Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara umum infeksi pada kulit dibagi menjadi dua yaitu simple dan
complicated. Infeksinya bisa meliputi kulit, lemak subkutan, lapisan fascia, dan
struktur tendomuscular. Infeksi kulit yang simple biasnaya meliputi kulit dan jaringan
lunak dibawahnya. Infeksi kulit yang simple dapat berupa selulitis, erisepelas,
impetigo, ektima, folikulitis, furunkel, karbunkel, abses, dan infeksi yang berkaitan
dengan trauma. Sedangkan infeksi yang lebih kompleks biasnaya meliputi jaringan
yang lebih dalam misalnya abses yang dalam, ulkus decubitus, fasiitis nekrosis,
Fournier gangrene, dan infeksi dari gigitan manusia maupun hewan. Infeksi perianal,
infeksi pada pasien kaki diabetes, infeksi kulit karena komorbiditas tertentu, dan infeksi
karena pathogen yang sudah resisiten juga termasuk didalam infeksi yang kompleks
(RAMAKRISHNAN, et al., 2015)

Selulitis adalah istilkah yang diberikan kepada inflamasi kulit dan subkutan
yang tidak menyebabkan nekrosis. Biasanya inflamasi ini tidak mengikutkan fasia dan
otot. Selulitis biasanya diklasifikasikan sebagai inflamasi yang tanpa ada pembentukan
abses (nonpurulen), drainase purulent, atau ulserasi. Biasanya selulitis nonpurulent
memiliki 4 tanda cardinal yaitu eritema, nyeri, pembengkakan dan teraba hangat.
(Herchline, 2018).

Abses kulit adalah kumpulan pus pada bagian dermis atau ruangan pada
subkutan. Gangguan ini biasanya terjadi akibat dari infeksi S.aureus (methicillin-
susceptible ataupun methicillin-resistant S. aureus). Biasanya hasil biakan dari abses
akan dapat mengisolasi pathogen yang multiple apabila abases terjadi meliputi perioral,
perirectal, atau vulvovaginal. (Spelman & Baddour, 2018).
Kasus infeksi kulit dan jaringan lunak sendiri di Amerika dilaporkan sekitar 14
juta kasus setiap tahunnya. Kasus infeksi ini banyak terjadi pada pasien berumur 18
sampai 44 tahun dan 59% kasus yang dilaporkan di IGD terjadi akibat MRSa (
(RAMAKRISHNAN, et al., 2015).

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud Selulitis dan Abses?

2. Bagaimana struktur anatomi kulit?

3. Apa saja etiologi Selulitis dan Abses?

4. Apa saja gejala Selulitis dan Abses?

5. Bagaimana mendiagnosis Selulitis dan Abses?

6. Bagaimana tatalaksana Selulitis dan Abses?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Selulitis dan Abses

2. Untuk mengetahui struktur anatomi kulit

3. Untuk mengetahui etiologi Selulitis dan Abses

4. Untuk mengetahui gejala Selulitis dan Abses

5. Untuk menetahui cara mendiagnosis Selulitis dan Abses

6. Untuk mengetahui tatalaksana Selulitis dan Abses


BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Selulitis dan Abses

Selulitis merupakan infeksi bakteri akut pada dermis dan jaringan subkutan
yang ditandai lesi kemerahan berbatas tidak jelas dan disertai tanda-tanda radang(
(Wolff & Johnson, 2009). Selulitis sendiri biasa digolongkan menjadi:

a. Selulitis Sirkumskripta Serous Akut

Selulitis Sirkumkripta serous akut merupakan selulitis yang terbatas pada


daerah tertentu, yang tidak jelas batasnya. Infeksi bakteri mengandung serous,
konsistensinya sangat lunak dan spongius.

b. Selulitis Sirkumskripta Supurartif Akut

Prosesnya hampir sama dengan selulitis sirkumskripta serous akut, hanya


infeksi bakteri tersebut juga mengandung suppurasi yang purulen. Penamaan
berdasarkan spasia yang dikenainya. Jika terbentuk eksudat yang purulen,
mengindikasikan tubuh bertendensi membatasi penyebaran infeksi dan mekanisme
resistensi lokal tubuh dalam mengontrol infeksi.

c. Selulitis Difus Akut

Selulitis difus akut yang biasa dijumpai angina ludwig’ dimana merupakan
merupakan suatu selulitis difus yang mengenai spasia sublingual, submental
dansubmandibular bilateral, kadang-kadang sampai mengenai spasia pharingeal. (
Sawitri et al, 2005).
Gambar 1. Selulitis

Abses adalah kumpulan dari pus yang terlokalisir yang dapat terjadi dibagian
kulit manapun. Biasanya memiliki gejala nyeri dan pembengkakan yang tegas dan
lembut atau berfluktuasi (Dhar, 2017). Abses adalah infeksi terlokalisir baik akut
maupun kronik yang diasosiasikan dengan kumpulan pus dan penghancuran jaringan
(Wolff & Johnson, 2009).

Gambar 2. Abses
B. Anatomi Kulit

Kulit merupakan organ terbesar dari tubuh manusia yang meliputi 15% berat
badan tubuh manusia. Kulit merupakan orag yang kompleks dan meliputi bagian tubuh
dan secara berkelanjutan dengan membrane mukosa. Kulit sendiri terdiri atas
epidermis, dermis, dan hypodermis. Epidermis terdiri atas sel-sel epitel berlapis yang
terus beregenerasi. Epidermis terdiri atas keratinosit, sel Langerhan, melanosit, sel
merkel, limfosit, sel Toker, Epidermal Appendages, kelenjar keringat, folikel
Pilosebaceous, dan kuku. Bagian dermis terdiri atas kolagen tipe I dan III yang
berfungsi untuk resistensi mekanis dari kulit. Sel-sel pada hypodermis biasanya terdiri
atas sel adiposa yang berguna untuk termoregulasi, tempat penyumpanan energi,
isolasi, dan pelindung dari cedera mekanik. (Brunicardi, et al., 2010)

Gambar 3. Anatomi Kulit


C. Etiologi Selulitis dan Abses

Penyebab tersering dari selulitis adalah golongan beta hemolitik streptococcus


yaitu Streptococcus grup A atau Streptococcus pyogenes, S. aureus (methicillin-
susceptible ataupun methicillin-resistant S. aureus). Beberapa kecil kasus disebabkan
oleh bakteri gram negative. Pada beberapa kasus yang lebih jarang lagi selulitis dapat
disebabkan oleh Haemophilus influenzae (buccal cellulitis), clostridia dan non-spore-
forming anaerobes (crepitant cellulitis), Streptococcus pneumoniae, dan Neisseria
meningitidis. Pada pasien yang mengalami kondisi immunocompromise bakteri-
baktero lain mungkin dapat menyebabkan infeksi pada kulit.

Gambar 4. Etiologi dan Gambaran Klinis


Pada kasus abses 75% kasus terjadi akibat S. aureus (methicillin-susceptible
ataupun methicillin-resistant S. aureus). Pada sebagian besar kasus pasien yang terkena
abses kulit tidak memiliki factor resiko terjadinya abses. (Spelman & Baddour, 2018)
Faktor resiko yang dapat menyebabkan abses adalah orang tua, memiliki gangguan
cardiopulmoner atau hepatorenal, diabetes mellitus, kelemahan, immunosenescence
atau immunocompromise, obesitas, peripheral arteriovenous atau insuffisiensi limfatik,
dan trauma. Kejadian infeksi kulit dan jaringan lunak ini biasanya terjadi secara de
novo atau mengikuti kerusakan jaringan pelindung seperti pada trauma, operasi, atau
peningkatan tekanan akibat cairan yang statis. (RAMAKRISHNAN, et al., 2015)

Gambar 5. Faktor Resiko Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak

D. Gejala Selulitis dan Abses

Gejala kardinal dari selulitis nonpurulent adalah eritema, nyeri, pembengkakan


dan teraba panas. Pada infeksi yang lebih parah dapat ditemukan malaise, mengigil,
demam, dan toksisitas, penyebaran limfatik, selulitis sirkumferensial, nyeri yang tidak
sejalan dengan pemeriksaan fisik. Pada infeksi tanpa adanya drainase yang
mendasarinya, trauma penetrasi, eschar, atau abses biasanya disebabkan streptococcus
(Staphylococcus aureus, biasanya community-acquired MRSA biasanya penyebab dari
gejala yang tampak). Apabila gambaran dari lesi tampak berwarna violaceus dan bula
biasanya disebabkan oleh bakteri yang lebih serius atau infeksi sistemik oleh Vibrio
vulnificus atau Streptococcus pneumoniae. (Herchline, 2018)

Pada pasien abses tampilan gejala yang tampak adalah nyeri, lembut, indurasi
dan kemerahan. Ukuran dari lesi bervariasi dari 1 sampai 3 cm atu bisa lebih besar.
Awalnya lesi teraba keras yang kemudian semakin lama nanti kulit akan menjadi tipis
dan terasa berfluktuasi. (Dhar, 2017)

E. Diagnosis Selulitis dan Abses

Diagnosis secara umum dapat ditegakan secara klinis, meskipun pemeriksaan


seperti C-reactive, fungsi liver dan ginjal harus diminta untuk pasien dengan infeksi
luas, dan memiliki komorbid yang menyebabkan disfungsi organ. Kultur darah secara
umum tidak terlalu diperlukan pada pasien yang immunocompetent, tetapi apabila ada
keterlibatan jaringan yang lebih luas (RAMAKRISHNAN, et al., 2015)

F. Tatalaksana Selulitis dan Abses

Tatalaksana pada pasien selulitis terbagi dalam terapi suportif yang berupa
istirahat, imobilisasi, elevasi, kompres hangat, dan analgesia. Lakukan dressing dengan
saline untuk mengeluarkan eksudatdan jaringan nekrosis. Intervensi operasi berupa
drainase abses, debridement jaringan nekrosis. Debridemen yang dilakukan sebagai
awal sangat membantu pasien yang dicurigai infeksi nekrosis. (Wolff & Johnson, 2009)

Tatalaksana berdasarkan Clinical Resource Efficiency Support Team (CREST)


dibagi sesuai dengan system klasifikasi Eron yaitu berdasarkan ada tidaknya toksisitas
sistemik dan komorbiditas (Phoenix, et al., 2012).
Gambar 5. Sitem klasifikasi Eron

Secara empiric terapi pasien yang sudah diketahu terkena infeksi beta hemolitik
dapat diberikan Penisilin V sebanyak 250-500 mg dua kali sendiri atau erythromisin
250 mg dua kali sehari, atau injeksi Penisilin G benzathine. Apabila pasien diketahui
terkena infeksi stafilococcal maka diberikan clindamisin150 mg dua kali sehari atau
co-trimoksasole dosis dobel 2 kali sehari. (Spelman & Baddour, 2018) Terapi pada
selulitis akibat pathogen khusus dapat disesuaikan dengan pathogen penyebabnya.
(Wolff & Johnson, 2009)

Gambar 6. Antiobotik Spesifik


Sumber Pustaka
Brunicardi, F. C. et al., 2010. Schwartz’s Principles of Surgery. 10 ed. San Fransisco:
McGraw-Hill.

Dhar, A. D., 2017. MSD Manuals. [Online]


Available at: https://www.msdmanuals.com/professional/dermatologic-
disorders/bacterial-skin-infections/cutaneous-abscess
[Accessed 4 January 2019].

Herchline, T. E., 2018. Medscape. [Online]


Available at: https://emedicine.medscape.com/article/214222-overview
[Accessed 4 january 2019].

Phoenix, G., Das, S. & Joshi, M., 2012. Diagnosis and management of cellulitis.
BMJ, Volume 345, pp. 38-42.

RAMAKRISHNAN, K., SALINAS, R. C. & HIGUITA, a. N. I. A., 2015. Skin and


Soft Tissue Infection. American Academy of Family Physicians, 92(6), pp. 474-483.

Spelman, D. & Baddour, L. M., 2018. UpToDate. [Online]


Available at: https://www.uptodate.com/contents/cellulitis-and-skin-abscess-clinical-
manifestations-and-diagnosis
[Accessed 4 january 2019].

Wolff, K. & Johnson, R. A., 2009. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6 ed. San Fransisco: McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai