Anda di halaman 1dari 15

MODEL ASUHAN KEPERAWATAN SOR PADA PASIEN DENGAN

DIAGNOSA MEDIS SYNDROME STEVEN JHONSON

Dosen Pengampu :

Abd.Nasir, S.Kep.Ns,M.Kep.

Nama Kelompok :

1. Nur Lailiyah Syafitri NIM. 151811913010


2. Qoriatul Istiqomah NIM. 151811913031
3. Eka Diana Safitri NIM. 151811913040
4. Rizki Amelia Tsani NIM. 151811913047
5. Putri Ramadhani NIM. 151711913070
6. Awwalul Khasanatul U. NIM. 151811913086
7. Rara Intan Sarwendah NIM. 151811913108
8. Septi Wahyu Saputri NIM. 151811913123

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS VOKASI
UNIVERSITAS AIRLANGGA

2019-2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Model Asuhan Keperawatan SOR pada Pasien dengan Diagnosa Medis
Syndrome Steven Jhonson”.

Dengan tersusunnya makalah ini, kami mengucapkan banyak terimakasih


kepada semua pihak yang telah membimbing kami. Karena dengan tugas yang
diberikan ini menjadi motivasi bagi kami untuk lebih giat lagi belajar, dan
bermanfaat untuk kami di kemudian hari.

Kami selaku punyusun makalah ini menyadari bahwa masih terdapat


kekurangan-kekurangan disebabkan karena adanya keterbatasan dan kemampuan
kami. Oleh karena itu, sudihlah kiranya para pembaca memberikan suatu masukan
yang sifatnya membangun agar kami dapat mengevaluasi kembali. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Gresik, 11 Oktober 2019

Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Steven Jhonson Syndrome (SJS) merupakan hipersensivitas yang


dimediasi kompleks imun merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme.
Steven Jhonson Syndrome (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom
mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe hebra, eritema bulosa maligna)
adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel, bula, dapat disertai
purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.

Sindrom Stevens-Johnson merupakan kumpulan gejala (sindrom)


berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada
muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak
mata. Penyebab pasti dari Sindrom Stevens Johnson saat ini belum diketahui
namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya Sindrom Stevens
Johnson seperti obat-obatan atau infeksi virus.

Stevens Johnson Syndrome muncul biasanya tidak lama setelah obat


disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang
tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh
reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling
diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tidak disadari
pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat
ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika Stevens
Johnson Syndrome akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak
segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik.

Oleh karena itu, beberapa kalangan disebut sebagai eritema multiforme


mayor tetapi terjadi ketika setujuan dalam literatur. Sebagian besar penulis
dan ahli berpendapat bahwa Stevens Johnson Syndrome dan nekrolisis
epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sama dengan manifestasi
yang berbeda. Dengan alasan tersebut, banyak yang menyebutkan Stevens
Johnson Syndrome /Nekrolisis Epidermal Toksik. Stevens Johnson
Syndromesecara khas mengenai kulit dan membran mukosa.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penerapan model asuhan keperawatan SOR pada pasien dengan


diagnosa medis SSJ?

1.3 Tujuan

Untuk mendeskripsikan model asuhan keperawatan SOR pada pasien dengan


diagnosa medis SSJ.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian

Steven Jhonson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa


yang mempengaruhi kulit dimana kematian sel menyebabkan epidermis
terpisah dari dermis. Syndrome ini diperkirakan oleh karena reaksi
hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membran mukosa. Walaupun
pada kebanyakan kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui
adalah dari pengobatan infeksi dan terkadang keganasan.
Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%.
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%.

2.2 Etiologi

Syndrome Steven Jhonson dapat disebabkan oleh karena :

1. Infeksi (biasanya merupakan lanjutan dari infeksi seperti virus herpes


simpleks, influenza, gondongan/mumps, histoplasmosis atau sejenisnya.
2. Efek samping dari obat-obatan (allopurinol, diklofenak, valdecoxib,
sitagliptin, penicillin, barbiturat, sulfonamide, azitromisin, modafinil,
lamotrigin, nevirapin, ibuprofen, carbamazepin).
3. Keganasan (karsinoma dan limfoma).
4. Faktor idiopatik (hingga 50%).
5. Syndrome Steven Jhonson juga dilaporkan secara konsisten sebagai efek
samping yang jarang dari suplemen herbal yang mengandung ginseng.
Syndrome Steven Jhonson juga mungkin disebabkan oleh karena
penggunaan kokain.
6. Walaupun SJS dapat disebabkan oleh infesi viral, keganasan atau reaksi
alergi berat terhadap pengobatan, penyebab utama nampaknya karena
penggunaan antibiotic dan sulfametoksazole. Pengobatan yang secara
turun menurun diketahui menyebabkan SJS, eritem multiformis, sindrom
Lyell, dan nekrolisis epidermal toksik diantaranya sulfonamide
(antibiotik), penisilin (antibiotik), barbiturate (sedative), lamotrigin
(antikonvulsan), fenitoin-dilantin (antikolvulsan). Kombinasi lamotrigin
dengan asam valproat meningkatkan resiko dari terjadinya SJS.

2.3 Patofisiologi

Stevens Johnson Syndrome merupakan kelainan hipersensitivitas yang


dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus
dan keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV.1

Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen


antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.
Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan enzim dan
menyebab kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Hal ini
terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah
mengendap di dalam pembuluh darah atau jaringan.

Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap


dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat
ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen antibodi ditempat
tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast
sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya reaksi
tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memtagositosis sel-
sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel, serta penimbunan
sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut.

Reaksi hipersensitifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi


berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limtokin dilepaskan
sebagai reaksi radang. Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi
pengaktifan sel T. Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen
sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.

Kompleks imun beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa,


serta menimbulkan kerusakan jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi
inflamasi yang terjadi. Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas
sel T serta mediator yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat
sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala
sistemik akibat aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Adanya
reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis keratinosit yang
akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit


sehingga terjadi seperti kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan
cairan, stress hormonal diikuti peningkatan resistensi terhadap insulin,
hiperglikemia dan glukosuria, kegagalan termoregulasi, kegagalan fungsi
imun, dan infeksi.

2.4 Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala


prodon berupa demam tinggi (30®C - 40®C), mulai nyeri kepala, batuk pilek
dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini
dengan segera akan menjadi berat yang ditandai menigkatnya kecepatan nadi
dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta
menurunya kesadaran soporous sampai koma.

Pada sindrom ini terlihat adanya trias klainan berupa :

1. Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa Eritema, vesikal dan bulla.
Eritema berbentuk cincin (pinggir dan eritema tengahnya relatif
hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi urtikari atau lesipapuler
berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan vesikel kecil.
Vesikel kecil dan bulla kemdian memecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi Hemorrhagis berupa
ptechiae atau purpura. Bila disertai purpura prognosisnya menjadi lebih
buruk. Pada keadaan yang berat kelainannya progosisnya menjadi
generalisata.
2. Kelainan salaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada
mukosa mulut/bibir (100%), kemudiann disusul dengan kelainan di
lubang alat genetalia (50%), sedangkan di lubang hidung dan anus jarang
(masing – masing 8%-4%). Kelainan yang terjadi berupa stomatitis
dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal stomatitis
merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian
menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi
erosi, excoriasi, penarahan, ulcerasi dan terbentuk krusta kehitaman. Juga
dapat terbentuk pseodumembran. Di bibir kelainan yang sering tampak
ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat
menyebabkan penderita sukar menelan. Kelainan di mukosa dapat juga
terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas dan Eshopagus.
Terbentuknya Pseidomembran di faring dapat memberikan keluhan sukar
bernafas dan penderita tidak dapat mekan dan minum.
3. Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang
sering terjadi ialah Conjunctivitis Kataralis selain itu dapat terjadi ialah
Conjunctivitis purulen, pendarahan, simblefaron, ulcus Cornea, irtis/
Iridosiklitis yang pada akhirnya dapat terjadi kebutaan sehingga dikenal
trias yaitu stomatitis, Conjunctivitis, Balanitis, Urenitris.
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium : Biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila
disangka penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2. Histopatalogi : Kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, odema dan
eksravasasi sel darah merah, degenerasi lapisan baalis. Nekrosis sel
epidermal dan spongiosis dan edema intreasel di epidermis.
3. Imunologi : Dijumpai deposis igM dan C3 di pembuluh daah dermal
superficial serta terdapat komplek imun yang mengandung igM,igG,igA

2.5 Komplikasi

1. Hiertemia b.d proses penyakit (infeksi).


2. Nyeri akut b.d adanya bula.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi
kurang, gangguan gastrointestinal, disfagia .
4. Defisit perawatan diri b.d nyeri pada jaringan kulit, mukosa dan mata .
5. Kerusakan integritas jaringan b.d yang mudah pecah.
6. Defisiensi pengetahuan b.d kurang informasi.
7. Resiko infeksi b.d efek samping terpasangnya infus dan terapis steroid.
8. Ansietas b.d ancaman pada status kesehatan, pola interaksi (kondisi
kerusakan jaringan kulit/ muncul kelainan pada kulit).

2.6 Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid
Penggunaan obat Kortikosteroid merupakan tindakan life-saving.
Pada Sindrom Steven-Johnson yang ringan cukup diobati dengan
Prednison dengan dosis 30-40 mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai
dengan kesadaran yang menurun dan kelainan yang menyeluruh,
digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari.
Setelah beberapa hari(2-3hari) biasnya mulai tampak perbaikan (masa
kritis telah teratasi), ditandai dengan keadaan umum yang membaik, lesi
kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang lama mengalami
involusi. Pada saat ini dosis Dexametason diturunkan secara cepat, setiap
hari diturunkan sebanyak 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu
diganti dengan tablet Predsnison yang diberikan pada keesokan harinyan
dengan dosis 20 mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi
10 mg, kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira
10 hari.
2. Antibiotika
Penggunaan Antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya
infeksi akibat efek Imunosupresif Kortijosteroid yang dipakai pada dosis
tinggi Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi
berspektrum luas dan bersifat bakterisidal. Dahulu biasa digunakan
Gentamisin dengan dosis 2x60-80 mg/hari. Sekarang dipakai Netiilmisin
Sulfat dengan dosis 6 mg/kgBB/hari, dosis dibagi dua. Alasan
menggunakan obat ini karena pada beberapa kasus mulai resisten terhadap
Gentamisin selain itu efek sampingnya lebih kecil dibandingkan
Gentamisin.
3. Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran
atau bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorokan
serta kesadaran menurun. Untuk ini dapat diberikan infus berupa Glukosa
5% atau larutan Darrow. Pda pemberian Kortikosteroid terjadi retensi
Natrium kehilangan Kalium dan efek Katabolik. Untuk mengurangi efek
samping ini perlu diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl
3x500 mg/hari dan obat-obat Anabolik. Untuk mencegah penekanan
korteks kelenjar Adrenal diberikan ACTH (Synacthen depot) dengan dosis
1 mg/hari setiap minggu dimulai setelah pemberian Kortikosteroid.
4. Transfusi Darah
Bila dengan terapi diatas belum tampak tanda-tanda perbaikan
dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc
setiap hari selama 2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk
memperbaiki keadaan umum dan menggantikan kehilangan darah pada
kasus dengan purpura yang luas. Pada kasus Purpura yang luas dapat
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg sehari intravena dan obat-
obat Hemostatik.
5. Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosif yang dapat diberikan Sofrutaulle yang
bersifat sebagai protektif dan antiseptic atau Krem Sulfadiazin Perak.
Sedangkan untuk lesi dimulut/ bibir dapat diolesi dengan Kenalog in
Obrase. Selain pengobatan diatas, perlu dilakukan konsultasi pada
beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk mengetahui apakah ada
kelainan di Faring, karena kadang-kadang trbentuk pseudomembran yang
dapat menyulitkan penderita bernafas dan sebagaian penyakit dalam.
BAB III

MODEL ASKEP SOR

Tanggal Waktu Sumber Catatan Perkembangan

P
D
F
G
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Steven Jhonson Syndrome (SJS) merupakan hipersensivitas yang


dimediasi kompleks imun merupakan ekspresi berat dari eritema multiforme.
Stevens Johnson Syndrome muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik
atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak
berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi
tubuh pasien. Syndrome ini diperkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas
yang mempengaruhi kulit dan membran mukosa. Walaupun pada kebanyakan
kasus bersifat idiopatik, penyebab utama yang diketahui adalah dari
pengobatan infeksi dan terkadang keganasan.

4.2 Saran

Pada saat pembuatan makalah penulis menyadari bahwa banyak sekali


kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis mengharapkan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Fitriany, Julia, dkk. 2019. STEVENS JOHNSON SYNDROME. Aceh. Jurnal


Averrous. Vol 5. No 1.

Anda mungkin juga menyukai