Anda di halaman 1dari 4

Systemic Lupus Erythematosus dengan Nefritis

NOVIYANI LEKSOMONO
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lupus nefritis (LN) adalah salah satu manifestasi SLE (systemic Lupus erythematosus) yang
berat dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi akibat perburukan fungsi ginjal itu sendiri maupun
1
akibat toksisitas obat imunosupresif yang digunakan. Prevalensi SLE berbeda pada setiap etnis
5
dengan dominasi 66.4 dan 66.7 per 10 pada ras Afro-Karibia dan Cina sedangkan untuk ras Indo-
5 2
Asia 13.3 dan yang terendah 3.5 per 10 pada ras kulit putih.
Keterlibatan ginjal ini dapat merupakan manifestasi awal yang terjadi dalam tahun pertama
3
perjalanan penyakit namun sebagian besar dikenali dalam lima tahun perjalanan penyakit SLE. Frekuensi
keterlibatan ginjal pada juvenile onset SLE sangat tinggi mencapai 50-80 %, tidak berbeda antar etnis
4
(Barron, 1993), dimana 10 % diantaranya akan berkembang menjadi end stage renal failure/ERF .
Pengenalan SLE, pemantauan keterlibatan sistem organ multipel, pemilihan terapi, pemantauan aktivitas
penyakit dan efek samping terapi, edukasi dan memotivasi orang tua dan anak untuk menjamin compliance
dan keberhasilan terapi merupakan kesatuan holistik yang harus dimiliki dokter anak. Keistimewaan tata
laksana komprehensif pada SLE yang merupakan penyakit multi organ akan mengasah kemampuan medis
dan sosial dalam menangani kasus penyakit kronis pada anak.

B. DESKRIPSI KASUS SINGKAT

Seorang anak perempuan, umur 15 tahun, datang dengan keluhan bengkak-bengkak di kaki
sejak dua bulan sebelum masuk RS, bengkak tidak dipengaruhi oleh perubahan posisi, bengkak makin
memberat dan sampai ke daerah perut dan wajah. Anak tampak pucat, tidak ada keluhan perdarahan
seperti muntah darah, buang air besar kehitaman, maupun perdarahan kulit. Anak mengeluh mudah
lelah, nyeri sendi hilang timbul, rambut rontok, terdapat riwayat demam lama > 2 minggu. Keluhan
bengkak tersebut memberat dalam enam hari sebelum masuk rumah sakit. Didapati keluhan tambahan
yaitu mimisan, demam, batuk, dan pilek. Riwayat nyeri tenggorokan dalam beberapa minggu sebelum
bengkak disangkal, riwayat bengkak-bengkak sebelumnya disangkal, riwayat kencing kemerahan atau
keruh disangkal, riwayat nyeri saat berkemih disangkal, riwayat buang air besar dengan lendir dan
darah disangkal, riwayat nyeri pinggang atau nyeri yang dijalarkan dari pinggang ke perut sampai
pangkal paha disangkal. Oleh orang tua, anak dibawa ke dokter spesialis anak dan didiagnosis curiga
glomerulonefritis, anak kemudian dirujuk ke RSUP Dr Sardjito.
Anak merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Di dalam keluarga tidak terdapat riwayat
keluarga dengan hipertensi, kencing manis, penyakit keganasan, maupun keluhan serupa. Riwayat
kehamilan, persalinan, dan paska natal ibu baik. Anak tidak nampak kurus, riwayat makan dan minum
baik. Perkembangan anak sesuai dengan anak seusianya. Saat ini anak duduk di kelas III SMP,
pergaulan dan prestasi anak di sekolah dan lingkungan sekitar rumah baik.
Saat balita, ibu membawa anak untuk mendapatkan imunisasi dasar di bidan/posyandu sekitar
rumah, menurut ibu semua imunisasi dasar sesuai program pemerintah telah lengkap diterima oleh anak,
ditambah imunisasi di sekolah saat kelas 1 SD dan 6 SD, namun imunisasi tambahan lainnya (rekomendasi
dari dokter anak) tidak diberikan karena orang tua tidak tahu. Anak tinggal bersama orang tua dan adiknya
di rumah sendiri, ayah dan ibunya bekerja sebagai wiraswasta dengan pendapatan ± Rp.5000000/bulan,
biaya pengobatan menggunakan BPJS non PBI kelas 1, kesan kondisi sosial
Systemic Lupus Erythematosus dengan Nefritis
NOVIYANI LEKSOMONO
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

ekonomi keluarga cukup. Saat usia 5 tahun, anak pernah menjalani pengobatan rutin TB paru selama
9 bulan dan telah dinyatakan sembuh.
Saat awal perawatan didapati anak tampak pucat, pemeriksaan fisik : tanda vital (hipertensi stadium
2 dengan tekanan darah : 150/100 mmHg (p95 : 125/82 dan p99 : 132/90), takikardi, takipneu, demam),
pemeriksaan dada tampak simetris, terdapat retraksi subcostal, pemeriksaan paru palpasi stem fremitus
basal paru kanan menurun, perkusi sonor di kedua lapangan paru namun redup di basal paru kanan,
penurunan suara vesikuler di basal paru kanan, kesan terdapat efusi pleura kanan. Pemeriksaan jantung
suara I tunggal, suara II split tak konstan, tidak terdapat bising, terdapat suara derap kesan terdapat
dekompensasi kordis. Pemeriksaan abdomen agak cembung, auskultasi tympani, hepar dan lien sulit
dinilai, pekak sisi ada, pekal alih ada, undulasi ada kesan terdapat ascites, pemeriksaan ekstremitas terdapat
edem pitting di kedua tungkai. Pemeriksaan kepala terdapat alopesia, konjungtiva anemis, tidak terdapat
ruam di wajah. Pemeriksaan kulit tidak terdapat kelainan. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik,
anak didiagnosis awal dengan curiga sindrom nefrotik dd glomerulonefritis, anemia. Berdasarkan diagnosis
banding tersebut kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah rutin, morfologi
darah tepi (MDT), elektrolit, albumin, urin rutin, fungsi ginjal, kolesterol, ASTO, CRP, USG abdomen.
Hasil yang didabat sebagai berikut Hemoglobin (Hb) : 6,5 g/dL
(↓), Hematokrit (Hct) : 19,6 % (↓) , mean corpuscular volume (MCV) 74,2 fL, mean corpuscular
hemoglobin (MCH) 24,6 pg, mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) 33,1 g/dL, angka
trombosit (AT) : 110000/mmk (↓), angka leukosit (AL) : 3140/mmk (↓), blood urea nitrogen (BUN) :
28 mg/dL, kreatinin (cr) : 1,32 mg/dL (↑), kolesterol total : 103 mg/dL, albumin : 3,26 g/dL, ASTO :
negatif, CRP< 5 mg/dL , kadar Na : 137 mEq/L, K : 3,7 mEq/L, Cl : 107 mEq/L, Ca : 1,9 mEq/L(↓),
MDT : observasi pansitopenia dengan gambaran anemia curiga defisiensi besi, sehingga dilanjutkan
pemeriksaan panel besi dengan hasil SI : 11 (↓), TIBC : 265, UIBC : 237, feritin : 31,58 ng/mL.
Kesimpulan : anemia mikrositik hipokromik, lekopenia, trombositopenia, gangguan fungsi ginjal,
hipokalsemia, curiga nefritis. Hasil urinalisis (saat diambil sampel anak sedang menstruasi) : protein +2,
leukosit : 4-7, eritrosit >25, epitel 1-5, kesan : proteinuria, hematuria (sangat mungkin kontaminan).
Berdasarkan hasil urinalisis yang abnormal dilakukan USG abdomen untuk melacak kelainan renal dengan
hasil : ascites, efusi pleura bilateral, kolesistitis akut, dan diffuse parenchymal renal disease.
Karena kondisi anemia gravis dengan dekompensasi kordis, anak diberikan transfusi packed red cell
(PRC). Evaluasi post transfusi PRC dengan hasil : Hb : 8,1 g/dL, Hct : 26,6 %, AT : 95000/mmk, AL :
2590/mmk, ANC : 1340/mmk. Berdasarkan data : nefritis, pansitopenia, athralgia, efusi pleura (serositis)
muncul diagnosis banding baru yaitu curiga SLE sehingga dilakukan pemeriksaan ANA test
: 126,89 (+) dan panel imunologis yaitu anti dsDNA : 286.7 (+). Berdasarkan kriteria ARA 1997
(American Rheumatoid Association), anak ditegakkan menderita SLE. Adapun kriteria yang
memenuhi 1. keterlibatan ginjal (nefritis), 2. sistem hematologi (pansitopenia), 3. arthralgia, 4.
serositis, 5. ANA tes positif, 6. kriteria imunologis (anti dsDNA positif). Untuk mencari keterlibatan
organ lain dilakukan pemeriksaan ekokardiografi dengan hasil terdapat efusi perikard (bukti serositis)
dan TI mild. Hasil X ray thorax : terdapat pembesaran atrium kanan, ventrikel kanan, dan ventrikel
kiri. Untuk problem epistaksis, bagian THT melakukan endoskopi dengan hasil tampak stoelsoel di
area Kieselbach dextra et sinistra dan tidak didapatkan bleeding point.
Diagnosis akhir saat perawatan pertama adalah : SLE, hipertensi stage I, rhinofaringitis akut.
Anak dirawat bersama oleh divisi alergi imunologi dan nefrologi dan mulai menjalani protokol
kemoterapi lupus nefritis dengan rejimen siklofosfamid, metil prednisolon oral, dan hidroksiklorokuin
(protokol terlampir). Anak juga mendapat terapi suportif golongan ACE (angiotensin converting
enzyme) inhibitor sebagai anti hipertensi dan anti proteinuria, suplementasi vitamin D, asam folat,
sulfus ferosus, calcium carbonate, dan diuretik. Dilakukan monitor bulanan urinalisis dan triwulan
untuk darah rutin, fungsi hati, dan fungsi ginjal selama menjalani protokol terapi.
Systemic Lupus Erythematosus dengan Nefritis
NOVIYANI LEKSOMONO
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Hasil evaluasi urinalisis, esbach, dan fungsi ginjal memperlihatkan tren perbaikan. Hasil esbach
0
selalu <0.5 /00 sehingga pada bulan ketiga metil prednisolon diberikan dalam alternating dose. Tekanan
darah anak selalu terkontrol di p50-p90. Saat mulai pemberian siklofosfamid, anak mengalami amenorrhea
sekunder sampai dengan siklofosfamid bulan kelima. Karena kondisi amenorrheanya, anak dikonsulkan ke
divisi endokrinologi dengan hasil bahwa kondisi amenorrhea pada anak merupakan efek samping dari
penggunaan siklofosfamid yang biasanya bersifat transien sehingga tidak diperlukan terapi khusus.
Memasuki protokol bulan keenam anak mulai mendapatkan haid seperti biasa. Permasalahan yang
dihadapi anak saat ini adalah 1. efek samping kemoterapi (jangka pendek dan panjang) : mual, muntah,
supresi sumsum tulang, hepatotoksik, nefrotoksik, dan gonadotoksik 2. efek penggunaan steroid jangka
panjang : kontrol tekanan darah, demineralisasi tulang, tekanan intra okular,
3. aktivitas penyakit SLE pada sistem organ lain dalam kaitannya dengan rehospitalisasi, 4. kepatuhan
pengobatan, 5. kondisi psikologis anak dan keluarga akibat stigma sosial (tentang penyakit lupus)
dalam pergaulan remaja dalam keluarga, sekolah, lingkungan sekitar, 6. problem ekonomi dalam
rangka menjamin keberlanjutan terapi.
Saat diambil sebagai subyek kasus panjang, anak berada dalam protokol kemoterapi untuk lupus
2
nefritis memasuki bulan keenam dengan rejimen siklofosfamid 500-1000mg/kg/m /iv, prednison AD
0.5-1 mg/kg/hari po, dan hidroksiklorokuin (kina) 5 mg/kg/hr po dibagi 2 dosis dengan manajemen
hipertensi dan sindrom nefrotik sekunder bila ada. Di akhir bulan keenam akan dilakukan evaluasi
pemeriksaan fungsi ginjal dan anti ds DNA serta komplemen. Setiap bulan dilakukan evaluasi terapi
(urinalisis), pemeriksaan fungsi ginjal, transaminase hati dilakukan tiap tiga bulan. Setelah bulan
2
keenam kemoterapi siklofosfamid 500-1000mg/kg/m /iv diberikan setiap 3 bulan sampai dengan
bulan ke-30, disertai steroid (dosis tapp off) dan terapi suportif lain (vitamin D3, kina, ACE inhibitor).

C. ALASAN PEMILIHAN KASUS

Dari pemantauan longitudinal yang rutin dan berkala ini diharapkan penulis mendapatkan catatan
perjalanan lupus nefritis, memotivasi kepatuhan berobat anak, memonitor target terapi dan efek samping
terapi, melakukan intervensi untuk mencegah efek samping terapi dan penyakit komorbid yang akhirnya
diharapkan akan memperbaiki prognosis kondisi lupus nefritis telah dialami anak.
Sebanyak 10-29 % anak dengan LN akan berkembang menjadi end stage renal failure (ERF) yang
5
memerlukan renal replacement therapy (RRT). Sementara itu, sebagian besar anak tetap dalam kondisi
remisi dengan kemungkinan aktivasi nefritis yang dapat terjadi kapan saja (tidak dapat diprediksi)
sehingga pemantauan fungsi ginjal, urinalisis, dan tekanan darah menjadi kunci pengenalan awal aktivasi
maupun flare pada anak LN. Onset umur terjadinya ERF ini dilaporkan pada usia remaja yaitu rata-rata
16.2 ± 2.4 tahun. Mc Curdy, dkk melaporkan dari 10 penderita ERF akibat lupus nefritis meninggal
separuhnya pada tahun ke 3.4 karena tidak menjalani transplantasi ginjal.
Kasus ini juga menarik diikuti karena saat ini usia anak memasuk usia remaja yang usianya termasuk
dalam kelompok risiko tinggi mulai terjadinya ERF. Pemantauan terapi yang baik dan intervensi yang tepat
waktu akan menurunkan kemungkinan terjadinya ERF pada anak ini. Kami juga memberikan perhatian
pada preservasi fungsi reproduksi anak, di mana SLE sendiri maupun rejimen kemoterapi utama yang
digunakan merupakan penyebab utama premature ovarian failure (POF) pada wanita usia muda karena
akumulasi dosis siklofosfamid bersifat gonadotoksik. Selain itu kami juga berharap dapat menghambat
progresifitas penyakit dengan penggunaan obat-obatan imunosupresif jangka panjang sesuai protokol
dengan memantau efek samping yang dapat mempengaruhi compliance anak maupun efek yang memicu
timbulnya penyakit komorbid seperti risiko osteoporosis, gangguan saluran pencernaan, dislipidemia,
supresi sistem hematologi, gangguan traktus urinarius (sistitis), dan ancaman infeksi akibat supresi
imunitas. Kepentingan klinis di atas didukung dengan lokasi tinggal
Systemic Lupus Erythematosus dengan Nefritis
NOVIYANI LEKSOMONO
Universitas Gadjah Mada, 2017 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

anak yaitu di daerah Bantul, Yogyakarta yang terjangkau. Kondisi ini mempermudah pemantauan dan
diharapkan akan memperbaiki compliance anak. Orang tua anak juga bersikap kooperatif dan rutin
membawa anaknya kontrol setiap bulan untuk menjalankan protokol sesuai jadwal.

D. TUJUAN DAN MANFAAT YANG DIHARAPKAN

1. Anak
a. Dengan penanganan yang menyeluruh dan berkesinambungan diharapkan dapat mencegah
perburukan fungsi ginjal yang progresif, mengenali dan mencegah efek samping terapi,
memberikan intervensi untuk mencegah dan mengatasi komorbid yang muncul.
b. Anak dengan LN mempunyai hak penuh sebagai anak untuk tumbuh dan berkembang dalam
kondisi sehat sesuai potensi genetiknya.
2. Keluarga dan lingkungan sekitar
a. Mengetahui dan memahami mengenai penyakit LN baik tentang protokol terapi, efek samping
terapi, pengenalan komorbid yang mungkin muncul, dan pencegahan infeksi.
b. Dapat memahami arti remisi dalam konteks LN serta kemungkinan aktivasi LN yang tidak
dapat diprediksi serta kemungkinan flare sampai dengan kemungkinan terburuk terjadinya ERF
yang mengharuskan pengobatan anak sampai pada tahap dialysis bahkan RRT.
c. Memberikan kesempatan kepada anak untuk menikmati masa remaja dengan optimal meskipun
menderita penyakit kronik yang progresif.
3. Peserta PPDS I
a. Dokter anak diharapkan memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam penegakan diagnosis,
melakukan tatala ksana komprehensif LN. Perhatian terhadap kondisi anak secara menyeluruh
meningkatkan kesadaran bahwa tata laksana anak LN tidak selalu hanya pada aspek klinis dan
medikamentosa tetapi juga diperlukan dukungan aspek sosial, ekonomi, psikologis, lingkungan,
bahkan kebijakan kesehatan menjadi penting.
b. Dokter anak dituntut mampu memberikan edukasi dan komunikasi yang baik tentang kondisi
anak LN baik dari aspek klinis dan epidemiologi, pentingnya kepatuhan terhadap pengobatan,
kemungkinan komplikasi penyakit/komorbid, serta efek samping pengobatan jangka panjang.
c. Dokter anak memahami cara mengelola kasus LN pada anak remaja dengan pendekatan
psikologis yang sangat berbeda dibandingkan anak anak.
d. Dokter anak memahami upaya pencegahan progresifitas penyakit LN.
e. Dokter anak memahami prognosis dan komplikasi jangka panjang yang mungkin dapat terjadi
pada remaja LN saat menjelang dewasa/usia reproduksi, sehingga dapat merencanakan
penanganan yang berkelanjutan.
4. Rumah Sakit
a. Penatalaksanaan yang menyeluruh dan berkesinambungan serta melibatkan beberapa bagian
terkait, sehingga meningkatkan mutu dan standar pelayanan kesehatan untuk LN.
b. Mekanisme pemantauan dengan program-program yang terstruktur selain memudahkan
pemantauan LN, juga akan memudahkan pengumpulan data tentang luaran LN dan dapat
digunakan untuk penelitian.

E. INFORMED CONSENT
Sebelum pemantauan jangka panjang dilakukan terhadap anak, peneliti telah memberikan penjelasan
dan meminta persetujuan lisan dari orang tua anak (proxy consent lisan) pada bulan Oktober 2014 dan
selanjutnya persetujuan tertulis dari orang tua anak (proxy consent tertulis) pada bulan Februari 2015

Anda mungkin juga menyukai