A. Pengertian
‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi dengan beberapa macammakna yaitu:
1. ‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara
bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan
memaknai artinya perkataan at tadaawul.
2. ‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi
perkataan itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3. ‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar
kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat.1
Secara terminologi Ariyah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih
utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya.
Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang
menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah
dan ijma’ ulama.
Sedangkan pengertiananya dalam terminologi Ulama Fiqih, maka dalam hal ini
terdapat perincian beberapa pendapat:
1. Menurut Hanafiyah, ‘ariyah ialah :
1
Ghazaly, Abdul Rahman, Fiqih Muamalah (Jakarta: Kencana, 2010), 247.
2
Az-Zuhaili, Wahbab, Fiqih Islam WaAdillatuhu (Jakarta: Gema Insani, 2011), 573.
1
4. Menurut Hanabilah, ‘ariyah ialah :
ِ َع ِب ِه َم َع ِبق
اء َع ْي ِن ِه ِل َي ُردَّه ِ ُأ َبا َحة
ُ اال ْن ِتفَا عِ ِب َما َي ِح ُّل اْ ِال ْن ِتفَا
“Kebolehan mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya
supaya dapat dikembalikan.”
6. Menurut Al-Mawardi, yang dimaksud dengan ‘ariyah ialah :
ْ ُ
ِِح َبة ال ُمنَا َ فِع
“memberikan manfaat-manfaat.”
7. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh
pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa ganti.
َوت َ َعا َونُ ْوا َعلَى ال ِب ِر َوالت َّ ْق َوى َوالَت َ َعا َونُ ْو ا َعلَى اْ ِألثْ ِم َوالعُ ْد َوا ِن
Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu
tolong menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.3
3
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2016), 93.
2
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’iyah, dalam ariyah disyaratkan adanya lafadh shigat akad yakni ucapan
ijab dan kabul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi
sebab memanfaatkan milik barang tergantung adanya izin.
Secara umum jumhur ulama fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat yaitu :
1. Mu'ir (peminjam)
2. Musta'ir (yang meminjamkan)
3. Mu'ar ( barang ynag dipinjam)
4. Sighat, yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat baik
dengan ucapan maupun perbuatan.
Menurut Ulama fiqih ada beberapa syarat dalam akad ariyah sebagai berikut:
1. Muir berakal sehat dengan demikian orang gila dan anak kecil yang tidak
berakal tidak dapat meminjamkan barang. Sedangkan menurut Ulama
hanafiyah bahwa yang berhak meminjamkan barang adalah orang yang
yang tanpa dipaksa meminjamkan barang dan bukan anak kecil.
2. Pemegangan barang oleh peminjam
Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan yang dianggap sahabat
menegang barang adalah peminjam.
3. Barang (musta'ar) dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya ,jika musta'ar
tidak dapat dimanfaatkan akad tidak sah.
Para ulama telah menetapkan bahwa ariyah dibolehkan terhadap setiap
barang yang dapat diambil manfaat nya dan tanpa merusak zatnya.4
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki
utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melainkan pembayaran utang juga
termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulullah
Saw bersabda :
3
”Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalahaniaya” (riwayat
Bukhari dan Muslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi
yang membayar utang.
Rasulullah Saw bersabda :
4
meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu
rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut
rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang berlebihan maupun
karena yang lainnya. Demikian menurut Ibn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’i, dan
Ishaq dalam hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw bersabda :
َ ت ت ُ َؤد
ِي ْ ََعلَى ْاليَ ِد َماأ َ َخد
َّ ت َح
“pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengembalikannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa, peminjaman tidak
berkewajiban meminjam barang pinjamannya, kecuali karena tindakannya yang
berlebihan, karena Rasulullah Saw bersabda :
ٌ ض َم
ان (أخرجه َ ِان َوالَ ْال ُمْست َ ْودِع
َ غي ِْرال ُم َِغ ِل َ ْس َعلَى ْال ُم ْْست َ ِعي ِْر ال ُم َِغ ِل
ٌ ض َم َ َلي
)الداقطنى
“Peminjam yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang
dititipi yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (Dikeluarkan
al-Daruquthni).
G. Tatakrama Berutang
Adapun hal-hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang
tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a. Sesuai dengan QS. Al-Baqarah : 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan
tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki atau dengan
seorang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan
tersebut dibuat di atas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan membayarnya atau mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembaikan, maka yang berpiutang
hendaknya membebaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat
pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti berbuat
zalim.5
5
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2016), 91-98.
5
Kesimpulan
Ariyah adalah kebolehan memanfaatkan barang yang masih utuh yang masih di
gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada pemiliknya. Peminjaman barang sah
dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang menunjukkan kepadanya
peminjaman dilakukan berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan ijma’ ulama.
Tolong menolong (‘ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut al-Ruyani,
sebagaimana dikutip oleh Taqiy al-Din, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib ketika awal
islam. Adapun landasan hukumnya dari nash Al-Qur’an.
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang
yang dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.
Abu hanifah dan Malik berpendapat bahwa meminjam boleh meminjamkan
benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum
mengizinkannya jika penggunaannya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan
tujuan pemakaian pinjaman.
Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang
tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik karena pemakaian yang
berlebihan maupun karena yang lainnya.
6
Daftar Pustaka