Dosen Pengampu :
Abd.Nasir, S.Kep.Ns,M.Kep.
Nama Kelompok :
2019-2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Model Asuhan Keperawatan SOR pada Pasien dengan Diagnosa Medis
Syndrome Steven Jhonson”.
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
2.2 Etiologi
2.3 Patofisiologi
1. Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa Eritema, vesikal dan bulla.
Eritema berbentuk cincin (pinggir dan eritema tengahnya relatif
hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler
berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil.
Vesikel kecil dan bulla kemdian memecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi Hemorrhagis berupa
ptechiae atau purpura. Bila disertai purpura prognosisnya menjadi lebih
buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya progosisnya menjadi
generalisata.
2. Kelainan salaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada
mukosa mulut/bibir (100%), kemudiann disusul dengan kelainan di
lubang alat genetalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang
(masing – masing 8%-4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis
dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal stomatitis
merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian
menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi
erosi, excoriasi, penarahan, ulcerasi dan terbentuk krusta kehitaman. Juga
dapat terbentuk pseodumembran. Di bibir kelainan yang sering tampak
ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar menelan. Kelainan di mukosa dapat juga
terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas dan Eshopagus.
Terbentuknya Pseidomembran di faring dapat memberikan keluhan sukar
bernafas dan penderita tidak dapat mekan dan minum.
3. Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang
sering terjadi ialah Conjunctivitis Kataralis selain itu dapat terjadi ialah
Conjunctivitis purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus Cornea, irtis/
Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal
trias yaitu stomatitis, Conjunctivitis, Balanitis, Urenitris.
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila
disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatalogi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, odema dan
eksravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan baalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intreasel di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis igM dan C3 di pembuluh daah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung igM,igG,igA
2.5 Komplikasi
2.6 Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving.
Pada Sindrom Steven-Johnson yang ringan cukup diobati dengan
Prednison dengan dosis 30-40 mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai
dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang menyeluruh,
digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari.
Setelah beberapa hari(2-3hari) biasnya mulai tampak perbaikan (masa
kritis telah teratasi), ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi
kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami
involusi. Pada saat ini dosis Dexametason diturunkan secara cepat, setiap
hari diturunkan sebanyak 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu
diganti dengan tablet Predsnison yang diberikan pada keesokan harinyan
dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi
10 mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira
10 hari.
2. Antibiotika
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
infeksi akibat efek Imunosupresif Kortijosteroid yang dipakai pada dosis
tinggi Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi
berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Dahulu biasa digunakan
Gentamisin dengan dosis 2x60-80 mg/hari. Sekarang dipakai Netiilmisin
Sulfat dengan dosis 6 mg/kgBB/hari, dosis dibagi dua. Alasan
menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap
Gentamisin selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan
Gentamisin.
3. Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran
atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan
serta kesadaran menurun. Untuk ini dapat diberikan infus berupa Glukosa
5% atau larutan Darrow. Pda pemberian Kortikosteroid terjadi retensi
Natrium kehilangan Kalium dan efek Katabolik. Untuk mengurangi efek
samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl
3x500 mg/hari dan obat-obat Anabolik. Untuk mencegah penekanan
korteks kelenjar Adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis
1 mg/hari setiap minggu dimulai setelah pemberian Kortikosteroid.
4. Transfusi Darah
Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc
setiap hari selama 2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk
memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah pada
kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus Purpura yang luas dapat
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-
obat Hemostatik.
5. Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosif yang dapat diberikan Sofrutaulle yang
bersifat sebagai protektif dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak.
Sedangkan untuk lesi dimulut/ bibir dapat diolesi dengan Kenalog in
Obrase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada
beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada
kelainan di Faring, karena kadang-kadang trbentuk pseudomembran yang
dapat menyulitkan penderita bernafas dan sebagaian penyakit dalam.
BAB III
P
D
F
G
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran