Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Telinga
Auris (telinga) dibedakan atas bagian luar, tengah, dan dalam. Auris berfungsi ganda :
untuk keseimbangan dan untuk pendengaran. Membran timpani memisahkan auris eksterna
dari auris media atau kavum timpani. Tuba auditiva (tuba Eustachius) menghubungkan telinga
dengan nasofaring.

Gambar 1. Anatomi telinga

1. Telinga Luar1

Telinga luar terdiri aurikula, meatus akustikus eksernus, dan membran timpani.
Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S,
dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, sedangkan dua pertiga bagian
dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 – 3 cm. Pada sepertiga
bagian luar kulit telinga terdapat banyak kelenjar serumen dan rambut. Kelenjar keringat

1
terdapat pada seluruh liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai
kelenjar serumen.
Liang telinga memiliki tulang rawan pada bagian lateral namun bertulang di
sebelah medial. Seringkali terdapat penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang dan
tulang rawan tersebut. sendi temporomandibularis dan kelenjar parotis terletak di depan
liang telinga, sementara prosesus mastoideus terletak dibelakangnya. Saraf fasialis
meninggalkan foramen stilomastoideus dan berjalan ke lateral menuju prosesus stiloideus
di posterior liang telinga, dan kemudian berjalan di bawah liang telinga untuk memasuki
kelenjar parotis. Rawan liang telinga merupakan salah satu patokan pembedahan yang
digunakan untuk mencari saraf fasialis; patokan lainnya adalah sutura
timpanomastoideus.
Batas-batas MAE antara lain;
Anterior : Fossa mandibular, parotis
Posterior : Mastoid
Superior : Resessus epitimpanikum, kranial
Inferior : Parotis

2. Telinga Tengah
Auris media terletak di dalam pars petrosa ossis temporalis. Auris media terdiri dari
kavum timpani, yakni rongga yang terletak langsung di sebelah dalam membran timpani, dan
recessus epitimpanikus. Ke depan auris media berhubungan dengan nasofaring melalui tuba
auditiva. Ke arah posterosuperior kavum timpani berhubungan dengan cellulae mastoidea
melalui antrum mastoideum. Kavum timpani dilapisi membran mukosa yang bersinambungan
dengan membran mukosa pelapis tuba auditiva, cellulae mastoidea, dan antrum mastoideum.
Di dalam auris media terdapat :

 Ossikula auditoris (malleus, incus, stapes)


 Muskulus stapedius dan muskulus tensor timpani
 Korda timpani, cabang nervus kranialis VII
 Pleksus timpanikus pada promontorium
a. Dinding-dinding Auris Media (Cavum Timpanica)

Auris media yang berbentuk seperti kotak sempit, memiliki sebuah atap, sebuah dasar,
dan empat dinding. Atapnya (dinding tegmental) dibentuk oleh selembar tulang yang tipis,
yaitu tegmen timpani, yang memisahkan
cavum timpanica dari dura pada dasar fossa
cranii media. Dasarnya (dinding jugular)
dibentuk oleh selapis tulang yang
memisahkan cavum timpanica dari bulbus
superior vena jugularis interna. Dinding
lateral (bagian berupa selaput) dibentuk
hampir seluruhnya oleh membrana
timpanica; di sebelah superior, dinding ini
dibentuk oleh dinding lateral recessus
epitimpanicus yang berupa tulang
(manubrium mallei terbaur dalam membrana
timpanica, dan caput mallei menonjol ke
dalam recessus epitimpanicus).
Gambar 2. Kavum Timpani Dinding medial atau dinding
labirintal memisahkan kavum timpani dari
auris interna. Dinding anterior (dinding karotid) memisahkan kavum timpani dari canalis
carotis, pada bagian superior dinding ini terdapat ostium pharyngeum tubae auditoriae dan
terusan musculus tensor timpani. Dinding posterior (dinding mastoid) dihubungkan dengan
antrum mastoid melalui aditus dan selanjutnya dengan cellulae mastoideus; ke arah
anteroinferior antrum mastoideum berhubungan dengan canalis facialis.

b. Tuba Auditiva (tuba Eustachius)

Tuba auditiva menghubungkan kavum timpani dengan nasopharynx; muaranya disini


terdapat di bagian belakang meatus nasalis inferior pada cavum nasi. Bagian sepertiga posterior
tuba auditiva terdiri dari tulang dan sisanya berupa tulang rawan. Tuba auditiva dilapisi
membran mukosa yang ke posterior sinambung dengan membran mukosa nasopharynx. Tuba
auditiva berfungsi sebagai pemerata tekanan dalam auris media dan tekanan udara lingkungan,
dan dengan demikian menjamin bahwa membran timpani dapat bergerak secara bebas. Dengan
memungkinkan udara memasuki dan meninggalkan cavum timpani, tekanan di kedua sisi
membran timpani disamakan.

c. Ossicula Auditoria

Ossicula auditoria (malleus, incus, dan stapes) membentuk sebuah rangkaian tulang
yang teratur melintang di dalam kavum timpani, dari membranan timpanica ke fenestra
vestibuli. Malleus melekat pada membran timpani, dan stapes menempati fenestra vestibuli.
Incus terdapat di antara dua tulang tersebut dan bersendi dengan keduanya. Ossicula auditoria
dilapisi membran mukosa yang juga melapisi cavum timpani.
Bagian superior malleus yang agak membulat, yakni caput mallei, terletak di dalam
recessus epitimpanicus. Collum mallei terdapat pada bagian membran timpani yang kendur,
dan manubrium mallei tertanam di dalam membran timpani dan bergerak bersamanya. Caput
mallei bersendi dengan incus, dan tendo musculus tensor timpani berinsersi pada manubrium
mallei. Chorda timpani menyilang permukaan medial collum mallei.
Corpus incudis yang besar, terletak di dalam recessus epitimpanicus dan disini bersendi
dengan caput mallei. Crus longum incudis bersendi dengan stapes, dan crus breve incudis
berhubungan dengan dinding posterior cavum timpani melalui sebuah ligamentum. Basis
stapedis, tulang pendengar terkecil, menempati fenestra vestibuli pada dinding medial cavum
timpani. Capur stapedis yang mengarah ke lateral, bersendi dengan incus.
Malleus berfungsi sebagai pengungkit yang lengan panjangnya melekat pada membran
timpani. Basis stapedis berukuran jauh lebih kecil daripada membran timpani. Akibatnya ialah
bahwa gaya getar stapes 10 kali gaya getar membran timpani. Maka, ossicula auditoris
meningkatkan gaya getaran, tetapi menurunkan amplitudi getaran yang disalurkan dari
membran timpani.
Terdapat dua otot menggerakkan ossicula auditoris dan dengan demikian
mempengaruhi membran timpani, yaitu : musculus tensor timpani dan musculus stapedius.
Musculus tensor timpani berinsersi di manubrium mallei dipersarafi oleh nervus mandibullaris,
menarik manubrium mallei ke medial, menegangkan membran timpani, dan mempersempit
amplitudo getarannya. Ini cenderung mencegah terjadinya kerusakan pada auris interna
sewaktu harus menerima bunyi yang keras. Musculus stapedius berinsersi di collum stapedis
dipersarafi oleh nervus cranialis VII, menarik stapes ke posterior dan menjungkitkan basis
stapedis pada fenestra vestibuli, dan dengan demikian menarik ketat ligamentum annulare
stapediale dan memperkecil amplitudo getaran. Otot ini juga mencegah terjadinya gerak stapes
yang berlebih.
3. Telinga Dalam

Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah
lingkaran dan vestibulir yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau
puncak koklea disebut helikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan
skala vestibuli.

Gambar 3. Organ telinga dalam

Kanalis semisirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk


lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli
sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis)
diantaranya.
Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi
endolimfa. Ion dan garam yang terdapat di perilimfa berbeda dengan endolimfa. Dimana
cairan perilimfe tinggi akan natrium dan rendah kalium, sedangkan endolimfe tinggi akan
kalium dan rendah natrium. Hal ini penting untuk pendengaran.
Dasar skala vestibuli disebut sebagai membran vestibuli (Reissner’s Membran)
sedangkan skala media adalah membran basalis. Pada membran ini terletak organ corti
yang mengandung organel-organel penting untuk mekanisme saraf perifer pendengaran.
Organ corti terdiri dari satu baris sel rambut dalam (3000) dan tiga baris sel rambut luar
(12000). Sel-sel ini menggantung lewat lubang-lubang lengan horizontal dari suatu
jungkat jangkit yang dibentuk oleh sel-sel penyokong. Ujung saraf aferen dan eferen
menempel pada ujung bawah sel rambut. Pada permukaan sel-sel rambut terdapat
stereosilia yang melekat pada suatu selubung di atasnya yang cenderung datar, bersifat
gelatinosa dan aselular, dikenal sebagai membran tektoria. Membran tektoria disekresi
dan disokong oleh suatu panggung yang terletak di medial disebut sebagai limbus.

Gambar 4. Skala vestibuli, skala media, dan skala timpani

B. Penyakit pada Telinga


Berdasarkan penyebabnya, penyakit pada telinga dapat diklasifikasikan menjadi
penyakit telinga kongenital, trauma, radang/infeksi, metabolik, neoplasma, vaskuler, dan
neurologis. Kelainan pada telinga dapat menyebabkan tuli konduktif atau tuli sensorineural.
Tuli konduktif disebabkan oleh kelainan yang terdapat di telinga luar atau telinga tengah. Tuli
sensorineural dibagi menjadi tuli sensorineural koklea dan retrokoklea.

Kelainan di telinga tengah yang dapat menyebabkan tuli konduktif ialah tuba datar/
sumbatan tuba Eustachius, otitis media, otosklerosis, timpanosklerosis, hemotimpanum dan
dislokasi tulang pendengaran. Salah satu kelainan telinga tengah yang paling sering adalah
otitis media. Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas otitis media supuratif
dan otitis media nonsupuratif (otitis media serosa, otitis media sekretoria, otitis media
musinosa, otitis media efusi/OME). Masing-masing golongan mempunyai bentuk akut dan
kronis, yaitu otitis media supuratif akut (otitis media akut = OMA) dan otitis media supuratif
kronis (OMSK/ OMP). Bila OMA berlanjut dengan keluarnya sekret dari telinga tengah lebih
3 minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Bila perforasi menetap dan
sekret tetap keluar lebih dari satu setengah bulan atau dua bulan,maka keadaan ini otitis media
supuratif kronis (OMSK).

OMSK Benigna

OMSK Maligna

Gambar 5. Klasifikasi Otitis media

OMSK didahului OMA, maka penjelasan tentang patofisiologi OMSK, akan dijelaskan
dengan patofisiologi terjadinya OMA. OMA biasanya disebabkan oleh infeksi di saluran nafas
atas (ISPA), umumnya terjadi pada anak karena keadaan tuba Eustachius pada anak berbeda
dengan orang dewasa. Tuba eustakius pada anak lebih pendek, lebih horizontal dan relatif lebih
lebar daripada dewasa.
Gambar 6. Patofisiologi Otitis media

Otitis media supuratif kronik (OMSK) dahulu disebut Otitis media perforata (OMP)
atau dalam sebutan sehari-hari adalah congek. Otitis media supuratif kronik ialah infeksi kronis
di telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah
terus-menerus atau hilang timbul. Sekret mungkin encer atau kental, bening atau berupa nanah.
Jenis OMSK terbagi atas 2 jenis:
a. OMSK tipe Benigna
Proses peradangannya terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak mengenai tulang.
Perforasi terletak di sentral. Umumnya OMSK tipe benigna jarang menimbulkan komplikasi
yang berbahaya. Pada OMSK tipe benigna tidak terdapat kolesteatoma.
b. OMSK tipe Maligna
Merupakan OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. Kolesteatoma adalah suatu kista
epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin). Kolesteatom dapat dibagi atas 2 tipe yaitu
kongenital dan didapat. OMSK tipe maligna dikenal juga dengan OMSK tipe berbahaya atau
OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe maligna letaknya di atik atau marginal, kadang-

kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK dengan perforasi yang berbahaya atau
fatal timbul pada OMSK tipe maligna.
Tabel 1. Perbedaan OMSK benigna dan OMSK maligna

C. Kolesteatoma

1. Definisi
Kolesteatoma adalah suatu kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Deskuamasi terbentuk terus lalu menumpuk sehingga kolesteatoma bertambah besar. Istilah
kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun 1838 karena disangka
kolesteatoma merupakan suatu tumor, yang kemudian ternyata bukan.
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii.
Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga tengah, atau tulang
mastoid hanya dapat memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang mengelilinginya.
Akibatnya, komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah
termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal. Kadang-kadang,
kolesteatomas juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal dan basis cranii.

2. Epidemiologi
Insiden kolesteatoma tidak diketahui, tetapi kolesteatoma merupakan indikasi yang
relatif sering pada pembedahan otologi. Insidens tertinggi kolesteatoma pada telinga tengah
dijumpai pada usia kurang dari 50 tahun, dan insidens kolesteatom pada telinga luar umumnya
dijumpai pada usia 40-70 tahun.Akan tetapi kolesteatoma tetap menjadi penyebab umum relatif
tuli konduktif sedang pada anak-anak dan orang dewasa.
3. Patogenesis dan Klasifikasi
Banyak teori dikemukakan oleh para ahli tentang patogenesis kolesteatoma, antara lain
teori invaginasi, teori migrasi, teori metaplasi dan teori implantasi. Teori tersebut akan lebih
mudah dipahami bila diperhatikan definisi kolesteatoma menurut Gray (1964) yang
mengatakan bahwa kolesteatoma adalah epitel kulit yang berada pada tempat yang salah. Epitel
kulit liang telinga merupakan suatu daerah cul-de-sac sehingga apabila terdapat serumen padat
di liang telinga dalam waktu yang lama, maka dari epitel kulit yang berada medial dari serumen
tersebut seakan terperangkap sehingga membentuk kolesteatoma.
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis menurut etiologinya :

1. Kolesteatoma kongenital
Kolesteatoma kongenital terbentuk
sebagai akibat dari epitel skuamosa
terperangkap di dalam tulang temporal selama
embriogenesis, ditemukan pada telinga
dengan membran timpani utuh tanpa ada
tanda-tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma
biasanya di mesotimpanum anterior, daerah

Gambar 7. Kolesteatoma kongenital. petrosus mastoid atau di cerebellopontin


Tampak massa putih di belakang membran angle. Kolesteatoma di cerebellopontin angle
timpani yang intak sering ditemukan secara tidak sengaja oleh
ahli bedah saraf.
Penderita sering tidak memiliki riwayat otitis media supuratif kronis yang
berulang, riwayat pembedahan otologi sebelumnya, atau perforasi membran timpani.
Kolesteatoma kongenital paling sering diidentifikasi pada anak usia dini (6 bulan – 5
tahun). Saat berkembang, kolesteatoma dapat menghalangi tuba Eustachius dan
menyebabkan cairan telinga tengah kronis dan gangguan pendengaran konduktif.
Kolesteatoma juga dapat meluas ke posterior hingga meliputi tulang-tulang
pendengaran dengan mekanisme ini dapat menyebabkan tuli konduktif.

2. Kolesteatoma akuisital, jenis ini terbagi dua :


a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi membran
timpani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari membran tymphani
pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga tengah akibat gangguan
tuba (Teori Invaginasi).
Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai akibat dari retraksi
membran timpani. Kolesteatoma akuisital primer klasik berawal dari retraksi
pars flaksida di bagian medial membran timpani yang terlalu dalam sehingga
mencapai epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral dari epitimpani
(disebut juga skutum) secara perlahan
terkikis, menghasilkan defek pada
dinding lateral epitimpanum yang
perlahan meluas. Membran timpani
terus yang mengalami retraksi di
bagian medial sampai melewati
pangkal dari tulang-tulang
pendengaran hingga ke epitimpanum
Gambar 8. Kolesteatoma pada daerah
posterior. Destruksi
tulang-tulang atik. Merupakan kolesteatoma
pendengaran umum terjadi. Jika akuisital primer pada stadium paling
awal.
kolesteatoma meluas ke posterior
sampai ke aditus ad antrum dan tulang mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid
dengan eksposur dura dan/atau erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi
dan mengakibatkan ketulian dan vertigo.
Kolesteatoma akuisital primer tipe kedua terjadi apabila kuadran
posterior dari membran timpani mengalami retraksi ke bagian posterior telinga
tengah. Apabila retraksi meluas ke medial dan posterior, epitel skuamosa akan
menyelubungi bangunan-atas stapes dan membran timpani terteraik hingga ke
dalam sinus timpani. Kolesteatoma primer yang berasal dari membran timpani
posterior cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang
kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes.

b. Kolesteatoma akuisital sekunder


Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi
membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel kulit
dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran timpani ke telinga tengah
(Teori Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum tymphani karena
iritasi infeksi yang berlangsung lama ( Teori Implantasi).
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari
beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa perforasi
yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau mungkin
karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur yang sederhana
seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel skuamosa ke telinga
tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma. Perforasi marginal di bagian
posterior adalah yang paling mungkin menyebabkan pembentukan
kolesteatoma. Retraksi yang mendalam dapat menghasilkan pembentukan
kolesteatoma jika retraksi menjadi cukup dalam sehingga menjebak epitel
deskuamasi.

4. Presentasi Klinis
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, yang terus-menerus
atau sering berulang. Ketika kolesteatoma terinfeksi, kemungkinan besar infeksi tersebut sulit
dihilangkan. Karena kolesteatoma tidak memiliki suplai darah (vaskularisasi), maka antibiotik
sistemik tidak dapat sampai ke pusat infeksi pada kolesteatoma. Antibiotik topikal biasanya
dapat diletakkan mengelilingi kolesteatoma sehingga menekan infeksi dan menembus
beberapa milimeter menuju pusatnya, akan tetapi, pada kolestatoma terinfeksi yang besar
biasanya resisten terhadap semua jenis terapi antimikroba. Akibatnya, otorrhea akan tetap
timbul ataupun berulang meskipun dengan pengobatan antibiotik yang agresif.
Gangguan pendengaran juga merupakan gejala yang umum pada kolesteatoma.
Kolesteatoma yang besar akan mengisi ruang telinga tengah dengan epitel deskuamasi dengan
atau tanpa sekret mukopurulen sehingga menyebabkan kerusakan osikular yang akhirnya
menyebabkan terjadinya tuli konduktif yang berat.
Pusing adalah gejala umum relatif pada kolesteatoma, tetapi tidak akan terjadi apabila
tidak ada fistula labirin akibat erosi tulang atau jika kolesteatoma mendesak langsung pada
stapes footplate. Pusing adalah gejala yang mengkhawatirkan karena merupakan pertanda dari
perkembangan komplikasi yang lebih serius.

Pada pemeriksaan fisik, tanda yang paling umum dari kolesteatoma adalah drainase dan
jaringan granulasi di liang telinga dan telinga tengah tidak responsif terhadap terapi
antimikroba. Suatu perforasi membran timpani ditemukan pada lebih dari 90% kasus.
Seringkali satu-satunya temuan pada pemeriksaan fisik adalah sebuah kanalis akustikus
eksternus yang penuh terisi pus mukopurulen dan jaringan granulasi. Kadangkala
menghilangkan infeksi dan perbaikan jaringan granulasi baik dengan antibiotik sistemik
maupun tetes antibiotik ototopikal sangat sulit dilakukan. Apabila terapi ototopikal berhasil,
maka akan tampak retraksi pada membran timpani pada pars flaksida atau kuadaran posterior.

5. Pemeriksaan Pencitraan
CT scan merupakan modalitas pencitraan pilihan karena CT scan dapat mendeteksi
cacat tulang yang halus sekalipun. Namun, CT scan tidak selalu bisa membedakan antara
jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma dengan cairan serebrospinal
hampir sama, yaitu kurang-lebih -2 sampai +10 Hounsfield Unit, sehingga efek dari desakan
massa itu sendirilah yang lebih penting dalam mendiagnosis kolesteatoma.7 Gaurano (2004)
telah menunjukkan bahwa perluasan antrum mastoid dapat dilihat pada 92% dari kolesteatoma
telinga tengah dan 92% pulalah hasil CT scan yang membuktikan erosi halus tulang-tulang
pendengaran. Defek yang dapat dideteksi dengan menggunakan CT scan adalah sebagai
berikut:

a. Erosi skutum
b. Fistula labirin
c. Cacat di tegmen
d. Keterlibatan tulang-tulang pendengaran
e. Erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas
f. Anomali atau invasi dari saluran tuba
Gambar 9. CT scan yang menggambarkan erosi tulang dan kolesteatoma

MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkiraka dapat melibatkan
jaringan lunak sekitarnya. Masalah-masalah ini termasuk yang berikut:
a. Keterlibatan atau invasi dural
b. Abses epidural atau subdural
c. Herniasi otak ke rongga mastoid
d. Peradangan pada labirin membran atau saraf fasialis
e. Trombosis sinus sigmoid.

6. Penatalaksanaan

a. Terapi Medis
Terapi goal standard pada kolesteatoma ialah dengan menghilangkan aktfitas inflamasi
dan infeksi pada telinga Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma.
Pasien yang menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan untuk
anestesi umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur. Pembersihan secara teratur
dapat membantu mengontrol infeksi dan dapat memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi
tidak dapat menghentikan ekspansi lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi.
Terapi antimikroba yang utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat
membantu sebagai terapi tambahan.
Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes telinga lebih
baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri. Diperlukan antibiotik pada setiap
fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat
langsung dipilih yang sesuai dengan keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret
kuning pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali
disebabkan oleh golongan anaerob.
Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai apabila curiga
Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan terhadap kuman anaerob, dapat
dipakai metronidazol, klindamisin, atau kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman penyebab,
dapat dipakai campuran trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik
topikal yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap
pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin harus sangat
hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun.
Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti Asam Asetat
1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan garam fisiologis. Larutan harus
dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar tidak mengiritasi labirin setelah itu
dikeringkan dengan lidi kapas.

b. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan bertujuan untuk
mengeluarkan kolesteatoma.
Mastoidektomi adalah prosedur
pembedahan untuk menghilangkan
proses infeksi pada tulang mastoid.
Tujuan mastoidektomi adalah
menghindari kerusakan lebih lanjut
terhadap organ telinga dan sekitarnya.
Dalam keadaan tertentu, ahli bedah dapat
membuat keputusan untuk menggunakan
teknik canal wall up atau canal wall
down. Mastoidektomi canal wall up
bertujuan membersihkan kolesteatoma Gambar 10. Mastoidektomi
atau jaringan patologik di daerah kavum Sumber: Elsevier, 2011
timpani dan rongga mastoid dengan
mempertahankan keutuhan dinding belakang liang telinga. Mastoidektomi canal wall
down adalah teknik pembedahan yang dilakukan dengan meruntuhkan dinding posterior
liang telinga menjadi rongga terbuka. Rongga terbuka tersebut dapat ditutup dengan
jaringan kulit atau tulang, atau fasia, atau tidak ditutup. Luas ukuran rongga sesuai dengan
luas sel yang akan dibuang dan dibersihkan, sesuai dengan area luas pandang yang
dibutuhkan dan margin bedah yang diinginkan.

 Mastoidektomi Radikal dengan Timpanoplasti Dinding Runtuh (Canal Wall Down)


Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel mastoid di
rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus eksternus posterior,
pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke kavum timpani. Inkus dan malleus
dibuang, hanya stapes yang dipertahankan. Begitu pula seluruh mukosa kavum timpani.
Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi radikal,
bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang pendengaran dipertahankan
setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius tetap dipertahankan dan dibersihkan agar
terbuka. Kemudian kavitas operasi ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia
graft maupun berupa jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang
pendengaran.

 Mastoidektomi Radikal dengan Timpanoplasti Dinding Utuh (Canal Wall Up)6

Prosedur mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding utuh dilakukan untuk


menghindari masalah perawatan yang ditemui pada tindakan operasi dengan teknik canal
wall down. Tindakan ini mempertahankan tulang posterior dinding kanalis akustikus
eksterna melalui mastoidektomi sederhana dengan atau tanpa timpanotomi posterior.
Prosedur yang bertahap sering kali diperlukan dengan operasi sekunder pada 6 hingga 18
bulan setelah operasi pertama untuk membuang kolesteatoma residual dan rekonstruksi
rantai osikula. Pendekatan ini diindikasikan pada pasien dengan mastoid besar dan ruang
telinga tengah yang beraerasi dengan baik yang menunjukkan fungsi tuba Eustachius yang
baik. Tindakan ini dikontraindikasikan pada pasien dengan fistula labirin, penyakit telinga
yang lama, atau pasien dengan fungsi tuba Eustachius yang buruk.

Keuntungan tindakan canal wall up dibandingkan mastoidektomi dinding runtuh adalah


penyembuhan yang lebih cepat, perawatn jangka panjang yang lebih mudah, alat bantu
dengar lebih mudah digunakan jika dibutuhkan. Kelemahan dari prosedur ini adalah teknik
yang lebih sulit sehingga memerlukan waktu operasi yang lebih lama, penyakit residual
yang lebih sulit dideteksi, kemungkinan adanya kantung retraksi yang menyebabkan
kekambuhan dan proses operasi yang bertahap sehingga memakan waktu dan biaya.
 Teknik Mastoidektomi

Tindakan insisi pada mastoidektomi terdapat 3 pendekatan, yaitu:


1. Pendekatan Transkanal.
2. Pendekatan Endaural.
3. Pendekatan Retro Aurikuler.
Insisi yang sering dilakukan adalah pendekatan retroaurikuler (post aurikuler) karena
pendekatan ini memungkinkan visualisasi yang lebih luas. Insisi kulit daerah retroaurikula pada
dewasa sebaiknya melengkung dimulai 0,5 cm dari ujung insersi auricula atas kengikuti insersi
auricula sampai ke tip mastoid. Pada anak usia dibawah 4 tahun tip mastoid belum terbentuk
sempurna sehingga nervus fasialis tidak terlindungi, maka insisi tidak usah melengkung untuk
menghindari n. Fasialis.

Pendekatan operasi retroaurikuler dimulai dengan melakukan insisi kulit 0,5 cm dari
lipatan retroaurikuler, kemudian jaringan lunak didiseksi sehingga mencapai daerah dinding
liang telinga. Selanjutnya, secara tumpul kulit liang dilepaskan dari dinding tulang ke medial
sampai terlihat anulus timpanikus, dilanjutkan dengan incisi melingkar pada kulit telinga
bagian posterior untuk memaparkan liang telinga dari arah posterior.

Teknik Operasi Mastoidektomi Simpel ( Sederhana )

Mastoidektomi simpel adalah tindakan membuka kortek mastoid dari arah permukaan
luarnya, dalam rangka membuang jaringan patologis seperti pembusukan tulang atau jaringan
lunak. Caranya dengan menemukan antrum dan membuka aditus ad antrum bila tersumbat.
Mastoidektomi simple ini juga da 2 macam : yang lengkap (membuang sel-sel mastoid
termasuk yang di sudut sinodura, sel mastoid di tegmen mastoid, di segitiga trautmann, sampai
sel-sel mastoid di mastoid tip) dan teknik tidak lengkap yaitu cukup membuang jaringan
patologik , membuka aditus ad antrum , sedangkan pneumatisasi mastoid yang masih utuh tidak
perlu dibuang.

Teknik Pengeboran menuju Antrum Mastoid


Patokan pada tahap ini adalah dinding belakang liang telinga, linea temporalis, spina
henle, segitiga Mc. Ewen, Prosesus mastoid. Pada tahap ini mata bor yang dipakai adalah yang
paling besar. Untuk menghisap serpihan tulang akibat pengeboran digunakan ujung penghisap
yang besar. Sebelum dibor permukaan tulang diirigasi dulu agar serbuk tulang tidak
berterbangan. Diharapkan daerah pengeboran tetap basah yang berguna untuk meredam panas
yang ditimbulkan oleh gesekan mata bor.

Pengeboran pertama adalah disepanjang linea temporalis dari depan ke belakang,


kemudian persis di belakang liang telinga sedalam kira-kira 2-3 mm ke arah atas sehingga
bertemu dengan garis pengeboran pertama di linea temporalis , ke arah bawah sampai paling
sedikit setinggi lantai liang telinga. Patokan untuk menemukan antrum adalah segitiga Mc.
Ewen, yaitu segitiga imajiner yang dibentuk oleh linea temporalis dan dinding posterior liang
telinga. Batas belakangnya bisa dikatakan garis tegak lurus linea temporalis yang menyinggung
dinding posterior liang telinga.

Spina supra meatus yang sudah tak kelihatan atau hancur akan mengakibatkan kita
kesulitan menemukan antrum mastoid. Pengeboran dilanjutkan ke seluruh korteks mastoid
dengan kedalaman bertahap, melandai luas ke belakang dengan bagian terdalam di daerah
segitiga Mc. Ewen yang merupakan daerah yang menutupi antrum mastoid.

Pengeboran di dalam korteks mastoid harus cukup luas sebelum mengebor lebih dalam
untuk dapat mengenali landmark dengan lebih baik. Pengeboran yang sempit tetapi dalam
sering mengganggu orientasi dan cenderung mengakibatkan kerusakan serta tidak
sempurnannya membersihkan sel mastoid. Luas pengeboran tergantung kebutuhan membuang
sel pneumatisasi yang sakit dan jaringan di dalamnya, ke belakang sampai sinus sigmoid, ke
atas sampai tegmen mastoid dan ke bawah ke seluruh prosesus sampai ujung mastoid.

Kesulitan mencari antrum mastoid terjadi karena :

 Pengeboran dilakukan terlalu rendah atau jauh linea temporalis.

 Antrum letaknya belakang dinding posterior saluran telinga luar, lateral dari anulus
timpanikus.

 Spina supra meatus yang sudah tak kelihatan atau hancur.

 Melupakan adanya septum korner pada beberapa kasus yang disebut sebagai lamina petro
skuamosa.

 Tulang mastoid diploic atau sklerotik yang sering disertai dengan penurunan letak tegmen
dan sinus sigmoideus ke depan.
Identifikasi Bagian-Bagian Penting
1. Identifikasi Tegmen Mastoid dan Tegmen timpani
Tegmen mastoid dan tegmen timpani adalah lempeng tulang yang membatasi rongga
mastoid dan kavum timpani dengan duramater. Lempeng ini lebih keras dari tulang
mastoid, permukaan lebih halus dan perubahan warna menjadi merah muda.
Pengeboran didaerah ini tidak boleh menggunakan bor yang kasar karena bisa
menyebabkan fraktur tulang tegmen yang tipis. Disarankan menggunakan mata bor
diamond.

2. Identifikasi Sinus Lateral


Sinus lateral atau sinus transversus atau sinus sigmoid, harus dicapai dengan mengebor
jauh ke belakang tergantung luasnya pneumatisasi mastoid. Sinus sigmoid ini
dipisahkan dengan rongga mastoid oleh lempeng sinus (sinus plate). Tercapainya
daerah ini ditandai dengan adanya warna kebiruan dan permukaannya menjadi lebih
halus. Gunakan juga mata bor diamond bila mendekati daerah ini.

3. Identifikasi Antrum Mastoid


Dengan melanjutkan pengeboran langsung di belakang liang telinga dengan menjaga
dinding liang telinga tetap utuh tetapi tipis, maka di sebelah dalam segitiga imajiner
Mc. Ewen akan ditemukan antrum mastoid. Disebelah dalam antrum mastoid akan
ditemukan dinding tulang kanalis semisirkularis . Syarat menemukan Antrum mastoid
harus didapatkan ruangan yang relatif lebih luas dibanding sekitarnya dan mempunyai
hubungan dengan kavum timpani melalui aditus ad antrum. Luas antrum bervariasi
untuk tulang dengan pneumatisasi yang baik ukuran antrum besar, untuk tulang yang
skelotik ukuran antrum kecil dan sangat jarang antrum tidak terbentuk.

4. Identifikasi Aditus Ad Antrum


Aditus ad antrum bisa ditemukan dengan menyusuri bagian anterior superior pertemuan
dinding belakang liang telinga dengan tegmen mastoid. Patensi dari aditus ad antrum
merupakan syarat keberhasilan timpanoplasti .

5. Fosa Inkudis
Fosa inkudis paling mudah dicapai dengan mengebor bagian tulang zigomatikus yang
menutupi antrum dekat dengan bayangan inkus apabila area pengeboran dipenuhi
cairan irigasi. Gunakan mata bor diamond atau pahat kecil karena resiko menyentuh
tulang pendengaran.
6. N. Fasialis pars vertikalis
Pars verikalis N VII dimulai persis disebelah anteromedial kanalis semiskularis
lateralis. Patokan untuk menemukan perjalanan nervus ini adalah fosa inkudis dan
digastric ridge. Kanalis fasialis dapat ditemukan disekitar garis yang menghubungkan
fosa inkudis dengan digastric ridge.

Pada mastoid dengan pneumatisasi yang baik, digastric ridge membagi sel-sel mastoid
menjadi kompartemen anterior dan kompatemen posterior sehingga untuk
mengidentifikasinya sebaiknya dilakukan pengeboran sampai ditemukan alur yang
mengandung serat otot.

Harus diingat bahwa letak N. VII bervariasi pada setiap orang. Gunakan mata bor
diamon dan dengan arah dari superior ke inferior. Dengan menipiskan kanalis fasialis
akan tampak perubahan warna N VII. Harus diidentifikasi juga korda timpani yang
meninggalkan N. VII pada dataran yang lebih rendah dari liang telinga.

 Timpanoplasti

Timpanoplasti adalah prosedur pembedahan atau rekonstruksi pada membran


timpani disertai atau tidak disertai oleh pencangkokan membran timpani, sering kali
harus dilakukan juga rekonstruksi tulang pendengaran.

Indikasi

Membran timpani dari telinga adalah struktur tiga-lapis. Lapisan luar dan dalam
terdiri dari sel-sel epitel. Perforasi terjadi sebagai akibat dari cacat di lapisan tengah,
yang mengandung serat kolagen elastis. perforasi kecil biasanya sembuh secara
spontan. Namun, jika cacat relatif besar, atau jika ada suplai darah yang kurang atau
infeksi selama proses penyembuhan, perbaikan spontan mungkin akan terhambat.
Perforasi membran timpani ini adalah kondisi yang dapat terjadi pada semua usia.
Penyebab robeknya membran ini antara lain disebabkan oleh infeksi telinga tengah
(otitis media), trauma baik secara langsung maupun tidak langsung misalnya tertusuk
alat pembersih kuping, suara ledakan keras yang berada di dekat telinga kita,
barotrauma, trauma kepala akibat kecelakaan kendaraan bermotor dan sebagainya.
Tujuan dari timpanoplasti adalah untuk memperbaiki gendang telinga
berlubang, dan kadang-kadang tulang telinga tengah (ossicles) yang terdiri dari inkus,
maleus, dan stapes. Cangkok membran timpani mungkin dapat diperlukan. Jika
diperlukan, cangkok biasanya diambil dari vena atau fasia (otot kelopak) jaringan pada
cuping telinga. Bahan sintetis dapat digunakan jika pasien memiliki operasi
sebelumnya dan telah cangkok membran timpani.
Indikasi dan keadaan diperlukan untuk dilakukannya timpanoplasti:
a) Penderita dengan tuli konduksi karena perforasi membran timpani atau disfungsi
ossikular.
b) Otitis media kronik atau rekuren sekunder terhadap kontaminasi.
c) Tuli konduksi progresif karena patologi telinga tengah.
d) Perforasi atau tuli persisten lebih dari 3 bulan karena trauma, infeksi atau pembedahan.
e) Ketidakmampuan untuk mandi atau berpartisipasi dalam olahraga air dengan aman
Sedangkan syarat dilakukannya timpanoplasti adalah:
a) Perforasi terjadi di sentral dimana keadaan telinga sudah kering paling tidak 6 minggu.
b) Mukosa telinga tengah normal.
c) Osikular yang utuh.
d) Keadaan koklea baik.

1) Tipe Timpanoplasti
Ada lima tipe dasar dari prosedur timpanoplasti menurut Zollner dan Wullstein (1952):
 Tipe I timpanoplasti disebut Miringoplasti. Hanya merekonstruksi membran timpani
yang berlubang.
 Tipe II timpanoplasti digunakan untuk perforasi membran timpani dengan erosi
maleus. Ini melibatkan pencangkokan pada inkus atau sisa-sisa maleus tersebut.
 Tipe III timpanoplasti diindikasikan untuk penghancuran dua ossicles, dengan stapes
masih utuh dan mobile. Ini melibatkan penempatan cangkokan ke stapes, dan
menyediakan perlindungan untuk perakitan.
 Tipe IV timpanoplasti digunakan untuk penghancuran tulang pendengaran, yang
mencakup semua atau bagian dari lengkungan stapes. Ini melibatkan penempatan
cangkokan pada atau sekitar kaki stapes mobile.
 Tipe V timpanoplasti digunakan ketika kaki dari stapes menetap.
Gambar 11. Tipe-tipe timpanoplasti

2) Teknik Timpanoplasti
Beberapa teknik dari timpanoplasti dilakukan untuk menutup perforasi dari
membran timpani, diantaranya timpanoplasti medial (underlay), timpanoplasti lateral
(overlay), dan yang paling populer saat ini adalah teknik timpanoplasti medial dan
lateral (under-over teknik)
(a). Teknik Overlay (lateral grafting)
Teknik ini cukup sulit sehingga harus dilakukan oleh ahlinya. Pada teknik
overlay, materi dimasukan di bawah skuamosa (lapisan kulit) dari membran timpani.
Kesulitannya pada memisahkan tiap lapisan dari membran timpani kemudian
menempatkan graft di atas perforasi. Teknik lateral ini bisa digunakan untuk semua
jenis perforasi dan dapat meminimalisasi kemungkinan reduksi rongga telinga tengah.
Teknik ini memiliki keberhasilan yang tinggi dan efektif untuk perforasi yang besar
dan perforasi anterior. Kerugian teknik ini adalah dapat terjadi anterior blunting,
lateralisasi tandur, membutuhkan manipulasi maleus, waktu penyembuhan yang lama,
waktu operasi yang lama, dan operasi akan sulit dilakukan untuk perforasi yang kecil
dan retraction pocket. Pada teknik lateral prosedur anestesi yang digunakan adalah
anestesi lokal dengan pendekatan transkanal.
Corong telinga ditempatkan pada meatus akustikus eksternus. Seluruh
pinggiran perforasi membran timpani dilukai dan dibuang dengan menggunakan cunam
pengungkit dan cunam pemegang. Sisa membran timpani di atas manubrium malei
dibersihkan. Mukosa di bagian medial sekeliling sisa membran timpani dilukai
secukupnya untuk tempat menempel fasia temporalis.
Dibuat flap timpanomeatal di bagian posterior dengan cara insisi semisirkuler
kulit kanalis akustikus eksternus sejajar anulus fibrosus dengan jarak 4-5 mm dari
membran timpani. Dengan menggunakan pisau bulat, dibuat insisi pada kulit kanalis
dimulai dari notch Rivinus sampai ke posisi jam 6. Kemudian kulit tersebut dilepaskan
dari tulang kanalis akustikus eksternus dengan menggunakan disektor ke arah medial
sampai melepaskan anulus serta sisa membran timpani. Flap yang terbentuk
dielevasikan ke arah anterior sampai kavum timpani. Kavum timpani diisi dengan
potongan-potongan kecil spongostan yang telah dicelupkan ke dalam larutan kemisetin.
Melalui terowongan yang terbentuk di bawah flap timpanomeatal, graft ditempatkan
sedemikian rupa di bagian lateral dari anulus sehingga menutup seluruh perforasi
membran timpani. Flap kemudian dikembalikan ke tempat semula, sehingga sebagian
graft terletak di antara flap dan tulang kanalis akustikus eksternus.
Pada bagian lateral membran timpani baru tersebut kemudian diletakkan potongan-
potongan spongostan yang telah dicelupkan ke dalam larutan kemisetin sehingga
memenuhi setengah kanalis akustikus eksternus. Telinga kemudian dibalut.
(b). Teknik Underlay (Medial grafting)
Teknik ini lebih simple dan biasa dilakukan. Graft ditempatkan di bawah
tympanomeatal flap yang telah dielevasi makanya teknik ini dinamai sebagai underlay
technique. Keuntungan dari teknik ini adalah mudah dilakukan dengan hasil yang
cukup memuaskan. Selain itu, menghindari risiko lateralisasi dan blunting pada sulkus
anterior dan memiliki angka keberhasilan tinggi terutama pada perforasi membran
timpani posterior. Kerugian teknik ini adalah tidak terdapatnya visualisasi yang adekuat
pada daerah anterior telinga tengah terutama bila dilakukan dengan pendekatan
transkanal, kemungkinan jatuhnya tandur anterior ke dalam kavum timpani dan reduksi
ruang telinga tengah dengan konsekuensi meningkatnya risiko adhesi tandur pada
promontorium terutama pada perforasi anterior dan subtotal. Penelitian lain melaporkan
keberhasilan miringoplasti dengan teknik medial (underlay) sebesar 92% dari 96 kasus
miringoplasti dengan pendekatan transkanal.
Pada teknik medial prosedur anestesi yang digunakan adalah anestesi lokal
dengan pendekatan transkanal. Corong telinga ditempatkan pada meatus akustikus
eksternus. Seluruh pinggiran perforasi membran timpani dilukai dan dibuang dengan
menggunakan cunam pengungkit dan cunam pemegang. Sisa membran timpani di atas
manubrium malei dibersihkan. Mukosa di bagian medial sekeliling sisa membran
timpani dilukai secukupnya untuk tempat menempel fasia temporal.
Dibuat flap timpanomeatal di bagian posterior dengan cara insisi semisirkuler
kulit kanalis akustikus eksternus sejajar anulus fibrosus dengan jarak 4-5 mm dari
membran timpani. Dengan menggunakan pisau bulat, dibuat insisi pada kulit kanalis
dimulai dari notch Rivinus sampai ke posisi jam 6. Kemudian kulit tersebut dilepaskan
dari tulang kanalis akustikus eksternus dengan menggunakan disektor ke arah medial
sampai melepaskan anulus serta sisa membran timpani. Flap yang terbentuk
dielevasikan ke arah anterior sampai kavum timpani. Kavum timpani diisi dengan
potongan-potongan kecil spongostan yang telah dicelupkan ke dalam larutan kemisetin.
Melalui terowongan yang terbentuk di bawah flap timpanomeatal, graft ditempatkan
sedemikian rupa di bagian medial manubrium malei sehingga menutup seluruh
perforasi membran timpani. Kemudian seluruh pinggiran graft ditempatkan serta
diselipkan di bagian medial sekeliling sisa membran timpani sejauh kira-kira 2 mm
secara merata kecuali sebagian graft yang terletak di bagian posterior diletakkan di atas
tulang kanalis akustikus eksternus di bawah flap timpanomeatal. Flap kemudian
dikembalikan ke tempat semula, sehingga sebagian graft terletak di antara flap dan
tulang kanalis akustikus eksternus. Pada bagian lateral membran timpani baru tersebut
kemudian diletakkan potongan-potongan spongostan yang telah dicelupkan ke dalam
larutan kemisetin sehingga memenuhi setengah kanalis akustikus eksternus. Telinga
kemudian dibalut.

(c). Teknik Mediolateral


Salah satu kegagalan yang serius pada penggunaan teknik pencangkokan adalah
lateralisasi membran timpani. Lateralisasi membran timpani adalah keadaan
permukaan membran timpani yang dapat dilihat, terletak pada cincin tulang anulus dan
kehilangan kontak dengan sistem mekanisme konduksi telinga tengah. Untuk
menghindari kegagalan yang terjadi pada miringoplasti baik pada teknik medial
maupun lateral maka dilakukan teknik lain yaitu teknik mediolateral, dengan cara
menempatkan tandur di bagian medial pada setengah bagian posterior membran
timpani dan perforasi termasuk prosesus longus maleus, dan lateral terhadap setengah
perforasi di bagian anterior untuk menghindari terjadinya lateralisasi.
Pada perforasi anterior maupun subtotal, pendekatan transkanal terutama pada
kanalis akustikus eksterna bagian anterior yang menonjol, merupakan hambatan untuk
menempatkan tandur di bagian anterior secara akurat sehingga ditemukan kegagalan
miringoplasti baik pada teknik medial maupun lateral yang dilakukan pada pendekatan
transkanal. Oleh karena itu dipertimbangkan apakah teknik mediolateral dengan
pendekatan transkanal dapat mengurangi kegagalan miringoplasti pada kedua teknik
terdahulu. Anestesi lokal digunakan dengan pertimbangan biaya yang lebih murah,
dapat digunakan pada pasien yang lebih kooperatif, serta menghindari masuknya N2O
pada rongga kavum timpani yang dapat mendorong graft keluar bila dilakukan anestesi
umum.
Prosedur yang digunakan adalah anestesi lokal dengan pendekatan transkanal.
Fasia temporalis diambil, dipres, dan dikeringkan dibawah lampu operasi. Tepi
perforasi disegarkan dengan cara melukai kembali tepi perforasi tersebut. Insisi kulit
kanalis eksternus secara vertikal dibuat pada jam 12 dan jam 6. Insisi pada jam 6 bisa
dilebarkan sampai ke kanan atas anulus. Insisi pada jam 12 diperluas ke arah inferior
sampai beberapa millimeter di atas anulus untuk mempertahankan suplai pembuluh
darah kulit kanalis eksternus anterior yang digunakan sebagai dasar tandur bagian
superior. Timpanomeatal flap bagian posterior dielevasikan, dan tulang-tulang
pendengaran dievaluasi. Apabila tidak terdapat fiksasi pada tulang-tulang pendengaran,
pembedahan dilakukan dengan membuat insisi horizontal menggunakan pisau setengah
lingkaran pada kulit kanalis eksternus anterior. Jarak insisi kanalis anterior-horizontal
dari anulus anterior harus sama dengan diameter perforasi. Setelah insisi, kulit kanalis
eksternus bagian anterior dielevasikan ke lateral dan medial. Kanaloplasti dilakukan
dengan membuang tulang anterior yang berada diatasnya menggunakan bor tulang
bermata diamond sehingga anulus posterior dapat terlihat jelas. Flap kulit kanalis
anteromedial dielevasikan ke atas sampai mencapai anulus atau tepi membran timpani.
Pada bagian anulus ini, hanya lapisan epitel squamosa membran timpani saja yang
dielevasi dengan hati-hati kearah setengah bagian anterior tepi perforasi, sehingga
bagian anulus anterior tetap intak. Ke dalam kavum timpani diletakkan potongan-
potongan spongostan yang telah dibasahi tetes telinga antibiotik fluorokuinolon yang
bersifat nontoksik.
Berbeda dengan teknik timpanoplasti medial, pada teknik ini packing telinga
tengah yang terdiri dari potongan spongostan tersebut tidak harus padat. Fasia graft
temporalis kemudian ditempatkan di bagian medial perforasi untuk menutupi setengah
bagian posterior perforasi tersebut. Pada perforasi bagian anterior, graft diletakkan
lateral terhadap pinggir perforasi yaitu di atas anulus anterior untuk menutupi setengah
perforasi sisanya. Untuk menghindari anterior blunting, graft ditempatkan hanya
sampai dengan sulkus anterior di atas anulus tersebut. Sebagai lapisan penutup kedua,
kulit kanalis anteromedial dirotasikan untuk menutupi perforasi dengan fasia sebagai
dasar jabir superior.
Kulit kanalis anterolateral dikembalikan ke tempatnya, dan dilanjutkan dengan
menempatkan potongan-potongan spongostan yang telah dibasahi antibiotik pada
kanalis akustikus eksterna yang berfungsi sebagai packing. Pada meatus akustikus
eksternus diletakkan tampon kassa yang telah diberi salep antibiotik.

7. Komplikasi
Komplikasi operasi pada mastoidektomi dan timpanoplasti dibagi berdasarkan
komplikasi segera dan komplikasi lambat. Komplikasi segera termasuk parese nervus fasialis,
kerusakan korda timpani, tuli saraf, gangguan keseimbangan, fistel labirin, trauma pada sinus
sigmoid, bulbus jugularis, likuor serebrospinal. Infeksi pasca-operasi juga dapat dimasukkan
sebagai komplikasi segera.
Komplikasi lambat termasuk kolesteatoma rekuren, reperforasi, lateralisasi tandur,
stenosis liangg telinga luar, displasi atau lepasnya prostesis tulang pendengaran yang dipasang.
Pada kebanyakan, kasus trauma nervus fasialis tidak disadari pada waktu operasi. Trauma
nervus fasialis yang paling sering terjadi adalah pada pars vertikalis waktu melakukan
mastoidektomi, bisa juga terjadi pada pars horizontal waktu manipulasi daerah di dekat stapes
atau mengorek daerah bawah inkus baik dari arah mastoid ataupun dari arah kavum timpani.
Trauma dapat lebih mudah terjadi bila tipografi daerah sekitarnya sudah tidak dikenali dengan
baik, misalnya pada kelainan letak kongenital, jaringan parut karena operasi sebelumnya,
destruksi kanalis fasialis karean kolesteatoma.
Trauma terhadap tulang pendengaran diperkirakan akan memperbuuk sistem konduksi
telinga tengah sedapat mungkin langsung rekonstruksi. Trauma terhadap dinding sinus dan
duramater sehingga terjadi perdarahan dan bocornya cairan otak, bila tidak luas dapat
ditungggu sebentar dan langsung ditutup dengan tandu komposit sampai kebocoran berhenti.
Trauma pada sinus lateralis, sinus sigmoid, bulbus jugularis, dan vena emissari dapat
menyebabkan perdarahan besar.

8. Prognosis
Mengeliminasi kolesteatoma hampir selalu berhasil, namun mungkin memerlukan
beberapa kali pembedahan. Karena pada umumnya pembedahan berhasil, komplikasi dari
pertumbuhan tidak terkendali dari kolesteatoma sekarang ini jarang terjadi.
Timpanoplasti dinding runtuh menjanjikan tingkat kekambuhan yang sangat rendah
dari kolesteatoma. Pembedahan ulang pada kolesteatoma terjadi pada 5% kasus, yang cukup
menguntungkan bila dibandingkan tingkat kekambuhan timpanoplasti dinding utuh yang 20-
40%.
Meskipun demikian, karena rantai osikular dan/atau membran timpani tidak selalu
dapat sepenuhnya direstorasi kembali normal, maka kolesteatoma tetaplah menjadi penyebab
umum relatif tuli konduktif permanen.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Dari semua penjabaran mengenai kolesteatom pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :

1. Banyak teori yang berusaha menjelaskan mengenai terbentuknya kolesteatoma,


tetapi untuk dapat memahami mekanisme dekstruksi tulang oleh kolesteatoma sangat
penting untuk memiliki pengetahuan dasar yang memadai mengenai karakteristik
anatomi dan fungsional dari telinga tengah untuk mencapai penatalaksanaan yang
memuaskan pada kasus kolesteatoma
a. Patogenesis dekstruksi tulang oleh kolesteatom masih perlu digali untuk dapat
mengantisipasi proses ini serta menentukan tindakan yang tepat dalam
penatalaksanaan kasus kolesteato agar dicapai tujuan akhir terapi.
b. Penatalaksanaan yang paling sesuai adalah pembedahan dengan tujuan
untuk mengeradikasi penyakit dan untuk mencapai kondisi telinga yang
kering dan aman dari infeksi berulang.
c. Pendekatan secara bedah harus disesuaikan pada masing-masing pasien sesuai
dengan keadaan umum dan luasnya penyebaran kolesteatoma itu sendiri.
d. Harus diperhatikan komplikasi pasca-pembedahan yang mengancam nyawa
ataupun menyebabkan kondisi serius terhadap pasien seperti cedera nervus
fasialis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Moore K, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Edisi Pertama. Jakarta : Penerbit
Hipokrates; 2002
2. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;
2008
3. Guyton, Arthur C.; John E. Hall. Textbook of Medical Physiology 11th Edition.
Pennsylvania: Elsevier Saunders. 2006. Hal 693
4. Roland PS. Middle Ear, Cholesteatoma. Emedicine. 29 Juni, 2009. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/860080-overview. (Diakses pada tanggal 23
Juni 2014, jam 14:30 WIB)
5. Adams GL, Boies LR, Higler PA. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997
6. Waizel S. Temporal Bone, Acquired Cholesteatoma. Emedicine. 1 Mei 2007.
http://emedicine.medscape.com/article/384879-overview. (Diakses pada tanggal 23
Juni 2014, jam 14:35 WIB)
7. Helmi. Otitis Media Supuratif Kronis. Edisi Pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2005
8. DeSouza CE, Menezes CO, DeSouza RA, Ogale SB, Morris MM, Desai AP. Profile of
congenital cholesteatomas of the petrous apex. J Postgrad Med 1989 35:93.
http://www.jpgmonline.com/text.asp?1989/35/2/93/5702 (Diakses pada tanggal 23
Juni 2014, jam 15:00 WIB)
9. Makishima T, Hauptman G. Cholesteatoma. University of Texas Medical Branch
Department of Otolaryngology. 25 Januari 2006. Diunduh dari:
www.utmb.edu/otoref/grnds/Cholest-060125/Cholest-060125.pdf. (Diakses pada
tanggal 23 Juni 2014, jam 15:30 WIB)
10. Boesoirie Shinta, Lasminingrum Lina, dkk. Perbandingan Keberhasilan Miringoplasti
Mediolateral Dengan Medial Dan Lateral Pada Perforasi Anterior Dan Subtotal Dengan
Pendekatan Transkanal. http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2009/04/perbandingan_keberhasilan_miringoplasti_mediolateral_den
gan_medial_dan_lateral.pdf. (Diakses pada tanggal 28 Juni 2014, jam 10:30 WIB).
11. Muller Christoper, Gadre Arun. Tympanoplasty. http://www.utmb.edu/otoref/Grnds/T-
plasty-030115/T-plastyslides-030115.pdf (Diakses pada tanggal 28 Juni 2014, jam
10:29 WIB).
12. Roland, P. S. Tympanoplasty: Repair of the Tympanic Membrane. Continuing
Education Program (American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
Foundation). Alexandria, VA: American Academy of Otolaryngology, 1994.
13. M.S Balasubramanian. Myringoplasty. http://www.drtbalu.co.in/myring.html
(Diakses pada tanggal 28 Juni 2014, jam 11:20 WIB).
14. Djaafar ZA. Helmi. Restuti RD. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi EA,
Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
ed 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h 69
15. Fisch, H. and J. May. Tympanoplasty, Mastoidectomy, and Stapes Surgery. New
York: Thieme Medical Pub., 1994

Anda mungkin juga menyukai