1[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 15
2[2] Harold D. Laswell, Who Gets What, When, How (New York: Meridian Books, Inc, 1959)
menanggulanginya. Dengan demikian, di masa mendatang kasus korupsi di
Indonesia bisa berkurang dan pembangunan bangsa dan negara dalam segala
bidang dapat berjalan dengan baik.
A. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi tentunya sudah bukan hal yang asing lagi ditelinga. Definisi
sederhana korupsi adalah "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi."
Definisi, dampak, dan motivasi korupsi berbeda-beda. "Korupsi" melibatkan perilaku
pihak para pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil. Mereka
secara tidak wajar dan tidak sah memperkaya diri sendiri atau orang yang dekat
dengan mereka dengan menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan.3[3]
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau
hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait
tanggung jawab yang dijalani.
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank
dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih
luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan
pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku.4[4]
Berdasarkan dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara
garis besar dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan
publik yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri
maupun orang-orang yang dekat dengannya.
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu (1) Seseorang memiliki kekuasaan
termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan
tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai
sebab akibat kebijakan publik tesebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang
terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila satu dari
4[4] (The Role of a National Integrity System in Fighting Corruption, Peter Langseth et al, The
Economic Development Institute of The World Bank, 1997)
ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan
sebagai tindakan korupsi.5[5]
Berikut ini terdapat beberapa tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi, antara lain sebagai berikut:
1. Tindakan merugikan keuangan negara/pihak lain
Seseorang dianggap sudah merugikan keuangan negara atau pihak lain jika dia melakukan
perbuatan-perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri, golongan, atau pihak-pihak
tertentu dengan cara melawan hukum seperti menyalahgunakan wewenang atau
kedudukannya yang bisa merugikan keuangan negara atau pihak lain.
2. Tindakan suap-menyuap
Tindakan penyuapan dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keistimewaan atau
sesuatu di luar prosedur. Dan sebuah tindakan bisa dekategorikan sebagai penyuapan apabila
seseorang memberikan sesuatu atau janji kepada pihak tertentu dengan maksud untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya.
3. Melakukan penggelapan dalam jabatan
Dalam hal ini, penggelapan bukan saja berkaitan dengan uang. Sebuah tindakan bisa
dikategorikan sebagai penggelapan apabila secara sengaja menggelapkan atau membantu
orang lain untuk mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, entah itu uang, barang atau
5[5] (Arvin, K. Jain, “Corruption: A Review”, Concordia University, Journal of Economics Survei, Vol.
15, No. 1, 2001)
DAFTAR PUSTAKA
Arvin, K. Jain, Corruption: A Review. Concordia University, Journal of Economics Survei, Vol. 15, No. 1,
2001
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Harold D. Laswell. Who Gets What, When, How. New York: Meridian Books, Inc, 1959.
Napitupilu, Diana. KPK in Action. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.
Zachrie, Ridwan, dan Wijayanto. Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3800/1/fisip-erika1.pdf diakses pada 07 Oktober
2012 pukul 10.40 WIB
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/203711037/bab4.pdf diakses pada 17 Oktober 2012 pukul 22.45
WIB
surat-surat berharga untuk kepentingan pribadi. Selain itu, pemalsuan data adminstrasi dan
penghancuran benda, akta, atau barang bukti juga bisa dikatakan sebagai penggelapan.
4. Tindakan pemerasan
Pemerasan berarti tindakan seseorang meminta uang atau barang kepada pihak lain dengan
disertai ancaman, dan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila dilakukan untuk keuntungan
diri sendiri atau golongannya, dilakukakn dengan melawan hukum, dan ada sejumlah uang
atau barang yang diminta sebelum ia menjalankan kewajibannya.
5. Tindakan kecurangan
Dalam undang-undang, sebuah kecurangan bisa dikatakan sebagai bentuk tindakan korupsi
apabila dilakukan dengan sengaja, merugikan orang lain, membahayakan keselamatan pihak
lain, serta terjadi pembiaran terhadap kecurangan tersebut.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Terkait dengan kasus korupsi, undang-undang secara spesifik mengerucutkan konflik
kepentingan (conflict of interest) hanya untuk masalah pengadaan barang karena selama ini
proses pengadaan barang kerap kali diwarnai tindakan-tindakan melanggar hukum sebagai
akibat dari adanya konflik kepentingan.
7. Gratifikasi
Gratifikasi (pemberian hadiah) yang dilarang adalah gratifikasi yang berhubungan dengan
pekerjaan, jabatan atau tanggung jawab seseorang disertai maksud tertentu. Biasanya
pemberian gratifikasi bertujuan untuk melancarkan urusan, masalah atau kepentingan yang
sedang dimiliki oleh seseorang dengan aparat pemerintah
.
B. Faktor Penyebab Korupsi
Pada hakikatnya, awal mula praktik korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda, sekitar tahun 1800-an yaitu pada masa VOC yang kemudian
terus berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru,
korupsi semakin merajalela dikalangan penguasa di republik ini. Berbagai kasus
korupsi menjerat para pemegang kekuasaan publik, hal ini jugalah yang turut
menjadi penyebab terjadinya Reformasi 1998. Ini menandakan bahwa korupsi di
Indonesia sudah berlangsung begitu lama dan seolah tidak ada tindakan untuk
memutus mata rantai korupsi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka harus diketahui apa saja pokok
permasalahan dan faktor-faktor yang menyebabkan seorang pejabat publik atau
aparat pemerintah melakukan korupsi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan
seseorang melakukan korupsi, diantaranya sebagai berikut :
1. Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan publik sehingga
mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik korupsi..
2. Kurang tegasnya peraturan perundang-undangan menekan atau memberantas korupsi, kolusi,
dan nepotisme serta sanksi yang kurang tegas bagi pelaku KKN sehingga tidak menimbulkan
efek jera dan tidak mencegah munculnya koruptor-koruptor baru.
3. Lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat negara sehingga memberikan
peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
4. Gaji yang relatif rendah.
Faktor inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang melakukan korupsi, karena ia
menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk mendapatkan kehidupan yang
berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan juga dianggap tidak sebanding dengan tingkat
kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks.
5. Rendahnya pengetahuan dan parisipasi masyarakat dalam hal kontrol kinerja aparat
pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga rentan penyelewengan
kekuasaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
6. Budaya korupsi yang sudah berkembang dimasyarakat.
Warisan budaya korupsi yang sudah ada sejak zaman kolonial yang terus berlanjut hingga
masa pasca Indonesia merdeka, bahkan hingga era reformasi menjadikan korupsi semakin
sulit untuk diberantas secara menyeluruh.
7. Tidak adanya rasa nasionalisme dalam diri pejabat publik, dan lain-lain.