0.69 M
KALTIM SULUT
$12.736 Asumsi : SUMSEL
6.00 M 3.81M 1,76M MALUT
JAMBI KALBAR 0.94M
LAMPUNG 2.85 M SULTENG
- Jlh wakif = 10% 5,98M
3.70 M
KALTENG 2,22M PAPUA BARAT
BABEL SULBAR
2,20M 0.68 M
Muslim 1.30 M 0.75 M
MALUKU PAPUA
BANTEN DKI KALSEL SULTRA 1.35M 2.12 M
- wakaf : 9,31 M 3.51 M 1.46 M
JATIM SULSEL
10.10 M 28,30 M 5.08 M
@Rp10.0000/bl
35
1

NTB NTT

JATENG 3,27M 2 ,68M


JABAR 22,80M DIY
,80M 2,76M BALI

,66M

POTENSI WAKAF 3

Rp 194,8 M per bulan

NAD
12.00 Jt

RIAU
41,73 jt
45
SUMUT
59,47 jt

SUMBAR,
HIGH INCOME :
30.56 jt KEPRI
GORONTALO
Cons > $12.736 ,15 jt
BENGKULU 1.68 jt
6,41 jt KALTIM SULUT
44.32 jt 18,74 jt MALUT
SUMSEL JAMBI KALBAR
Asumsi : 1.45 jt
58,78 Jt 5,92 jt 21,35 jt SULTENG
LAMPUNG 11.04 jt PAPUA BARAT
KALTENG SULBAR
-- Jlh wakaf : 50.81 jt BABEL 12.79 jt
BANTEN 16.08 jt 5.11 jt
11.81 jt MALUKU PAPUA
DKI KALSEL SULTRA 4,53 jt
@Rp10.0000/blwakif = 26.43 jt
9.40 jt
750,78 Jt 17.56 jt
130,46 Jt JATIM SULSEL
10% Muslim 163,15 Jt 31.71 jt
420,92

DIY NTB NTT


JATENG
15,37 jt 2 ,32 jt
JABAR 85,27 Jt
BALI
Jt 37,94 jt
,61 Jt
1

65

POTENSI WAKAF

Rp 2,18 M per bulan

Gambar Potensi Wakaf Uang : Skenario Rendah

Sumber : Susenas 2014 (diolah)

PERANAN LEMBAGA KEUANGAN

Lembaga keuangan memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan dan

memberdayakan wakaf produktif di Indonesia. Bahkan peranan lembaga keuangan tersebut secara

eksplisit ditegaskan dalam Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41

Tahun 2004 Tentang Wakaf, khususnya Pasal 48 ayat (1), yang berbunyi : “Pengelolaan dan

pengembangan atas harta benda wakaf uang hanya dapat dilakukan melalui investasi pada produk-

produk LKS dan/atau instrumen keuangan syari’ah”.


1

Penegasan ini tentu saja menimbulkan implikasi perlu adanya suatu kerjasama yang tidak bisa

ditawar (niscaya), yang harus dibangun antara pihak pengelola wakaf (nazhir) dengan lembaga-lembaga

keuangan syari’ah (LKS). Penting dan niscayanya kerjasama ini karena substansinya yang bertujuan

untuk mengelola dan memanfaatkan harta benda wakaf (mauquf) agar lebih produktif dan berdaya

guna bagi kemaslahatan umat (Sula, 2008). Selain itu, kerjasama nazhir dan pengelola berguna untuk

meningkatkan kepercayaan publik (dalam hal ini wakif) kepada nazhir terkait dengan pengelolaan

mauquf. Kerjasama tersebut tentunya dibangun atas dasar saling memberikan manfaat antara kedua

belah pihak.

Kerjasama dengan LKS juga membuka peluang investasi dengan berbagai skim yang tentu saja

sesuai dengan syariat Islam. Berbagai jenis produk investasi yang dilakukan oleh LKS, diantaranya dalam

bentuk (Amin, 2008) :

a. Investasi mudharabah. Melalui investasi ini LKS dengan memberikan modal usaha kepada bidang

yang telah ditentukan oleh wakif maupun bidang yang dinilai potensial dalam membangkitkan

sektor usaha kecil dan menengah (UKM).

b. Investasi musyarakah. Meskipun invetasi ini pada prinsipnya hampir sama dengan investasi

mudharabah, akan tetapi risiko yang ditanggung oleh LKS lebih sedikit, karena modal ditanggung

secara bersama oleh dua pemilik modal atau lebih. Investasi ini memberikan peluang bagi LKS

untuk menyertakan modalnya pada ektor usaha kecil dan menengah (UKM).

c. Investasi ijarah, melalui investasi ini LKS dan/atau nazhir yang ditunjuk dapat mendayagunakan

harta benda wakaf yang kurang produktif, baik dalam bentuk tanah maupun bangunan. Berkaitan

dengan itu, LKS menyediakan dana untuk mengelola harta benda wakaf. Kemudian

menyewakannya hingga dapat menutup modal pokok dan mengambil keuntungan.


1

d. Investasi murabahah. Dalam investasi ini LKS berperan sebagai pemilik barang yang membeli

peralatan dan material yang diperlukan. Adapun keuntungan dari investasi ini adalah LKS dapat

mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan. Manfaat dari investasi ini

adalah membantu pengusaha kecil dalam memperoleh peralatan produksi usahanya.

Dengan potensi wakaf uang yang terealisasi, katakanlah hanya skenario rendah, yaitu sekitar

Rp197,0 miliar per bulan atau Rp2,36 triliun per tahun, LKS dapat menginvestasikannya dalam berbagai

skim sebagaimana dikemukakan sebelumnya, seperti saham, asuransi syari’ah (takaful), reksadana

syari’ah, sukuk dan instrumen keuangan syari’ah lainnya.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dan analisis yang dikemukakan pada bagian sebelumnya dapat disampaikan

beberapa hal sebagai kesimpulan dari studi ini :

1. Indonesia memiliki potensi wakaf yang besar. Dengan asumsi bahwa 10% saja penduduk Muslim

berwakaf setiap bulan sebesar Rp10.000, maka dana wakaf uang yang bisa dikumpulkan mencapai

Rp197,0 miliar per bulan atau sekitar Rp2,36 triliun per tahun. Beberapa daerah yang potensial

sebagai basis pengembangan wakaf uang—berdasarkan pendapatan penduduknya—adalah Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Riau, dan

Sulawesi Selatan.

2. Pengembangan wakaf produktif yang berlangsung selama ini memang masih dihadapkan pada

permasalahan database Nazhir dan database harta wakaf yang berada dalam pengelolaan nazhir.
1

3. Lembaga keuangan syariah memiliki peranan penting dalam pengembangan dan pemberdayaan

wakaf produktif.

Anda mungkin juga menyukai