Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAU PUSTAKA

A. SISTEM PENGHANTARAN OBAT


Pengembangan metode untuk memperbaiki penghantaran obat yang
digunakan dalam mengatasi penyakit sangat dibutuhkan. Saat ini
kemampuan penghantaran obat pada target spesifik banyak dikembangkan
dalam penelitian farmasi, guna mengurangi toksisitas dan efek samping
yang tidak diinginkan pada tempat non target. Sistem penghantaran obat
tertarget sangat penting untuk meningkatkan efisiensi pengobatan dan
mengurangi efek samping dengan menghantarkan obat pada sel yang sakit
saja dan tidak berdampak negatif pada sel sehat.
Jenis sistem penghantaran obat tertarget ada dua jenis, yaitu sistem
tertarget aktif dan sistem tertarget pasif. Sistem tertarget pasif bertujuan
meningkatkan konsenterasi obat pada tempat target melalui pengurangan
interaksi yang tidak spesifik dengan mendesain sifat fisika kimia sistem
penghantaran yang digunakan, seperti ukuran, muatan permukaan,
hidrofobisitas permukaan, sensitivitas pada pemicu dan aktivitas
permukaan sehingga dapat mengatasi barrier anatomi, seluler dan
subseluler dalam penghantaran obat. Sistem penghantaran jenis ini adalah
liposom, mikro/nanopartikel, misel dan konjugat polimer.

B. NANOPARTIKEL
Nanopartikel adalah salah satu jenis sistem penghantaran tertarget yang
merupakan sistem koloid dengan ukuran submikron kurang dari 1 mikro
terbuat dari berbagai macam bahan. Sistem penghantaran nanopartikel
memungkinkan konsenterasi obat mencapai tumor 10-100 kali lipat lebih
tinggi dibanding dengan pemberian obat bebas.
Dalam mempertimbangkan sistem penghantaran obat yang stabil perlu
memperhatikan bahwa sistem tersebut harus memiliki stabilitas

5
6

fisikokimia cukup sehingga obat tidak terdekomposisi dari sistem


penghantarannya sebelum mencapai tempat aksi. Setelah sampai pada
tempat aksi, sistem penghantaran harus melepaskan obat dalam jmlah yang
cukup untuk memberikan efek terapi dan sistem penghantaran dengan
menggunakan carrier harus terdegradasi dan dapat dieliminasi darri tubuh
untuk menghindari toksisitas dalam jangka panjang.
Dalam mendesain pembawa, perlu diperhatikan sifat fisikokimia
seperti berat molekul, ukuran, hidrofobisitas permukaan dan muatan
permukaanya yang memungkinkan obat terakumulasi pada sel atau organ
target, karena sistem penghantaran obat sangat berperan penting pada
aktivitas in vivo (13).
1. Pengaruh Ukuran, Bentuk dan Muatan Nanopartikel
Ukuran partikel merupakan parameter penting dalam menentukan
distribusi ukuran partikel secara in vivo. Pada partikel kaku yang
berukuran besar dengan diameter lebih dari 2.000 nm akan
terakumulasi dengan mudah di dalam limpa, hati, dan kapiler paru-paru,
sedangkan nanopartikel dalam kisaran 100-200 nm telah terbukti dari
peningkatan efek permeabilitas dan retensi (efek EPR) dan lolos dari
filtrasi oleh hati dan limpa. Seiring bertambahnya ukuran melebihi 150
nm, nanopartikel semakin banyak terperangkap di dalam hati dan
limpa. Nanopartikel berukuran kecil (<5 nm) disaring oleh ginjal, maka
ukuran nanopartikel diasumsikan berkisar antara 20-150 nm, karena
partikel nano dengan rata-rata 100 umumnya bertahan lama pada sistem
sikulasi.
Adanya perbedaan bentuk nanopartikel menunjukkan karakteristik
aliran yang unik, karena dapat mengubah waktu tinggal di sirkulasi
darah, interaksi membran sel dan serapan makrofag, sehingga dapat
mempengaruhi biodistribusi di berbagai organ. Berdasarkan bentuk
nanopartikel, partikel bulat seperti nanopartikel emas, liposom dan
misel polimer atau nanopartikel dapat bervariasi dalam ukuran dan
tampilan yang berbeda.
7

Partikel bermuatan positif lebih mudah diserap oleh makrofag di


paru-paru, hati dan limpa serta memberikan serapan non spesifik yang
lebih tinggi disebagian besar sel. Nanopartikel netral dan sedikit
bermuatan negatif memiliki daya tahan sirkulasi yang lebih lama dan
terakumulasi lebih sedikit pada organ hati dan limpa. Muatan
nanopartikel yang baik bermuatan negatif atau netral pada sebelum
mencapai organ target dan memberikan sifat kationik pada organ target
(4).
2. Jenis-Jenis Nanocarriers
Pada dasarnya jenis pembawa obat dalam sistem penghantaran
tertarget, antara lain liposom, polimer misel, nanopartikel, dendrimers
dan lain sebagainya. Sistem penghantaran obat yang digunakan harus
memenuhi persyaratan ideal antara lain tidak beracun, biokompatibel,
non imunogenik, biodegradabel, dan menghindari pengenalan oleh
mekanisme imun host (13).
a. Nanopartikel.
Nanopartikel adalah partikel koloid berukuran submikron (<1M).
Nanopartikel baru menunjukan sifat khasnya pada ukuran diameter
dibawah 100 nm dan adanya fenomena brown yang terjadi akibat
interaksi tolak-menolak antar partikel besar merupakan salah satu
karakter spesifik patikel berukuran koloidal.
Nanopartikel menggunakan polimer sebagai sistem
penghantaran tertarget berfungsi untuk meningkatkan
bioavailabilitas, pelepasan obat terkendali, meningkatkan kadar zat
aktif dalam darah, menghindari biodegradasi oleh enzim, modifikasi
molekuler, dan meningkatkan efektivitas serta kecepatan absorpsi.
Penghantaran obat ini biasanya menghubungkan ligan dengan ligan,
ligan dengan protein, maupun protein dengan protein, sehingga
terjadi interaksi yang spesifik. Polimer derivat gula juga sering kali
diteliti dalam pengembangan nanopartikel, karena gula merupakan
8

komponen membran seluler yang secara spesifik terdapat pada sel


tertentu (2).
b. Misel.
Misel adalah partikel koloid berukuran 5-100 nm yang terdiri dari
bahan aktif permukaan (surfaktan), dimana sebagian besar kepala
hidrofilik dan ekor hidrofobik. Pada konsentrasi rendah dalam
medium berair, amfifil berupa monomer dalam larutan, namun
ketika konsentrasinya meningkat terjadi agregasi dan self-assembly
berlangsung sehingga terbentuk misel. Konsentrasi di mana misel
yang terbentuk disebut sebagai konsentrasi misel kritis (CMC) (13).
c. Dendrimer.
Dendrimer adalah senyawa makromolekul dengan struktur
bercabang disekitar inti pusat yang ukuran dan bentuknya dapat
diubah sesuai dengan yang diinginkan. Dendrimer didesain dengan
ligan yang terbuat dari peptide dan sakarida pada gugus perifer,
membentuk nanomaterial yang mampu berikatan dengan reseptor
yang spesifik. Selain itu konjugat dendrimer dapat meningkatkan
stabilitas, solubilitas dan absorpsi bahan terapetik (13).
d. Liposom.
Liposom adalah partikel koloid yang terbentuk dari campuran
fosfolipid dan pelaut organik. Penghantaran obat dengan liposom
dapat meningkatakan efek terapi, keamanan, dan efikasi berbagai
obat seperti antitumor, antiviral, antimikroba dan vaksin. Liposom
juga dimanfaatkan sebagai perlindungan terhadap obat dari
degradasi biologis sebelum sampai pada tempat yang diharapkan.
Kekurangan liposom in vivo merupakan pembersihan segera oleh
sistem RES dan stabilitas yang relatif rendah secara in vitro, seperti
nanoliposom pada retinol yang mudah terdegradasi oleh cahaya
(2,13).
e. Nanopartikel polimerik.
9

Nanopartikel polimerik meliputi nanokapsul dan nanosfer yaitu


sistem penghantaran obat tertarget dengan menggunakan ligan.
Nanokapsul terdiri atas polimer yang membentuk dinding yang
melingkupi inti dalam tempat di mana senyawa obat dijerat.
Nanosfer dibuat dari matriks polimer padat dan di dalamnya
terdispersi senyawa obat. Ligan yang dapat digunakan antara lain
vitamin, transferin, hormon dan LDL (13).
Nanopatikel polimerik memiliki kemampuan terdegradasi dalam
tubuh, modifikasi permukaan dan fungsi yang dapat disesuaikan
dengan keinginan. Sistem polimerik dapat mengatur sifat
farmakokinetik dari obat yang dimuatkan yang mengakibatkan obat
berada pada keadaan stabil. Kelebihan tersebut membuktikan bahwa
nanopartikel polimer obat-obat bioteknologi yang sensitif terhadap
perubahan lingkungan (2).
f. Nanopartikel sambung silang.
Nanopartikel sambung silang merupakan nanopartikel yang
terbentuk dari proses sambung silang antara elektrolit dengan
pasangan ionnya. Ikatan sambung silang ini dapat terjadi secara
ionik maupun kovalen. Pembuatan nanopartikel sambung silang
dapat dilakukan dengan metode sambung silang konvensional
menggunakan senyawa penyambung silang konvensional ataupun
dengan menggunakan metode gelasi ionik (2).

3. Kelebihan Nanopartikel
Nanopartikel akan menunjukkan sifat khasnya pada ukuran diameter di
bawah 100 nm. Nanopartikel memiliki kemampuan menembus dinding
sel yang lebih tinggi melalui difusi ataupun opsonikasi, menembus
ruang-ruang antar sel yang hanya dapat ditembus oleh ukuran partikel
koloidal, dan fleksibilitasnya untuk dikombinasi dengan berbagai
teknologi lain sehingga mampu membuka potensi yang luas untuk
10

dikembangkan pada berbagai keperluan. Kelebihan nanopartikel


lainnya yaitu adanya peningkatan afinitas dari sistem karena
peningkatan luas permukaan kontak pada jumlah yang sama serta
meningkatkan ketersediaan hayati obat dengan kelarutan yang rendah
dalam sirkulasi sistemik dan memperoleh keuntungan profil pelepasan
yang terkontrol. Selain itu, nanopartikel dapat memberikan efek
farmakologis pada dosis yang lebih kecil dan memberikan hasil terapi
yang optimal (2).

C. METODE PEMBUATAN DENGAN GELASI IONIK


Gelasi ionik merupakan metode yang melibatkan proses sambung silang
antara polielektrolit dengan adanya pasangan ion multivalen yang sering
diikuti dengan kompleksasi polielektrolit yang berlawanan. Pembentukan
ikatan ini akan memperkuat mekanisme dari partikel yang terbentuk.
Metode gelasi ionik sering dilakukan karena prosesnya yang sederhana,
tidak menggunakan pelarut organik, dan dapat dikontrol dengan mudah.
Prinsip pembentukan partikel pada metode ini adalah terjadinya
interaksi ionik antara gugus amino pada thiomer kationik yang bermuatan
positif dengan polianion yang bermuatan negatif. Dari beberapa polianion
yang diteliti, tripolifosfat merupakan yang paling populer karena sifatnya
yang tidak beracun dan memiliki kemampuan membentuk gel dengan cepat
(7).
Konsep Gelasi Ionik memungkinkan untuk penggunaan dua macam
biopolimer dalam satu sistem formulasi. Kedua biopolimer yang digunakan
harus memiliki muatan yang berlawanan, sehingga dapat membentuk
matriks yang fleksibel untuk menjerap obat dengan sifat yang lebih luas.
Secara keseluruhan, sistem yang terbentuk cenderung menyisakan gugus
amonium bebas yang saling tolak-menolak sehingga melemahkan
kompleks nanopartikel yang telah terbentuk, maka perlu ditambahkan
crosslinker yang mampu menstabilkan muatan positif (2).
11

Obat Pengait silang (Crosslinker)


Gambar II. 1. Ilustrasi Kompleksasi Nanopartikel dengan Metode Gelasi Ionik (2)

Cross linker polianion yang paling banyak digunakan adalah sodium


tripolifosfat, karena bersifat tidak toksis dan memiliki multivalen. Proses
crosslinking secara fisika ini tidak hanya menghindari penggunaan pelarut
organik, namun juga mencegah kemungkinan rusaknya bahan aktif yang
akan dienkapsulasi dalam nanopartikel (7).

D. KARAKTERISASI NANOPARTIKEL
Beberapa permasalahan yang sering timbul pada preparasi nanopartikel
adalah terjadinya agregasi yang cepat dan ukuran patikel yang tidak
merata, sehingga stabilitas sistem dispersi menjadi sulit dikontrol.
Permasalahan tersebut dapat dipahami dengan melakukan karakterisasi
secara menyeluruh pada nanopartikel, diantaranya: (4)
1. Ukuran dan distribusi partikel
Ukuran dan distribusi merupakan karakteristik utama pada sistem
nanopartikel karena menentukan distribusi in vivo, nasib biologi,
toksisitas dan kemampuan bertarget pada sistem nanopartikel serta
mempengaruhi drug loading, pelepasan obat dan stabilitas pada
nanopartikel (4).
Partikel atau globul pada skala nanometer memiliki sifat fisik yang
khas dibandingkan dengan partikel pada ukuran yang lebih besar
terutama dalam meningkatkan kualitas penghantaran senyawa obat.
12

Ukuran nanopartikel pada umumnya berkisar 10-1000 nm sehingga


dapat meningkatkan pelepasan obat dan memiliki pengaruh terhadap
sistem penghantaran obat. Sebab nanopartikel dengan ukuran tersebut
memiliki pengambilan seluler yang lebih tinggi, yaitu 2,5-6 kali lebih
besar dibandingkan dengan mikropartikel, karena semakin kecil
ukuran partikel maka semakin besar luas permukannya dan memiliki
mobilitas yang lebih tinggi. Metode yang digunakan untuk
menentukan ukuran partikel pada penelitian ini adalah particle sizer
(2).

2. Potensial Zeta
Analisis potensial zeta merupakan teknik penentuan muatan
permukaan nanopartikel pada larutan koloid. Nanopartikel memiliki
muatan permukaan yang menarik lapisan tipis ion yang berlawanan
dengan permukaan nanopartikel. Potensial zeta partikel akan
memberikan gambaran gaya tolakan antar partikel dan menyebabkan
semakin besar potensial zeta maka sistem dispersi akan semakin
stabil. Nanopartikel dengan nilai potensial zeta lebih besar dari +25
mV atau kurang dari -25 mV biasanya memiliki tingkat stabilitas yang
tinggi, sehingga suspensi nanopartikel yang dibuat akan stabil dan
muatan partikel pada permukaan dapat mencegah agregasi dari
partikel. Metode yang digunakan untuk mengukur potensial zeta
adalah zetasizer (2,6).

3. Morfologi Partikel
Morfologi partikel penting dalam pelepasan obat karena bentuk
partikel yang kurang sferis akan mempermudah kontak antar partikel
yang berujung pada agregasi. Metode yang digunakan untuk
mengetahui morfologi nanopartikel adalah scanning electron
microscopy (SEM) maupun transmission electron microscopy (TEM)
(2).
13

Pada pengujian morfologi nanopartikel dengan menggunakan


TEM, suspensi nanopartikel diteteskan grid tembaga, setelah meresap
dan kering kemudian dicoating dengan karbon, kemudian dianalisis
menggunakan TEM (7).

E. POLIMER
Kata polimer pertama kali digunakan oleh kimiawan Swedia Berzelius
pada tahun 1833. Polimer berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly yang
berarti banyak, dan mer yang berarti bagian atau satuan. Ciri utama polimer
yakni mempunyai rantai yang sangat panjang dan memiliki massa molekul
yang sangat besar (10, 11)
Polimer merupakan rangkaian molekul panjang yang tersusun dari
pengulangan kesatun molekul yan kecil dan sederhana. Molekul kecil dan
sederhana penyusun polimer disebut dengan monomer. Polimer dengan
massa molekul yang besar disebut dengan polimer tinggi. Polimer tinggi
terdapat di alam seperti pati, selulsa, protein, dan kitosan serta dapat
disintesis di laboratorium misalnya: polivinil klorida, polivinil alkohol,
poliasam laktat, polimeil metakrilat, polietilena. (10, 11)
Berdasarkan sumbernya polimer dapat dibagi menjadi polimer alam
dan polimer sintetik.
1. Polimer Alam
Polier alam adalah polimer yang terjadi melalui proses alami. Contoh
polimer alam anorganik seperti tanah liat, pasir, sol-gel, silika, siloksan.
Sedangkan contoh polimer organik alam adalah karet alam dan selulosa
yang berasal dari tumbuhan, wol dan sutera yang berasal dari hewan
serta asbes yang berasal dari mineral.

2. Polimer Sintetik
Polimer sintetik adalah polimer yang diuat melalui reaksi kimia seperti
karet, fiber, nilon, poliester, polistrena, polietilen. (10)
14

F. SELULOSA
1. Struktur Kimia Selulosa
Selulosa adalah salah satu jenis biopolymer alami yang paling banyak
terdapat dimuka bumi ini, berbagai serat alami seperti kain katun dan
tumbuhan tingkat tinggi memiliki kandungan utama selulosa yang
terdiri dari rantai panjang anhydro-D-glucopyranose units (AGU)
dengan setiap molekul selulosa mempunyai 3 gugus OH AGU,
terkecuali dari ujung terminalnya (13).

Gambar II.2. Struktur Molekul selulosa (13)


Unit Penyusun (building block) selulosa adalah selebiosa karena
unit keterlulangan dalam air dan beberapa pelarut lainnya.
Kelarutannya rendah disebabkan oleh ikatan kuat hidrogen
intramolekuler dan intermolekuler antara masing-masing rantai.
Walaupun kelarutannyarendah akan tetapi selulosa digunakan dalam
berbagai aplikasi termasuk campuran, jaringan, kain pelapis, penyalu,
pembungkus dan kertas. Modifikasi kimia dari selulosa dilakukan
untuk memperbaiki kemampuan proses dan untuk memproduksi
derivatif dari selulosa (Cellulosics) yang dapat disesuaikan untuk
aplikasi industri. Selulosa (Cellulosics) pada umumnya sangat kuat,
dapat diproduksi, dapat didaur ulang dan tercampurkan secara biologi
(Biocompatible) sering digunakan dalam berbagai macam aplikasi
biomedis seperti membran untuk pemurnian darah (10).
15

2. Modifikasi Kimia Selulosa


Modifikasi selulosa terdiri dari esterifikasi dan eterifikasi pada gugus
hidroksi (-OH) dari selulosa. Sebagian yang larut dalam air dan pelarut
organik lainnya dilakukan dengan cara reaksi susbtitusi dan perubahan
drastis dalam sifat fisiko kimia dari selulosa yang biasa dicapai dengan
cara modifikasi kimia secara ionisasi, radiasi okulasi, asetilasi, deoksi
halogenasi dan oksidasi (13)

Gambar II. 3. Posisi Struktur selulosa dalam modifikasi secara kimia


(13)

3. Reaksi oksidasi Selulosa


Oksidasi selulosa (atau oksiselulosis) bahan yang tidak larut dalam air
yang diproduksi dari reaksi selulosa dengan oksidan seperti gas klorin,
hidrogen peroksida, klorin dioksida (dinitrogen tetraoksida), persulfat,
permanganat, asam dikromat sulfat, asam hipoklorin dan periodat.
Selulosa yang teroksidasi mengandung karboksilat, aldehid, dan atau
keton. Reaksi oksidasi oleh periodat digunakan dalam menghasilkan
16

gugus dialdehid. Selulosa dialdehid dapat dioksidasi dengan sodim


klorit dan direduksi dengna dialkohol seulosa dengan sodium
borohidrid (11, 13).

4. Aplikasi Material Selulosa


Sistem penghantaran obat berpengaruh pH, temperatur, potensial
redoks, cahaya dan medan magnetik mampu mempromosikan
pelepasan obat, untuk mencapai lokasi intraseluler atau target jaringan.
Sistem polimerik berbasis selulosa dengan pembuatan yang benar dapat
menunjukkan sifat yang unik seperti biokompatibilitas,
biodegradabilitas dan fungsi biologis dan sudah banyak di telit oleh
para peneliti (11).

G. ETIL SELULOSA
A. Nama Kimia : 2-[4,5-dietoksi-2(etoksimetil)-6metoksioksan-
3il]oksi- 6-(hidroksimetil)-5-metoksioksan-3,4-
diol
B. Rumus Bangun :

C. Rumus Molekul : C20H38O11


D. Bobot Molekul : 454,513 g/mol
E. Organoleptik : Serbuk higroskopik berwarna putih atau
hampir putih, tidak berbau, dan tidak berasa
F. Titik Leleh : 151oC
G. Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, gliserol dan
propan-1,2 diol, namun larut dalam beberapa
17

pelarut organik tergantung pada kandungan


etoksilnya
H. Densitas : 1,07-1,18
I. Stabilitas : sangat stabil secara kimia
J. pH : netral terhadap lakmus
K. Indeks Refraksi : 1,47

Etil selulosa adalah eter selulosa non ionik, tidak sensitif terhadap pH
dan tidak laurt dalam air namun larut dalam berbagai pelarut organik lain.
Etil selulosa digunakan sebagai komponen matriks atau sistem salut yang
tidak mengembang dan tidak larut, bahan pengikat bagi bahan aktif yang
sensitif terhadap air, salut bagi tablet yang mengandung satu atau lebih
bahan aktif untuk mencegahnya bereaksi dengan bahan lain, pencegah
terjadinya perubahan warna pada bahan-bahan yang mudah teroksidasi
seperti asam askorbat, mempermudah granulasi untuk dicetak menjadi
tablet dan bentuk sediaan lainnya, serta dapat digunakan baik tunggal
maupun kombinasi dengan polimer larut air untuk digunakan sebagai salut
tablet sustained release yang digunakan pada mikropartikel, pelet dan
tablet (11)

H. NATRIUM TRIPOLIFOSFAT
Natrium tripolifosfat atau banyak dikenal sebagai sodium tripolifosfat
(STPP) memiliki rumus kimia Na5P3O10, merupakan garam pentanatrium
polifosfat dengan pemerian: serbuk atau granul putih, tidak berbau , tidak
berasa. Kelarutan STPP: mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol,
tidak larut dalam eter.
STPP bersifat inert, non alergi, non karsinogenik, biodegredable dan
biocompatible terhadap tubuh. Pada umumnya, STPP digunakan sebagai
agen pentaut silang atau sering disebut cross-linking agent untuk
pembuatan sintesis mikropartikel dan nanopartikel bersama polimer yang
direaksikannya. Variasi penggunaan konsentrasi dan banyaknya jumlah
18

bahan yang digunakan dapat mempengaruhi hasil pembentukan


mikropartikel atau nanopartikel.

Gambar II. 4 Natrium tripolifosfat

I. NATRIUM ALGINAT
Natrium Alginat adalah bahan yang memiliki rumus kimia ((C6H8O6)n)
dengan pemerian serbuk berwarna putih kekuningan, praktik tidak berbau,
dan hampir tidak berasa. Kelarutan natrium alginat: larut dalam air, tidak
larut dalam kloroform dan dalam etanol (3). Natrium alginat dapat
digunakan sebagai crosslinker atau agen pentaut silang untuk membentuk
nanopartikel.

Gambar II.5 Natrium alginat

J. TIOMER
Thiolated polymers juga disebut sebagai tiomer. Hasil dari immobilisasi
senyawa sulfhidril pada polymer backbone, tiomer dapat menampilkan
hasil yang signifikan dalam meningkatkan sifat mukoadhesif sebagai
akibat dari penempelan secara ikatan kovalen pada mukus glikoprotein.
19

Sifat kohesif yang kuat dikarenakan adanya ikatan sulfida baik itu inter
dan intramolekular yang menghasilkan stabilitas yang lebih tinggi. Berikut
adalah data peningkatan mukoadhesif dari beberapa tiomer yang pernah
dibuat:

Selain dapat meningkatkan sifat mukoadhesif, tiomer juga dapat sebagai


peningkat penetrasi dimana misalnya pada kitosan, peningkat penetrasi
terjadi karena adanya efek dari gugus tiol dari kitosan yang menjelaskan
efeknya pada protein tirosin fosfat dimana enzim tersebut bertanggung
jawab pada defosforilasi dari transmembrane occludin tyrosine, protein
yang bertanggung jawab untuk pembukaan dan penutupan tight junction
antar sel. Gugus tiol dari kitosan dapat menghambat defosforilasi untuk
meningkatkan penetrasi dari obat untuk meningkatkan bioavailabilitas.

Gambar II. 6 Macam-macam tiomer

Tiomer sodium alginat sistein konjugat dapat meningkatkan sifat


viskositasnya sebesar 50% dari awalnya pada suhu 37ºC dan dapat
membuat tablet lebih stabil dan lebih menempel pada mukosa. Tiomer
polyacrylic acid cystamine conjugate dapat meningkatkan sifat
mukoadhesif.
Tiomer sodium carboxy methyl starch (CMS) and carboxy methyl guar
gum (CMG), dimana pada tiomer CMS memiliki sifat mukoadhesif yang
lebih rendah dibandingkan dengan tiomer CMG. Selain itu, efek swelling
20

dari tiomer CMG tidak dipengaruhi dengan adanya penambahan sistein.


Tetapi secara keseluruhan, tiomer CMG adalah adalah kandidat yang lebih
baik sebagai matriks pelepasan obat (14).

K. FREEZE DRYING
Freeze drying atau pengeringan beku adalah proses membekukan air yang
diikuti dengan penghilangan air dari sampel. Pertama-tama proses ini
dimulai dengan adanya proses sublimasi (primary drying) dan diikuti
dengan desorpsi (secondary drying). Proses pengeringan beku ini adalah
proses pengeringan dimana air disublimasi setelah sampel telah
dibekukan. Proses freeze drying ini dapat diaplikasikan atau diterapkan
pada bahan-bahan yang termolabil dan yang tidak stabil pada larutan air
dalam jangka waktu yang lama tetapi bahan tersebut stabil pada keadaan
kering.
Prinsip utama proses freeze drying adalah adanya fenomena yang
disebut sublimasi, dimana proses penghilangan air dilakukan pada keadaan
vakum dengan cara air melewati langsung dari bentuk padat ke bentuk gas
tanpa melewati bentuk cair.
Freeze drying atau pengeringan beku juga dikenal dengan proses
liofilisasi dimana digunakan untuk meningkatkan stabilitas dan
penyimpanan jangka panjang obat yang bersifat termolabil. Proses ini
dilakukan pada suhu dan tekanan yang rendah dan menghasilkan hasil
berupa komponen kering (padatan). Metode ini khususnya digunakan
untuk mengeringkan antibiotik, vitamin, hormon, plasma darah, enzim,
vaksin, bagian dari tumbuhan dan bahan-bahan peka yang sejenis.
Keuntungan proses liofilisasi adalah dekomposisi kimia pada sampel
dapat diminimalisir, penghilangan air dari sampel terjadi tanpa adanya
panas, meningkatkan stabilitas produk pada keadaan kering, memudahkan
pengelolaan cairan sehingga cairan tersebut lebih aseptik (9).
21

L. KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

1. Definisi
Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan teknik pemisahan
dengan fase gerak dalam bentuk cairan dan fase diam bisa berupa cair. Pada
awal penggunaannya, kromatografi cair dilakukan dalam kolom kaca
bergaris tengah besar pada kondisi atmosfer yang memerlukan waktu
analisis panjang. Perhatian makin besar dicurahkan pada pengembangan
kromatografi cair sebagai cara yang melengkapi kromatografi gas. Para
ilmuwan yakin bahwa efisiensi kolom dapat ditingkatkan dengan
pengurangan ukuran partikel fase diam. Pada akhir tahun 1960, teknologi
untuk menghasilkan kemasan dengan partikel berdiameter 3 – 10 um telah
berkembang. Sekarang, kromatografi cair kinerja tinggi merupakan teknik
pemisahan yang lebih baik dimana banyak keputusan telah dibuat dan
aplikasi jauh lebih banyak dibandingkan dengan kromatografi gas (26).
2. Kelebihan dan kekurangan
KCKT memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan metode
kromatografi lainnya diantaranya sebagai berikut :
a. Analisis analit yang cepat
Analisis analit dalam matriks dengan metode KCKT tidak membutuhkan
waktu yang lama. Umumnya waktu analisis dengan KCKT hanya sekitar
5-30 menit (26).
b. Kolom yang sama dapat digunakan berulang kali
Kolom KCKT dapat dipakai untuk analisis analit dalam matriks lebih dari
satu kali. Waktu penggunaan kolom KCKT ditentukan kualitas pelarut dan
prosedur pencucian kolom KCKT (26).
c. Mekanisme pemisahan lebih bervariasi
Pemisahan analit dalam matriks dengan metode KCKT dapat diubah
dengan berbagai jenis mekanisme pemisahan yang dipengaruhi dengan
pilihan fase diam dan fase gerak yang digunakan serta besarnya interaksi
analit pada sistem KCKT (26).
22

Kerugian KCKT dibandingkan metode kromatografi lainnya diantaranya


sebagai berikut :
a. Tidak dapat melakukan pemisahan lebih dari satu jenis sampel
b. Biaya lebih mahal dibandingkan metode kromatografi lainnya (26).
3. Instrumentasi
Instrumentasi KCKT dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Fase diam
Garis tengah fase diam kolom untuk KCKT berbeda untuk tujuan
pemisahan analitik dan preparatif. Garis tengah dalam kolom KCKT
dengan ukuran 2 sampai 4 mm dipakai untuk tujuan analitik, sedangkan
untuk tujuan analitik, digunakan kolom KCKT dengan garis tengah sebesar
8 sampai 10 mm (26).
b. Fase gerak
Peralatan KCKT modern dilengkapi dengan satu atau beberapa reservoir
pelarut yang terbuat dari kaca atau stainless steel yang mampu memuat 200
sampai 1000 mL pelarut. Reservoir dilengkapi dengan suatu alat degasser
yang dapat menghilangkan gas terlarut pada fase gerak (biasanya oksigen
dan nitrogen) yang mengganggu analisis karena dapat membentuk
gelembung pada kolom dan system detector. Degasser terdiri dari pompa
vakum, sistem destilasi, alat pemanas dan sistem pengaduk pelarut (26).
c. Pompa
Berbagai pompa tersedia untuk kromatografi cair kinerja tinggi. Semuanya
dirancang untuk mendorong berbagai pelarut melalui kolom yang dikemas
rapat. Karena tekanan kolom terhadap aliran tinggi, maka pompa harus
bekerja pada tekanan tinggi, sering kali lebih besar dari 1000 psi (26).
d. Injektor
Injeksi sampel untuk dianalisis dengan metode KCKT merupakan tahap
yang penting, karena meskipun kolom telah memadai hasil kromatogram
yang ditampilkan tidak akan memadai kalau injeksi sampel tidak dilakukan
dengan tepat. Kesdaan ini akan menjadi suatu keharusan jika yang dituju
adalah analisis kuantitatif dengan KCKT (26).
23

e. Kolom
Kolom kromatografi pada KCKT biasanya dikemas menggunakan partikel
berukuran sangat kecil (2 sampai 10 µm), sehingga untuk memudahkan
aliran eluen diperlukan pompa dengan tekanan sampai ribuan pounds per
inci. Sebagai konsekunsinya, peralatan yang dibutuhkan cenderung lebih
rumit dan lebih mahal dibandingkan dengan peralatan pada kromatografi
jenis lainnya (26).
f. Detektor
Suatu detektor dibutuhkan pada KCKT untuk mendeteksi adanya
komponen analit (analisis kualitatif) yang berhasil dielusi dari dalam kolom
dan menentukan kadarnya (analisis kuantitatif). Detektor yang umumnya
digunakan pada KCKT diantaranya detektor indeks bias, detektor
konduktivitas dan detektor UV-Vis (26).

M. LANDASAN TEORI

Pada penelitian ini digunakan polimer berupa etil selulosa yang


dimodifikasi menjadi tiomer etil selulosa-sisteamin dengan
mengkonjugasikan gugus –SH yang berasal dari ligan sisteamin. Tiomer
dapat meningkatkan sifat dari polimer contohnya adalah tiomer kitosan
yang dapat meningkatkan sifat mukoadhesif 250 kalinya dan dapat
meningkatkan sifat penetrasi dari polimer (4). Pada tahap pendahuluan
dilakukan proses modifikasi etil selulosa dimana etil selulosa harus diubah
menjadi polimer bermuatan positif dengan cara mengoksidasi etil selulosa
dengan reaksi reduksi aminasi. Hasil reaksi dari etil selulosa dan Sisteamin
disebut dengan tiomer. Tiomer dapat membentuk nanopartikel dengan
adanya crosslinker untuk membentuk ikatan taut silang.
Crosslinker adalah suatu agen yang dapat membentuk jembatan
intermolekular dan/atau ikatan antar makromolekul polisakarida
(intramolekuler) (16). Ikatan intramolekular yang terjadi dapat membentuk
suatu jaringan tiga dimensi. Jika derajat retikulasi yang terbentuk tinggi
maka matriks polimer menjadi tidak larut air namun memiliki sifat
24

mengembang dalam air (16). Sifat yang tidak larut dalam air ini disebabkan
oleh adanya ikatan kovalen yang berupa ikatan disulfida pada kedudukan
intramolekuler, sedangkan sifat adhesif seperti mukoadhesif, peningkatan
penetrasi disebabkan oleh adanya ikatan disulfida pada kedudukan
intermolekuler. Ikatan disulfida terjadi karena adanya reaksi oksidasi dari
gugus sulfidril yang terdapat pada thiomer dan molekul lainnya (15).
Dalam membentuk ikatan taut silang, muatan crosslinker yang digunakan
harus memiliki muatan yang berlawanan dengan tiomer. Tiomer etil
selulosa-sisteamin yang digunakan termasuk golongan tiomer kationik
yang bermuatan positif, sehingga crosslinker yang digunakan harus
memiliki muatan negatif. Beberapa crosslinker yang dapat digunakan
adalah natrium tripolifosfat (NaTPP), dan natrium alginat karena
merupakan senyawa polianion.
Nanopartikel berbasis tiomer etil selulosa-sisteamin memiliki sifat
mukoadhesif, karena memiliki gugus sulfhidril yang berasal dari ligan
sisteamin yang dapat membentuk ikatan disulfida dengan mukus saluran
cerna. Ikatan disulfida terjadi karena adanya reaksi oksidasi dari gugus
sulfhidril yang terdapat pada tiomer dan gugus sulfhidril yang terdapat
pada mucin saluran cerna. Ikatan disulfida tidak hanya dapat terbentuk
antara tiomer dengan mucin, tetapi juga dapat terbentuk antara tiomer
dengan senyawa lain yang mengandung gugus sulfhidril.
Selain melakukan uji karakterisasi nanopartikel, perlu dilakukan
pengujian sifat mukoadhesif dengan teknik difusi secara in vitro
menggunakan usus babi untuk melihat lamanya kontak nanopatikel dengan
mukus, banyaknya nanopartikel yang dapat melekat pada mukus, sehingga
dapat memperkirakan kekuatan ikatan antara nanopartikel yang terbentuk
dengan membran absorpsi. Penggunaan FDA sebagai model obat pada uji
mukoadhesif untuk menghitung persentase obat yang masih menempel pada
usus berdasarkan fluorosensi FDA yang terbaca pada Spektrofluorometer,
sama halnya dengan FD4 sebagai model obat pada uji penetrasi (18,19,20).
25

N. HIPOTESIS
1. Tiomer etil selulosa-sisteamin dapat dibuat nanopartikel dengan
menggunakan metode gelasi ionik.
2. Nanopartikel etil selulosa-sisteamin yang terbentuk memiliki ukuran,
morfologi dan muatan permukaan yang memenuhi syarat sebagai
nanopartikel.
3. Nanopartikel etil selulosa-sisteamin yang terbentuk memiliki sifat
mukoadhesif dan peningkat penetrasi dengan metode in vitro
6

Anda mungkin juga menyukai