Anda di halaman 1dari 8

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah usaha untuk

menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar


warga, untuk membawa masyarakat ke arah kehidupan bersama yang harmonis.1[1]
Akan tetapi, pada praktiknya tidak semua aktor politik menjadikannya sebagai dasar
dalam bekerja demi terwujudnya kehidupan bersama yang harmonis tersebut. Hal ini
sesuai dengan pendapat Ramlan Surbakti dalam buku Memahami Ilmu Politik yaitu
setiap pihak dalam kehidupan politik selalu menggunakan alasan demi “kebaikan
bersama” (public good). Alasan yang diterima secara umum itu dikemukakan untuk
mengadakan pembenaran atas tuntutan atau tindakannya. Maka dari itu, agar tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan, ada tiga masalah utama sehubungan dengan
kekuasaan politik yang menjadi perhatian ilmuwan politik, yaitu bagaimana
kekuasaan dijalankan bagaimana kekuasaan didistribusikan, dan mengapa
seseorang atau kelompok tertentu mempunyai kekuasaan yang lebih besar daripada
orang atau kelompok lain dalam situasi dan kondisi tertentu.
Selain itu, Harold D. Laswell dalam buku Who Gets What, When, How
mengatakan: “Politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan
bagaimana. 2 [2] Berdasarkan pendapat inilah, kita bisa menjelaskan tentang
bagaimana cara seseorang mendapatkan kekuasaan publik dengan cara-cara
tertentu, misalnya ketika seseorang memperoleh sebuah jabatan publik
menggunakan cara money politics, maka ketika ia sudah menjalankan
kekuasaannya, ia berpotensi melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum, hal ini
dilakukan karena ia telah mengeluarkan banyak uang sebagai modal mendapatkan
kekuasaan, sehingga ketika dia sudah menjabat, ia berkeinginan untuk
mendapatkan kembali modal yang telah ia keluarkan dan salah satu cara yang
ditempuh adalah dengan melakukan korupsi. padahal korupsi merupakan tindakan
melanggar hukum karena menyelewengkan kekuasaan publik untuk kepentingan
tertentu.
Maka dari itu, edukasi kepada masyarakat mengenai korupsi haruslah
maksimal, diantaranya dengan memberikan pengetahuan tentang apa itu korupsi,
faktor penyebabnya, dampak-dampak yang ditimbulkan, serta cara

1[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. 15

2[2] Harold D. Laswell, Who Gets What, When, How (New York: Meridian Books, Inc, 1959)
menanggulanginya. Dengan demikian, di masa mendatang kasus korupsi di
Indonesia bisa berkurang dan pembangunan bangsa dan negara dalam segala
bidang dapat berjalan dengan baik.
A. Pengertian Korupsi
Istilah korupsi tentunya sudah bukan hal yang asing lagi ditelinga. Definisi
sederhana korupsi adalah "penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi."
Definisi, dampak, dan motivasi korupsi berbeda-beda. "Korupsi" melibatkan perilaku
pihak para pejabat sektor publik, baik politisi maupun pegawai negeri sipil. Mereka
secara tidak wajar dan tidak sah memperkaya diri sendiri atau orang yang dekat
dengan mereka dengan menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan.3[3]
Menurut UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, korupsi merupakan tindakan memperkaya diri sendiri, penyalahgunaan
wewenang dan kekuasaan, memberi dan menjanjikan sesuatu kepada pejabat atau
hakim, berbuat curang, melakukan penggelapan, dan menerima hadiah terkait
tanggung jawab yang dijalani.
Definisi lain dari korupsi yang paling banyak diacu, termasuk oleh World Bank
dan UNDP, adalah “the abuse of public office for private gain”. Dalam arti yang lebih
luas, definisi korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan
pribadi atau privat yang merugikan publik dengan cara-cara yang bertentangan
dengan ketentuan hukum yang berlaku.4[4]
Berdasarkan dua definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi secara
garis besar dapat didefinisikan sebagai penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan
publik yang dilakukan oleh seseorang untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri
maupun orang-orang yang dekat dengannya.
Korupsi terjadi jika tiga hal terpenuhi, yaitu (1) Seseorang memiliki kekuasaan
termasuk untuk menentukan kebijakan publik dan melakukan administrasi kebijakan
tersebut, (2) Adanya economic rents, yaitu manfaat ekonomi yang ada sebagai
sebab akibat kebijakan publik tesebut, dan (3) Sistem yang ada membuka peluang
terjadinya pelanggaran oleh pejabat publik yang bersangkutan. Apabila satu dari

3[3] http://ti.or.id/index.php/glossary/detail/3/korupsi-02-02/ diakses 17 Oktober 2012 pukul 17.30


WIB

4[4] (The Role of a National Integrity System in Fighting Corruption, Peter Langseth et al, The
Economic Development Institute of The World Bank, 1997)
ketiga parameter ini tidak terpenuhi, tindakan yang terjadi tidak bisa dikategorikan
sebagai tindakan korupsi.5[5]
Berikut ini terdapat beberapa tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi, antara lain sebagai berikut:
1. Tindakan merugikan keuangan negara/pihak lain
Seseorang dianggap sudah merugikan keuangan negara atau pihak lain jika dia melakukan
perbuatan-perbuatan dengan tujuan memperkaya diri sendiri, golongan, atau pihak-pihak
tertentu dengan cara melawan hukum seperti menyalahgunakan wewenang atau
kedudukannya yang bisa merugikan keuangan negara atau pihak lain.
2. Tindakan suap-menyuap
Tindakan penyuapan dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan keistimewaan atau
sesuatu di luar prosedur. Dan sebuah tindakan bisa dekategorikan sebagai penyuapan apabila
seseorang memberikan sesuatu atau janji kepada pihak tertentu dengan maksud untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya.
3. Melakukan penggelapan dalam jabatan
Dalam hal ini, penggelapan bukan saja berkaitan dengan uang. Sebuah tindakan bisa
dikategorikan sebagai penggelapan apabila secara sengaja menggelapkan atau membantu
orang lain untuk mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya, entah itu uang, barang atau

5[5] (Arvin, K. Jain, “Corruption: A Review”, Concordia University, Journal of Economics Survei, Vol.
15, No. 1, 2001)

DAFTAR PUSTAKA

Arvin, K. Jain, Corruption: A Review. Concordia University, Journal of Economics Survei, Vol. 15, No. 1,
2001
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Harold D. Laswell. Who Gets What, When, How. New York: Meridian Books, Inc, 1959.
Napitupilu, Diana. KPK in Action. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2010.

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.
Zachrie, Ridwan, dan Wijayanto. Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek
Pemberantasan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3800/1/fisip-erika1.pdf diakses pada 07 Oktober
2012 pukul 10.40 WIB
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1hukum08/203711037/bab4.pdf diakses pada 17 Oktober 2012 pukul 22.45
WIB
surat-surat berharga untuk kepentingan pribadi. Selain itu, pemalsuan data adminstrasi dan
penghancuran benda, akta, atau barang bukti juga bisa dikatakan sebagai penggelapan.
4. Tindakan pemerasan
Pemerasan berarti tindakan seseorang meminta uang atau barang kepada pihak lain dengan
disertai ancaman, dan dapat dikatakan sebagai korupsi apabila dilakukan untuk keuntungan
diri sendiri atau golongannya, dilakukakn dengan melawan hukum, dan ada sejumlah uang
atau barang yang diminta sebelum ia menjalankan kewajibannya.
5. Tindakan kecurangan
Dalam undang-undang, sebuah kecurangan bisa dikatakan sebagai bentuk tindakan korupsi
apabila dilakukan dengan sengaja, merugikan orang lain, membahayakan keselamatan pihak
lain, serta terjadi pembiaran terhadap kecurangan tersebut.
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
Terkait dengan kasus korupsi, undang-undang secara spesifik mengerucutkan konflik
kepentingan (conflict of interest) hanya untuk masalah pengadaan barang karena selama ini
proses pengadaan barang kerap kali diwarnai tindakan-tindakan melanggar hukum sebagai
akibat dari adanya konflik kepentingan.
7. Gratifikasi
Gratifikasi (pemberian hadiah) yang dilarang adalah gratifikasi yang berhubungan dengan
pekerjaan, jabatan atau tanggung jawab seseorang disertai maksud tertentu. Biasanya
pemberian gratifikasi bertujuan untuk melancarkan urusan, masalah atau kepentingan yang
sedang dimiliki oleh seseorang dengan aparat pemerintah
.
B. Faktor Penyebab Korupsi
Pada hakikatnya, awal mula praktik korupsi di Indonesia sudah ada sejak zaman
penjajahan Belanda, sekitar tahun 1800-an yaitu pada masa VOC yang kemudian
terus berlanjut hingga masa setelah Indonesia merdeka. Pada masa Orde Baru,
korupsi semakin merajalela dikalangan penguasa di republik ini. Berbagai kasus
korupsi menjerat para pemegang kekuasaan publik, hal ini jugalah yang turut
menjadi penyebab terjadinya Reformasi 1998. Ini menandakan bahwa korupsi di
Indonesia sudah berlangsung begitu lama dan seolah tidak ada tindakan untuk
memutus mata rantai korupsi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka harus diketahui apa saja pokok
permasalahan dan faktor-faktor yang menyebabkan seorang pejabat publik atau
aparat pemerintah melakukan korupsi. Ada berbagai faktor yang menyebabkan
seseorang melakukan korupsi, diantaranya sebagai berikut :
1. Rendahnya iman dan moral yang dimiliki seorang pemegang kekuasaan publik sehingga
mudah terpengaruh dan tergoda untuk melakukan praktik korupsi..
2. Kurang tegasnya peraturan perundang-undangan menekan atau memberantas korupsi, kolusi,
dan nepotisme serta sanksi yang kurang tegas bagi pelaku KKN sehingga tidak menimbulkan
efek jera dan tidak mencegah munculnya koruptor-koruptor baru.
3. Lemahnya pengawasan dan kontrol terhadap kinerja aparat negara sehingga memberikan
peluang korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
4. Gaji yang relatif rendah.
Faktor inilah yang sering menjadi alasan utama seseorang melakukan korupsi, karena ia
menganggap bahwa gaji yang ia dapat belum cukup untuk mendapatkan kehidupan yang
berkecukupan. Selain itu, tingkat pendapatan juga dianggap tidak sebanding dengan tingkat
kebutuhan hidup yang semakin meningkat dan semakin kompleks.
5. Rendahnya pengetahuan dan parisipasi masyarakat dalam hal kontrol kinerja aparat
pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang diambil, sehingga rentan penyelewengan
kekuasaan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
6. Budaya korupsi yang sudah berkembang dimasyarakat.
Warisan budaya korupsi yang sudah ada sejak zaman kolonial yang terus berlanjut hingga
masa pasca Indonesia merdeka, bahkan hingga era reformasi menjadikan korupsi semakin
sulit untuk diberantas secara menyeluruh.
7. Tidak adanya rasa nasionalisme dalam diri pejabat publik, dan lain-lain.

C. Dampak Adanya Korupsi


Korupsi tentu saja menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kelangsungan
sebuah bangsa dan negara. Dampak korupsi antara lain sebagai berikut :
1. Berkurangnya kepercayaan publik terhadap pemerintah
Meningkatnya praktik korupsi yang dilakukan oleh aparat pemerintahan semakin
membuat publik (rakyat) tidak memberikan kepercayaan secara penuh kepada pemerintah.
Bahkan kepercayaan dari negara lain pun juga bisa berkurang terhadap pemerintah yang
sedang berkuasa di negara tersebut sebagai akibat dari maraknya kasus korupsi di kalangan
pemegang kekuasaan publiknya. Hal ini tentu akan membawa dampak yang cukup besar
terhadap pembangunan di segala bidang.
2. Berkurangnya kewibawaan pemerintah.
Banyaknya aparat di pemerintahan yang melakukan korupsi membuat citra dan
kewibawaan pemerintah menjadi berkurang dan bahkan bisa menyebabkan rakyat bersikap
apatis terhadap peraturan-peraturan serta himbauan-himbauan yang diberikan pemerintah.
Hal ini tentu dapat mengganggu stabilitas keamanan dan ketahanan nasional.
3. Kerugian negara dalam bidang ekonomi
Berbagai pendapatan negara yang sebagian besar berasal dari uang rakyat dan seharusnya
juga digunakan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pada kenyataannya uang rakyat
banyak yang digelapkan atau dikorupsi oleh pemegang kekuasaan publik.
8. Menghambat laju pertumbuhan dan pembangunan ekonomi
Ketika sebuah negara memiliki catatan buruk pada kasus korupsi, maka hal tersebut akan
berpengaruh terhadap kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Dan akan berdampak buruk bagi kondisi perekonomian nasional.
Selain itu, birokrasi yang sulit dan lebih mengedepankan uang daripada profesionalisme dan
tanggung jawab sebagai birokrat juga menjadikan modal asing berpaling dari Indonesia dan
mengalihkan investasi ke negara yang lebih baik birokrasinya, dll.

D. Cara Mencegah dan Memberantas Korupsi di Indonesia


Meskipun faktanya korupsi hampir tidak mungkin bisa diberantas secara
menyeluruh, namun setidaknya korupsi itu bisa ditekan agar di masa mendatang
korupsi tidak semakin membudaya dan semakin merusak moral para pejabat negara.
Maka dari itu, setelah dapat diketahui apa saja faktor-faktor yang
menyebabkan seorang pemegang kekuasaan publik melakukan korupsi serta
dampak apa saja yang timbul akibat korupsi di Indonesia, dapat dirumuskan
beberapa cara untuk mencegah dan menanggulangi adanya praktik korupsi.
Dalam hal ini, beberapa ahli memiliki sejumlah pandangan atau pendapat
tentang bagaimana cara menanggulangi korupsi.
Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk
menanggulangi korupsi sebagai berikut :
a. Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran
tertentu.
b. Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
c. Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan
pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih
organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas
adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
d. Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi dengan jalan meningkatkan ancaman.
e. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi,
tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional
maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural,
barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan
adanya perubahan organisasi
Pada poin pertama pendapat Caiden diatas terlihat seperti tindakan yang
melegalkan pungutan-pungutan yang dilakukan oleh pemerintah, namun dalam
konteks ini, pungutan yang diterapkan sudah berlandaskan aturan resmi untuk
kebaikan bersama dan menghilangkan kemungkinan adanya pungutan-pungutan liar.
Namun, disisi lain apabila tidak diadakan kontrol maksimal, cara ini bisa
dimanfaatkan saja oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk
mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri dan orang-orang disekitarnya..
Sedangkan, Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai
berikut :
1. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
2. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
3. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
4. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
5. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
departemen, beserta jawatan dibawahnya.
6. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan
sistem “ascription”.
7. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
8. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
9. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
10. Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.
Dari dua pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara yang
cukup efektif untuk menanggulangi korupsi, natara lain :
1. Merestrukturisasi organisasi di berbagai sektor pemerintahan sehingga bisa memudahkan
dalam pengawasan/kontrol terhadap kinerja aparat pemerintahan.
2. Meningkatkan kesejahteraan pegawai sehingga bisa mengurangi dorongan untuk melakukan
korupsi
3. Penegakan hukum secara tegas dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, pemberian sanksi pidana
maupun sanksi sosial yang bisa memberikan efek jera sekaligus bisa memberikan peringatan
bagi aparatur negara lainnya agar tidak melakukan korupsi.
4. Meningkatkan kesadaran seluruh elemen bangsa untuk turut berpartisipasi dalam melakukan
kontrol sosial serta pengawasan kinerja pemegang kekuasaan publik serta memaksimalkan
fungsi media massa sebagai agen untuk mengontrol kinerja pemerintahan.
5. Menciptakan pemerintahan yang bersih, jujur, dan terbuka.
Hal ini bisa dimulai dengan perekrutan pegawai baru berdasarkan keahlian dan menghapus
jalur-jalur ilegal (suap dan nepotisme) sehingga kedepan organisasi kepemerintahan bisa
lebih baik.
6. Pencatatan kekayaan aparatur negara secara berkala sehingga bisa diketahui apabila ada
aparatur negara yang mempunyai kekayaan yang tidak wajar.
7. Menanamkan rasa nasionalisme sejak dini, serta memberikan pendidikan tentang dampak
yang ditimbulkan akibat korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta membangun karakter generasi
penerus bangsa yang berkarakter Pancasila.

Anda mungkin juga menyukai