Anda di halaman 1dari 6

DAMPAK PERTAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI) TERHADAP

PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN DI SUNGAI KUANTAN


KAB. KUANTAN SINGINGI

1. Pendahuluan
Pertambangan Tanpa Izin (PETI) didefinisikan sebagai usaha pertambangan atas
segala jenis bahan galian dengan pelaksanaan kegiatannya tanpa dilandasi
aturan/ketentuan hukum pertambangan resmi Pemerintah Pusat atau Daerah. Salah satu
bentuk PETI yang berkembang di masyarakat adalah PETI bahan galian emas. Kegiatan
PETI berlangsung terutama di sepanjang aliran Sungai Kuantan ataupun aliran anak-
anak sungai. Kegiatan PETI bahan galian emas meliputi proses ekstraksi, pengolahan
bijih tambang, serta amalgamasi untuk mendapatkan emas. Walaupun keberadaan PETI
dapat meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, namun dampak yang
ditimbulkannya juga besar. Salah satu yang dapat ditemui adalah kondisi pekerja PETI
yang tidak memiliki pelatihan dan keamanan yang memadai, sehingga pengambilan
emas dilakukan tanpa memperdulikan keselamatan kerja dan dampak terhadap
lingkungan hidup.
Selain itu, kegiatan PETI juga menimbulkan kerusakan dan pencemaran
lingkungan pada wilayah kegiatan dan wilayah hilir dari lokasi PETI. Kerusakan yang
terjadi terdapat pada lahan di sekitar kegiatan pertambangan. Sedangkan pencemaran
lingkungan yang terjadi disebabkan oleh pembuangan limbah pengolahan emas (tailing)
ke badan air maupun air tanah.
Kabupaten Kuantan Singingi memiliki dua sungai utama, yaitu Sungai Kuantan
dan Sungai Singingi (Tasriani dan Zulhadi, 2013). Daerah Aliran Sungai (DAS) dari
dua sungai tersebut merupakan awal terbentuknya emas yang merupakan dari hasil
endapan alluvial (Zuhri, 2015). Awalnya Sungai Batang Kuantan dimanfaatkan warga
untuk aktifitas sehari-hari seperti sumber air minum, mandi, mencuci pakaian, mencuci
piring, mencari ikan, penambangan batu, pasir dan penambangan emas secara liar atau
yang lebih dikenal dengan Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Adanya kegiatan
PETI, banyak warga yang beralih pekerjaan dari petani karet menjadi penambang emas,
karena secara ekonomi kegiatan PETI lebih menguntungkan. Dalam satu hari para
pelaku PETI dapat menghasilkan antara 2 juta hingga 10 juta dengan waktu kerja mulai
pukul delapan pagi hingga lima sore.
Secara perlahan tapi pasti, keberadaan PETI merubah perilaku masyarakat
setempat, terutama para penambang emas. Aktivitas PETI membuat air Sungai Kuantan
menjadi tercemar, hal ini disebabkan oleh proses pencucian dan pendulangan
menggunakan teknik amalgamasi atau penggunaan merkuri, akibat ampas (tailing) yang
terbuang ke dalam sungai menjadikan sungai keruh dan tercemar oleh merkuri (Hg)
(Juliawan, 2006). Sehingga populasi ikan menjadi berkurang, akibatnya penduduk yang
berkerja mencari ikan di sungai lambat laun menghilang.
Sadar atau tidak kegiatan PETI akan merusak lingkungan juga membahayakan
jiwa penambang karena keterbatasan pengetahuan si penambang dan juga karena tidak
adanya pengawasan dari dinas instansi terkait (Yudhistira, 2008). Kejadian keracunan
merkuri sering terjadi seperti “Minamata Disease”, yaitu kejadian keracunan merkuri di
Kota Minamata Jepang. Pencemaran limbah merkuri dari pabrik kimia Chisso Corp
tahun 1958 menyebabkan pencemaran pada ikan dan mengakibatkan lebih dari 1.000
orang meninggal dan menghabiskan biaya sebesar USD 342 juta untuk membersihkan
Teluk Minamata. Kasus keracunan merkuri lainnya terjadi di Irak tahun 1971, 450
orang dilaporkan meninggal dan 6.500 orang dirawat di rumah sakit. Di Pakistan tahun
1963, dilaporkan 4 orang meninggal dan 34 orang lainnya dirawat di rumah sakit akibat
keracunan merkuri. Tahun 1966 di Guatemala, merkuri menyebabkan 20 orang
meninggal dan 45 lainnya masuk rumah sakit (Palar, 2008 dalam Rokhman, 2013).
Peristiwa keracunan merkuri juga pernah terjadi di Indonesia, seperti pencemaran di
Teluk Buyat yang diduga berasal dari limbah PT Newmont Minahasa. Sebuah
penelitian menyebutkan bahwa kadar merkuri di dasar Sungai Rungan sebesar 0,554
mg/l dan 0,789 mg/l di Sungai Kahayan Kalimantan Tengah, padahal ambang batas
untuk sedimen hanya 0,005 mg/l. Sesuai dengan Kepmen LH No. 2 tahun 1998 yang
mengatur tentang kadar merkuri dalam air sebesar 0,001 mg/L (Sumantri, dkk. 2014).
Pencemaran tersebut diakibatkan oleh aktivitas PETI di wilayah tersebut (Haerimariaty,
2011).
Penambangan emas memang merupakan suatu kegiatan yang dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat, namun demikian penambangan emas juga dapat
merugikan apabila dalam pelaksanaannya tanpa diikuti proses pengolahan limbah hasil
pengolahan bijih emas secara baik. Menurut (Mirdat, 2013) salah satu cara pengolahan
bijih emas adalah proses amalgamasi yang menggunakan merkuri (Hg) dalam proses
pengolahannya. Merkuri biasa digunakan sebagai bahan kimia pembantu yang sesuai
dengan sifatnya untuk mengikat butiran- butiran emas agar mudah dalam pemisahan
dengan partikel-partikel lainnya. Cara penambangan emas dan pengolahan bijih emas
oleh para penambang liar ini sangat sederhana, tetapi akibat kesederhanaan dan
ketidaktahuan serta ketidakpedulian mereka telah membawa akibat buruk bagi
kelangsungan hidup di lingkungan sekitarnya yang berpotensi menyebabkan efek racun
pada lingkungan perairan.
Logam berat menjadi berbahaya disebabkan sistem bioakumulasi yaitu
peningkatan konsentrasi unsur kimia di dalam tubuh makhluk hidup. Logam- logam
berat dapat menimbulkan efek kesehatan bagi manusia tergantung pada bagian mana
logam berat tersebut terikat dalam tubuh. Daya racun yang dimiliki akan bekerja
sebagai penghalang kerja enzim sehingga proses metabolisme tubuh terputus (Nuraini,
2015). Merkuri dalam bentuk logam biasanya akan menumpuk di ginjal dan sistem
saraf yang akan mengganggu bila akumulasinya semakin banyak (Edward, 2008).
Adapun kadar merkuri Menurut Peraturan Menteri Kesehatan maksimum di dalam air
sebesar 0,001 mg/L atau sekitar 1 (μg/L). Apabila merkuri masuk ke perairan akan
berikatan dengan chlor yang ada didalam air membentuk ikatan HgCl. Dalam bentuk
tersebut Hg akan mudah masuk ke dalam plankton dan berpindah ke biota air lainnya.
Manusia dapat terakumulasi merkuri melalui konsumsi makanan yang tercemar seperti
dari ikan dan kerang (Narasiang, 2015). Hg atau merkuri merupakan salah satu unsur
yang paling beracun diantara logam berat yang ada dan apabila terpapar pada
konsentrasi yang tinggi maka akan mengakibatkan kerusakan otak secara permanen dan
kerusakan ginjal (Stancheva, 2013). Dikarenakan operasional penambangan emas biasa
menggunakan air raksa atau Hg sebagai media pengikat emas dan biasanya akan
membuang limbahnya yang masih mengandung merkuri ke perairan, maka sangat
penting untuk mendeteksi seberapa besar kandungan logam merkuri yang ada di aliran
sungai tersebut, selain itu juga akan diukur derajat keasaman atau pH pada beberapa
titik dikarenakan kita ketahui bahwa nilai pH merupakan suatu indeks kadar ion
hidrogen (H+) yang mencirikan keseimbangan asam dan basa. Nilai pH pada suatu
perairan mempunyai pengaruh yang besar terhadap organisme perairan sehingga
seringkali dijadikan petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan.
Saat ini pencemaran air terutama di perairan terbuka (sungai) merupakan
permasalahan yang serius. Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) merupakan
kawasan berkembang (growth city) yang ditandai dengan berbagai permasalahan yang
kompleks. Kompleksitas permasalahan yang multidimensi tersebut dihadapi oleh sektor
pertambangannya. Hal ini ditandai dengan semakin maraknya aktivitas Penambangan
Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Kuansing. Sungai di Kabupaten Kuansing terdiri
dari dua sungai utama, yaitu Sungai Kuantan (DAS Indragiri) dan Sungai Singingi
(DAS Kampar). Sungai inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari - hari. Sungai ini berfungsi sebagai sumber air minum, MCK, pertanian, industri,
perhubungan, dan pariwisata yang memberikan kostribusi besar bagi masyarakat
(Tasriani dan Zulhadi, 2013).

Berdasarkan pemaparan literatur mengenai bahaya yang dapat diakibatkan oleh


logam berat khususnya merkuri dan maraknya aktivitas penambangan emas serta belum
pernah dilakukannya analisis logam merkuri di daerah tersebut, maka dilakukanlah
penelitian ini dengan tujuan memberikan informasi tentang kadar logam merkuri air
Sungai Kuantan sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
penanganan limbah aktivitas PETI di Kabupaten Kuansing Provinsi Riau di masa yang
akan datang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyediakan kajian akademik
tentang dampak PETI terutama kandungan logam beratnya terhadap kualitas air sungai
serta dapat dijadikan sebagai rujukan dalam perkuliahan.

2. Sejarah Pertambangan PETI

Kegiatan PETI adalah usaha pertambangan yang dilakukan oleh perorangan,


sekelompok orang atau perusahaan yang dalam operasinya tidak memiliki izin dari
instansi pemerintah pusat atau daerah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Ngadiran, Santoso dan Purwoko (2002) persolan-persoalan kegiatan
pertambangan emas tanpa izin diantaranya :

1. Keselamatan kerja kurang terjamin karena para penambang dalam pengolahan


bijih emas menggunakan bahan kimia beracun seperti sianida dan merkuri
2. Modal kerja ditanggung oleh seorang pemilik lubang atau pemilik mesin. Cara
patungan diupayakan diantara penambang sekalipun jumlahnya sangat terbatas.
Apabila modal tetap saja belum mencukupi, para penambang sering sekali
terpaksa hutang karena tidak ada bank yang mau memberikan kredit
3. Para penambang bekerja dengan teknik yang sederhana yang dipelajari secara
tradisional dan turun-temurun, sehingga tidak terjadi inovasi.

Mengenai penggunaan saluran atau system informasi, diketahui bahwa dalam


melakukan pencarian informasi saluran informasi yang digunakan yaitu berupa media
telepon atau HP untuk menanyakan kondisi dan perkembangan kelompok penggali
emas lainnya baik yang sedang melakukan pengalian di daerah lain atau pada para
penggali yang baru datang dari daerah lain. Selain menggunakan saluran atau system
informasi yang bermedia seperti media telepon atau HP, saluran informasi lain yang
digunakan adalah secara lisan yaitu dengan menanyakan kepada para penggali emas
yang kebetulan baru datang atau pada keluarga/ kerabatnya mengenai perkembangan
penggalian emas di daerah lainnya. (Silvana, 2015)

Sumantri dan Herman (2007) dalam Wibisono (2008) menyatakan bahwa faktor
pendorong kehadiran Peti dapat dikelompokkan menjadi :

1. Faktor sosial, kegiatan yang sudah menjadi pekerjaan turunan karena dilakukan
secara turun-temurun oleh masyarakat setempat; terdapatnya hubungan yang
kurang harmonis antara pertambangan resmi atau berizin dengan masyarakat
setempat; dan terjadinya penafsiran keliru tentang reformasi yang diartikan
sebagai kebebasan tanpa batas.
2. Faktor hukum, yaitu ketidaktahuan masyarakat terhadap peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang pertambangan; kelemahan peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan, yang diantara lain tercermin
dalam kekurangberpihakan kepada kepentingan masyarakat luas dan tidak
adanya teguran terhadap pertambangan resmi atau berizin yang tidak
memanfaatkan wilayah usahanya (lahan tidur); serta terjadinya kelemahan dalam
penegakan hukum dan pengawasan.

Faktor ekonomi disebabkan oleh keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan


berusaha yang sesuai dengan tingkat keahlian atau keterampilan masyarakat bawah;
kemiskinan dalam berbagai hal, yakni miskin secara ekonomi, pengetahuan, dan
keterampilan; keberadaan pihak ketiga yang memanfaatkan kemiskinan untuk tujuan
tertentu, yaitu penyandang dana (cukong), beking (oknum aparat) dan LSM; krisis
ekonomi berkepanjangan yang melahirkan pengangguran terutama dari kalangan
masyarakat.

Pertambangan emas yang dilakukan masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi


sudah dilakukan sejak lama, akan tetapi di Desa Koto Setanjo Kabupaten Kuantan
Singingi pertambangan emas tanpa izin mulai marak dilakukan pada tahun 2014 hingga
saat ini.

3. Endapan Emas Aluvial

Emas di daerah ini terdapat dalam endapan aluvial yang merupakan endapan
sekunder (endapan plaser). Sebaran endapan berada sekitar daerah Logas
dengan anak-anak sungainya dan daerah Sentajo. Cadangan terbesar berada
di
lokasi Sentajo dengan potensi 2,8 ton.

Anda mungkin juga menyukai