Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Dermatitis merupakan peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau endogen, menimbulkan kelainan klinis
berupa efloresensi polimorfik (eritema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan
gatal (Adhi dkk, 2007).
Dermatitis kontak iritan adalah peradangan kulit yang disebabkan terpaparnya
kulit dengan bahan dari luar yang bersifat iritan yang menimbulkan kelainan klinis
efloresensi polimorfik berupa eritema, vesikula, edema, papul, dan keluhan gatal, perih
serta panas. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan, bahkan hanya beberapa
saja.
Dermatitis venenata adalah dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh
terpaparnya bahan iritan dari beberapa tanaman serta bahan aktif dari serangga.
Dermatitis spesifik yang disebabkan oleh bahan aktif serangga genus Paederus, yakni
pederin, disebut dengan paederus dermatitis atau dermatitis linearis atau blister beetle
dermatitis (Abdullah, 2009).

II. EPIDEMOLOGI
DKI merupakan penyakit kulit akibat kerja yang paling sering ditemukan,
diperkirakan sekitar 70%-80% dari semua penyakit kulit akibat kerja. DKI dapat di derita
oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras dan jenis kelamin. Jumlah penderita
DKI diperkirakan cukup banyak terutama yang berhubungan dengan pekerjaan (DKI
akibat kerja). Insiden dari penyakit kulit akibat kerja di beberapa negara adalah sama, yaitu
50-70 kasus per 100.000 pekerja pertahun. Pekerjaan dengan resiko besar untuk terpapar
bahan iritan yaitu pekerja industri mebel, pekerja rumah sakit (perawat, cleaning services,
tukang masak), penata rambut, pekerja industri kimia, dan pekerja logam. Adapun pada
DKI akibat serangga khususnya yang disebabkan kumbang Paederus kejadiannya
meningkat pada musim penghujan, karena cuaca yang lembab merupakan lingkungan
yang sesuai bagi organisme penyebab venetata (misal: Genus Paederus). Paederus
dermatitis terjadi di seluruh bagian dunia, khususnya daerah beriklim tropis seperti
Indonesia, dan pernah dilaporkan kejadian yang merebak di Australia, Malaysia, Srilanka,
Nigeria, Kenya, Iran, Uganda, Sierra, India.

III. ETIOLOGI
Serangga yang menyebabkan dermatitis venenata biasa dikenal dengan
tomcat (Paederus sp). Genus Paederus merupakan bagian dari famili Staphyllinidae, ordo
Coleoptae, kelas Insecta, dan berjumlah lebih dari 622 spesies yang tersebar di seluruh
dunia. Dalam ordo Coleoptae, hanya famili Meloidae, Oedemeridae, dan Staphyllinidae
yang dapat mengeluarkan zat vesicant yang menyebabkan dermatitis dan konjungtivitis.
Kumbang Paederus tercatat memiliki asosiasi terhadap epidemi dermatitis di beberapa
negara, antara lain Australia, Malaysia, Sri Lanka, Nigeria, Kenya, Iran, Afrika Tengah,
Uganda, Okinawa, Sierra Leone, Argentina, Brazil, Perancis, Venezuela, Ekuador, dan
India. Spesies yang seringkali menyebabkan dermatitis paederus berbeda pada setiap
negara, antara lain Paederus melampus di India, Paederus brasiliensis yang dikenal sebagai
podo di Amerika Selatan, Paederus colombius di Venezuela, Paederus fusipes di Taiwan,
dan Paederus peregrinus di Indonesia.
Kumbang Paederus dewasa memiliki ukuran dengan panjang 7-10 mm dan lebar
0,5 mm, yaitu sekitar satu setengah kali ukuran nyamuk. Paederus memiliki kepala berwarna
hitam, abdomen bawah dan elytra, thorax berwarna merah dan abdomen atas. Kumbang ini
bertempat tinggal di habitat yang lembab dan seringkali bersifat mutual bagi agrikultur
karena sifatnya sebagai pemakan hama. Paederus mampu untuk terbang, namun kumbang
ini cenderung memilih untuk berlari dan sangat gesit. Paederus bersifat nokturnal dan
terpikat dengan benda yang berpendar dan biasanya mencapai kontak langsung dengan
manusia melalui jendela atau pintu yang terbuka. Salah satu ciri khas lain dari Paederus
adalah tidak menggigit maupun menyengat, namun ketidaksengajaan menekan atau
menggencetnya akan menyebabkan pengeluaran dari cairan hemolimfe yang mengandung
paederin.

IV. PATOGENESIS
Kumbang ini tidak menggigit maupun menyengat. Racun dikeluarkan saat
kumbang tergencet, atau tidak sengaja tertekan. Paparan secara langsung maupun tidak
langsung (penyebaran toksin melalui tangan atau melalui handuk, baju, atau alat lain yang
tercemar oleh racun serangga tersebut) terhadap racun dapat menyebabkan iritasi pada kulit
atau mata. Darah kumbang (hemolimf) mengandung racun hewan yang berbahaya yang

1
disebut pederin (C24H43O9N), yang toksisitasnya 12 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan racun kobra. Dalam bentuk kering masih bersifat toksis hingga 8 tahun. Respon
inflamasi pada kulit akibat paparan toksin tersebut mengaktifkan mediator inflamasi tanpa
keterlibatan sel T memori ataupun immunoglobulin spesifik. Terjadi pelepasan sitokin
terutama berasal dari keratinosit, yang menimbulkan sensasi / rasa panas pada regio kulit
yang terkena diikuti oleh plak eritematosa dengan lesi melepuh yang muncul 12-36 jam
berikutnya. Lesi akan mengering menjadi krusta dalam waktu seminggu. Respon
hipersensitifitas IgE-mediated sistemik sangat jarang terjadi.

V. MANIFESTASI KLINIS
Bentuk dermatitis yang timbul berupa dermatitis linearis atau whiplash
dermatitis. Pada daerah leher lesi berbentuk Y-shaped kissing lesion. Lesi yang dangkal
tidak akan menimbulkan skar, namun bila dermis terlibat akan muncul ulserasi. Kadang
kelainan sulit dibedakan shingles atau herpes zoster, perbedaannya adalah pada pola
distribusinya yang tidak mengikuti pola alur saraf. Lesi vesikuler akut akan sembuh
sempurna dalam kurun waktu 10 hingga 12 hari, dengan bercak kehitaman pasca-inflamasi
yang bersifat transien. Lokasi lesi terbanyak di kepala 35%, kemudian di ekstremitas atas
31%, tubuh 18%, ekstremitas bawah 14% dan paha 2%. Gejala dermatitis Paederus ini bisa
ringan, sedang berat dan bisa disertai infeksi sekunder di daerah yang terkena. Gejala
ringan, terdapat sedikit eritema yang dimulai pada 24 jam dan berlangsung selama sekitar
48 jam. Pasien mengeluh rasa pedas, panas, dan gatal. Gejala sedang terdapat eritema mulai
sekitar 24 jam setelah kontak, setelah sekitar 48 jam, diikuti tahap vesikular, dengan lepuh
yang membesar secara bertahap dan mencapai maksimal dalam 48 jam. Vesikula
mengering selama sekitar 8 hari, terkelupas meninggalkan bekas halus, hiperpigmentasi
linier dengan kerutan pada daerah kulit yang terkena yang dapat bertahan selama satu bulan
atau lebih. Gejala berat terdapat lecet dan bekas luka berpigmen biasanya lebih luas. Racun
dapat mengakibatkan neuralgia, arthralgia, demam, dan muntah. Eritema dapat bertahan
hingga beberapa bulan. Gejala lain meliputi konjungtivitis toksik dengan sekrit mukoid.
Kontak pederin dengan kornea menyebabkan keratitis punctata superficial biasanya disertai
perdarahan subkonjungtiva karena mekanik (garukan berlebihan pada mata).

2
VI. DIAGNOSIS BANDING
Perbedaan Dermatitis Herpes Simpleks Herpes Zoster
Venetata
Etiologi Bahan aktif Virus herpes Virus Varicella
serangga, tanaman, simpleks tipe I Zoster
atau zat kimia dan II.
tertentu
UKK Awalnya berupa Vesikel yang Makula eritem
makula berkelompok di terbatas pada satu
eritematosus batas atas kulit yang dermatom -> papul
tidak tegas sembab dan -> vesikel jernih
kemudian terdapat eritematosa, berkelompok -> isi
vesikel, papul, bula berisi cairan vesikel menjadi
yang berderet jernih dan keruh -> vesikel
berbentuk garis kemudian pecah krusta ->
linear serta bisa menjadi involusi.
terdapat jaringan seropurulen,
nekrosis di dapat menjadi
tengahnya, kissing krusta dan
phenomenom (+) kadang-kadang
mengalami
ulserasi dangkal,
biasanya sembuh
tanpa sikatriks.
Gejala Klinis Gejala prodormal Gejala prodormal Gejala prodormal
(-) (+) (+)

Epidemiologi Semua usia, ras, Tipe I  anak- Meningkat pada


jenis kelamin. anak usia >60 tahun.
Tipe II  dekade Jarang pada anak-
II atau III, anak dan usia
berhubungan dewasa muda.
dengan

3
peningkatan
aktivitas seksual
Gambar

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Diperlukan tes Tzanck untuk menyingkirkan diagnosis banding berupa herpes
simpleks dan herpes zoster.

VIII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis
banding utama dari penyakit ini adalah herpes zoster, herpes simpleks, dan
phylophotodermatitis. Pada penderita herpes zoster, karakteristik khas yang sangat
membedakan adalah keluhan utama berupa nyeri menjalar, distribusi erupsi sejajar
dermatom dan unilateral. Berbeda dengan nyeri terbakar atau tersengat yang merupakan
gejala subjektif dominan dari dermatitis paederus. Penyakit herpes simpleks yang
menyerupai dermatitis paederus bukanlah pada infeksi primernya, melainkan fase
rekurensinya. Pada fase rekurensi dapat ditemukan vesikel berkelompok di daerah perioral
yaitu daerah vermilion border, terutama daerah 1/3 lateral dari labia inferior. Perbedaan
predileksi, susunan lesi yang tidak linear, juga ada tidaknya riwayat infeksi primer dari
herpes simpleks berupa gingivostomatitis dapat mengeksklusi diagnosis herpes simpleks
rekuren dari diagnosis banding. Phytophotodermatitis sangat mirip dengan dermatitis
paederus karena mempunyai gejala yang sama berupa lesi yang tersusun secara linear, area
eritema yang tidak simetrik, lepuh-lepuh, dan kelainan pigmentasi. Ada tidaknya riwayat
kontak dengan zat dari tanaman-tanaman yang memiliki sifat sensitisasi cahaya, seperti
limau, seledri, peterseli, dan daun ara, merupakan satu-satunya hal yang menolong dalam
membedakan kedua diagnosis ini.
Susunan lesi khas berbentuk linear, predileksi pada daerah yang terbuka,
ditemukannya kissing lesions, gejala dominan berupa sensasi terbakar atau tersengat, dan
fitur epidemiologi (kejadian serupa pada daerah tertentu, identifikasi serangga, dan

4
kejadian musiman) seharusnya memampukan klinisi untuk sampai pada diagnosis yang
benar.

IX. PENATALAKSANAAN

Dermatitis paederus merupakan penyakit swasirna atau self-limiting sehingga


tidak diperlukan adanya pemberian medikasi-medikasi tertentu untuk dapat mencapai
kesembuhan. Penatalaksanaan dermatitis paederus sifatnya hanya untuk meredakan gejala
dan menurunkan kemungkinan terjadinya infeksi sekunder. Kasus ini harus ditangani
seperti dermatitis kontak iritan lainnya – menghilangkan iritan dengan mencuci kulit yang
bersentuhan dengan serangga dengan air mengalir dan sabun, mengompres kulit dengan
cairan antiseptik, seperti pengunaan larutan permanganas kalikus (PK) 0,01 % atau
povidone iodin 0,5-1% untuk menurunkan resiko infeksi sekunder, diikuti dengan
pemberian steroid topikal untuk meredakan peradangan dan juga antibiotik bila terjadi
infeksi sekunder. Pemilihan topikal steroid sesuai dengan daerah lesi. Lesi di wajah dapat
menggunakan steroid potensi rendah, seperti hidrokortison 1% atau 2,5% krim, di leher
dapat menggunakan steroid potensi menengah, seperti betametason valerate 0,1% krim,
sedangkan di ekstremitas proksimal dapat menggunakan steroid potensi menengah-tinggi,
seperti betametason diproprionate 0,05% krim atau desoximetason 0,25% krim. Contoh
pilihan antibiotik topikal yang dapat digunakan antara lain, mupirosin 2% dioleskan
3x/hari, asam fusidat 2% dioleskan 3-4x / hari, gentamisin 0,1% dioleskan 3-4x/hari,
kloramfenikol 2% dioleskan 3-4x/hari, atau neomisin dioleskan tipis 2-5x/hari. Pemberian
siprofloksasin dengan dosis dua kali 500 mg sehari dapat dipertimbangkan karena hasil dari
sebuah studi yang dilakukan di Sierra Leone, dimana ditemukan perbedaan waktu
penyembuhan yang bermakna antara pasien penderita dermatitis paederus yang diberikan
antibiotik siprofloksasin dan yang tidak diberikan antibiotik.
Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan oleh masyarakat menurut
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL)
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang isinya selaras dengan pencegahan
dermatitis paederus dalam literatur-literatur terkini, antara lain menghindari penggencetan
kumbang agar racun tidak mengenai kulit, menyingkirkan kumbang dengan cara meniup
atau menggunakan kertas, mencuci bagian kulit yang mengalami kontak dengan kumbang
dengan air mengalir dan sabun, menutup pintu dan menggunakan kasa nyamuk untuk
mencegah kumbang ini masuk ke dalam rumah, tidur dengan menggunakan kelambu,

5
memasang jaring pelindung di lampu untuk mencegah kumbang jatuh ke manusia,
menyemprot insektisida, dan membersihkan rumah dari tanaman yang tidak terawat.

6
DAFTAR PUSTAKA

Al-Dhalimi MA. Paederus dermatitis in Najaf province of Iraq. Saudi Med J 2008; 29: 1490–1493

Banney LA, Wood DJ, Francis GD. Whiplash rove beetle dermatitis in central Queensland.
Australasian Journal of Dermatology 2000;41:162-167

Borroni G, Brazzelli V, Rosso R, Pavan M. Paederus fuscipes dermatitis. A histopathological


study. Am J Dermatopathol 1991; 13 : 467–474

Burns DA .Diseases caused by arthropods and other noxious animals. In: Burns DA, Breathnach
SM, Cox NH, Griffi CEM, editors. Rooks textbook of dermatology, 8th edition. Blackwell
Publishing. p.1-38, 61.

Chambers JA. Staphylinid beetle dermatitis in operation enduring freedom. J Spec Ops Med 2003;
3(4):43-6.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL)
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Pencegahan dan Pengendalian
Kumbang Paederus sp. 2012

Dursteler BD, Nyquist RA. Outbreak of rove beetle (staphylinid) pustular contact dermatitis in
Pakistan among deployed US personnel. Milit. Med 2004; 169(1):57-60.

Fox R. Paederus (Nairobi Fly) vesicular dermatitis in Tanzania. Trop Doct 1993;23(1):17-19

Frank JH, Kanamitsu K. Paederus, sensu lato (Coleptera: Staphylinidae): Natural history and
medical importance. J Med Entomol 1987;24:155-91

Huang et al. An outbreak of 268 cases of Paederus dermatitis in a toy-building factory in central
China. Int J Dermatol 2009;48:128–1319.

7
Mammino JJ. Paederus dermatitis. J Clin Aesthet Dermatol 2011; 4(11): 44-46.

Marques AR, Straus SE. Herpes Simplex. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. p. 1873-1884.

Mokhtar N, Singh R, Ghazali W. Paederus dermatitis amongst medical students in USM, Kelantan.
Med J Malaysia 1993; 48(4).
Nikookar et al. Comparison of Topical Triamcinolone and Oral Atorvastatin in Treatment of
Paederus Dermatitis Northern Iran. Pakistan J Biol Sci 2012; 15(2): 103-107

Qadir SNR, Raza N, Rahman SB. Paederus dermatitis in Sierra Leone. Dermatology Online
Journal 12(7): 9

Rahmah E, Norjaiza MJ. An outbreak of paederus dermatitis in a primary school, Trengganu,


Malaysia. Malaysian J Pathol 2008; 30(1):53-6.

Singh G, Ali S. Paederus Indian J Dermatol Venereol Leprol 2007;73(1):13-15.

Straus SE, Oxman MN, Schmander KE. Varicella and Herpes Zoster. In: Wolff K, Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in general
medicine. 7 th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 1885-1898.

Verma R, Agarwal MS. Blistering beetle dermatitis: An outbreak. MJAFI 2006; 62:42-4.

Zargari O, Asadi AK, Fathalikhani F, Panahi M. Paederus dermatitis in northern Iran: A report of
156 cases. Int J Dermatol 2003;42:608-12

8
9

Anda mungkin juga menyukai