Anda di halaman 1dari 26

1

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah atau wilayah adalah salah satu unsur penting dalam suatu negara.

Bagi Negara Republik Indonesia yang mempunyai susunan kehidupan rakyat dan

perekonomian yang masih bercorak agraris sehingga bumi, air dan ruang

angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat

penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita

cita-citakan. Tanah merupakan tempat manusia mencari nafkah, membangun

rumah sebagai tempat berlindung, serta tanah juga mengandung berbagai

sumber kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan manusia agar tetap bisa hidup.

Secara hakiki, makna dan posisi strategis tanah dalam kehidupan

masyarakat Indonesia, tidak saja mengandung aspek fisik, tetapi juga aspek

sosial, ekonomi, budaya, politik, pertahanan keamanan dan aspek hukum. Tanah

bagi masyarakat, mengandung makna yang Multidimensional. Pertama, secara

ekonomi, tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan

kesejahteraan. Kedua, secara politis, tanah dapat menentukan posisi seseorang

dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai kapital budaya, dapat

menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna

sakral, karena pada akhir hayat setiap orang akan kembali kepada tanah.1

1
Husein Alting, Dinamika Hukum dalam Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Tanah
(Masa Lalu, Kini dan Masa Mendatang), Ternate:Lembaga Penerbitan Universitas Khairun, 2010, hlm. 6.
2

Dewasa ini, kebutuhan manusia akan tanah semakin meningkat. Namun

permasalahannya ketersediaan tanah yang relatif tetap sedangkan kebutuhan

akan tanah terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan kegiatan

pembangunan yang terus meningkat pula. Ketidakseimbangan antara jumlah

dan luas tanah yang tersedia dan kebutuhan penggunaan yang semakin

meningkat sehingga dalam mengelola tanah harus berdayaguna untuk

kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.

Salah satu tujuan dari Bangsa Indonesia yang terkandung dalam

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD NRI 1945) adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini

merupakan tanggung jawab nasional untuk mewujudkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat sebagaimana dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Hal ini berarti tanah juga penting dalam pelaksanaan

pembangunan nasional yang diselenggarakan sebagai upaya berkelanjutan untuk

mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.

Berdasarkan amanat konstitusional tersebut, maka pada tanggal 24

September 1960 disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno dan

diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 104 tahun 1960

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya Undang-Undang

Pokok Agraria, disingkat UUPA. Dengan lahirnya UUPA maka terjadi perubahan

fundamental pada hukum agraria di Indonesia terutama hukum di bidang


3

pertanahan yakni dengan terwujudnya suatu keseragaman hukum tanah

Nasional.2

Dalam hukum pertanahan Nasional yang diatur dalam UUPA memiliki

beberapa tujuan, yaitu :

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadaan

bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang

adil dan makmur;

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan

dalam hukum pertanahan;

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenaI hak-

hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.3

Salah satu tujuan utama UUPA adalah untuk meletakkan dasar-dasar

pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat. UUPA

telah mengubah secara fundamental hukum pertanahan yang berlaku di

Indonesia pada waktu itu. Perubahan tersebut antara lain mengubah hukum yang

berlaku sebelum UUPA, yaitu hukum adat yang merupakan hukum yang berlaku

bagi mayoritas penduduk Indonesia. Dengan demikian setelah berlakunya UUPA,

hukum yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum agraria

nasional.4

2
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Cet.19, Jakarta: Djambatan, 2008, hlm. 28-29
3
Wantjik Saleh, 1979. Hak Anda Atas Tanah, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 11
4
Teddy Chandra, Kepastian Hukum Sertifikat Kepemilikan Tanah Dihubungkan Dengan Penyelesaian Sengketa
Pertanahan Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Arbitrase, Bandung: Disertasi Program Pascasarjana
Unisba, 2009, hlm. 4
4

Dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa :“Atas dasar hak

menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya

macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.”

Dalam pasal tersebut menjelaskan bahwa kepemilikan atas tanah yang

segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besarnya

kemakmuran dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur, negara dapat

memberikan tanah kepada sesorang atau Badan Hukum dengan sesuatu hak

menurut peruntukan dan penggunaanya.5

Seseorang atau badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah,

oleh UUPA pada Pasal 15 yaitu dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau

mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula untuk memelihara, termasuk

menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah tersebut. Kedua macam

kewajiban itu harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan dan

dengan memperhatikan pihak ekonomis yang lemah.

Hak-hak atas tanah selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 16 UUPA , yaitu :

”Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah :

1. Hak guna usaha

2. Hak guna bangunan

3. Hak pakai

4. Hak sewa

5. Hak membuka tanah

5
Ali Achmad Chomzah,2001,Hukum Agraria(Pertanahan Nasional) Jilid 1, Jakarta: Prestasi Pustaka, Hlm. 29
5

6. Hak memungut hasil hutan

7. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak diatas yang

akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang

sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.”

Kewenangan negara untuk menyelenggarakan hak-hak atas tanah salah

satunya adalah Hak Guna Usaha (HGU). HGU secara rinci diatur dalam Pasal 28

sampai Pasal 34 UUPA Jo. Pasal 2 sampai Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) No.

40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai.

Pengertian HGU menurut Pasal 28 yaitu :“Hak guna usaha adalah hak untuk

mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu

sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau

peternakan.”

Selanjutnya ditambahkan dalam Pasal 14 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996

menyatakan bahwa : “Pemegang Hak Guna Usaha berhak menguasai dan

mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan

usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan.”

Pihak yang dapat menjadi pemegang HGU berdasarkan Pasal 30 (1) UUPA

Jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 adalah:

1. Warga negara Indonesia

2. Badan hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia

Dari rumusan Pasal 30 (1) UUPA dapat diketahui bahwa undang-undang

memperluas subjek hukum yang dapat menjadi pemegang hak atas tanah. Dalam hal

HGU, selain orang perorangan warga Indonesia tunggal, badan hukum yang didirikan
6

menurut ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

juga dimungkinkan untuk menjadi pemegang HGU.6 Dengan ini berarti, dengan tidak

mempertimbangkan sumber asal dana yang merupakan modal dari badan hukum

tersebut, selama badan hukum tersebut memenuhi kedua kriteria tersebut diatas,

maka badan hukum tersebut dapat memegang HGU. 7

Jika dibandingkan dengan Hak milik, HGU tidak sekuat hak milik. Namun

HGU tergolong hak atas tanah yang kuat artinya tidak mudah hapus dan mudah

dipertahankan terhadap gangguan pihak-pihak lain. Oleh karenanya, HGU termasuk

salah satu hak yang wajib didaftarkan (Pasal 32 UUPA jo. Pasal 9 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).8 Pendaftaran tanah

ini menghasilkan sertifikat hak atas tanah, yang menurut Pasal 19 ayat (2) UUPA

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap hak seseorang atas tanah.

Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan

Nasional dan dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan serta

dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan.

Namun pada kenyataannya, dalam menjalankan amanat konstitusi

tersebut, sering terjadi benturan antara apa yang dicita-citakan dalam konstitusi

dengan pengamplikasiannya dalam masyarakat. Hal ini mengakibatkan munculnya

sengketa pertanahan di Indonesia khususnya terkait dengan penguasaan atau

kepemilikan dan penggunaan tanah terutama yang berkaitan dengan tanah HGU.

6
Kartini Muljadi, Gunawan Widjadja, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak-hak Atas Tanah, Jakarta:Kencana,2008,
hlm.31
7
Ibid, hlm.31
8
Eddy Ruchiyat, Sistem Pendaftaran Tanah Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Bandung: Armico, 1984,
hlm. 14-15.
7

Salah satu sengketa yang terjadi yaitu mengenai penguasaan terhadap

tanah HGU antara pemegang HGU dengan warga pemegang Hak milik khususnya

antara PT. Rezeki Kencana sebagai Pemegang HGU dengan warga Desa Kampung

Baru sebagai pemegang Hak Milik. Sengketa ini timbul karena adanya kekeliruan

terhadap pencatatan letak tanah HGU dalam sertifikat HGU. Pada Tahun 2013,

PT.Rezeki Kencana masuk dalam 21 perjanjian kerja sama antara perusahaan serta

pemerintah daerah di Indonesia dan Tiongkok yang ditandatangani di hadapan

Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden RRT Xi Jinping. Perjanjianya

adalah akuisisi antara Tianjin Julong Jiahua Investment Group Ltd. dengan PT. Rezeki

Kencana dan PT. Grand Mandiri Utama senilai US$ 200 juta untuk proyek

pengembangan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum

dan HAM menyebutkan, kantor perusahaan tersebut, beralamat di Sungai Deras,

Kecamatan Teluk Pakedai, Kabupaten Kubu Raya. Disebutkan pula, PT. Rezeki

Kencana (Division PKS) diresmikan 2011 dengan kapasitas olah CPO 30 ton per jam,

bertempat di Desa Pasir Putih, Teluk Pakedai.

Status lahan PT. Rezeki Kencana di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan

Barat berdasarkan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No 2, tanggal 12 Maret 2008

seluas 11.180,80 hektare. Namun, terdapat beberapa HGU yang proses. HGU

tersebut; berdasarkan Risalah panitia B Provinsi Kalimantan Barat No. 17/HGU-

HTPT/BPN/2007 Tanggal 24 November 2007 luasnya 1.831,90 ha terletak di Teluk

Pakedai Hulu dan di Desa Selat Remis Kecamatan Teluk Pakedai serta di Desa

Sungai Bemban Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya.


8

Selain itu, berdasarkan risalah panitia B Provinsi Kalimantan Barat No.

01/HGU-HTPT/BPN/2008/ tanggal 31 Januari 2008 dan para bidang tanah No 80-

14.07-2007 luas 4.686,35 ha terletak di Desa Jangkang I, Jangkang II, Teluk Nangka,

Kecamatan Kubu dan Desa Sungai Dungun Kecamatan Terentang, Kabupaten Kubu

Raya. Terakhir, berdasarkan permohonan HGU bulan Maret 2008 yang sudah di cek

oleh panitia B di lokasi pada 1 Agustus 2008, lokasi HGU di Desa Jangkang I,

Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya dengan luas 352,53 ha.

Lokasi perusahaan meliputi dua kecamatan yaitu Teluk Pakedai dan Kubu.

Areal tersebut meliputi desa; Sungai Deras, Pasir Putih, Teluk Pakedai I, Teluk Galam

(Kecamatan Teluk Pakedai), Jangkang I, Jangkang II, Teluk Nangka, Sungai Teras,

Air Putih, dan Ambawang (Kecamatan Kubu).

Kini PT. Rezeki Kencana telah mengklaim lahan milik dari

masyarakat/Serikat Tani Darat Jaya di wilayah Desa Kampung Baru. Luasnya tanah

yang diklaim oleh PT. Rezeki Kencana yakni 2.600 ha. Tanah tersebut sebelumnya

ditanami oleh masyarakat desa, berupa pohon karet, pohon pisang dan lain-lain. PT.

Rezeki Kencana masuk, melakukan land clearing dan perusakan serta pencabutan

tanaman yang mengakibatkan rusaknya ± 20.000 pohon yang ada di wilayah tersebut.

Setelah itu, PT. Rezeki Kencana menanaminya dengan sawit.

Sedangkan kelompok tani Darat Jaya sudah mengantongi izin garap dari

pemerintah Desa Kampung Baru sejak tahun 1991 untuk menggarap dan mengelola

lahan di wilayah Desa Kampung Baru tersebut. Kelompok tani Darat Jaya

beranggotakan 721 orang dengan luasan 3600 Ha pada tahun 2014, 2500 Ha pada

tahun 2015 yang terdiri dari perkebunan sawit individu 170 Ha, 140 Ha swadaya

masyarakat serta 230 Ha kebun karet dengan jumlah total lahan yang dimiliki
9

kelompok tani Darat Jaya kurang lebih 5100 Ha pada tahun 2017. Dari ribuan lahan

masyarakat tersebut, sebagian bahkan telah bersertifikasi dan sebagian lagi

merupakan lahan milik transmigran. Pemerintah daerah melalui Badan Pertanahan

Nasional (BPN) Kabupaten Kubu Raya, surat nomor BA 28/BA/SPP/VI/2015

menegaskan bahwa lahan tersebut adalah milik dari masyarakat desa yang tergabung

dalam Serikat Tani Darat Jaya dan surat dari Pemerintah Kecamatan Kubu No.

102/184/pem tertanggal 3 Mei 2017 tentang peninjauan kembali HGU PT. Rezeki

Kencana. Kepemilikan lahan tersebut dipertegas dengan adanya pengukuran ulang

lahan yang dilakukan oleh BPN Kabupaten Kubu Raya dan kronologis lahan yang

ditandatangani oleh perangkat desa dari beberapa desa anggota Serikat Tani Darat

Jaya, Selain itu, surat penolakan ijin dan HGU PT. Rezeki Kencana oleh Kades Teluk

Nangka, Kades Jangka II, Pj Kades Kampung Baru, Kades Teluk Bayur, dan tanda

tangan penolakan dari masyarakat 4 Desa.

Ketika masyarakat/Serikat Tani Darat Jaya di wilayah Desa Kampung Baru

memperjuangkan hak-haknya yang dilanggar oleh PT. Rezeki Kencana, mereka

justru dikriminalisasi. Warga yang sedang melakukan pemetaaan dan pengecekan

ulang patok batas desa antara Desa Kampung Baru, Kecamatan Kubu dan Desa

Teluk Bayur Kecamatan Terentang dilaporkan ke Kepolisian oleh PT. Rezeki Kencana

dengan dalih tindakan perusakan lahan. Faktanya, masyarakat yang melakukan

pemetaan berdasarkan persetujuan 2 desa dengan surat dari masing-masing Kades,

yang keduanya menolak keberadan PT. Rezeki Kencana

B. Identifikasi Masalah

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan hukum ini

adalah sebagai berikut :


10

1. Bagaimanakah penerbitan Hak Guna Usaha PT. Rezeki Kencana di

Desa Kampung Baru Kabupaten Kubu Raya ditinjau dari peraturan

terkait?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap warga Desa Kampung

Baru Kabupaten Kubu Raya dalam sengketa lahan atas penerbitan

Hak Guna Usaha PT. Rezeki Kencana ditinjau dari peraturan terkait?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengkaji penerbitan Hak Guna Usaha PT. Rezeki Kencana di Desa

Kampung Baru Kabupaten Kubu Raya ditinjau dari peraturan terkait.

2. Untuk mengkaji perlindungan hukum terhadap warga Desa Kampung Baru

Kabupaten Kubu Raya dalam sengketa lahan atas penerbitan Hak Guna

Usaha PT. Rezeki Kencana ditinjau dari peraturan terkait.

D. Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk penulisan hukum ini

diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai berikut :

1. Kegunaan Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap dunia akademik dan dalam

rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya serta hukum agraria

pada khususnya, terutama yang berkaitan dengan penguasaan tanah HGU

serta penyelesaian yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang

bersangkutan.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur

dalam dunia kepustakaan terkait perkembangan ilmu hukum pada

umumnya dan hukum agraria pada khususnya.


11

2. Kegunaan Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para praktisi dan instansi

terkait, terutama pihak-pihak yang berhubungan dengan pertanahan

seperti Badan Pertanahan Nasional. Tidak lupa kepada Pemerintah dalam

mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan pertanahan, juga

masyarakat sebagai sumber daya manusia, khususnya tanah sebagai

sumber perekonomiannya sehingga dapat tercipta kesepahaman serta

kesadaran semua pihak tentang arti penguasaan tanah HGU.

b. Secara khusus dalam tatanan praktis, penulis berharap penelitian ini dapat

memberikan sumbangan pemikiran bagi pemegang HGU dan Pemerintah

Desa khususnya PT. Rezeki Kencana dan Pemerintah Desa Kampung

Baru di Kabupaten Kuburaya dalam menyelesaikan sengketa penguasaan

tanah HGU.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1

Angka 3 Undang-Undang Dasar 1945. Negara hukum adalah negara

berlandaskan atas hukum dan keadilan bagi warganya. Dalam artian bahwa

segala kewenangan dan tindakan alat perlengakapan negara atau penguasa,

semata-mata berdasarkan hukum atau dengan kata lain diatur oleh hukum. Hal

yang demikian akan mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warganya. 9

Pancasila sebagai dasar falsafat Negara Republik Indonesia pada sila ke-

5 menyatakan bahwa “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kemudian

ditambahkan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa

9
Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara Hukum, Padang : Angkasa Raya Padang, 1992,hlm. 20
12

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian

hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Arti dari kedua

pasal tersebut bahwa dalam negara hukum kedudukan semua orang sama

dihadapan hukum tanpa adanya perbedaan suku, ras, agama, kedudukan sosial

dan kekayaan.

Hans Kelsen memandang hukum sebagai sesuatu yang seharusnya (das

sollen), sehingga terlepas dari kenyataan sosial (das seins). Setiap orang wajib

menaati hukum sebagai suatu kehendak negara. Hukum itu tidak lain

merupakansuatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya

sebagaimana seharusnya.10

Menurut Mochtar Kusumaatmadja Hukum adalah keseluruhan asas dan

kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi

lembaga dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat. Beliau

mengatakan bahwa tujuan utama hukum adalah ketertiban dan tujuan lain dari

hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan ukurannya,

menurut masyarakat dan zamannya. Tanpa kepastian hukum dan ketertiban

masyarakat yang dijelmakan olehnya, manusia tidak mungkin mengembangkan

bakat-bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal di

dalam masyarakat tempat ia hidup.11

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan

(rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum

(rechtszekerheid).12 Menurut Gustav Radbruch, keadilan adalah tujuan hukum

yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai dengan hakekat atau ontologi

10
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001, Hal 61.
11
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Bandung: Alumni, 2006, hlm. 3
12
Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Jakarta:PT. Gunung Agung
Tbk, hlm. 85
13

hukum itu sendiri. Bahwa hukum dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui

peraturan yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang saling

bertentangan dengan seimbang sehingga setiap orang memperoleh sebanyak

mungkin apa yang menjadi bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh

sejarah filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa kepada keadilan

sebagai suatu tujuan hukum.13

Selain keadilan, tujuan hukum lainnya adalah kepastian hukum. Kepastian

hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang,

yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena

dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas

menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.14

Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia pada dasarnya memiliki

tujuan untuk menjadi negara yang sejahtera.Tujuan negara ini tercantum dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke 4 yang berbunyi : “Untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa

dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaianabadi dan keadilan sosial.” Hal ini merupakan tanggung jawab

nasional untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sebagaimana

dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan : ”Bumi

air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

13
Ahmad Zaenal Fanani, Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim, Artikel ini pernah dimuat di Varia Peradilan
No. 304 Maret 2011, hlm 4
14
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988, hlm 58
14

Pengertian dikuasai dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bukanlah

berarti dimiliki, tetapi memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi

kekuasaan dari Bangsa Indonesia, untuk pada tingkatan tertinggi berwenang

melakukan tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan hukum publik.15 John

Austin menyatakan bahwa : “The most essential characteristic of positive law,

consists in it’s imperative character. Law is conceived as a command of the

sovereign”. 16 Bahwa hukum adalah perintah dari penguasa negara dimana

hakikat dari hukum itu sendiri terletak pada unsur perintah.

Agar tercapainya kesejahteraan dan kemakmuraan bagi seluruh rakyat

Indonesia perlu adanya suatu pembangunan yang merupakan proses perubahan

terencana dan berjangka dari suatu kondisi menuju kondisi yang lebih baik dalam

rangka untuk kemakmuran rakyat secara keseluruhan. Menurut teori hukum

pembangunan yang dianut oleh Mochtar Kusumaatmadja, hukum tidak boleh

tertinggal oleh proses perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat,

pembangunan yang berkesinambungan menghendaki adanya konsepsi hukum

yang selalu mendorong dan mengarahkan pembangunan sebagai cerminan dari

tujuan hukum modern, di mana hukum bertujuan sebagai sarana pembaharuan

masyarakat (a tool of social engineering).17

Dalam hal pembangunan di Indonesia secara merata di segala bidang,

khususnya yang berhubungan dengan masalah pertanahan, mengingat

pentingnya pertanahan dalam menunjang pembangunan nasional baik sebagai

wadah produksi maupun sebagai wadah dalam kegiatan usaha.

15
Supriyadi, Aspek Hukum Tanah Aset Daerah, Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian atas
Eksistensi Tanah Aset Daerah, Jakarta:Prestasi Pustakarya, 2010, hlm. 100.
16
H.Mc.Coubrey and N.D.White, 1993, Text Book On Jurisprudensi, London: Blakstone Press Limited, hlm.14.
17
Mochtar Kusumaatmadja, op.cit, hlm. 5.
15

Sesuai dengan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai landasan

utama pembagunan nasional dalam bidang pertanahan, perlu adanya penataan

dan penertiban di bidang pertanahan agar fungsi tanah dapat dimanfaatkan

sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya bagi kepentingan seluruh rakyat di dalam

wilayah yang bersangkutan.

Hukum tanah memegang peranan yang sangat penting yang bertalian erat

dengan masyarakat, di mana jiwa rakyat dengan tanahnya tidak dapat dipisahkan,

setiap perubahan dalam jiwa rakyat menghendaki juga perubahan dalam hukum

tanah, demikian pula sebaliknya.18 Sehingga dibentuklah suatu Peraturan

Perundang-Undangan yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah yaitu

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (selanjutnya disebut UUPA).

Selanjutnya untuk mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan tanah dan sumber daya alam , maka hak menguasai negara

dinormatifkan pada ketentuan Pasal 2 UUPA khususnya ayat (1) dan (2), sebagai

berikut :

1. Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan

hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang

angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada

tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan

seluruh rakyat.

2. Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini, memberi

wewenang untuk:

18
B.F Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta: Toko Gunung Agung,
2005, hlm. 51.
16

a. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan,

persediaan dan pemeliharaannya;

b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atau

dimiliki atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan antara orang-orang dan

perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan

ruang angkasa.”

Dalam penjelasan Umum UUPA (PU II.2) ditegaskan bahwa untuk

mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak perlu

dan tidak pada tempatnya negara sebagai pemilik tanah. Lebih tepatnya jika

negara, sebagai organisai kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku

Badan Penguasa.Penjelasan UUPA tersebut menegaskan bahwa kata “dikuasai”

bukan berarti “dimiliki” sebagaimana pemahaman “milik negara” dalam domein

verklaring di masa pemerintahan Hindia Belanda.19

Menurut Notonagoro, negara sebagai Badan Penguasa memiliki hubungan

dengan bumi, air dan ruang angkasa. Hubungan tersebut adalah :20

1. Negara sebagai subyek, diberi kedudukan tidak sebagai perorangan, tetapi

sebagai negara. Dengan demikian negara sebagai badan kenegaraan, badan

yang publiekrechtelijk. Dalam bentuk ini negara tidak mempunyai kedudukn

yang sama dengan perorangan;

19
Ida Nurlinda, Monograf Hukum Agraria:Reforma Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria,
Bandung:LoGoz Publishing dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran,2013, hlm.10
20
Maria S.W.Sumardjono, Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria, Yogyakarta: Andi Offset, 1982,
hlm.12
17

2. Negara sebagai subyek, yang dipersamakan dengan perorangan sehingga

dengan demikian, hubungan antara negara dengan bumi dan lain sebagainya

itu “sama” dengan hal perorangan atas tanah;

3. Hubungan antara negara “langsung” dengan bumi dan sebagainya tidak

sebagai subyek perorangan dan tidak dalam kedudukan sebagai negara yang

memiliki, tetapi sebagai negara yang menjadi personafikasi dari seluruh rakyat,

sehingga dalam konsep ini negara tidak lepas dari rakyat. Negara hanya

menjadi pendiri dan pendukung kesatuan-kesatuan rakyat.

Mengacu pada pendapat Notonagoro diatas, maka bentuk hubungan

antara negara dengan bumi, air dan ruang angkasa yang sesuai dengan makna

hak menguasai negara adalah hubungan yang ke-3. Hal ini karena pada pasal 1

ayat (3) UUPA adalah hubungan yang abadi, dalam arti bahwa selama bangsa

Indonesia masih ada dan selama bumi, air dan runga angkasa itu masih ada,

maka hubungan itu tidak akan terputus oleh kekuasaan apapun21.

Atas dasar menguasai negara, menurut ketentuan dalam Pasal 4 UUPA

Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan

sesuatu hak menurut keperluan dan peruntukkannya. Hak-hak atas tanah sebagai

yang dimaksud dalam Pasal 4 UUPA ditentukan dalam Pasal 16 UUPA ialah :

“Hak-hak atas tanah sebagaimana sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 4 ayat (1) ialah :

a. Hak Milik,

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan,

d. Hak Pakai,

21
Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaruan Agraria:Perspektif Hukum, Jakarta:Raja Grafindo, 2009, hlm.56
18

e. Hak Sewa,

f. Hak Membuka Tanah,

g. Hak Memungut Hasil Hutan,

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

akan ditetapkan dalam UndangUndang, serta hak-hak yang sifatnya

sementara…”

Asas dari hukum Agraria Nasional salah satunya terletak pada Pasal 6

UUPA yaitu bahwa “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Hal ini

berarti, hak atas tanah bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang

tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak

dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu

menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan

dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi

kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula

bagi masyarakat dan Negara.22

Penjabaran bahwa Negara dapat memberikan tanah kepada seseorang

atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut keperluan dan peruntukkannya

salah satunya adalah kebijakan pemberian HGU. Pengertian HGU terdapat dalam

Pasal 28 UUPA yaitu :

“Hak Guna Usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang

dikuasai oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam

Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau perternakan. PP No.

22
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung: PT.Citra Aditya Abadi, 1990, hlm.20-21
19

40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB, dan Hak Pakai Atas Tanah

menambahkan guna perusahaan perkebunan.”

Ketentuan-ketentuan HGU lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak

Pakai Atas Tanah.

Menurut Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut dengan PP No. 24 Tahun 1997),

wewenang untuk memberikan hak-hak atas tanah khususnya terhadap HGU

adalah Badan pertanahan Nasional. Mengenai ketentuan-ketentuan Badan

Pertahanan Nasional (BPN) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun

2015 Tentang Badan Pertahanan Nasional.

HGU termasuk salah satu hak yang wajib di daftarkan (Pasal 32 UUPA jo.

Pasal 9 PP No. 24 Tahun 1997). Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria di dalam

menjelaskan bahwa : “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah

diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pendaftaran

tersebut meliputi :

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.”

Boedi Harsono merumuskan pengertian pendaftaran tanah sebagai suatu

angkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan terus menerus untuk
20

mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan menyajikan data tertentu mengenai

bidang-bidang atau tanah-tanah tertentu yang ada di suatu wilayah tertentu

dengan tujuan tertentu.23 Kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang

harus dilaksanakan oleh pemerintah secara terus menerus dalam rangka

menginventarisasikan data-data berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut

undang-undang pokok agraria dan peraturan Pemerintah, sedangkan pendaftaran

hak atas tanah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pemegang

hak atas tanah yang bersangkutan dan dilaksanakan secara terus menerus setiap

ada peralihan hak-hak atas tanah tersebut menurut undang-undang pokok agraria

dan peraturan pemerintah guna mendapatkan sertipikat tanda bukti tanah yang

kuat.24

Tujuan pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 pada Pasal 3

adalah memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, menyediakan

informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan terselenggaranya tertib

administrasi pertanahan. Pasal 4 PP No. 24 Tahun 1997 selanjutnya menegaskan

bahwa “Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan

diberikan sertifikat hak atas tanah”.

Sertifikat hak atas tanah sebagai produk akhir dari pendaftaran tanah

sebagaimana diperintahkan oleh UUPA dan PP No. 24 Tahun 1997, telah

mengikat para pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menerbitkan

sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat atas pemilikan tanah.16 Pengertian

sertifikat menurut Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997: “Sertifikat adalah surat

23
Hasan Wargakusumah, Hukum Agraria I, Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 80
24
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan Pelaksanaannya, Bandung: Alumni, 1993,
hlm 15
21

tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA

untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah

susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku

tanah yang bersangkutan.”

Makna penerbitan sertifikat dapat dilihat pada Pasal 19 ayat (2) UUPA yang

menyebutkan bahwa “Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat”. Penerbitan sertifikat dan pemberian kepada

yang berhak dimaksudkan agar pemegang hak dapat dengan mudah

membuktikan haknya. Sedangkan fungsi sertifikat adalah sebagai alat

pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan

dikeluarkannya PP No. 24/1997.

Sejak berlakunya UUPA yang mengatur tentang pertanahan, kepastian

hukum data kepemilikan tanah akan lebih mudah tercapai apabila pendaftaran

tanah telah dilakukan dengan baik dan benar, sebagaimana tujuan pendaftaran

tanah itu sendiri yaitu untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan

perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah. Keberadaan sertifikat

sebagai produk akhir dari pendaftaran tanah merupakan alat pembuktian

pemegang hak atas tanah.

F. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis melakukan beberapa metode

penelitian, antara lain :

1. Metode Pendekatan
22

Metode yang digunakan oleh penulis dalam membahas permasalahan

yang terdapat dalam penelitian ini adalah secara yuridis normatif. Yaitu suatu

penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan berusaha menelaah,

menelusuri, mengkaji dan meneliti data sekunder dan bahan pustaka 25, baik

berupa peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum

dan pengertian-pengertian hukum. Selain itu, dalam konsep normatif hukum

adalah norma, baik yang diidentikan dengan keadilan yang harus diwujudkan

(ius constituendum), ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang

eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum) untuk

menjamin kepastiannya.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu

mengambarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dikaitkan

dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang

menyangkut permasalahan yang diteliti.Bersifat deskriptif analitis karena

penulis menggambarkan Peraturan PerundanganUndangan yang berlaku

dikaitkan dengan teori teori hukum menyangkut penguasaan tanah HGU.

3. Teknis Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

1) Bahan hukum primer, diantaranya berupa :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 Amandemen ke-4 (empat)

25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali
Press, 2007, hlm. 14
23

b) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok Agraria

c) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan

d) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

e) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak

Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas

Tanah

f) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah

g) Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan

Pertanahan Nasional

h) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2011 tentang

Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan

Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu

2) Bahan hukum sekunder berupa hasil-hasil buku, karya ilmiah, artikel,

jurnal dan laporan-laporan yang relevan dengan penelitian ini.

3) Bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan kamus lainnya yang

relevan dengan objek penelitian ini.

b. Studi Lapangan

Dalam penelitian ini penulis memperoleh data-data dengan

melakukan tanya jawab (wawancara) dengan berbagai pihak terkait yaitu

dengan Kepala Sub Seksi Sengketa dan Konflik Pertanahan Kantor

Pertanahan Kabupaten Kuburaya, Warga Desa Kampung baru, dan Kepala

Desa Kampung Baru.


24

4. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam 2 (dua) tahap yaitu penelitian

kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian lapangan bersifat menunjang

penelitian kepustakaan agar masalah yang ada dapat diteliti dengan baik.

a. Penelitian Kepustakaan, melalui kajian literatur yang memiliki kaitan erat

dengan masalah yang diteliti.

b. Penelitian lapangan untuk melengkapi data sekunder yang dilakukan

dengan wawancara. Wawancara kepada pihak terkait dilakukan dengan

teknik wawancara tidak terarah (non-direct interview) atau tidak terstruktur

(free flowing interview) dengan menggunakan pedoman wawancara

(interview guide). Penulis tidak memberikan pengarahan yang tajam tetapi

diserahkan kepada yang diwawancarai untuk memberikan penjelasan

menurut kemauannya sendiri.26

5. Metode Analisis Data

Dalam metode penelitian yuridis normatif yang digunakan penulis,

pengelolaan data pada dasarnya berarti kegiatan untuk mengadakan

sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti,

membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk

memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi.27 Metode ini berdasarkan

kepada norma-norma, asas-asas dan peraturan perundang-undangan yang

ada sebagai norma hukum positif dan studi lapangan yang kemudian dianalisis

secara kualitatif sehingga tidak menggunakan rumusan atau angka-angka.

26
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994, hlm. 59
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press),
1986, hlm. 251
25

6. Lokasi Penelitian

Penulis melakukan penelitian di sejumlah tempat, diantaranya :

a. Perpustakaan Mochtar Kusumaatmadja (Perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Padjadjaran), jalan Dipatiukur No. 35, Bandung, Jawa Barat

b. Kantor Badan Pertanahan Nasdional (BPN) Kabupaten Kuburaya, Jl.

Adi Sucipto No.79, Arang Limbung, Sungai Raya, Kabupaten Kubu

Raya, Kalimantan Barat

c. Kantor Desa Kampung Baru, Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya,

Kalimantan Barat

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dalam lima bab dan setiap bab dibagi lagi dalam beberapa

sub – bab. Adapun gambaran umum untuk setiap bab adalah sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memberikan ilustrasi guna

memberi informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis

yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

BAB II. TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGUASAAN TANAH, HAK GUNA

USAHA DAN MEKANISME PENERBITAN HAK GUNA USAHA

Bab ini berisi tinjauan umum mengenai Penguasaan Tanah, Hak Guna

Usaha dan Mekanisme Penerbitan Hak Guna Usaha.

BAB III. PENGUASAAN HAK GUNA USAHA ATAS TANAH MILIK NEGARA

OLEH PT. REZEKI KENCANA DI KABUPATEN KUBU RAYA


26

Bab ini berisi mengenai gambaran umum PT. Rezeki Kencana, gambaran

umum Desa Kampung Baru serta kasus.

BAB IV. ANALISIS PENERBITAN HAK GUNA USAHA KEPADA PT. REZEKI

KENCANA DI KABUPATEN KUBU RAYA

Bab ini berisi mengenai Penerbitan Hak Guna Usaha PT. Rezeki Kencana

di Desa Kampung Baru, Kabupaten Kubu Raya Barat ditinjau dari peraturan

terkai serta Perlindungan hukum warga Desa Kampung Baru, Kabupaten

Kubu Raya dalam sengketa lahan atas penerbitan Hak Guna Usaha PT.

Rezeki Kencana ditinjau dari peraturan terkait.

BAB V. PENUTUP

Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran serta

hasil dari penelitian dari masalah yang telah diidentifikasikan.

Anda mungkin juga menyukai