Anda di halaman 1dari 11

Pengertian Wakaf

Dalam peristilahan syara secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang
pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal (tahbis al-asl), lalu
menjadikan manfaatnya berlaku umum. Yang dimaksud tahbis al-asl ialah menahan barang yang
diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan, dan
sejenisnya. Sedangkan cara pemanfaatannya adalah menggunakan sesuai dengan kehendak wakif
tanpa imbalan.1 Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, wakaf adalah melepaskan harta
yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak
boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan
cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain, baik dengan tukar-menukar atau tidak.
Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwariskan.2

Wakaf didefinisikan sebagai perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau


menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka
waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.3

Dalam melakukan wakaf tunai, ada cara yang harus diperhatikan. Menurut madzhab
Hanafi, hal yang perlu diperhatikan dalam wakaf tunai adalah dengan menjadikannya modal
usaha dengan cara mudharabah atau mubadha’ah. Sedangkan keuntungannya disedekahkan
kepada pihak wakaf. Ibnu Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan merupakan
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi,
sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan kebiasaan. Oleh karena itu, Ibnu Abidin
berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa
wakaf tunai wakaf tunai tidak boleh dalam madzhab Syafi’i. Menurut al-Bakri, madzhab Syafi’i
tidak membolehkan wakaf tunai, karena uang (dahulu berupa dinar dan dirham) akan lenyap
ketika dibayar sehingga tidak ada lagi wujudnya 4. Pada hakikatnya, perbedaan boleh tidaknya
wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Imam al-Zuhri juga mengemukakan pendapat yang
senada, yaitu menegaskan bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan
1
M. Cholil Nafis, “Wakaf Uang untuk Jaminan Sosial”, Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, No. 2, April 2009
2
M. Syakir Sula, “Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah”, Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, No. 2, April
2009
3
Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006.
4
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Kemenag RI, 2007, hlm. 5
dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan atau disedekahkan
kepada orang/sesuatu yang menjadi mauquf ‘alaih (tujuan wakaf).5

Dengan adanya berbagai pandangan tersebut maka pada tanggal tanggal 11 Mei 2002
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menetapkan fatwa tentang wakaf tunai,
yang isinya sebagai berikut:

a. Wakaf uang (cash waqaf/waqf al- Nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang,
kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
b. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat- surat berharga.
c. Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).
d. Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal- hal yang dibolehkan
secara syar'i.
e. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan,
dan atau diwariskan.

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dalam putusan fatwanya tentang wakaf tunai
memberikan pengertian bahwa “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang
atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “benda wakaf adalah segala
benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali
pakai dan bernilai menurut ajaran Islam”.6

Wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur wakaf sebagai berikut :

a. Wakif ialah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya, wakif dapat berupa
perorangan, organisasi, dan badan hukum.
b. Nazhir ialah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan
dikembangkan sesuai dengan peruntukannya.
c. Harta benda hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasai secara penuh dan
sah oleh wakif.
d. Ikrar wakaf yang dibuktikan dengan pembuatan akta ikrar wakaf sebagai bukti
pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan harta benda miliknya guna dikelola
5
Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawaz al-Waqf al-Nuqud, Bairut: Dar Ibn Hazm, 1997
6
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Buku II, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)
oleh nazhir sesuai dengan peruntukkan harta benda wakaf yang dituangkan dalam
bentuk akta.
e. Peruntukan harta benda wakaf, dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf,
harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi: sarana dan kegiatan ibadah;
sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; anak telantar, yatim piatu, beasiswa;
kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum
lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
f. Jangka waktu wakaf. Saat ini wakaf dapat diberikan jangka waktu, yaitu pada
instrumen wakaf uang.

Macam-macam Wakaf Tunai

Ada beberapa macam bentuk wakaf tunai yang banyak dikemukaakan oleh para ulama
yang membolehkannya yakni:7

1. Bentuk Pinjaman ( qard atau salaf )


Bentuk wakaf ini adalah dengan mewakafkan sejumlah uang kepada nadzir atau
pengelola wakaf. Kemudian uang yang diwakafkan tersebut dipinjamkan kepada
orang-orang yang membutuhkan, kemudian menagihnya kembali untuk dipinjamkan
kepada orang lain. Namun bentuk wakaf ini mempunyai kelemahnanya.
Kemungkinan pengembaliannya memakan waktu lama, atau bahkan pihak peminjam
tidak mampu mengembalikan sehingga mengurangi kuantitas wakaf bahkan dapat
menghabiskannya. Namun kemungkinan ini dapat diatasi dengan sistem asuransi
seperti peggadaian dan garansi. Hal ini jelas akan sulit dipenuhi bilamana yang
meminjam adalah orang miskin atau kurang mampu. Adakalanya juga harta yang
dipinjamkan mengalami inflasi, sehingga nilai belinya berkurang seiring dengan
berjalannya waktu yang menyebabkan berkurangnya nilai wakaf.
2. Al- Mudharabah atau al- qiradh
Jenis wakaf ini adalah dengan menginvstasikan harta wakaf yang berupa uang
tersebut untuk dihasilkan keuntungan. Misalkna saja uang tersebut diberdayakan oleh

7
Dr Rafieq Yunus El- mashry, “Wakaf Tunai ( Cash waqf): Menuju Pengembanagn wakaf Produktif”, Dalam Al-
Ibroh: Jurnal Studi- studi Islam. Vol 1 Tahun 2003. hlm 19-20
sesorang, maka keuntungannya tersebut dapat diberdayakan untuk kepentingn umat
sesuai dengan pesan wakif. Namun bentuk ini mengandung resiko bilamana dalam
pemberdayaan tersebut, berakibat atau mengalami kerugian sehingga uang tersebut
bukannya bertambah malah merugi. Akan tetapi resiko ini dapat diantisipasi bilamana
pengelola dapat memilih jenis usaha yang aman dan profesional.
3. Ibda’
Yaitu dengan memberikan modal usaha kepda orang lain, dan keuntungan yang
didapat menjadi milik pemodal secara utuh. Semua keuntungan inilah yang dibagikan
kepada mereka yang berhak atas harta wakaf sesuai dengan amanah / pesan pewakif.

Menurut Syafi'i Antonio (2002), sedikitnya terdapat empat manfaat utama dari wakaf tunai:

a. Wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga y ang memiliki dana terbatas sudah
dapat memulai memberikan dana wakafhya tanpahams menunggu menjadi golongan
menengah ke atas terlebih dahulu.
b. Melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong atau
gedung/bangunan yang belum berfungsi dapat diberdayagunakan.
c. Dana wakaf tunai dapat untuk membantu sebagian lembaga-lembaga Islam yang cash
flownya terkadang ada, terkadang tidak ada, dan adakalanya menggaji pegawainya
dengan alakadarnya.
d. Umat Islam akan dapat lebih mandiri dalam mengembangkan syiar dan dakwah
Islamiyah. 8

Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia

8
Antonio, Muhammad Syafii, Pengelolaan Wakaf Secara Produktif, dalam Djunaidi dan Thobieb, 2007, Menuju Era
Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing.
Di Indonesia, pengaturan tentang wakaf telah ada dan dilaksanakan oleh pemerintahan
kolonial Belanda sebelum Indonesia merdeka, yang mengeluarkan berbagai peraturan tentang
pelaksaan wakaf.9

Pertama, Surat edaran sekratiris Government pertama tanggal 31 Januari 1905 nomor 435
sebagaimana tersebut dalam Bijblad 1905 nomor: 6196 tentang Toezicht op den doow van
Muhammadaansche Bedehuizen. Dalam surat edaran ini, meskipun tidak secara khusus
disebutkan tentang wakaf, tetapi pemerintahan kolonial tidak bermaksud melarang dan
menghalang-halangi pengelolaan wakaf untuk kepentingan keagamaan. Untuk pembangunan
tempat-tempat ibadah diperbolehkan asalkan betul-betul untuk kepentingan umum dan
dikehendaki oleh masyarakat. Surat edaran ini ditujukan untuk semua kepada Daerah di Jawa
dan Madura, kecuali daerah Swapraja.

Kedua, surat edaran dari sekretaris Government tanggal 4 Januari 1921 nomor 1361/A
yang dimuat dalam Bijbld 1931 nomor 125/A tentang Toezich van Regeering op
Muhammadaanshe Bedehuizen, Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini dimuat yang
garis besarnya agara Bijblad tahun 1905 nomor 6169 supaya diperhatikan dengan baik dan
dengan sungguh-sungguh. Supaya terteib dalam pelaksanaan wakaf, izin dari Bupati tetap
diperlukan dan Bupatilah yang menilai apakah wakaf yang akan dilakasanakan sesuai dengan
maksud dari pemberi wakaf dan bermanfaat untuk umum. Pada era kemerdekaan Republik
Indonesia, pemerintahan Indonesia tetap memberlakukan peraturan wakaf Kolonial Belanda
berdasarkan bunyi pasal II aturan peralihan UUD 1945. Namun sejak terbentukkan kementerian
Agama pada tanggal 3 Januari 1946, urusan tanah wakaf menjadi menjadi urusan kementerian
Agama bagian D (ibadah sosial). Untuk memberi kejelasan hukum wakaf lahir UU No. 5 Tahun
1960 tentang agraria yang sekaligus menguatkan eksistensi wakaf di Indonesia. Juga peraturan
pemerintah nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan Tanah milik. Kemudian diperkuan lagi
dengan Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama yang menangani tentang
sengketa tanah wakaf. Pada tahun 1991 presiden mengeluarkan intruksi nomor 1 tanggal 10 Juni
tentang pedoman bagi instansi pemerintah dan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai
masalah hukum dibidang hukum perwakafan.10

9
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Kemenag RI, 2007
10
Lubis, Suhrawardi K. dkk., Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Jakarta: Sinar Grafika dan UMSU Publisher, 2010,
hlm.151
Wakaf tunai bagi umat Islam tergolong baru. Hal ini bisa dicermati dengan lahirnya fatwa
Majelis Ulama Indonesia tentang wakaf uang yang ditetapkan tanggal 11 Mei 2002. Undang-
Undang Tentang Wakaf sendiri juga baru disahkan oleh Presiden pada tanggal 27 Oktober 2004.
Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf merupakan tonggak sejarah baru bagi
pengelolaan wakaf setelah sebelumnya wakaf diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dan
Kompilasi Hukum Islam buku III.11

Secara terperinci, obyek wakaf yang menjadi induk dari wakaf tunai dalam Undang-
Undang Nomor 41 Tahun 2004 dijelaskan bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan
apabila dimiliki dan dikuasai oleh wakif secara sah (pasal 15). Harta benda wakaf terdiri atas
benda tidak bergerak dan benda bergerak. Benda tidak bergerak meliputi:

1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku
baik yang sudah maupun yang belum terdaftar
2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah sebagaimana dimaksud
pada angka 1
3. Tanaman dan benda lain yang berkaitan dengan tanah;
4. Hak milik atas satuan rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
5. Benda tidak bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari‟ah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

Benda bergerak adalah harta benda yang tidak bisa habis karena dikonsumsi, meliputi:

1. Uang;
2. Logam mulia;
3. Surat berharga;
4. Kendaraan;
5. Hak atas kekayaan intelektual;
6. Hak sewa;
7. Benda bergerak lain sesuai dengan ketentuan syari‟ah dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku (pasal 16).

11
Abubakar, Irfan, dan Bamualim, Chaider S. (ed.), Filantropi Islam & Keadilan Sosial, Jakarta: CSRC UIN Jakarta,
2006, hlm. 98
Pasal 15 dan 16 di atas menunjukkan bahwa fikih wakaf Indonesia telah mengadopsi
semangat fikih klasik yang dipadukan dengan kebutuhan zaman. Kalau dalam perspektif fikih
klasik, seperti pendapat Abu Hanifah, umumnya wakaf masih dikaitkan dengan barang- barang
yang tidak bergerak, seperti tanah dan bangunan. Pendapat semacam ini sebenarnya pernah
berlaku di Indonesia sebelum berlakunya Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004, sebagaimana
tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam. Undang- Undang Tentang Wakaf ini memberikan
keleluasaan bagi umat Islam untuk turut serta dalam program wakaf sehingga tidak perlu lagi
menunggu kaya dahulu seperti tuan tanah. Mereka dapat menyisihkan sebagian rezekinya untuk
wakaf tunai atau menyerahkan hak miliknya untuk diwakafkan secara berjangka. Ini merupakan
terobosan baru yang dapat memberikan peluang bagi peningkatan kesejahteraan umat Islam.
Adapun benda bergerak berupa uang dijelaskan dalam pasal 22 dan 23. Dalam pasal 22
dijelaskan bahwa:

1. Wakaf tunai yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.


2. Dalam hal uang yang akan diwakafkan masih dalam mata uang asing, maka harus
dikonversi terlebih dahulu ke dalam rupiah.
3. Wakif yang akan mewakafkan uangnya diwajibkan untuk:
a. Hadir di lembaga keuangan syari‟ah penerima wakaf tunai (LKS- PWU)
b. untuk menyatakan kehendak wakaf tunainya;
c. Menjelaskan kepemilikan dan asal- usul uang yang akan diwakafkan;
d. Menyetor secara tunai sejumlah uang ke LKS- PWU;
e. Mengisi formulir pernyataan kehendak wakif yang berfungsi sebagai AIW.

Pasal 23 menjelaskan bahwa Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui LKS
yang ditunjuk oleh Menteri sebagai LKS penerima wakaf uang (LKS- PWU). Hingga saat ini,
sudah ada 5 LKS- PWU yang diresmikan oleh Menteri Agama, yakni Bank Muamalat, Bank
Mega Syariah, Bank Syariah Mandiri, Bank BNI Syariah, dan Bank DKI.12

Sistem Wakaf Tunai di Indonesia

12
Sudirman, “Pengembangan Wakaf Tunai untuk Keadilan Sosial Studi tentang Manajemen Wakaf Tunai di Tabung
Wakaf Indonesia”, Majalah Model, No.19/II Mei 2004
Definisi wakaf yang terdapat dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
mengakomodir berbagai macam harta benda wakaf termasuk adalah wakaf uang. Dalam
13
ketentuan undang-undang terdapat dua model wakaf uang :

a. Wakaf uang untuk jangka waktu tertentu


Wakaf uang jangka waktu tertentu haruslah diinvestasikan ke produk perbankan agar
lebih aman dan memudahkan pihak wakaf dalam menerima uangnya kembali pada
saat jatuh tempo.
b. Wakaf uang untuk selamanya.
Mengenai wakaf uang untuk selamanya, pihak nazhir memiliki otoritas penuh untuk
mengelola dan mengembangkan uang wakaf untuk mencapai tujuan wakafnya. Bila
kegiatan investasi menggunakan dana penghimpunan wakaf, maka atas keuntungan
bersih usaha hasil investasi ini (yaitu pendapatan kotor dikurangi dengan biaya
operasional), akan dibagikan sesuai dengan ketentuan undang-undang wakaf yaitu
90% keuntungan akan diperuntukkan untuk tujuan wakaf (mauquf alaih) dan 10%
untuk penerimaan pengelola atau nazhir

Secara spesifik, undang-undang tersebut memuat bagian tentang wakaf uang, di mana
dalam pasal 28 sampai pasal 31 ialah wakaf uang harus disetor melalui Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) yang telah ditetapkan oleh Menteri Agama RI. Wakaf uang harus dibuktikan
dengan sertifikat. Penerimaan dan pengelolaan wakaf uang dapat diintegrasikan dengan lembaga
keuangan syariah. Dalam wakaf uang, wakif tidak boleh langsung menyerahkan mauquf yang
berupa uang kepada nazhir, tapi harus melalui LKS, yang disebut sebagai LKS Penerima Wakaf
Uang (PWU). Dalam sistem pengelolaan wakaf uang tidak banyak berbeda dengan wakaf tanah
atau bangunan, nazhir bertugas untuk menginvestasikan sesuai syariah dengan satu syarat: nilai
nominal uang yang diinvestasikan tidak boleh berkurang. Sedangkan hasil investasi dialokasikan
untuk upah nazhir (maksimal 10%) dan kesejahteraan masyarakat (minimal 90%). Saat ini yang
tengah berjalan adalah kerjasama nazhir dengan perbankan syariah. Ini tercermin dari Keputusan
Menteri Agama RI No. 92-96 tahun 2008 yang menunjuk 5 bank syariah untuk bermitra dengan
nazhir dalam soal wakaf uang. Kelima bank tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia, Bank

13
M. Nur Rianto Al Arif, “Efek Multiplier Wakaf Uang dan Pengaruhnya terhadap Program Pengentasan
Kemiskinan”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 46 No. 1, Januari-Juni 2012
Syariah Mandiri, BNI Syariah, DKI Syariah, dan Bank Syariah Mega Indonesia. 14 Namun, tidak
menutup kemungkinan ke depan pengembangan wakaf uang juga bisa dipadukan dengan
instrumen lembaga keuangan syariah non-bank.

Pengaruh Wakaf Tunai di Indonesia

Dilihat dari segi ekonomi, wakaf tunai sangat potensial untuk dikembangkan di
Indonesia, karena dengan model wakaf ini daya jangkau mobilisasinya akan jauh lebih merata
kepada segian masyarakat dibandingkan dengan model wakaf-wakaf tradisional-konvensional,
yaitu dalam bentuk harta fisik yang biasanya dilakukan oleh keluarga yang terbilang relatif lebih
mampu.15

Dengan adanya wakaf tunai maka memberikan berbagai efek yang akan terjadi di
masyarakat dan tentunya efek tersebut mengarah ke hal yang bersifat menyejahterakan
masyarakat. Mekanisme efek pengganda wakaf uang dalam dijelaskan sebagai berikut, yaitu
dana wakaf uang yang dikelola oleh nazhir untuk diinvestasikan memberikan hasil, dimana 10%
diberikan kepada nazhir sebagai biaya pengelolaan dan 90% hasilnya diberikan untuk mauquf
alaih. Hasil investasi yang dialokasikan untuk mauquf alaih dapat dibedakan atas dua sector,
yaitu sektor ekonomi dan sektor non-ekonomi, seperti untuk sosial dan pendidikan. Hasil wakaf
uang yang diberikan kepada sektor ekonomi yaitu dalam bentuk dana bergulir. Bantuan
tambahan modal yang diberikan dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas produksi
sehingga produksi barang dan jasa dalam perekonomian akan meningkat. Peningkatkan
penerimaan negara akan meningkatkan dana pembangunan, peningkatan dana pembangunan ini
akan kembali lagi secara tidak langsung kepada peningkatan pendapatan wakif. Sementara hasil
investasi wakaf uang yang dialokasikan untuk sektor non-ekonomi baik untuk sektor sosial dan
pendidikan bersifat bantuan konsumtif kepada mauquf alaih. Bantuan konsumtif yang diberikan
berarti akan meningkatkan daya beli masyarakat yang menerima. Kenaikan daya beli konsumen
ini berimplikasi pada peningkatan jumlah konsumsi masyarakat secara langsung, karena saat ini
masyarakat memiliki pendapatan yang lebih tinggi untuk dibelanjakan. Peningkatan jumlah
barang yang diminta oleh konsumen secara langsung akan menggeser permintaan agregat di

14
Pasal 23 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
15
Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Kemenag RI, 2007, hlm.9
dalam perekonomian. Kenaikan permintaan agregat ini direspons secara positif oleh responden
dengan meningkatkan kapasitas produksi, sehingga hal ini berarti akan meningkatkan investasi.
Peningkatan kapasitas produksi akan mampu meningkatkan penerimaan negara, salah satunya
penerimaan dalam bentuk pajak. Penerimaan negara semakin meningkat, semakin meningkat
pula dana pembangunan negara. Hal ini akan memberikan pengaruh secara tidak langsung
kepada peningkatan pendapatan wakif. Sehingga terlihat bahwa wakaf uang mampu memberikan
pengaruh yang secara langsung dapat meningkatkan pendapatan wakif maupun pengaruh tidak
langsung yang distimulus dengan mekanisme dalam perekonomian.16

DAFTAR PUSTAKA

o Abubakar, Irfan, dan Bamualim, Chaider S. (ed.), Filantropi Islam & Keadilan Sosial, Jakarta: CSRC UIN
Jakarta, 2006
o Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawaz al-Waqf al-Nuqud, Bairut: Dar Ibn Hazm, 1997
o Antonio, Muhammad Syafii, Pengelolaan Wakaf Secara Produktif, dalam Djunaidi dan Thobieb, 2007,
Menuju Era Wakaf Produktif, Jakarta: Mumtaz Publishing.
o Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, Kemenag RI, 2007
o Direktorat Pemberdayaan Wakaf, Strategi Pengembangan Wakaf Tunai di Indonesia, Kemenag RI, 2007

16
M. Nur Rianto Al Arif, Ibid.
o Dr Rafieq Yunus El- mashry, “Wakaf Tunai ( Cash waqf): Menuju Pengembanagn wakaf Produktif”, Dalam
Al-Ibroh: Jurnal Studi- studi Islam. Vol 1 Tahun 2003
o Kompilasi Hukum Islam di Indonesia
o Lubis, Suhrawardi K. dkk., Wakaf dan Pemberdayaan Umat, Jakarta: Sinar Grafika dan UMSU Publisher,
2010
o M. Cholil Nafis, “Wakaf Uang untuk Jaminan Sosial”, Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, No. 2, April 2009
o M. Nur Rianto Al Arif, “Efek Multiplier Wakaf Uang dan Pengaruhnya terhadap Program Pengentasan
Kemiskinan”, Jurnal Ilmu Syariah dan Hukum, Vol. 46 No. 1, Januari-Juni 2012
o M. Syakir Sula, “Implementasi Wakaf dalam Instrumen Asuransi Syariah”, Jurnal Al-Awqaf, Vol. II, No. 2,
April 2009
o Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006.
o Sudirman, “Pengembangan Wakaf Tunai untuk Keadilan Sosial Studi tentang Manajemen Wakaf Tunai di
Tabung Wakaf Indonesia”, Majalah Model, No.19/II Mei 2004
o Undang-Undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf

Anda mungkin juga menyukai