PENDAHULUAN
Kasus HIV AIDS di Kota Medan pertama kali ditemukan pada tahun
1992, sejak itu kasusnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kota Medan prevalensi HIV di populasi umum dengan
jumlah penduduk 2.122.804 jiwa adalah 0,18% dimana jumlah total kasus
HIV/AIDS hingga Agustus 2013 mencapai 3.726 orang. Tingkatan epidemi
HIV/AIDS di Kota Medan merupakan epidemi terkonsentrasi (concentrated)
situasi diantara rendah (low) dan meluas (generalized).3.
1
Berbagai upaya pengendalian dan penanggulangan HIV/AIDS telah
dicanangkan Kementerian Kesehatan, mulai dari inovasi pencegahan penularan
dari jarum suntik (Harm Reduction) pada tahun 2006, pencegahan Penularan
Melalui Transmisi Seksual (PMTS) pada tahun 2010, penguatan Pencegahan
Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) pada tahun 2011, pengembangan Layanan
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di tingkat Puskesmas pada tahun 2012,
hingga terobosan paling baru yang disebut Strategic use of ARV (SUFA) dimulai
pada pertengahan tahun 20133.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
2.3. Manifestasi Klinis HIV-AIDS
Yang menjadi masalah utama dari HIV-AIDS adalah window period –nya
yang meruapakan fase dimana ODHA tidak menunjukkan gejala sakit sama
sekali. Hal ini menyebabkan banyak pasien yang datang berobat telah terjangkit
infeksi oportunistik pada fase lanjutan. Klinis dari ODHA dapat bervariasi
tergantung dari keadaan sosio-ekonomi dari pasien. Simptom klinis pada ODHA
antara lain demam, penurunan berat badan, batuk, sesak, diare kronis, demam
berkepanjangan, malaise, dan anoreksia4.
4
2.5. Situasi HIV-AIDS di Indonesia
a. Jumlah Kasus HIV-AIDS
Dari pertama ditemukannya kasus AIDS pertama kali pada tahun
1987 sampai dengan 31 Desember 2006 jumlah kumulatif pengidap infeksi
HIV-AIDS yang dilaporkan mencapai 13.424 kasus terdiri dari 5.230 orang
dengan HIV positif (belum menunjukkan gejala AIDS) dan kasus AIDS
8.194 orang1.
5
Dari tabel di atas, dapat kita lihat terjadi peningkatan jumlah kasus mulai
daritahun 2008 (10.362 kasus HIV dan 4.995 kasus AIDS) hingga 2013(
29.037 kasus HIV dan 5.608 kasus AIDS)5.
6
c. Distribusi Kasus AIDS Menurut Propinsi
Propinsi Sumatera Utara merupakan propinsi dengan urutan kesembilan
dengan jumlah kasus HIV-AIDS terbanyak di Indonesia5.
Kasus HIV AIDS di Kota Medan pertama kali ditemukan pada tahun
1992, sejak itu kasusnya dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan
data Dinas Kesehatan Kota Medan prevalensi HIV di populasi umum dengan
jumlah penduduk 2.122.804 jiwa adalah 0,18% dimana jumlah total kasus
HIV/AIDS hingga Agustus 2013 mencapai 3.726 orang. Tingkatan epidemi
HIV/AIDS di Kota Medan merupakan epidemi terkonsentrasi (concentrated)
situasi diantara rendah (low) dan meluas (generalized)3.
7
Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di tingkat Puskesmas pada tahun 2012,
hingga terobosan paling baru yang disebut Strategic use of ARV (SUFA) dimulai
pada pertengahan tahun 20133.
8
Pada table di atas dapat dilihat jumlah konseling dan tes HIV, serta jumlah
layanan yang terdapat di kota Medan pada tahun 20135.
9
2.7. Kebijakan Penanggulangan HIV-AIDS
10
2.7.2. Harm Reduction 2006
Harm Reduction adalah suatu strategi dan ide yang difokuskan pada
pengurangan konsekuensi penggunaan obat-obat terlarang dan perilaku yang
berbahaya bagi kesehatan. Kunci – kunci yang berhubungan dengan pengurangan
drug misuse adalah7:
1. Mengembangan alat-alat steril dan disposable,
2. Edukasi terhadap individu dalam penggunaan obat yang baik dan mengurangi
perilaku yang merugikan (harmful),
3. Mencegah transmisi virus yang penularannya melalui darah seperti HIV,
Hepatitis C dan B dan penyakit-penyakit menular seksual lainnya.
4. Mengurangi resiko overdose melalui distribusi alat-alat yang memadai.
11
Meningkatkan pengetahuan dan rasa tanggungjawab dalam
mengendalikan epidemic HIV dan IMS di Indonesia dengan
memperkuat koordinasi antara pelaksana perlayanan HIV dan IMS
melalui peningkatan partisipasi komunitas dan masyarakat madani
dalam pemberian layanan sebagai cara meningkatkan cakupan dan
kualitas perlayanan.\
Memperbaiki dampak pengobatan antiretroviral dengan
mengadaptasi prinsip “treatment 2.0” dalam model layanan
terintegrasi dengan desentralisasi di tingkat kabupaten dan kota.
Kebijakan LKB9:
Mengingat latar belakang di atas maka disepakati perlunya
mengembangkan suatu erangka kerja standar bagi tingkat kabupaten/kota.
Kerangka kerja ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman bagi para
pengelola program, pelaksana layanan dan semua mitra terkait dalam
penerapan layanan pencegahan, perawatan dan pengobatan HIV & IMS yang
berkesinambungan di kabupaten/kota. Layanan HIV & IMS tersebut
menggunakan pendekatan sistematis dan komprehensif, serta dengan
perhatian khusus pada kelompok kunci dan kelompok populasi yang sulit
dijangkau prinsip dasar dengan dukungan WHO antara lain:
Hak azasi manusia
Kesetaraan akses perlayanan
Penyelenggaraan layanan yang berkualitas
Mengutamakan kebutuhan ODHA dan keluarganya
Memperhatikan kebutuhan kelompok dan kunci dan populasi rentan
lainnya
Keterlibatan ODHA dan keluarganya
Penerapan perawatan kronik
Layanan terapi retroviral dengan pendekatan kesehatan masyarakat
Mengurangi hambatan akses layanan
12
Menciptakan lingkurang yang mendukung dan mengurani stigma dan
diskriminasi
Mengarusutamakan aspek gender
13
4. Di daerah epidemi HIV meluas dan terkonsentrasi, tenaga kesehatan di
fasilitas pelayanan kesehatan wajib menawarkan tes HIV kepada semua
ibu hamil secara inklusif pada pemeriksaan laboratorium rutin lainnya saat
pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan
5. Di daerah epidemi HIV rendah, penawaran tes HIV oleh tenaga
kesehatan diprioritaskan pada ibu hamil dengan IMS dan TB. Pemeriksaan
dilakukan secara inklusif dengan pemeriksaan laboratorium rutin lainnya
saat pemeriksaan antenatal atau menjelang persalinan.
6. Daerah yang belum mempunyai tenaga kesehatan yang mampu /
berwenang memberikan pelayanan PPIA, dapat dilakukan dengan cara:
a. Merujuk ibu hamil ke fasilitas pelayanan HIV yang memadai
b.Pelimpahan wewenang (task shifting) kepada tenaga kesehatan
lain yang terlatih. Penetapan daerah yang memerlukan task shifting
petugas, diputuskan oleh kepala dinas kesehatan setempat
7. Setiap ibu hamil yang positif HIV wajib diberi obat ARV dan
mendapatkan pelayanan perawatan, dukungan dan pengobatan lebih lanjut
(PDP)
8. Kepala Dinas Kesehatan merencanakan ketersediaan logistik (obat dan
tes HIV) berkoordinasi dengan Ditjen PP&PL kKemenkes
9. Pelaksanaan Persalinan, baik pervaginam atau per abdominan harus
memperhatikan indikasi obstetrik ibu dan bayinya serta harus menerapkan
kewaspadaan standar.
14
Selain itu tujuan lainnya adalah untuk mencegah penularan (dengan menurunkan
viral load) yang dikenal dengan Treatment as Prevention (TasP)11.
1. WPS yang menjalani test HIV (melalui VCT) dan hasilnya HIV+
langsung ditawarkan ARV jauh lebih banyak yang langsung mau
menggunakan ARV.
2. Karena mereka langsung memakai ARV maka kontak antara WPS
dengan pemberi layanan ARV (CST) dan juga dengan pendamping
(bila ada pendampingnya) menjadi lebih intensif karena mereka
memang harus datang ke klinik untuk follow-up dan mengambil
ARV.
3. Memang terdapat cukup banyak efek samping FDC Tenofovir,
Lamivudine, Efavirenz pada WPS terutama pada 1 bulan pertama
pemakaian. Bila pendampingan pada WPS tidak bagus dilakukan,
maka akan banyak yang berhenti.
4. Selain pendampingan yang harus baik, juga harus ditumbuhkan
rasa percaya dari WPS kepada pemberi pelayanan ARV (dokter,
perawat, dan lain-lain).
5. Dalam beberapa kasus, karena efek samping yang agak berat, maka
WPS harus tidak bekerja dalam 1 minggu atau lebih sehingga perlu
diperhitungkan biaya makan dan kehidupan sehari-hari WPS
tersebut.
6. Bila WPS telah melewati masa efek samping, maka tidak lagi
diperlukan pendampingan yang ketat namun faktor kepercayaan
pada pemberi pelayanan ARV harus tetap dijaga. Hal ini untuk
menjamin WPS mau untuk datang kembali.
15
2.7.7. Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS12
Dalam pasal 8-10 dijelaskan usaha promotif berupa edukasi yang meliputi
masyarakat dan siswa-siswa di sekolah yang dilaksanakan oleh
masyarakat, pemerintah dan pemerintah daerah secara terpadu.
Dalam pasal 15 dijelaskan bahwa setiap orang wajib ikut serta dalam
pencegahan dengan tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah,
dan hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah, dan
mencegah penularan jika diketahui pasangannya menderita HIV positif.
16
Untuk tenaga kesehatan juga dijelaskan tentang pelaksanaan layanan
kesehatan sesuai dngan prosedur operasional standar.
Pada pasal 34-35 berisi tentang sanksi yang dapat dikenakan kepada
pelanggar hukum pidana terkait peraturan pemerintah di atas dan terhadap
PNS yang lali dalam menjalankan tugas sebagai perlayanan kesehatan.
17
BAB 3
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
19
http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&
cad=rja&uact=8&ved=0CDAQFjAD&url=http%3A%2F%2Fwww.aidsind
onesia.or.id%2Fck_uploads%2Ffiles%2FLaporan%2520HIV%2520AIDS
%2520TW%25201%25202013%2520FINAL.pdf&ei=p_V0VL2hEouRuQ
Tj04CACw&usg=AFQjCNH6_JxnCQxwIMQZZz6MgpDS1IBH9w
[Accesed 25 November 2014]
20
10. Kementerian Kesehatan RI. Rencana Aksi Nasional Pencegahan Penularan
HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Indonesia 2013-2017. Kementerian
Kesehatan RI. 2013. Available from:
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-
content/uploads/downloads/2013/12/RAN-PPIA-2013-2017.pdf [Accesed
25 November 2014]
12. Pemerintah Kota Medan Sekretariat Daerah Kota. Peraturan Daerah Kota
Medan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
HIV dan AIDS. Medan. 2012. Available from:
http://perpustakaan.pemkomedan.go.id/repositori/bitstream/123456789/23
2/1/Peraturan%20Daerah%20Kota%20Medan%20No.1%20Tahun%20201
2%20Tentang%20Pencegahan%20Dan%20Penanggulangan%20HIV%20
Dan%20AIDS.pdf [Accesed 25 November 2014]
21